Peran Pers Dalam Merawat Pluralisme


Realitas pluralitas suku, budaya, agama dan kepercayaan, merupakan salah satu modal sosial yang menjadikan warga hidup dalam kebersamaan. Pluralitas memang bukan untuk dikutuk, apalagi dijadikan sumber untuk meniadakan mereka yang dianggap “berbeda”. Salah satu wilayah geograifs yang kerap dijadikan contoh untuk menampilkan wajah Indonesia yang pluralis adalah kota Medan, Sumatera Utara. Kota ini dihuni tidak kurang dari puluhan suku atau sub etnis seperti Batak Toba, Simalungun, Karo, Mandailing, Melayu, Cina, Jawa, Sunda, Madura, Nias, Tamil dsb. Medan bahkan kerap dijadikan barometer kondusifitas politik nasional. Kondusifitas politik tersebut minimal tergambar dari soliditas sosial yang terbangun diantara warga yang berbeda tanpa adanya letupan-letupan sosial yang berarti.

Masih lekat dalam ingatan warga Medan ketika pada penghujung tahun 2000,  sejumlah bom meledak di beberapa gereja dan melukai puluhan umat yang tengah melakukan ibadah. Banyak pihak menilai aksi pengeboman tersebut merupakan upaya provokasi yang dilakukan untuk memecah soliditas keberagaman yang ada. Saat itu beberapa kota di tanah air memang tengah diguncang “teror bom” yang mengoyak kohesi sosial yang telah lama terbangun. Teror bom juga muncul di Ambon, Poso, Kupang, Kalimantan dan Nganjuk (Jawa Timur). Jika di Ambon dan Poso teror bom mampu mengoyak konflik lanjutan di tingkat masyarakat, di Medan hal tersebut tidak membuat umat yang berbeda agama dan keyakinan tersebut terpancing untuk mengobarkan konflik horizontal.

Namun harus juga diakui bahwa potensi konflik yang bersumber dari realitas pluralitas di Medan, juga di kota-kota lain yang memiliki keberagaman suku dan agama, bukanlah sebuah ilusi. Realitas pluralitas suku, agama dan kepercayaan, merupakan potensi konflik yang bersifat laten, yang suatu saat bisa menjelma  menjadi konflik terbuka. Khususnya jika ada pihak yang sengaja memantik dan memanfaatkan konteks sosial-politik yang mendukung bagi dikobarkannya konflik tersebut.

Dan salah satu pihak yang bisa memantik konflik adalah pers.

 

Komodifikasi Informasi dan Perspektif Jurnalis

Bagi pers, konflik memang memiliki nilai berita tinggi. Tak heran jika ada adagium, ‘semakin berdarah-darah, atau semakin banyak korban yang jatuh, maka semakin tinggi nilai beritanya’. Bad news is good news, begitu ungkapan yang sering terdengar di kalangan pers. Kecenderungan pemberitaan yang mengedepankan unsur konflik, berkelindan dengan keberadaan pers sebagai institusi bisnis. Tak heran jika fakta media kini lebih diperlakukan layaknya barang konsumsi. Institusi media akhirnya berlomba menyajikan berita dengan bungkus yang “keras”, “kontroversial”, “sensasional”, “bombabtis” dan “unik”, semata untuk mengejar kepentingan pasar.

Logika modal akhirnya dominan mempengaruhi politik pemberitaan pers. Walau pers sebenarnya juga diharapkan dapat menerjemahkan fungsi sosialnya: mengasah akal sehat masyarakat dengan memberi informasi yang kritis (right to know) sebagai bahan untuk menyampaikan pendapat (right to expression) khalayak. 

Di sisi lain, jurnalis juga bukan subyek yang bebas nilai. Jurnalis menganut nilai-nilai tertentu yang mempengaruhi strateginya dalam merepresentasikan fakta yang dikonstruksinya. Nilai itu bisa berasal dari ikatan primordialisme karena basis  kesukuan maupun agama. Dengan perspektifnya, jurnalis menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana dari fakta-fakta tersebut yang akan ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana isi berita tersebut.

Persoalannya, apakah paradigma bad news is good news cukup memadai digunakan jurnalis dalam meliput konflik-konflik politik yang diberi nuansa SARA oleh elit yang bertikai? Perspektif apa yang sebenarnya layak dikembangkan oleh pers ketika meliput konflik politik bernuansa SARA tersebut?

