Revolusi Kultural untuk Penyelenggara Pelayanan Publik

Pertengahan Oktober lalu, Sekber ORI (Organisasi Rakyat Independen) Sumut, bekerjasama dengan Yayasan SET Jakarta, menyelenggarakan “Diskusi Publik Pentingnya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)”. Tanpa bermaksud mencari hubungan kausalitas, hanya berselang beberapa hari setelah acara tersebut, beberapa kasus yang berhubungan dengan keterbukaan informasi publik, dan keluhan layanan publik, bermunculan pada kolom-kolom surat kabar.

            Misalnya keluhan yang diungkap dr. Sofyan Tan, Ketua Dewan Pembina Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda (YP SIM). Tokoh muda yang dikenal aktif mempelopori pembauran lewat media pendidikan itu mengeluhkan tentang sulitnya pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk sebuah bangunan di lingkungan sekolahnya. Sudah setahun ia mengurus IMB ke Pemko Medan, namun sampai bangunan berdiri, ijinnya tidak juga keluar. IMB baru akan keluar jika ia bersedia membayar Rp 50 juta untuk hal-hal yang tidak jelas peruntukkannya (Analisa, 26/8/08).

            Sebelumnya, sejumlah warga dari etnis Tamil dan Tionghoa Medan juga diberitakan mengalami kesulitan ketika mengurus paspor mereka karena persyaratan untuk melampirkan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia). Padahal sudah sejak tahun 2004, pemerintah, melalui Surat Edaran Mendagri No. 471.2/1265/SJ, memerintahkan seluruh gubernur dan bupati/wali kota agar tidak meminta SBKRI bagi masyarakat yang tengah mengurus administrasi kependudukan mereka. Menteri Hukum dan HAM, yang kala itu dijabat Hamid Awaludin, dalam berbagai kesempatan bahkan menegaskan bahwa pengurusan paspor bagi mereka yang tergolong WNI keturunan tidak lagi memerlukan SBKRI.

 

            Jaminan Keterbukaan Informasi Publik

Daftar keluhan warga terhadap penyelenggaraan pelayanan publik sudah tentu masih bisa diperpanjang. Ibarat fenomena puncak gunung es, 1 atau 2 kasus yang muncul  di surat kabar, bisa jadi mereprenstasikan 100 atau 200 kasus yang dialami warga. Persoalannya, tak semua warga melakukan protes dan mengungkapkan ke media massa seperti yang dilakukan dr. Sofyan Tan. Rezim ketertutupan informasi, memang belum sepenuhnya berakhir. Padahal elemen bangsa ini sadar betul bahwa rezim ketertutupan, telah menggerogoti dan merapuhkan seluruh institusi penyelenggaraan pelayanan publik. Hasilnya adalah penyakit kolusi, korupsi dan nepotisme.

Persoalannya, akankah sisa-sisa rezim ketertutupan berakhir dengan kehadiran UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)?

Sebagaimana diketahui, UU KIP memberikan definisi informasi publik sebagai informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Dari batasan tersebut, UU KIP kemudian merinci informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala oleh badan publik, yang meliputi (Pasal 9 ayat 2): a). Informasi yang berkaitan dengan badan publik; b). Informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait; c). Informasi mengenai laporan keuangan, dan/atau; d). Informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan informasi publik yang harus disediakan setiap saat (Pasal 11 ayat 1), meliputi: (a) daftar seluruh Informasi Publik yang berada di bawah penguasaannya, tidak termasuk informasi yang dikecualikan; (b) hasil keputusan Badan Publik dan pertimbangannya; (c) seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya; (d) rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran tahunan Badan Publik; (e) perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga; (f) informasi dan kebijakan yang disampaikan Pejabat Publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum; (g) prosedur kerja pegawai Badan Publik yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat; dan/atau (f) laporan mengenai pelayanan akses Informasi Publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

            UU KIP memberikan ancaman pidana penjara atau denda bagi badan publik yang dengan sengaja tidak memberikan informasi publik atas dasar permintaan seseorang sesuai dengan UU KIP. Ancaman hukuman berupa pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun, dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00  (lima juta rupiah). Namun sebaliknya, ancaman hukuman juga diberlakukan bagi orang yang menyalahkangunakan informasi publik yang dimintanya.

