Saatnya Menyiasati “Sihir Televisi”


Oleh: J. Anto
Direktur Eksekutif KIPPAS
(Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera)

Si “kotak ajaib” (televisi), kini lebih pantas dijuluki sebagai “kotak sihir”. Ibarat Pipiot, nenek penyihir dalam sinetron Cerita Dari Negeri Dongeng yang mampu mengubah segala sesuatu dalam hitungan menit, acara-acara TV kini juga mampu “menyihir” benak pemirsa. Tak peduli pemirsa dewasa, remaja, orangtua ataupun anak-anak. Seorang ibu mengeluh karena anaknya yang berusia 3,5 tahun belakangan berkata cedal dan tergagap-gagap. Rupanya si anak, demikian penuturan sang ibu dalam suratnya yang dimuat sebuah harian Jakarta, suka menonton sinetron Si Yoyo. Nah, di sinetron yang dikhusukan untuk orang dewasa tersebut memang menampilkan seorang tokoh pemuda lugu, dan terkesan nyaris bego, yang gaya bicaranya serba cadel dan tergagap-gagap.

Beberapa waktu silam, pemirsa juga dikejutkan dengan berita seorang anak yang masuk ke lemari es! Si anak rupanya “tersihir” dengan iklan permen Frozt, yang memvisualkan seorang gadis muda yang masuk ke lemari es karena merasa panas. Baru setelah menelan permen Frozt, si gadis merasa lega! Eh, bukannya membeli permen Frozt, si anak malah “tersihir” masuk ke lemari es!

Masih banyak data tentang dampak program televisi yang mempengaruhi, sebagian ahli komunikasi mengatakan memperkuat, perilaku masyarakat. Berikut beberapa dampak sihir televisi yang muncul di AS.

Ketika film The Three Stooges menjadi populer di televisi, seorang guru Taman Kanak-Kanak memberitahu Benjamin Spock, seorang peneliti di bidang pediatrik, bahwa secara tiba-tiba anak-anak mulai saling pukul kepala tanpa peringatan. Ketika sang guru memberitahu bahwa seorang anak yang baru saja memukul anak lainnya bahwa memukul itu tidak baik, anak itu tidak memperlihatkan tanda-tanda menyesal, malah berkata, “Itulah yang dilakukan oleh the Three Stooges”.

Pada 1984, setelah Farrah Fawcett bermain dalam The Burning Bed, sebuah drama televisi yang bercerita tentang kisah nyata mengenai seorang istri yang sering dipukul, yang mengakhiri siksaan perkawinan selama tigabelas tahun itu dengan menaruh api di atas tempat tidur yang sudah disiram bensin ketika suaminya sedang tertidur, maka sejumlah hal serupa terjadi di negara itu. Di Milwaukee, Joseph Brandt (39 tahun) menonton pertunjukan televisi itu dan tidak lama sesudah itu menyiram bensin ke atas istrinya dan membakarnya. Di Quincy, Massachusetts, seorang suami menjadi marah oleh film itu, dan memukul istrinya. Di Chicago, seorang istri yang sering dipukul, menonton pertunjukan itu dan kemudian menembak suaminya (Wiliiam F. Fore: 2002).

Itulah sihir televisi, yang setiap hari kini telah menyelinap masuk ke ruang-ruang keluarga, ruang tidur, ruang kantor dan ruang-ruang lainnya yang dimana si “benda sihir” gampang diletakkan. Televisi kini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, baik di perkotaan maupun pedesaan. Televisi kini teronggok di ruang keluarga, kamar tidur, kantor-kantor, ruang satpam sampai di warung-warung kaki lima.

Memperkuat atau Mempengerahui?
Namun di kalangan para ahli, masih terjadi debat panjang tentang pengaruh media massa, khususnya televisi, terhadap perilaku masyarakat. Setidaknya ada tiga tahapan penelitian yang bisa dijadikan rujukan bagi masyarakat dalam menilai dampak media massa. Penelitian pertama mengikuti rentang waktu dari awal abad ke 19 hingga akhir tahun 1930-an. Pada kurun ini, hasil penelitian menunjukan bahwa media massa yang berkembang dengan baik mengembangkan pengaruh yang cukup signifikan untuk membentuk opini dan keyakinan serta mengubah kebiasaan hidup masyarakat. Secara aktif media juga membentuk perilaku yang kurang lebih sesuai dengan keinginan orang-orang yang dapat mengendalikan media massa dan isinya (Bauer dan Bauer, 1960).

Tahap kedua dimulai dengan serangkaian studi Payne Fund di Amerika Serikat pada awal tahun 1930-an (Blumer, 1993: Blumer dan hauser, 1933, Peterson dan Thurstone, 1933), berlanjut hingga awal tahun 1960an. Menurut Joseph Klapper (1960), komunikasi massa biasanya tidak menjadi penyebab yang pasti dan memadai atas efek yang muncul pada khalayak, namun komunikasi massa lebih berfungsi diantara dan melalui hubungan dengan faktor-faktor dan pengaruh-pengaruh yang dimediasinya.

