“Mereka ikut Menegakkan NKRI”

Wawancara J Anto dengan Didi Kwartanada:

DIDI Kwartanada adalah alumnus Jurusan Sejarah UGM (angkatan 1986) yangMenekuni sejarah etnis Tionghoa di Indonesia, khususnya Jawa. Ia menempuhPendidikan sejarah di UGM dan National University of Singapore (NUS), juga sempat menjadi asisten peneliti di Waseda Institute of Asia Pacific Studies (WIAPS), Tokyo. Karya-karyanya, baik yang bersifat akademis– artikel jurnal, bab dalam buku serta pengantar buku, maupun yang populer – telah terbit dalam bahasa Inggris, Jerman,Jepang, Mandarin, Belanda, dan Indonesia. Didi Kwartanada juga duduk dalam kepengurusan pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) 2016-2021. Berikut wawancara denganDirektur Yayasan NationBuilding (NABIL) di Jakarta itu.

Pandangan umum masyarakat beranggapan bahwa saat revolusi fisik masyarakat Tionghoa memihak Belanda, menurut Anda benarkah seperti itu fakta sejarahnya?
Tentu pandangan itu sangat generalis, menyederhanakan masalah dan tidak betul. Kalau dibilang “memihak Belanda”, toh juga tidak 100% bumiputra Indonesia “memihak Republik Indonesia”. Misalnya tentara KNIL yang hendak menjajah kembali RI yang baru saja lahir itu mayoritas anggotanya justru bukan Belanda. Kembali ke soal etnis Tionghoa dan revolusi Indonesia, sikap mereka pada saat itu merupakan hasil produk kebijakan-kebijakan kolonial Belanda dan militerisme Jepang ditambah “swa-segregasi” di bidang politik yang terjadi di masa pergerakan nasional, yang dilakukan oleh kelompokBumiputra maupun Tionghoa sendiri.Seperti kita ketahui, kolonial BelandaSeperti kita ketahui, kolonial Belanda membagi masyarakat Hindia Belanda ke dalam tiga golongan hukum: (1) Eropa, (2) Timur Asing dan yang paling bawah (3) Inlander (Bumiputra). Tionghoa sebagai golongan “middlemen” (perantara) masuk di ranah Timur Asing. Konsekuensinya, secara hukum mereka di atas bumiputra, maka hanya sebagian kecil Tionghoa yang mau jadi “pelompat pagar” di masa pergerakan untuk menyamakan dirinya dengan Bumiputra. Di pihak lain, harap diingat, pada masa pergerakan nasional, wacana nasionalisme yang dianut kebanyakan organisasi politik masih berupa “etno nasionalisme”, tidak semua partai politik menerima non-bumiputra sebagai anggota penuh. Hanya Indische Partij (1913), PKI (1920) dan Gerindo (1937) saja! Ini mesti diingat!
Bahkan Partai Nasional Indonesia (1927)-nya Sukarno cs, hanya menerima Tionghoa sebagai anggota luarbiasa, alias tidak diterima sepenuhnya. Di pihak lain, orang Tionghoa pun juga punya organisasi politiknya sendiri, seperti Chung Hua Hui (CHH) yang pro Belanda, maupun kelompok Sin Po yang condong ke Tiongkok. Ada Partai Tionghoa Indonesia (1932) pimpinan Liem Koen Hian yang gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, bahkan mengilhami etnis Arab untuk ikut mengikuti jejak mereka, dengan berdirinya Persatuan Arab Indonesia (1934). Liem ini sudah “berdarah-darah” memihak Indonesia, namun dalam kenyataannya, dia banyak mengalami penolakan dari pihak Bumiputra, sehingga dengan penuh kekecewaan dia melepaskan kewargenagaraan Indonesia yang diperjuangkannya, dan akhirnya wafat di Medan (1952) sebagai WNA .

Segregasi zaman Belanda ini kemudian diperkuat oleh kebijakan Jepang yang juga memisah-misahkan kelompok etnis demi mengekalkan kekuasaannya. Bahkan kata Sjahrir dalam tulisannya “Perdjoeangan Kita”, Jepang mengajarkan kepada bumiputra, bahwa semua etnis mesti dibenci kecuali Bumiputra dan Jepang itu sendiri. Dengan latar belakang itulah, maka sikap etnis Tionghoa terpecah menjadi tiga di masa revolusi: (1) bersikap netral (ini bukan masalah kami, ini masalah RI vs Belanda) bisa dibilang, inilah sikap mayoritas etnis Tionghoa; (2) mengharapkan pulihnya “zaman normal”. Ini adalah cerminan sikap “middlemen” yang bisnisnya tergantung pada kamtibmas; dan (3) memihak perjuangan RI, menariknya, sikap ini bukan hanya diambil oleh kaum peranakan, tapi cukup banyak juga dari kalangan Tionghoa totok, termasuk kaum perempuannya. Tiga pilihan sikap tadi barangkali juga muncul di berbagai kelompok masyarakat lainnya, bukan hanya Tionghoa.