Keterbukaan informasi publik, sudah tentu merupakan antitesa dari ketertutupan informasi. Ketika badan publik diberi kewajiban untuk memberi informasi publik yang dibutuhkan warga, maka manajemen penyelenggaraan pelayanan publik menjadi semakin sehat. Dalam arti efesian dan efektif untuk warga yang membutuhkan pelayanan publik.

Ambil contoh informasi tentang kebijakan tata ruang kota, yang selama ini hanya dapat diakses oleh beberapa orang yang memiliki jaringan ke pusat-pusat pengambilan keputusan. Dengan diberlakukannya UU KIP, pemerintah daerah wajib membuka akses informasi RUTRK kepada setiap warga yang membutuhkan. Dengan mengetahui RUTRK, warga kelak dapat mengetahui peruntukkan tata ruang kota. Dengan demikian, akan muncul kepastian hukum dalam hal peruntukkan pemanfaatan lahan di kota.

           

            Butuh “Revolusi Kultural”

            Bagi pejabat publik sendiri, kehadiran UU KIP harus dimaknai sebagai reinforcment untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang transparan, partisipatif dan bertanggungjawab (akuntablitas). Transparansi didasarkan pada adanya mekanisme untuk menjamin akses wargakepada pengambilan keputusan. Partisipasi didasarkan pada pandangan bahwa warga bisa berperan serta secara aktif dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan akuntabilitas menyatakan seberapa besar efektivitas pengaruh dari mereka yang diperintah terhadap  orang yang memerintah.

            Untuk mewujudkan hal itu, para pejabat publik pengelola informasi dan pelayanan publik, dituntut untuk mengubah paradigma lama, dari birokrasi yang serba tertutup dan korup, menjadi birokrasi yang serba transparan dan bersih. Sebuah “revolusi kultural” dibutuhkan agar pejabat publik terbiasa untuk bersikap terbuka dan memiliki spirit sebagai “abdi publik”.

            Namun revolusi kultural juga dituntut dari warga sebagai pengguna informasi. Salah satu perilaku negatif yang harus segera dipangkas adalah menghentikan praktek-praktek suap untuk menyelesaikan jasa administrasi publik. Di sisi lain, juga harus mulai ditanamkan sikap bahwa memperoleh informasi publik yang transparan agar tidak dirugikan dalam memperoleh pelayanan publik, adalah hak warga. Selama ini yang muncul adalah psikologi subordinat dari warga terhadap pejabat publik. Situasi psikologis seperti ini kurang menguntungkan warga karena menumbuhkan munculnya sikap mandah terhadap kekuasaan.

 

            Upaya Yang Harus Dilakukan

            Namun UU KIP baru akan efektif April 2010. Sembari menunggu datangnya hari H, ada baiknya jika warga melakukan upaya-upa untuk memfasilitasi terbangunnya budaya keterbukaan di kalangan penyelenggara pelayanan publik. 

            Masyarakat sebagai pemanfaat jasa informasi publik misalnya harus aktif dan pro aktif menyuarakan kasus-kasus diskriminasi penyelenggaraan pelayanan publik yang bersumber dari ketertutupan informasi. Medianya bisa dengan memanfaatkan rubrik surat pembaca, dan atau rubrik komplain publik yang disediakan oleh surat kabar.

            Keberadaan rubrik surat pembaca atau komplain publik dewasa ini menjadi semakin penting mengingat fungsinya sebagai salah ruang publik yang efektif mendorong perjuangan hak-hak publik. Khususnya hak-hak publik selaku konsumen dari perusahaan (jasa), atau dalam kapasitasnya sebagai warga negara untuk memperoleh layanan publik dari institusi penyelenggara layanan publik.