 

Politik Pencitraan

Dalam fenomena politik mutakhir, menurut Deddy N Hidayat, pers telah menjelma menjadi media driven politics. Dalam arti, setiap momentum politik mustahil menafikan kehadiran pers. Terpilihnya SBY-Kalla sebagai pasangan Presiden/Wakil Presiden dalam Pemilu 2004, diyakini tidak terlepas dari politik pencitraan pers, khususnya media elektronik televisi. Pers waktu itu mencitrakan SBY-Kalla sebagai tokoh yang pro perubahan, sementara lawan politik utama mereka, Megawati – Hasyim Musyadi dicitrakan sebagai pasangan yang anti perubahan..

Dalam fungsinya sebagai media driven politics, pers menjalankan fungsi penghubung antara elit politik dengan warga. Sebuah fungsi yang dulunya dominan dilakukan oleh partai atau pun kelompok-kelompok politik tertentu. Dalam banyak hal, fungsi  penghubung tersebut semakin banyak yang diambilalih pers. Proses memproduksi dan mereproduksi berbagai sumber daya politik, seperti menghimpun dan mempertahankan dukungan masyarakat dalam pemilu, memobilisasi dukungan publik terhadap suatu kebijakan, merekayasa citra kinerja sang kandidat, dan sebagainya, banyak dijembatani, atau bahkan dikemudikan oleh kepentingan dan kaidah-kaidah yang berlaku di pasar industri media (Deddy N Hidayat: 2004).

Upaya elit politik membangun posisitioning lewat pers memang sah-sah saja dilakukan. Pertama karena fenomena massa mengambang belum sepenuhnya diselesaikan oleh elit politik. Akibatnya banyak elit politik yang berpaling ke media, karena media bisa “mendekatkan” mereka, sekaligus membangun citra tertentu seperti yang diinginkan ke tengah masyarakat.  Kedua, dalam memperebutkan sumber daya politik, pers juga “dipakai”, dalam arti dijadikan saluran kepentingan untuk memobilisasi opini.   

Pertanyaannya, politik pencitraan seperti apa yang digunakan elit politik dalam memperebutkan sumberdaya politik lewat media massa, dana bagaimana media harus bersikap dalam hal ini?

 

Hiperrealitas Media

Di Medan, Sumatera Utara, konflik politik antara sejumlah anggota dewan dengan pucuk pimpinan eksekutif Sumatera Utara, telah menjadi bahan pemberitaan yang cukup hangat. Belum lama berselang, seorang seorang anggota dewan secara konfrontatif mengajak massa partainya untuk melakukan “perang terbuka” terhadap pucuk pimpinan eksekutif tersebut. Alasannya pucuk pimpinan eksekutif di Sumut telah melakukan politik diskriminasi berdasarkan “koncoisme” kesukuan dan kesamaan agama dalam mengangkat sejumlah pejabat eselon II dan III. Akibatnya pejabat yang tidak seagama dan sesuku dengan pucuk pimpinan eksekutif, jarang mendapatkan promosi. Dengan menggunakan sentimen agama, anggota dewan tersebut bahkan mengerahkan massanya untuk berdemonstrasi ke kantor eksekutif. Sebuah surat kabar Medan, secara mencolok memasang foto demonstran yang tengah mengusung poster bertuliskan: “Jangan Pancing Amarah Kami!”

Kasus lain adalah pemberitaan paket bantuan peralatan sekolah dimana di dalamnya terselip gambar penyaliban Yesus. Diberitakan di koran tersebut, puluhan eleman masyarakat Islam dan sejumlah elit politik marah dan menuduh ada upaya kristenisasi dan pemurtadan dari keluarga si pucuk pimpinan eksekutif. Ketika Asrama Haji Medan diijinkan untuk penginapan sebagian peserta Pesparawi, sejumlah elit politik menggalang  protes dan menuduh pihak eksekutif telah telah melakukan kolaborasi dan konspirasi dengan Kepala Dinas Depagsu melecehkan umat Islam!