Harap diingat, saat ini satu-satunya pahlawan nasional dari etnis Tionghoa adalah Laksamana Muda TNI AL (Purn.) John Lie (nama lengkapnya Lie Tjeng Tjoan, asal Manado). Beliau diangkat sebagai pahlawan nasional oleh Presiden SBY pada 2009, atas jasanya sebagai kapten kapal TNI AL di masa revolusi fisik, sekaligus salah satu tokoh pembangun TNI AL. Bahkan sebagai tanda hormat, TNI AL menabalkan namanya sebagai KRI John Lie 358. Jadi intinya, sejarah tidak bisa digeneralisasikan, dan tuduhan di atas tadi tidak betul,

Apakah narasi buku teks sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah sudah cukup memadai memberi ruang terhadap peran terhadap orang Tionghoa yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan?
Setahu saya belum ya. Tapi sudah lama saya tidak mengecek buku pelajaran sekolah. Saya penasaran, apakah John Lie selaku pahlawan nasional RI, perjuangannya sudah masuk. Tapi saya ingat, kira-kira sepuluh tahun silam, saya pernah menemukan tokoh-tokoh Tionghoa dalam dunia sastra, seperti Kwee Tek Hoay, sudah masuk dalam buku teks sejarah SMA. Itu sudah satu kemajuan besar, menurut saya. Namun akan lebih lengkap lagi, jika sumbangsih etnis Tionghoa dalam perjuangan di masa revolusi fisik juga disinggung dalam buku teks sejarah di sekolah. Paling tidak, peran John Lie bisa ditampilkan.

Dari pembacaan Anda, apakah sebelum revolusi fisik, sudah adakah keterlibatan orang Tionghoa dalam perjuangan membela penguasa-penguasa lokal melawan kolonial Belanda? Misalnya di Jawa atau Aceh?
Kalau di Aceh saya kurang tahu. Tapi di Jawa, khususnya di masa 170-1743 orang-orang Tionghoa di bawah pimpinan Kapitan Sepanjang (Souw Pan Jiang) dan Tan Sin Ko (alias Singseh) bersekutu dengan laskar kerajaaan Mataram pimpinan Mas Garendi dan Mas Said untuk bersama-sama angkat senjata melawan VOC (Kumpeni). Dari buku karya Daradjadi berjudul “Geger Pacinan” terungkap bahwa medan perang yang mereka kobarkan itu lebih luas daripada Perang Jawa-nya Diponegoro (1825-1830). Perang yang dimulai di daerah Gandaria di pinggiran Batavia kemudian membakar hampir seluruh wilayah pantai utara dan pedalaman Jawa, hingga ke Pasuruan di ujung timur Jawa. Laskar gabungan ini mampu merebut istana Kartasura, sehingga Sultan Pakubuwono II yang memihak Belanda terpaksa lari minta perlindungan VOC. Sayang sekali, waktu itu para penguasa lokal masih bisa dipecah-belah Belanda. Akhirnya VOC dengan dukungan Sultan Pakubuwono II, laskar Madura dan Bugis, mampu mengalahkan laskar gabungan Jawa-Tionghoa tersebut. Untuk mengabadikannya, kini di TMII dibuatkan monumen untuk mengenang perjuangan laskar Jawa dan Tionghoa tersebut.

Pada umumnya peran orang Tionghoa saat menjadi tentara pejuang membantu suplai logistik tentara atau laskar, benarkah?
Memang secara umum bantuan orang Tionghoa di masa revolusi nampak di bidang logistik, mulai dari penyediaan suplai senjata, amunisi, obat-obatan hingga dapur umum. Dalam bidang ini peran orang-orang Tionghoa totok (khususnya dari luar Jawa) cukup menonjol. Misalnya almarhum Tani (Tan Tiong Siok) asal Medan yang baru saja wafat kemarin. Hebatnya, pak Tani itu mendapatkan Bintang Gerilya, bintang tertinggi dari masa revolusi kemerdekaan. Harap diingat, tidak sembarang orang memiliki penghargaan ini, sehingga beliau berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Di Jawa pun cukup banyak orang Totok, khususnya dari kelompok dialek Hokchia, yang mendukung suplai logistik, seperti yang sudah diteliti oleh sejarawan Singapura, Twang Peck-yang, dalam bukunya “Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950”. Taipan Liem Sioe Liong (alm.) adalah salah satu contoh yang paling terkenal. Namun dari penelurusan yang saya lakukan, ada beberapa orang Tionghoa yang tewas di tembak Belanda saat mereka bergabung dengan laskar bersenjata RI. Contoh pertama adalah “Sing” atau “A Sing” seorang anggota laskar rakyat di Palembang yang tewas terkena peluru Belanda saat Pertempuran Lima Hari di sana. Kisahnya diceritakan oleh Makmun Morod, komandannya Sing, yang kemudian menjadi salah satu tokoh terkemuka TNI AD. Di Taman Makam Pahlawan (TMP) Jurug Surakarta, ada makam Sie King Lien (Ferry), pemuda anak orang kaya yang bergabung dengan Tentara Pelajar Surakarta. Ferry tewas ditembak Belanda saat menempel poster anti Belanda. Tidak hanya lelaki saja yang berani mengambil risiko. Perempuan Tionghoa pun tidak ketinggalan ikut menempuh bahaya, seperti saudari-saudari bumiputranya. Ho Wan Moy (Tika Nurwati), seorang anggota LVRI, dikenang sahabat-sahabatnya sebagai “seorang Srikandi”, seorang mata-mata pemberani bagi Republik. Jadi darah Tionghoa pun ikut membasahi bumi pertiwi ini. Mereka pun ikut menegakkan NKRI dengan darah, keringat dan airmata!