            Masyarakat juga harus pro aktif mencari informasi tentang berbagai jenis layanan publik, khususnya yang bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari sesuai dengan pekerjaan atau profesi yang digelutinya. Dewasa ini tercatat tidak kurang 276 jenis layanan publik yang diselenggarakan oleh badan publik pemerintah. Memang tidak perlu semua jenis layanan publik itu harus dikuasai prosedurnya. Tapi dengan memahami secara sepintas, maka kemungkinan masyarakat menjadi korban “manipulasi informasi” oleh badan penyelenggara pelayanan publik, atau oleh oknum pejabat publik, bisa dicegah secara dini.

            Masyarakat sedari kini juga perlu merintis pembentukkan kelompok-kelompok warga, yang kelak bisa menjadi mitra dari Komisi Informasi, dalam rangka memantau keterpenuhan hak-hak masyarakat terhadap kebutuhan informasi publik. Sebagaimana diketahui, Komisi Informasi (KI) merupakan lembaga mandiri yang akan menjalankan fungsi untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dan membuat petunjuk teknis tentang standar layanan informasi publik. KI juga akan menjadi lembaga yang berfungsi untuk menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan atau ajudikasi nonlitigasi.

            Mengingat keberadaan KI dimungkinkan hanya sampai ke tingkat kabupaten, sementara kasus-kasus keluhan layanan publik banyak muncul di wilayah pemerintahan desa dan kecamatan, maka keberadaan forum warga sebagai media penghubung ke KI menjadi sangat urgen.

           

            Memanfaatkan Momentum

            Kelahiran UU KIP, jelas merupakan salah satu momentum untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang transparan, partisipatif dan akuntabel. Sebuah tata pemerintahan yang diidamkan banyak orang karena akan memperlakukan warga tanpa diskriminasi ketika menikmati pelayanan publik karena adanya jaminan akses ke informasi publik. Juga karena good governance menjamin hak-hak warga untuk terlibat mulai dari tingkat perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi atas berbagai kebijakan publik yang berhubungan dengan nasib warga. Dan terakhir, tentu saja, karena good governance bisa mengukur sejauh kepentingan warga efektif mempengaruhi para pengambil kebijakan publik.

            Momentum memang sudah hadir di tengah-tengah warga. Sekarang tinggal bagaimana warga merawat dan menumbuhkembangkannya agar terbangun rumah kaca – rumah kaca kekuasaan pelayanan publik.

** Tulisan ini dimuat di harian Analisa, 10 September 2008

Proklamasi Sofyan Tan Dari Tanah Rencong

Sebuah Proklamasi dikumandangkan dari Tanah Rencong, persisnya dari Desa Ujong  Patihah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya, pada 14 Agustus 2008 lalu. Tentu saja bukan proklamasi kemerdekaan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tapi sebuah proklamasi untuk menyambut kehadiran sebuah monumen peradaban, yang diharapkan akan membawa kemaslahatan untuk rakyat.

            Monumen peradaban itu berdiri kokoh di atas tanah seluas 4,7 hektar, yang terdiri atas bangunan Unit Gawat Darutat (UGD), Gedung Poliklinik, Gedung Pelayanan Medis (Rawat Inap), Gedung Penunjang Medis dan Non Medis, Asrama untuk tenaga medis, serta sarana pengolahan dan pembuangan limbah. RSU Nagan Raya, demikianlah monumen peradaban itu lahir dan hadir ke tengah-tengah masyarakat untuk melakukan tugas pengabdiannya. Ibarat Proklamasi 17 Agustus 1945 yang dikumandangkan Soekarno – Hatta sebagai jembatan emas menuju masyarakat merdeka yang adil dan makmur  serta sejahtera, “proklamasi” kelahiran RSU Nagan Raya juga ditujukan untuk menyehatkan masyarakat Aceh, agar merdeka dari belenggu ketertindasan ekonomi.

            Salah seorang penggagas sekaligus orang yang terlibat banyak dalam “memproklamasikan” RSU Nagan Raya adalah Sofyan Tan, Ketua Yayasan Ekosistem Lestari (YEL). Ia juga dikenal sebagai penggagas sekaligus pendiri sekolah pembauran Sultan Iskandar Muda, yang telah banyak memberi kontribusi dalam mengikis sekat-sekat psikologis yang muncul diantara siswa-siswina yang berbeda-beda suku dan budayanya.