Sedangkan tahap ketiga, merupakan tahap di mana dampak dan kemungkinan dampak masih sedang ditelaah, tanpa menolak kesimpulan penelitian sebelumnya, tetapi didasarkan atas perbaikan konsepsi tentang proses sosial dan media yang mungkin terlibat (Denis McQuail: 1996.

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, McCombs dan Shaw (1972) dari School of Journalism University of North Carolina melakukan studi tentang pemilihan presiden tahun 1969 dengan fokusnya efek agenda setting media dan bukan efek media terhadap perubahan sikap dan opini. Hasilnya, McCombs dan Shawv menemukan adanya korelasi sangat kuat antara pemeringkatan isu yang dibuat media dengan pemeringkatan isu oleh para pemilih, atau adanya sensitivitas media terhadap perhatian para pemilih (David Weaver, 1999).

Hasil-hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa media massa memang memiliki potensi untuk mempengaruhi dan memperkuat perilaku seseorang.

Persoalannya, apakah program-program televisi, khususnya program non berita, memiliki dampak memperkuat nilai-nilai budaya, religisiotas, dan mengasah hati nurani serta akal sehat masyarakat, atau justru sebaliknya? Apakah program-program seperti sinetron, kisah nyata, tayangan misteri, pertunjukan dangdut, justru membantu menumbuh-suburkan dan sekaligus memperkuat nilai-nilai mistik dan ketahyulan?

Bagi para pemodal atau pengelola stasiun televisi, jelas acara tersebut dipandang semata sebagai hiburan thok! Tanpa perlu diberi embel-embel atau label lain dibelakangnya. Dengan menggunakan logika rating, yang isi pertanyaannya sering “menghina” isi kepala responden, para pengelola stasiun televisi selalu berdalih, kalau penonton suka, anda mau apa?

Memahami Peta Ideologi Media Massa
Bahwa ada sebagian masyarakat yang menyukai tayangan sejenis buser atau goyang dangdut model Anissa Bahar atau Inul Daratista, adalah sebuah fakta. Namun ada juga fakta bahwa sebagian masyarakat tidak menyukai acara-acara yang berbau mistik dan mengclos-up paha dan dada yang serba (setengah) terbuka!

Dalam konteks kebebasan berekspresi, masyarakat memang tak perlu saling menindas selera orang yang berbeda-beda. Goyang Inul dan Anissa Bahar memang tak perlu dilarang. Soalnya budaya main larang, jelas merupakan bibit-bibit dari ororitarianisme. Apalagi jika budaya main larang tersebut kemudian dilembagakan dan dijaga oleh aparat negara. Maka orde baru jilid kedua, ketiga dan seterusnya bakalan muncul kembali. Yang diperlukan barangkali adalah pembatasan dan regulasi penayangan acara-acara tersebut. Misalnya pengaturan bahwa tayangan goyang dangdut yang serba syuur dipindah jam siarnya di atas jam 24.00 WIB. Sebuah waktu dimana diperkirakan anak-anak sudah tidak lagi mengkonsumsi tayangan televisi.
Soalnnya program-progrram televisi, tak melulu dibuat karena mengikuti selera pemirsanya. Tapi televisi, termasuk media cetak, juga aktif membentuk selera pemirsa lewat program atau pemberitaan mereka! Media massa mempunyai agenda settingnya sendiri dalam mempengaruhi dan membentuk selera konsumennya. Termasuk membentuk nilai-nilai masyarakat agar sesuai dengan nilai-nilai yang ada di kepala para pembuat keputusan di media.

Mengutip Daniel Hallin, ada tiga peta ideologis atau nilai yang dianut orang-orang media, dalam konteks fungsi agenda setting.

Pertama yang disebut nilai penyimpangan (sphere of deviance). Dalam peta ideologis ini, gagasan, peristiwa, atau perilaku tertentu dikucilkan dan dipandang menyimpang oleh masyarakat, termasuk media massa. Ini semacam nilai yang dipahami bersama bagaimana peristiwa secara umum dipahami secara sama antara berbagai anggota komunitas. Contohnya untuk waktu yang lama peristiwa pemberontakkan PKI masuk dalam wilayah ini. Peristiwa itu dikutuk, dipandang sebagai sesuatu yang buruk dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut komunitas. Juga perilaku gay, dipandang menyimpang.