Dimuat Analisa Minggu 24 September 2017 http://harian.analisadaily.com/assets/e-paper/2017-09-24/files/mobile/6.jpg

Meretas Historiografi Tionghoa Veteran di Sumut

Oleh: J Anto

Perjuangan mendirikan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melibatkan seluruh komponen masyarakat, tak terkecuali warga Tionghoa. Masalahnya, keterlibatan warga Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan sekian lama seolah absen dalam narasi sejarah kita. Perlu usaha serius untuk menggali dan menuliskan narasi sejarah mereka.

Tidak lama setelah agresi militer Belanda kedua usai, dan Belanda takluk serta mengakui kedaulatan RI tahun 1949, Kolonel Bejo, Komandan Laskar Napindo pada pertempuran Medan Area 1942 dan Komandan Batalyon III Andalas Utara dan Brigade B Komandemen Sumatera, menghadap Bung Karno di Istana Negara Jakarta. Kolonel Bejo tak sendirian, ia bersama Tani, rekan seperjuangan dan orang kepercayaannya. Di tengah obrolan, kepada Tani, waktu itu Bung Karno bertanya:

“Saudara Tani, pangkat kamu mau dinaikkan apa?”
“Saya tak mau pangkat Jang Mulia Presiden, cukup sersan saja seperti yang ada. Selesai agresi, saya tidak akan berkarir di militer, saya mau meneruskan usaha dagang saya…”

Begitulah kurang lebih penggalan dialog yang terjadi saat Kolonel Bejo dan Tani berjumpa dengan Presiden Soekarno. Kisah itu dituturkan Supandi Tjuanta (61), salah seorang keponakan Tani.

Lain waktu, saat kesehatan Tani mulai memburuk dan penglihatan matanya sudah kabur total, datang menjenguk Mayjen Tri Tamtomo, Pangdam I/BB 2004 – 2008. Kepada Tani, Tri Tamtomo menyarankan jika kelak Tani meninggal lebih dulu, beliau harus mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Medan sesuai jasa yang diberikan kepada negara.

Namun Tani menolak usulan tersebut. Kehormatan seperti itu katanya tak perlu dilakukan untuknya. Ia justru merasa prihatin karena banyak pejuang lain yang mati tanpa kubur yang jelas. Tani mengaku bersyukur bisa selamat dari revolusi.

“Memang itu tak perlu bagi Pak Tani, tapi bagi anak cucu bapak perlu, juga agar masyarakat tahu bahwa ada juga orang Tionghoa yang berjuang untuk kemerdekaan RI.”ujar Tri Tamtomo, teman satu SMA Supandi Tjuanta.
“Untuk anak cucu saya juga tak perlu. Mereka harus mengandalkan perbuatan baik mereka sendiri, tidak boleh andalkan nama besar orangtua. Kalau saat hidup mereka nggak sanggup berbuat baik, ya tanggung sendiri.”

Supandi Tjuanta yang mendengar jawaban pamannya, mengaku sempat merinding saat itu. Siapa sebenarnya Tani alias Tan Tiong Siok ini?

Bintang Gerilya Pejuang

Tiga piagam penghargaan yang diberikan negara bisa menjelaskan kiprahnya dalam perjuangan kemerdekaan RI. Pertama adalah Piagam tahun 1958 yang ditandatangani Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI tanggal 3 Oktober 1958. Disitu, Tan Tiong Siok yang berpangkat Sersan Veteran NPV 25602/G pada Kesatuan Legiun Veteran Indonesia diberi penghargaan Bintang Gerilya.

Kedua, Surat Penghargaan Satyalencana Aksi Militer Kedua yang ditandatangani Menteri Pertahanan RI Djuanda tanggal 5 Oktober 1958 dan ketiga Surat Keputusan Menteri Pertahanan Kemanan/Panglima ABRI Jenderal Poniman tanggal 25 Oktober 1983 tentang Pengakuan, Pengsesahan dan Penganugerahan Gelar Kehormatan Veteran Pejuang Kemerdekaan RI No. Skep/573/M/X/1983. Dari tiga piagam itu, tak salah lagi bahwa Tan Tiong Siok memang seorang veteran pejuang kemerdekaan.

Pada 14 September lalu, dalam usia ke 96 tahun, ia lahir 14 Januari 1921, veteran pejuang yang dikenal sebagai figur yang ramah, bersih, lembut dalam bertutur sapa dan kerap berperan membantu menyelesaikan konflik diantara warga Tionghoa, menghembuskan nafas terakhirnya di RS Herna Medan. Pria asal Hokkien ini meninggalkan empat orang anak dan tujuh orang cucu.

Upacara militer yang dipimpin Inspektur Upacara Danramil 05 Medan Baru, Kapten Inf Mustaqim menjadi bentuk penghormatan terakhir terhadapnya. Ratusan warga dari kalangan militer, sipil, veteran dan berbagai organisasi soial hadir dan memberikan penghormatan.

Kepercayaan Kolonel Bejo

Keterlibatan Tani dalam revolusi fisik menurut Johannes Yamin (61), menantunya, bermula saat Kolonel Bejo mengajak Tani untuk membantu Laskar Napindo yang dipimpin Bejo. Saat itu Laskar Napindo, juga laskar-laskar lain, terlibat erang dengan pasukan Belanda yang membonceng pasukan Sekutu setelah Jepang takluk dari Sekutu.