            Sofyan Tan sendiri ketika memberikan sambutan, mengibaratkan RSU Nagan Raya seperti “bayi yang tampan, gemuk dan tidak menderita busung lapar”. Perumpaan tersebut memang cocok merepresentasikan bangunan fisik serta berbagai peralatan medis yang tersedia. Menurut Direktur RSUD Nagan Raya, Dr. H. Zafril Luthfy, R.A, M.Kes., saat ini sudah ada 3 orang dokter spesialis, 10 tenaga dokter umum, 1 orang dokter gigi, serta 287 tenaga kesehatan. Pelayanan penunjang medis yang tersedia adalah: pelayanan UGD, ICU, 3 kamar operasi, pelayanan Anestesi, Pusat pelayanan steril instrumen (CCSD), Instalasi dapur/gizi, instalasi farmasi/apotik, laboratorium, fisioterapi dan radiologi. Sedangkan fasiltas non medis antara lain: 5 unit mobil ambulans, instalasi listrik, limbah, telkom, laundry, perbengkelan dan kamar mayat.

            Sudah tentu RSU Nagan Raya berdiri bukan semata karena Sofyan Tan, tapi juga karena kerjasama yang solid antara Ornop YEL yang dipimpinnya, Caritas International, BRR, Pan Eco dan Pemkab Nagan Raya. Termasuk beberapa individu yang peduli dengan perbaikan nasib rakyat Aceh seperti anggota DPD M Adnan MS. Pembangunan RSU Nagan Raya itu sendiri menghabiskan biaya tidak kurang US $ 5 juta. Ke depan, seluruh pemangku kepentingan tengah merencanakan pengembangan pendidikan untuk meningkatkan kapasitas SDM yang mengelola rumah sakit tersebut. Sebuah agenda lain yang memang harus segera disongsong.

           

            Dari Sekolah Pembauran Sampai UKM

            Pertanyaannya, kenapa Sofyan Tan rela menghabiskan pikiran, dan tenaganya untuk berkiprah di Aceh?

            Figur Sofyan Tan sebagai tokoh muda yang energik, gandrung terhadap persatuan dan kesatuan, serta memiliki jiwa kepedulian sosial di kalangan masyarakat marjinal, adalah jawaban sementara yang bisa diajukan. Publik di Sumatera Utara, mungkin juga sebagian di wilayah tanah air, mengenalnya sebagai tokoh muda yang aktif mendorong suksesnya pembauran lewat pendidikan. Sejak Agustus 1987, ia menggarap “proyek pendidikan pembauran” dengan bermodalkan semangat idealisme! Proyek idealis itu bernaung dalam Yayasan Perguruan Perguruan  Sultan Iskandar Muda (YP SIM). Berawal dari bangunan setengah bata – setengah kayu yang berjumlah 11 lokal di sebuah lokasi di pinggiran kota Medan, kini setelah 21 tahun, YP SIM telah memiliki puluhan lokal yang teruintegrasi pada  bangunan berlantai empat! 

            Dengan jumlah siswa sebanyak 1.600 orang dengan 100 tenaga pengajar, baik lulusun S1 maupun S2, YP SIM menyelenggarakan pendidikan mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/SMK). Sekolah tersebut juga telah berhasil mengodopsi 1.499 anak asuh yang berasal dari keluarga tidak mampu. Sebagian dari mereka telah bekerja di sejumlah perusahaan di Kota Medan, khususnya perusahaan yang dimiiliki orangtua asuh mereka. Sebagian ada yang kembali ke YP SIM dengan mengabdi menjadi guru, wakil kepala sekolah, bahkan ada yang menjadi kepala sekolah.