Kontestasi politik untuk memperebutkan sumber daya politik akhirnya digeser kepada konflik bernuansa SARA. Dan pers tampaknya “ikut menari” dalam tarian pencitraan sejumlah elit politik yang mengkonstruksi seolah telah terjadi konflik antara umat Islam dan Kristen di Sumatera Utara. Simak misalnya diksi yang diloloskan pers seperti “pemurtadan berkedok bantuan sosial”, atau “tindakan Yahudi dan kristenisasi”, yang membangun kesan di mata khalayak seolah-olah memang telah terjadi upaya sistematis dan sengaja untuk mengubah keyakinan agama para siswa yang menerima bantuan peralatan sekolah. Sudah tentu fakta sebenarnya, upaya kristenisasi atau pun islamisasi, ataupun budhanisasi, atau pun hindunisasi, tidaklah cukup dengan tindakan memberikan selebaran yang berisi gambar tertentu, atau memberikan paket buku dan alat tulis sekolah.

Pers dalam hal ini telah melebih-lebihkan realitas atau membuat distorsi fakta (hiperrealitas) dalam arti bias. Menurut Amir Yasraf Pilling, kekerasan simbolik menemukan tempatnya yang paling dominan di dalam media, sebab media memungkinkan terjadinya berbagai bentuk kekerasan tak tampak (seperti distorsi, pelencengan, pemalsuan, plesetan). Media massa dianggap tidak menyajikan gambaran realitas yang sebenarnya, melainkan “realitas semu”. Hal ini tidak terpisah dari praktek jurnalisme omongan yang mendominasi pemberitaan yang ada.

Untuk mendekati fakta yang dikonstruksinya, dengan maksud agar wacana fakta media semakin mendekati fakta sosiologis, pers lebih baik menulis bahwa dalam pemberian paket bantuan, didapati ada selebaran bergambar berisi kisah penyaliban Yesus. Apakah gambar tersebut diniatkan untuk misi mengganti agama seseorang, pers bisa menanyakan langsung kepada pihak yang memberikan bantuan. Pers juga dapat mencari komentar narasumber lain yang bisa lebih bersikap objektif dalam memberikan penilaian. Sekaligus menggali pendapat-pendapat yang mendorong ke arah resolusi konflik.

Pers juga menggunakan istilah “konspirasi” dan “kolaborasi” ketika memberitakan penggunaan Asrama Haji Medan untuk penginapan peserta Pesparawi. Dalam KUBI konspirasi disamakan artinya dengan komplotan, yang berarti persekutuan yang bermaksud melakukan tindak kejahatan.. Sedangkan kolaborasi adalah perbuatan kerjasama dengan musuh. Apakah penggunaan Asrama Haji untuk peserta Pesparawi merupakan bentuk persengkongkolan jahat para pejabat? Pers seharusnya mendalami lebih lanjut masalah tersebut, dan membuat tali-temali antara fakta yang satu dengan fakta yang lain sehingga berita yang muncul tidak kehilangan konteks.

Kecenderungan pers untuk memilih diksi yang berupaya untuk melebih-lebihkan realitas, dapat ditemukan dari penggunaan kata  seperti “penyusupan ke sekolah Islam”, “menyakiti umat Islam” , “memojokkan Islam”, “menghina Islam”, “menodai umat Islam”. Walau diksi tersebut sebagian berasal atau diucapkan narasumber, namun pers, sesuai dengan kodratnya, seharusnya bersikap kritis terhadap setiap ucapan narasumber. Sikap kritis ditunjukan dengan melakukan verifikasi fakta, apakah memang ada fakta “penyusupan”, “pemurtadan”, “penghinaan”, “pelecehan” dan “pemurtadan umat Islam?”

Hasan Alawi, yang pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia, mengatakan bahasa komunikasi yang dipraktekkan para elit politik dewasa ini merupakan bentuk vulgarisasi bahasa Indonesia. Menurut Hasan Alawi kecenderungan tersebut merupakan perubahan yang ekstrem dari kramanisasi bahasa Indonesia karena adanya hegemoni semantik yang terjadi selama masa Orde Baru. 

Sementara A. Muis, pakar komunikasi dari komunikasi dari Universitas Hasanudin, memaknai penggunaan bahasa kekerasan itu dengan istilah anarki kata-kata atau anarki simbol-simbol yang dilakukan para elit politik baik dalam komunikasi sosial maupun komunikasi di media massa. Menurut A. Muis, anarki kata-kata merupakan penerjemahan dari model komunikasi politik jarum suntik (hypodermic needle model) yang dilakukan para elit politik kepada masyarakat “awam”. Tujuannya, agar opini publik cepat berubah sesuai dengan maksud para elit politik itu.