“Pak Tani banyak memberikan bantuan logistik seperti senjata, makanan dan pakaian yang dibeli dari Singapura dan Penang dan diselundupkan lewat selat Malaka melalui alur sungai di Aceh Tamiang,”ujar Johannes Yamin. Para laskar yang mengalami luka-luka juga dibawa dengan kapal keci ke Penang untuk mendapat pengobatan. Maklum, rumah sakit di Medan saat itu dikuasai Belanda. Keterlibatan Tani dalam membantu logistik berlanjut saat Kolonel Bejo diangkat menjadi Komandan Batalyon III Andalas Utara dan Brigade B Komandemen Sumatera.

Namun menurut Supandi Tjuanta, jasa Tan Tiong Siok tak terbatas sebaga pemasok logistik perang atau kebutuhan lain pejuang. Tan Tiong Siok juga sering berperan sebagai juru damai saat muncul perselisihan diantara para pejuang.

Saat terjadi pemberontakkan Kolonel M. Simbolon tahun 1957, pamannya, menurut Supandi Tjuanta, adalah salah seorang yang pernah bertemu Kolonel M Simbolon dan memberi saran agar Simbolon berdamai dengan menghadap ke Presiden Soekarno. Perlawanan secara militer hanya akan membuat susah rakyat.

Saat Belanda mengaku kedaulatan RI, Tan Tiong Siok juga berupaya mengkonsolodir eks pejuang dari berbagai aliran. Usahanya merangkul semua pihak, yakni eks anggota KNIL, maupun eks antek- antek pasukan Jepang, semata agar terhindar pertumpahan darah antar sesama anak bangsa.

Tan Tiong Siok juga kembali aktif berbisnis di bidang pangan dan transportasi laut. Ketokohannya di tengah warga Tionghoa Medan diakui banyak pihak. Ia menjalankan peran bak seorang “kapiten”: mendamaikan berbagai konflik dari orang yang disebut-sebut “hitam” atau “putih.” Konflik yang diselesaikan beragam, mulai dari perceraian sampai konflik bisnis.

Tan Tiong Siok juga sosok seorang dermawan. Ia tak segan mengulurkan tangan membantu pembangunan Rumah Sakit Korps Brigade Mobil Resimen V Sumatera/Aceh yang terletak di Jln. KH Wahid Hasyim Medan. Ia juga membangunwisma jompo di Belawan dan ikut menginisiasi pendirian Rumah Sosial Persemayaman Angsapura.
Sekalipun menyandang bintang gerilya, diakui ketokohannya oleh warga Tionghoa dan aktif dalam kegiatan sosial, namun Tan Tiong Siok memilih sunyi dari publikasi. Ia figur yang tak mau menonjolkan diri.

Meski begitu, Bung Taniegitu ia akrab disapa para veteran, namanya terdengar sampai ke sumatera Selatan. Saat upacara pemakamannya, wakil dari Legiun Veteran Sumut, menyebut nama Bung Tani pernah disebut-sebut oleh para veteran Sub Komando Sumatera Bagian Selatan (SUBKOSS) yang mencakup wilayah Lampung, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan dan Bangka Belitung.

Almarhum Prof. Dr. Amran Halim ahli bahasa yang pernah jadi Rektor Universitas Sriwijaya Palembang, saat masih jadi Tentera Pelajar mengaku pernah mendengar nama Bung Tani disebut-sebut pejuang seperti Mayor R. M. Ryacudu sebagai Pimpinan BPKR Sumbagsel Kotabumi (Lampung), Mayor Dani Effendi (Perlengkapan/Persenjataan Badan Penjaga Keamanan Rakyat), maupun Kapten Noerdin Panji.

Seorang Mata-mata Napindo

Selain Tan Tiong Siok, veteran Tionghoa lain yang mendapat pemakamannya dilakukan lewat upacara militer dan dimakamkan di TMP Medan. adalah Lie Yak Heng atau Henry Wijaya. A Heng, begitu ia dipanggil, juga penerima bintang gerilya dari Presiden Soekarno. A Heng juga veteran Pejuang Kemerdekaan RI. Ia meninggal tahun 2007.

Bapak 9 anak ini lahir di Kisaran 20 Oktober 1930. Ia anak ketiga dari 4 bersaudara. Dua kakaknya adalah Lie Sae Ceng, Lie Yen Ge, dan adiknya Lie Yak Seng. Saat berusia 11 tahun, ayahnya yang bekerja sebagai asisten kandil atau mandor kebon, meninggal. Sejak itu, ekonomi keluarga pun goncang. Untuk membantu hidup keluarga, A Heng yang oleh ibunya disebut anak “bandel”, berjualan tebu, jagung dan ubi rebus di Stasiun Kereta Api Kisaran.

“Karena ayah sejak kecil sering berjualan di stasiun kereta api, ia jadi figur yang pluralis,”ujar Julijamnasi, salah satu putra A Heng. Hidup di masa kolonialisme dan peperangan hanya memberi kesempatan kebanyakan rakyat untuk bertahan hidup. A Heng, juga kebanyakan anak seusianya, tak kenal bangku sekolah. Ia belajar menulis dan memba

ca dari anak pemilik pabrik gilingan. Sambil belajar ia ikut bantu angkat-angkat beras.
Lalu berbekal kemampuan baca tulis seadanya, A Heng memberanikan diri bekerja di Rumah Sakit Catharina (sekarang RS Kartini). Rumah sakit milik perusahaan perkebunan Belanda-Amerika. Pengelolanya seorang dokter Belanda yang sering mengobati warga miskin secara gratis. Dari dokter Belanda itu, A Heng banyakmendapatkan pengetahuan pengobatan.