            Namun ibarat bola salju yang menggelinding melintasi berbagai wilayah, walau secara statistik sekolah SIM baru meluluskan 1.499 anak asuh, namun nilai-nilai tentang pentingnya hidup dalam kebersamaan yang telah mereka terima selama mengikuti pendidikan di SIM, diyakini juga telah beranak-pinak disemai oleh para anak asuh tersebut ke anak-anak lain di sekitar lingkungan pergaulan, dan kerja mereka. Termasuk oleh sekitar 10.000 alumni Perguruan SIM sejak didirikan hingga kini.

 Tahun 1994, sewaktu B.J. Habibie menjabat sebagai Menristek RI, dan mengadakan kunjungan ke sekolah SIM, Habibie mengatakan tertarik dengan model program anak asuh yang dikelola sekolah SIM. Beliau juga kemudian memiliki sebanyak 25 anak asuh. Tidak berselang lama setelah kunjungan tersebut, pemerintah kemudian menelurkan kebijakan GN OTA (Gerakan Nasional Orang Tua Asuh). Sedikit banyak, kebijakan GN OTA tidak terlepas dari kunjungan B.J. Habibie ke sekolah SIM.

Model pendidikan pembauran yang dilakukan SIM, dan baru-baru ini telah dipresentasikan di Selandia Baru dalam sebuah simposium yang diberi nama “High Level Symphosium”. Peserta simposium merekomendasi agar model pendidikan yang dilakukan Sekolah Sultan Iskandar Muda bisa dijadikan model PBB untuk menghapuskan berbagai bias antara masyarakat Eropa dengan Kaum Muslim, dan sebaliknya.

                       

            UKM Sebagai Katup Pengaman Sosial

Namun gagasan-gagasan segar Sofyan Tan tak berhenti pada pendidikan pembauran saja. Tahun 1998, ia mulai melirik ke sektor UKM. Ia melihat ada banyak diskriminasi yang dialami pelaku UKM. Padahal menurutnya, kebanyakan pelaku UKM hidup, eksis dan mandiri dalam menjalankan usahanya tanpa keterlibatan pemerintah. Kalaupun ada keterlibatan pemerintah, maka tingkat keterlibatannya sangat kecil sekali.

Tentang perlakuan diskriminasi yang dialami pelaku UKM, ia mengibaratkan sebagai “ayam yang hendak bertelur, tetapi bulunya setiap kali dicabuti satu per satu”. Itu artinya, setiap pelaku UKM hendak berkembang, muncul berbagai kebijakan yang memberatkan pelaku UKM. Baginya, jika proses tersebut dibiarkan tanpa ada “perlawan”, maka “ayam” tersebut lama kelamaan tak bisa bertelur karena stress. Suatu saat bahkan bisa mati!

Ia mengidentifikasi ada beberapa kebijakan pemerintah yang dapat dikategorikan seperti orang yang tengah “mencabuti bulu ayam”.

Pertama, masalah ketenangan dan keamanan berusaha. Dalam pandangannya, bagaimana bisnis UKM bisa berjalan lancar kalau masih banyak pungutan dan retribusi, baik yang resmi maupun tidak resmi. Kedua, ada juga soal proses perijinan usaha yang berbelit-belit dan kurang transparan. Selama ini pelaku UKM jika hendak mengurus ijin usaha kerap tidak mengetahui besaran biaya yang harus dibayar, jenis-jenis ijinnya, dan dalam waktu berapa hari perijinan itu selesai. Ketiga, Sofyan Tan juga mengkritik masalah infrastruktur, sepertinya banyaknya jalan rusak, listrik yang sering mati, yang semuanya itu sangat fital bagi pelaku UKM di pedesaan.

Keempat, masalah akses informasi. Ia menyebut para pembeli dari luar negeri yang datang ke Indonesia dan ingin membeli produk Indonesia lebih suka datang ke Deperindag. Sementara departemen ini tidak pernah melakukan sosialisasi pada UKM mengenai kebutuhan yang diperlukan pihak luar negeri. Yang dilakukan Deperindag, biasanya, pembeli dari luar negeri itu dipertemukan dengan pengusaha-pengusaha besar. Akhirnya pengusaha besarlah yang mendapat keuntungan.