 

Fungsi sebagai “Alat Penyaring”

Pers harus menyadari tentang dampak yang mungkin ditimbulkan dari berita yang diproduksi. Apalagi jika bahan baku berita tersebut berasal dari informasi yang dibalut dengan membangkit-bangkitkan simbol agama dan kesukuan yang berpotensi menyuntik sentimen massa. Pers harus mampu menseleksi mana fakta yang layak untuk diungkap, dan mana yang tidak karena sejumlah pertimbangan etis. Seleksi fakta dilakukan untuk menyortir pernyataan-pernyataan yang berpotensi mengganggu kohesi sosial yang sudah terbangun.

Ibarat talang yang mencurahkan air dengan deras, pers harus mampu membuat alat penyaring agar “kotoran-kotoran yang ada” mampu disaring. Pers juga harus menyadari bahwa kebebasan pers selalu mengandung dua dimensi, yaitu bebas dari, dan bebas untuk. Persoalannya setelah pers bebas dari berbagai retriksi, seperti peraturan SIUPP dan sensor, apakah kebebasan tidak sebaiknya digunakan untuk memproduksi informasi yang berguna untuk membangun kohesi sosial?  

Jika pers tidak melakukan fungsi penyaringan, maka seperti diingatkan oleh Parni Hadi, pers hanya dijadikan tempat untuk menampung kepentingan para pihak yang tengah mengagendakan suatu kepentingan. Dengan bahasa lain, pers tengah dijadikan agenda setting oleh pihak lain.

 

Cover Both Sides Saja Tidak Cukup

Dari pemberitaan yang teramati, pers juga cenderung hanya memberikan ruang terhadap narasumber yang terlibat dalam konflik. Kalaupun ada narasumber lain, yang ditampilkan ada narasumber yang memiliki jejaring kepentingan sama. Akibatnya ruang pemberitaan pers seolah mengalami segegrasi antara kubu yang mendukung dan yang tidak mendukung elit politik yang berseteru. Politik pemberitaan seperti ini memang khas dianut oleh pers yang mempraktekkan paradigma jurnalisme perang. Pers seolah melihat hanya ada dua pihak yang bertikai. Akibatnya terjadi penyederhanaan terhadap pihak-pihak yang terlibat konflik, yang berujungnya pada penyederhanaan masalah konflik. Seolah peserteruan politik anatara pucuk pimpinan eksekutif di Sumut dengan lawan-lawan politiknya, adalah konflik antara kepentingan umat Kristen melawan kepentingan umat Islam.

Menghindari penyederhanaan seperti itu, diharapkan pers mampu mencari narasumber alternatif. Sebaiknya narasumber tersebut adalah mereka yang tidak terlibat konflik secara langsung. Dengan menghadirkan narasumber yang lebih independen, diharapkan pemberitaan pers hadir dengan perspektif yang lebih arif dalam menilai konflik tersebut. Wacana fakta media juga bisa menjadi lebih beragam, tidak hitam putih atau terbelah antara ketersinggungan umat Islam versus penumpukan kepentingan umat Kristen atau suku tertentu. Salah satu perspektif pemberitaan yang perlu dikembangkan pers adalah perspektif pluralisme, yang menjamin tidak adanya pemaksaan kebenaran oleh satu kelompok terhadap kelompok lain.

Dengan mengembangkan perspektif pluralisme fakta media justru dapat membantu menghapus adanya kesalahpahaman dalam beragam bentuknya (miskonsepsi, stigma, purbasangka, stereotyping, dan sebagainya), yang pada gilirannya dapat memberikan pencerahan bagi khalayak.

Pers memang tidak dituntut sebagai juru damai, namun lewat posisinya yang strategis dalam menjembatani komunikasi para pihak yang  bertikai, pers dapat berperan seperti obor yang mampu memberikan penerangan dan pencerahan para pihak yang berkonflik, termasuk khalayak pers sendiri. Dengan kata lain, fakta media yang disuguhkan pers diharapkan dapat berperan untuk menjaga dan merawat pluralisme di Sumatera Utara.

1 thoughts on “Peran Pers Dalam Merawat Pluralisme

  1. nice blog & articles…
    bisa menjadi referensi bagi para insan pers untuk lebih cermat memberitakan ttg konflik. jangan sampai media massa yg seharusnya meredakan konflik justru menjadi pemicu konflik yg berkepanjangan.

    Suka

Tinggalkan komentar