Namun beban hidup makin berat saat Belanda kalah perang dari Jepang. Sikap rezim fazis Jepang terkenal kejam. Jepang juga membatasi pemilkan beras. Bagi rakyat biasa seperti keluarganya, makan nasi jadi sebuah kemewahan saat itu.

Sikap tentara Jepang yang kejam juga kerap menyulut pertempuran dari para laskar rakyat. Banyak tentara Jepang terluka, semntara tenaga medis tidak banyak. A Heng yang punya pengetahuan pengobatan lalu dipaksa menjadi tenaga medis membantu tentara Jepang. Jika menolak, ibunya diancam akan dibunuh. Ia juga diberi tugas tambahan, mengurus kebutuhan dapur tentara Jepang.

Dalam situasi penuh ketidakpastian, tahun 1944, ibu kakak dan adiknya pindah ke Tebingtinggi. Namun A Heng tetap tinggal di Kisaran. Tak lama setelah Jepang kalah perang dari Sekutu dan kemerdekaan RI diproklamirkan, lahir laskar-laskar rakyat maupun kelompok-kelompok pemuda yang diorganisir partai politik, diantara ada Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), Pesindo, Laskar Hizbullah, dan Barisan Harimau Liar dan laskar rakyat lain. Mereka mempesiapkan diri melawan tentara Belanda, NICA, yang ingin menjajah Indonesia lagi.

Suatu hari, saat tengah di Stasiun Kereta Api Kisaran, A Heng ditawari untuk jadi asnggota Laskar Napindo. A Heng tak bertepuk sebelah tangan. Saat itu ia berumur 15 tahun. Di Laskar Napindo ia ditugaskan di bagian kesehatan. Itu memang keahlian yang dimiliki. Namun ia juga ditugasi sebagai telik sandi atau mata-mata.

“Mungkin karena ayah Tionghoa. Belanda waktu itu beranggapan orang Tionghoa tak mungkin memihak RI,”ujar Julijamnasi, spesialis Radiation Oncologist yang berpraktek di RS Murni Teguh, Medan.

Tanggal 19 Desember 1948, saat Belanda melancarkan Agresi Militer kedua, A Heng terlibat dalam pengeboman jembatan Sungai Ular. Pemboman dilakukan untuk memutus akses pasukan Belanda masuk ke Tebing Tinggi. Selama periode 1946-1948, A Heng juga bertugas sebagai penghubung antara pasukan TKR-TRI dan TNI Batalyon III Brigade XII di Pulau Raja. Ia juga ditugaskan sebagai anggota penghubung TNI Batalyon II Sektor I Sub-teritorial VII di Labuhan Batu dari tahun 1948-1949.

Dituduh Anggota Baperki

Tak lama setelah Belanda mengakui kedaulatan RI pada Desember 1949, A Heng keluarganya ke Tebingtinggi. Perang telah usai. Saatnya menata kembali kehidupanya yang berantakkan akibat peperangan. Ia lalu belajar di sekolah perawat di RS Rambutan, sekarang disebut RS Sri Pamela. Tahun 1957 setelah selesai ia lalu membuka klinik pengobatan di Bedagai. Namun ia tetap tinggal di Tebingtinggi. Sejak itu kehidupan ekonomi mulai membaik.
Namun tahun 1968 sebuah cobaan datang. Sebagai dampak dari peristiwa G 30 S/1965,

suatu hari A Heng ditahan tentara. Ia dituduh sebagai anggota Baperki, underbouw PKI.
“Tentu saja ayah kecewa dengan tuduhan itu, ia kan seorang pejuang kemerdekaan,” tutur Julijamnasi yang selama wawancara didampingi adiknya Edy Saputra. Tak terima tuduhan tersebut, keluarganya lalu menghubungi teman-teman seperjuangan di Kisaran. Bersama tentara yang menahannya mereka lalu pergi ke Kisaran. Di sana ia bertemu bekas laskar Napindo yang bisa memberi kesaksian bagi A Heng. Persoalan pun selesai.

Bahkan tentara yang menahan lalu minta maaf. Peristiwa itu ibarat blessing in disguise. A Heng terdorong untuk mengurus statusnya sebagai veteran pejuang. Tahun 1968, ia dan keluarganya lalu pindah ke Medan. Selain untuk mempermudah pengurusan berkas-berkasnya sebagai anggota veteran, juga sekaligus untuk meningkatkan ekonomi keluarga.

Saat mengurus berkas-berkas administrasi itulah, hati A Heng trenyuh melihat nasib para veteran. Kesejahteraan mereka terkesan kurang diperhatikan negara. Tergerak melihat keadaan itu, A Heng lalu berinisiatif untuk membuka klinik pengobatan gratis bagi para veteran.

Poliklinik Kebaktian Veteran

Idenya disambut baik oleh Pimpinan Legiun Veteran Sumatera Utara. Lalu tahun 1970 berdirilah Poliklinik Kebaktian Veteran RI pertama di Belawan. Poliklinik itu bernaung di bawah Yayasan Poliklinik Legiun Veteran RI Sumut dan hanya ada di Propinsi Sumatera Utara, jumlahnya sudah 4 buah. A Heng menjadi ketua Yayasan Poliklinik sejak 1977 sampai hayat menjemputnya. Inilah hasil “perjuangan” laindari A Heng untuk sesama veteran.