Nah, media massa berperan sangat besar dalam mengikis nilai-nilai penyimpangan tersebut. Hal ini misalnya dapat teramati dengan sejumlah program televisi, yang banyak menampilkan kehidupan kaum gay, lesbian, dan orientasi seks yang berbeda sebagaimana lazimnya. Pada tahap tertentu, sebagian masyarakat di perkotaan, bahkan telah mengadopsi gaya hidup gay atau lesbian tersebut.

Kedua, nilai kontroversi (sphere of legimate controversy). Realitas masih dianggap menyimpang dan buruk, namun dalam realita ini masih diperdebatkan. Contohnya adalah maraknya kasus kumpul kebo atau hidup serumah antara pasangan yang berbeda jenis kelamin tanpa nikah. Tahun 1980-an, masyarakat digemparkan oleh hasil angket yang dilakukan seorang pelajar SMA di Yogyakarta. Angket itu, menyimpulkan bahwa para mahasiswa yang kuliah di Yogyakarta sudah jamak melakukan kumpul kebo! Namun setelah hampir 20-an tahun, sikap masyarakat terhadap fenomena kumpul kebo mulai berubah. Media massa, jelas memiliki peran yang tidak kecil dalam mempengaruhi nilai-nilai masyarakat.

Ketiga adalah nilai konsensus (sphere of consensus). Dalam wilayah ini, peristiwa tertentu dipahami dan disepekati secara bersama-sama sebagai relitas yang sesuai dengan nilai-nilai ideologi yang dianut masyarakat.

Yang perlu diwaspadai masyarakat adalah ketika kekerasan, darah dan mistikisme, yang oleh sebagian besar masyarakat masih merupakan nilai-nilai yang kontrovesial, secara intensif terus-menerus diproduksi dan dijadikan acara-acara unggulan televisi. Yang perlu diwasapadai adalah ketika tontotan kekerasan dan sadisme, tontonan yang memupuk irasionalitas atau penumpulan daya pikir serta mendorong semakin submisifnya nilai-nilai seks bebas, tiap hari menyerbu kamar-kamar keluarga, ruang tidur sampai ruang-ruang tamu anak-anak kost! Yang perlu juga diwaspadai adalah tayangan-tayangan televisi yang ikut mengekalkan nilai-nilai ketidakadilan terhadap kaum perempuan, bahkan tidak jarang ada yang mengolok-olok kelompok penyandang cacat semata untuk membangkitkan tawa pemirsa!

Soalnya bukan mustahil, suatu saat media massa berhasil menggeser nilai-nilai yang masih kontroversial menjadi nilai-nilai yang diamini oleh mayoritas masyarakat (konsesuns).

Menjadi Penonton Yang Kritis
Kekuatan sihir televisi memang luar biasa. Ia bisa bertahan sampai 24 jam nonstop! Oleh karena itulah perlu diupayakan gerakan untuk membangun kesadaran kritis masyarakat dalam menilai program-program televisi. Dibutuhkan suatu usaha untuk membangun kesadaran kritis pemirsa televisi agar bisa menyiasati sihir si Pipiot!

Misalnya dengan tidak jemu membuat surat protes dan melayangkan ke stasiun televisi bersangkutan, jika memang ada acara-acara yang tidak berkenan. Kedua, menulis surat protes terbuka di surat kabar untuk menggalang dukungan yang lebih luas. Ketiga, melakukan aksi demokrasi langsung, tanpa berpretensi untuk menjadi hakim atau jaksa terhadap kebebasan berekspresi. Keempat, jika perlu, mengadu ke anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Pasal 8 ayat 1 UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 menyatakan bahwa KPI merupakan wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. KPI juga diamanatkan untuk menginvestigasi pengaduan-pengaduan masyarakat dan memberi sanksi terhadap industri penyiaran jika memang terbukti melanggar berbagai ketentuan program siaran dan kode perilaku penyiaran yang ada.
Jadi, marilah saatnya kita menjadi penonton yang kritis, bukan sekedar penonton yang dijual kepalanya untuk keperluan rating para pemilik moda televisil!

2 thoughts on “Saatnya Menyiasati “Sihir Televisi”

  1. tELEvisi menjadi bagian yang tak terlepaskan sekarang, bahkan dalam hal ini sekarang telah menjadi penentu sikap yang akan dibawa kealam realitas yang sebenarnya keberadaannya juga dipertanyakan ketika televisi mulai eksis sekali dalam kehidupan kita sehari-hari.

    semoga kita bisa hidup lebih baik

    Suka

  2. pentrasi televisi terhadap penguatan dan pembentukan perilaku seseorang memang luar biasa, namun menurutku publik atau pemirsa pada dasarnya juga orang yang tidak pasif dalam memamahbiak informasi/program televisi. yang diperlukan sekarang adalah mempekuat masyarakat yang belum bisa bersikap kritis karena berbagai faktor. jadi dibutuhkan gerakan masyarakat melek mediasekarang ini!

    Suka

Tinggalkan komentar