Keadaan tersebut, membuatnya tergerak mengadvokasi pelaku UKM. Maka selama periode 1998 – 2004, Sofyan Tan aktif berkecimpung sebagai Ketua Forda UKM dan Fornas UKM. Ia aktif mengorganisir pelaku UKM untuk berorganisasi lewat wadah Forda UKM. Ada sebanyak 84 Forda UKM yang berhasil dibangun sampai akhir masa jabatannya.  

Namun sebagai pelaku usaha yang konsen dengan soal pembauran, Sofyan Tan juga menjadikan aktivitas advokasi di sektor UKM sebagai media pembauran. Ia memfasilitasi pertemuan-pertemuan antara pengusaha Tionghoa dengan non Tionghoa. Tujuannya untuk saling berbagi pengetahuan dan kiat mengelola bisnis, sekaligus memfasilitasi kemitraan dengan pelaku usaha kecil dan menengah. Sejumlah pengusaha Tionghoa bahkan akhirnya yang terlibat dalam kepengurusan Forum UKM. Bersama-sama dengan pengusaha UKM yang non Tionghoa, mereka aktif memperjuangkan Forum UKM untuk kemajuan usaha mereka. Keterlibatan sejumlah pengusaha Tionghoa dalam Forum UKM, diharapkan dapat mengikis pandangan negatif bahwa pengusaha Tionghoa hanya mementingkan kelompok mereka saja.

 

Hikmah Tsunami di Aceh dan Nias

Pada 26 Desember 2004, dan Maret 2005, gempa bumi yang disusul gelombang tsunami, meluluhlantakkan sebagian wilayah Aceh dan Nias. Korban jiwa berjatuhan, termasuk harta benda. Banyak warga Aceh dan Nias yang selamat mengalami cacat fisik. Bersama sejumlah aktivis kemanusiaan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, Sofyan Tan aktif melakukan upaya untuk meringkan penderitaan korban yang selamat. Berbagai bantuan dari dalam negeri dan luar negeri, berhasill didatangkan dan didistribusikan ke korban.

Namun tak berhenti pada upaya penyantunan terhadap korban semata, lewat YEL Sofyan Tan mengembangkan kredit mikro kepada korban. Korban di sini adalah warga yang mengalami cacat kaki sampai harus diamputasi karena bencana gempa dan tsunami. Mereka berjumlah 41 orang, tersebar di Aceh dan Nias. Ke 40 korban ini telah memperoleh bantuan kaki palsu.

Bagi kalangan penyandang cacat fisik, menjalani kembali kehidupan mereka secara normal seperti sebelum mereka cacat, bukanlah proses yang mudah. Ada banyak kendala psikologis yang dihadapi. Misalnya rasa kurang percaya diri, atau malu berinteraksi dengan tetangga. Walau secara fisik, dengan memakai kaki palsu, mereka terlihat seperti manusia normal, namun perasaan berbeda dengan manusia lainnya, kerap menghantui mereka. Curahan hati seperti itulah yang mendorong Sofyan Tan engintroduksi program kredit mikro bagi para penyandang cacat. Menurutnya, rasa percaya diri mereka dapat ditumbuhkan kembali jika mereka dapat memberi makna dalam lingkungan sosial mereka. Soalnya, bekerja adalah fitrah bagi manusia.

Dengan diberi modal kredit mikro sebesar Rp5 juta tanpa bunga, mereka merintis usaha kecil dengan beragam usulan sesuai potensi dan kemampuan yang dimiliki. Usaha yang dikelola sangat beragam, mulai dari mendirikan kios bensin eceran, berdagang emping melinjo, kios pangkas, panglong kayu sampai usaha tambal ban.

 

Pengembangan Hutan Rawa Berbasis Peningkatan Ekonomi

Strategi lain yang tengah dirintis adalah mengembangkan ekoturisme di hutan-hutan rawa yang banyak terdapat di Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya (Abdya). Dalam pandangan Sofyan Tan, hutan rawa memiliki banyak kegunaan untuk lingkungan. Misalnya untuk menghalangi proses intrusi air laut ke daratan, menahan gelombang tsunami, dan sebagai tempat berkembang biak berbagai biota laut yang bisa memberikan manfaat ekonomi bagi warga.