Di mata Julijamnasi dan Edy Saputra, ayah mereka adalah tipe seorang pekerja keras, disiplin dan mandiri disamping seorang pluralis sejati. Mereka semisal sengaja disekolahkan di sekolah yang mayoritas siswanya merupakan pelajar dari etnis Batak.
“Ayah tak ingin anaknya hanya bergaul dengan sesama sukunya saja, tapi juga berbaur dengan suku lain,”tambah Julijamnasi. Tak heran saat upacara pemakaman, pelayat berdatangan dari ragam latar belakang profesi dan agama. Mereka juga ikut mendoakan A Heng sesuai agama yang dianut.

Jangan sampai Kita Berdosa

Tentu saja veteran perang Tionghoa di Sumut tak hanya Tan Siong Siok dan Lie Yak Heng saja. Dalam catatan Kabag veteran Kesejahteraan Anggota Legiun Veteran RI (LVRI) Kota Medan Sauridas (75), tercatat ada puluhan veteran Tionghoa lain. Sayang data yang dimiliki Sauridas, kurang diperbarui. Banyak alamat yang tak lagi akurat saat diteliti.

Sementara dalam catatan wartawan senior Medan, Muhammad TWH, yang juga veteran pejuang, terungkap veteran Tionghoa lengkap dengan nomor kartu veterannya. Mereka yakni: Tjio Ki alias Wen Hong. Lie Pek Liong, Oei Ho Soei, Wong kim Seng alias Umar, Lie Pek Liong alias Jiman, Liem Sui Kang, Kim Sui alias Kamsial, A Heng alias Henry Wijaya, Tan A Tjay alias Tjakrakusuma, Tjong Po Loek, S. Wijaya, Tok Akim alias Abdul Hakim, Gonyo Peng alias Samin, Anik Uni Amoy (perempuan Kowaveri), G Tjun alias Hasan Guna, Kho Ceng San alias Ismail, Go Tjong Tjin, Go Gweek Tjun alias Gono, Tjoa O Tjong alias Bahrum , Chai Choa Hun dan Muhamad Nurdin Acai.

Keberadaan para veteran Tionghoa ini belum banyak diketahui. Brilian Moktar, anggota DPRD Sumut setuju elan perjuangan mereka perlu ditulis agar narasi sejarah perjuangan kemerdekaan RI makin diperkaya dengan kisah-kisah pelaku perjuangan yang multi etnis itu. Tapi disi lain, ia juga mengaku prihatin dengan nasib veteran. Saat menghadiri acara pemakaman Tan Siong Siok di Balai sosial Angsapura (18/.9), Brilian tak biasa menyembunyikan kegalauan hatinya.

“Baju veteran dan perlengkapan yang mereka kenakan sudah lusuh dan kusam,” ujarnya prihatin. Ia percaya, kondisi itu juga mewakili kehidupan mereka yang juga “kusam”.
“Sangat berdosa kita yang telah merdeka 72 tahun, jika membiarkan nasib bekas pejuang merana seperti itu,” tambahnya.

Tulisan ini dimuat di rubrik cakrawala Analisa Minggu, 24 September 2017, http://harian.analisadaily.com/assets/e-paper/2017-09-24/files/mobile/6.jpg

Memecah Kebisuan Lewat Teater

Oleh: J Anto

Mereka perempuan. Mereka juga buruh kebon, korban perdagangan manusia, nelayan marginal, petani gurem dan korban kekerasan dalam rumah tangga. Diskriminasi dan kekerasan, atas nama gender, baik di ranah privat maupun publik, akut dialami. Tapi mereka diam, menyimpan semua derita dalam sunyi. Teater lalu jadi media mereka untuk bersuara, memecah kebisuan.

_MG_0147

Pementasan tahun 2009 di Medan dalam kegiatan Gebyara sosialisasi Pilpres 2009 (Foto Edward)

Dua kali kejadian lucu, sekaligus menegangkan, terjadi saat Teater Suara dan Suara membawakan lakon “Suara-suara” di Teater Utan Kayu (TUK) Jakarta. Kejadiannya sudah berlalu 15 tahun lampau, namun masih segar menghuni ingatan Riani. Suasana ruang pentas TUK saat itu (2002) masih temaram.

Lampu sorot pentas belum dihidupkan. Suasana panggung dan ruang duduk penonton terlihat remang-remang. Seperti pentas teater atau seni pertunjukkan lain di TUK, lampu sorot panggung baru menyala saat pertunjukkan dimulai.
Para pemain telah bersiap-siap.

Mereka adalah perempuan buruh kebon, mantan TKW, nelayan, petani dan korban KDRT. Mereka berhimpun sebagai anggota Teater Suara dan Suara sejak 1999. Begitu lampu sorot menyala, suasana sontak sosok tubuh pemain terlihat jelas.

Suliyati, salah seorang pemain, mestinya melakukan monolog begitu lampu menyorot ke arahnya. Namun yang terjadi, saat itu mulut buruh kebon itu seolah terkunci rapat. Riani, sutradara sekaligus pemain pendukung yang duduk di barisan belakang sempat dag dig dug menyaksikan kejadian itu.
Namun hanya sekian detik, dialog langsung mengalir saat pemain lain mengumpan dialog “menyelamatkan” situasi.

“Kenapa kamu, kok diam saja?”tanyanya.
“Iya, aku gugup kena sorotan lampu. Waktu main di desa, mana pernah awak pakai lampu sorot. ”

Tawa penonton pecah mendengar jawaban “polos” Suliyati. Dialog ini sejatinya tak ada dalam sekanario saat mereka berlatih. Kisah lucu serupa terjadi pada pemain lain, namanya Sutarmi. Sutarmi juga jadi grogi karena sorot lampu.Sama sepwrti Suliyati, ia jadi lupa dengan isi undang-undang perburuhan.

“Kenapa diam?”
“Aku masih mabuk laut, karena ke kita ke sini kan naik kapal laut,” ujar Sutarmi.

Penonton kembali tertawa.

IMG_0764

Pementasa dalam rangka mengadvokasi perempuan korban kekerasan (dok Teater Suara dan Suara)

Pada pertunjukkan lain dan di tempat berbeda, Jumsiah, ibu rumah tangga korban KDRT, memerankan sebagai seorang ibu yang anaknya mengalami kekerasan. Saat adegan pertemuan dengan anaknya, Jumsiah tiba-tiba menangis melihat keadaanbanaknya. Tak ada kata-kata yang terlontar dari Jumsiah. Ini juga di luar skenario. Namun penonton terkesima menyaksikan “akting” Jumsiah. Mereka bertepuk tangan.

Usai pementasan, Riani dan Sri Rahyu, langsung memberi selamat kepada Jumsiah, memuji aktingnya yang hidup. Tapi apa jawaban Jumsiah?
“Aku tadi nangis karena lupa dialognya, aku grogi, berkeringat dingin, aķhirnya hanya bisa nangis.”

Rabu (13/9) sore, di Pendopo Kantor HAPSARI, Jalan Thamrin, Lubuk Pakam, Deli Serdang, gelak tawa berkali pecah saat Riani (48), Koordinator Teater Suara dan Suara, mengisahkan sepenggal pengalaman para perempuan desa berteater.
Riani tak sendirian, ia ditemani pengurus beberapa perempuan lain yang pernah aktif bermain di Teater Suara dan Suara. Mereka Farida A Lubis (57), Sri Rahayu (31), Sawini (43) dan Sumirah (47), Suindrawati (35), Siti Khadijah (39) dan Zulfah Melati Ardilah (26).

“Sejak awal kami sepakat bahwa teater itu jadi media bagi perempuan desa untuk bersuara,” ujar Riani, Koordinator Teater Suara dan Suara Deli Serdang. Teater ini dinisiasi oleh Lely Zailani, pendiri HAPSARI, sebuah organisasi non pemerintah berbentuk perhimpunan.

Anggota HAPSARI adalah serikat perempuan, jumlahnya saat ini 10 serikat yang tersebar di Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Tengah. Anggota serikat adalah kaum perempuan pedesaan seperti buruh kebon, korban perdagangan manusia, korban KDRT, petani, dan nelayan.
HAPSARI mengemban mandat menjadi wadah perjuangan gerakan perempuan untuk mewujudkan perubahan kehidupan yang lebih berkeadilan dan meninggikan derajat kemanusiaan perempuan.

Berawal dari Role Play
Perempuan desa umumnya menghadapi diskriminasi dan kekerasan akibat kuatnya pengaruh budaya patriarki. Di ranah privat mereka sering menjadi korban kekerasan (KDRT). Di ranah publik mereka kerap mendapat kekerasan dalam bentuk diskriminasi pengupahan dan pelecehan (seksual).

“Mandor kebon misalnya kerap mencolek pantat buruh perempuan karena status mereka sebagai buruh harian lepas yang sangat tergantung mandor kebon,” ujar Sri Rahayu. Farida A Lubis, perempuan yang pernah jadi mandor di sebuah usaha perkebunan di Serdang Bedagai mengamini cerita Sri Rahayu.
Namun berbagai kasus kekerasan dan diskriminasi yang mereka alami, mereka kunci rapat-rapat. Tak ada keberanian untuk bersuara, apalagi berjuang melawan penindasan yang mereka alami. Sekalipun pelaku kekerasan adalah orang terdekat. Sekian lama perempuan desa diam dalam kebisuan.

Masalahnya bagaimana cara memecahkan kebisuan itu?

“Saat mereka ditanya kenapa mau mengikuti pelatihan yang diadakan HAPSARI, tak ada satu pun yang berani ngomong. Semuanya diam,” tutur Riani yang juga Ketua Pelaksana HAPSARI. Bicara tak berani, mengungkapkan kisah penindasan atau pendapat secara tertulis apalagi. Selain tak akrab dengan budaya tulisan, tak jarang juga masih dijumpai peserta yang buta huruf.

Namun situasi berubah saat sesi role play atau bermain peran. Pada sesi itu, peserta disuruh melakukan reka ulang adegan yangvterjadi di rumah saat minta izin dari suami untuk mengikuti pelatihan. Mereka juga disuruh reka ulang kata-kata yang mereka ucapkan kepada suami dan jawaban suami.
Ternyata hampir semua peserta mampu melakukan reka ulang adegan. Termasuk dialog yang terjadi dengan suami.