Namun menurutnya, di Aceh sekarang ini muncul kecenderungan untuk mengkonversi hutan-hutan rawa menjadi perkebunan kelapa sawit. Upaya menggenjot pembangunan dengan menambah areal perkebunan sawit lewat konversi hutan rawa, tidak saja akan menimbulkan bencana lingkungan, tapi juga kurang dirasakan manfaatnya bagi warga yang tinggal di sekitar hutan rawa. Biasanya mereka hanya akan dijadikan buruh kebun, bukan pelaku usaha kebun.

 

RSU Nagan Raya

Namun kiprah dan kepedulian Sofyan Tan lewat YEL, tak melulu berurusan dengan pelestarian lingkungan alam. Sebagai orang yang memiliki latar belakang pendidikan kedokteran, ia paham bahwa kelestarian lingkungan, juga tidak terpisahkan dari “kelestarian ekonomi” masyarakat. Dan kesehatan ekonomi rakyat berkorelasi dengan tingkat kesehatan. Tanpa tubuh yang sehat, orang tak bisa bekerja dengan maksimal. Karena itu sejak awal 2005 ia mulai menggagas untuk membangun sebuah fasilitas kesehatan yang dapat diakses oleh masyarakat secara luas.

Sofyan Tan tidak salah. Barangkali memori publik juga masih segar. Pada pertengahan tahun 2006, masyarakat Aceh dikejutkan oleh berita tentang “terungkapnya” sebanyak 115.000 balita di Aceh yang terkena diare (Serambi Indonesia, 8/5/06). Belum reda rasa kaget tersebut, media kembali memberitakan tentang instruksi Wakil Kepala Dinas NAD kepada seluruh petugas kesehatan untuk melakukan “sweeping” terhadap anak-anak Aceh yang terindikasi gizi buruk (Serambi Indonesia, 11/5/06). Secara eksplisit, dr H Anjar Asmara Berita, Wakil Kepala Dinas Kesehatan NAD, memang mengakui  tentang kasus gizi buruk di wilayahnya, walau jumlahnya tidak sebanyak seperti di wilayah lain.

Wabah diare dan kasus gizi buruk (malagizi), telah menyentak beragam kalangan. Sejumlah pihak menyatakan keprihatinan mereka. Sementara pejabat pemerintah, mulai dari wakil presiden, menteri, bupati sampai jajaran di bawahnya, segera mengambil langkah-langkah penanganan medis karena terus-menerus dikritik.

Pada titik inilah, proklamasi pentingnya memberi akses kesehatan ke masyarakat di Aceh yang dilakukan Sofyan Tan dan pihak-pihak lain yang diajak bekerjasama, menjadi sangat signifikan. Kalaupun Nagan Raya dipilih sebagai wilayah pertama, menurut Sofyan Tan karena sebagai wilayah hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat, kabupaten tersebut belum memiliki fasilitas kesehatan yang memadai. Tahun 2005 ketika melakukan aktivitas kemanusiaan di Aceh Barat, fasilitas kesehatan yang ada masih berupa puskesmas.

Dalam perspektif HAM, khususnya HAM Ekososbud, kesehatan masyarakat memang dipandang sebagai aspek yang sangat penting untuk keberlangsungan kehidupan manusia. Kesehatan menjadi prasyarat untuk hidup, dan mencapai hidup yang berkualitas. Dengan kesehatan yang baik, seseorang lebih dimungkinkan untuk meraih kehidupan ekonomi yang lebih baik.  Karena itu, dalam HAM Ekososbud, dijelaskan bahwa negara wajib untuk menjamin hak bagi semuanya atas standar kesehatan fisik dan mental yang memadai.

Jadi, dirgahayu kesehatan untuk masyarakat di Tanah Rencong!

*** Tulisan ini dimuat di harian Medan Bisnis, edisi 25 dan 26 Agustus 2008