“Itu karena mereka ingat apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka katakan,” ujar Riani. Sejak itu muncul kesadaran untuk menggunakan teater sebagai media untuk menumbuhkan keberanian perempuan untuk bicara dan mengungkapkan masalah-masalah yang mereka hadapi di depan umum.

Semua bisa jadi Pemain Teater
HAPSARI punya kredo, setiap perempuan desa bisa bermain teater karena sejatinya setiap hari mereka telah berteater dengan masalah sehari-hari dalam kehidupan rumah tangga mereka. Juga dalam kehidupan publik sebagai buruh kebon, nelayan atau petani.

Dari kiri atas (searah jarum jam) Melati, Siti Kathijah, Farida Lubis, Sri Ayu dan Riani, Koordinator Teater Suara dan Suarapage

Dari kiri atas (searah jarum jam) Melati, Siti Kathijah, Farida Lubis, Sri Ayu dan Riani, Koordinator Teater Suara dan Suarapage

Gagasan menjadikani teater sebagai media memperkuat kaum perempuan semakin diteguhkan saat tahun 2000, HAPSARI mengadakan Lokakarya “Teater Sebagai Media Pendidikan.” Narasumber yang adalah Lena Simanjuntak, Lely Zailani dan Sudarno.

Dari lokakarya itu Riani mengaku banyak mendapat pembelajaran. Ia misalnya jadi tahu bahwa saat di ruang pertunjukkan, posisi pemain tak boleh membelakangi penonton. Olah vokal penting, terutama jika pentas dilakukan di ruang terbuka dan pemain tidak menggunakan alat pengeras suara. Properti pentas juga penting untuk mendukung agar cerita lebih mudah dipahami penonton.

Skenario juga diajarkan, namun menurut Riani ia tak terlalu dimengerti.
“Konsep berteater kami, selama ini skenario disusun bersama pemain, pemain karena itu sekaligus juga penulis naskah dan sutradara, saya sendiri hanya memberi arahan garis besar dialog, dan akting pemain pads tiap adegan,”tutur Riani. Mengingat lakon yang dipentaskan adalah cerita sehari-hari yang dialami pemain, maka akting dan dialog pemain tidak terlalu susah. Senario biasanya tersusun, walau lisan, setelah pemain melakukan latihan pertama kali.

“Dari latihan itu saya lalu membuat garis besar cerita dan membagi per adegan,” ujar ibu dari 2 anak yang pernah jadi buruh kebon sawit itu.
Pernah, seorang seniman kondang diundang memberi latihan. Naskah cerita disusun tertulis. Pemain disuruh memegang naskah sembari melakukan gerakan-gerakan teatrikal yang tak mereka temukan dalam cerita keseharian mereka.

“Naskah dialog memasukkan kalimat-kalimat versi si seniman, gerakan bisa diingat, namun dialog banyak yang lupa karena menggunakan bahasa yang tak biasa dipraktekkan pemain sehari-hari?” tutur Sri Rahayu. Akhirnya skenario tertulis diabaikan.

Sudah puluhan kali Teater Suara dan Suara melakukan pentas di berbagai kota. Mereka misalnya pernah tampil di TUK Jakarta, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Jaringan Kerja Budaya (JKB). Di JKB mereka pentas di Sanggar pematung Dolorasa Sinaga.

Lakon cerita umumnya berkisah tentang ketidakadilan yang dialami buruh perempuan di perkebunan. Soal diskriminasi dalam pengupahan, fasilitas kesehatan yang minim dan pelecehan seksual yang kerap dialami. Juga kasus perdagangan perempuan, perkosaan terhadap anak, kekerasan yang dialami perempuan dalam rumah tangga, nasib nelayan yang terjerat tengkulak dan masalah lain yang terus menimpa kaum perempuan di pedesaan.

Akan Terus Berteater
“Kami akan terus berteater sepanjang belum terjadi kesetaraan relasi antara kauum perempuan dan laki-laki,”ujar Riani. Bagi Riani teater bukan hanya wadah untuk perempuan belajar bicara, tapi juga belajar mengekspresikan perjuangan mereka meretas kesetaraan. Dan sekalipun waktu terus berlalu, perempuan korban kekerasan juga tak surut jumlahnya. Termasuk masalah yang dihadapi. Itu sebabnya, kebutuhan untuk berteater sebagai media penguatan korban juga akan senantiasa aktual.

“Berteater itu cara memerdekakan diri bagi perempuan korban kekerasan,” tambah Ayu.
Mengakhiri perbincangan jelang malam, Riani, Ayu, Farida, Melati dan Sawini lalu menyenandungkan sebuah lagu “Suara-Suara” karya Lely Zailani. Sebuah lagu yang selalu menjadi pembuka pada setiap pementasan:
Di sini kami bicara/di sini kami bersuara/di sini bukalah mata/di sini buka telinga/suara yang dulu bisu/tak ingin dibungkam lagi/segala jeritan luka/sekarang terungkap sudah/semua bersandiwara/di segala pentas cerita/semua jadi aktornya/kamilah yang menontonnya/kamilah yang jadi korbannya/kami yang bayar janjinya/di sini kami bicara/di sini kami bersuara/di sini bukalah mata/di sini bukalah hati

 

*Tulisan ini dimuat di harian analisa edisi Minggu,  17 September 2017 http://harian.analisadaily.com/cakrawala/news/memecah-kebisuan-lewat-teater/416574/2017/09/17