Peran Jurnalis di Tengah Menguatnya Isu Primordialisme

Sebuah pemandangan unik terlihat pada suatu malam di sebuah hotel di Medan pada  Februari lalu. Ball room hotel itu dipenuhi laki-laki yang mengenakan baju batik dan penutup kepala yang biasa dikenakan orang-orang Solo dan Yogyakarta: blangkon. Kaum perempuannya terlihat mengenakan jarik dan kebaya dengan rambut disanggul. Irama musik gamelan mengalun memenuhi ruangan tempat hajatan itu berlangsung. Malam itu, satu ormas berbasis etnis lahir lagi di Medan, namanya Jawa Rembug.

Menurut seorang penggagasnya, Raden Mohammad Syafii, Jawa Rembug lahir sebagai wadah perjuangan putra-putri Jawa di Sumatera Utara untuk mendaki kekuasaan. Populasi  orang Jawa yang cukup besar (57% di Medan), dipandang tidak sebanding dengan peran politik yang ada di jajaran birokrasi. Jawa Rembug karenanya akan mengkampanyekan agar orang Jawa memilih calon pemimpin yang berasal dari kalangan mereka! Jawa Rembug bukan satu-satunya ormas berbasis suku yang ada di Sumatera Utara. Sebelumnya sudah ada Pujakesuma (Putra Jawa Keturunan Sumatera), Himapsi (Himpunan Pemuda Simalungun Seluruh Indonesia), BKMAD (Badan Kesatuan Masyarakat Masyarakat Adat Deli), Mabin (Masyarakat Melayu Baru Indonesia) dsb. Tidak hanya ormas berbasis suku yang marak melakukan aktivitas politik mengusung calon mereka. Berbagai komite pemuda yang kerap melakukan mobilisasi massa, juga muncul dimana-mana. Mereka melakukan unjuk rasa di berbagai tempat, dengan satu jualan utama: memunculkan isu putra daerah!            

Menguatnya Isu Primordialisme

Menjelang pelaksanaan Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung) pada Juni 2005, atmosfir politik memang terasa semakin pengap. Sudah tentu, menguatnya isu primordialisme bukan monopoli Sumatera Utara saja. Di Wilayah Papua dan beberapa wilayah Indonesia Timur lainnya, tuntutan agar putra daerah sebagai kepala daerah juga deras bergulir. Beberapa elit politik di Jakarta, juga ditengarai banyak yang “pulang kampung”, ikut bertarung dalam Pilkadal karena merasa “terpanggil” sebagai “putera daerah”.

Sebagaimana diketahui, salah satu hasil revisi terhadap undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menghasilkan sebuah amanat agar kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Banyak pihak menyambut positif hasil revisi tersebut. Walau juga tak lekang dari kritik. Misalnya soal pasangan calon kepala daerah yang harus melalui pintu fraksi atau parpol. Kalau tak mendapat restu fraksi atau parpol yang mempunyai 15% jumlah kursi di dewan, jangan harap calon di luar parpol dapat ikut berlaga.Lepas dari berbagai perangkap politik, mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung memang boleh dibilang sebagai sebuah kemajuan.

Dengan memberikan hak kepada warga untuk memilih secara langsung para calon kepala daerah, secara tidak langsung kualitas partisipasi politik warga juga semakin meningkat. Jika sebelumnya hak warga didelegatifkan secara mutlak kepada anggota dewan, kini hak itu tak lagi mutlak-mutlakkan sifatnya. Walau juga belum seratus persen benar realisasinya kelak. Namun yang merisaukan, ada berbagai manuver politik yang dilakukan sejumlah elit politik yang justru bisa menjadi kontra produktif terhadap upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi.

Sejumlah elit politik lokal dewasa ini ditengarai gemar mengorbarkan semangat  primordialisme untuk meraih dukungan politik. Hal ini  tentu tidak bijaksana mengingat hampir seluruh wilayah kabupaten di Indonesia dihuni oleh beragam suku. Walau ada wilayah yang dihuni oleh suku mayoritas, namun ada juga wilayah yang penduduknya sangat heterogen. Sebagai contoh adalah Kota Medan. Kota ini sering diidentikkan sebagai “Kampungnya Orang Melayu”. Namun realitasnya Medan malah didominasi oleh suku Jawa, di samping Batak, Minang, bahkan juga etnis Tionghoa yang jumlahnya tidak sedikit. Hal yang sama juga didapati di Kota Jakarta, Surabaya dan kota-kota besar lainnya. Mendagangkan isu primordialisme berbasis suku, jelas bertentang dengan realita pluralisme yang ada.

Di sisi lain juga berpotensi memicu terjadinya konflik horizontal. Riset Demos terkait dengan identifikasi masyarakat dalam urusan-urusan publik, menunjukkan bahwa 49% warga masyarakat cenderung langsung atau nyaris langsung mengidentifikasi diri mereka sebagai anggota komunitas lokal, agama atau etnis. Bahkan, 38% mengidentifikasi diri sebagai komunitas etnis. Hanya sekitar 39% yang mengidentifikasi diri sebagai warga Indonesia. Data tersebut, mengabarkan bahwa proyek “negara Indonesia” memang lebih merupakan obsesi daripada realita. Riset tersebut dapat menjelaskan fenomena merebaknya tuntutan pemekaran wilayah di sejumlah daerah, yang lebih karena latar belakang kepentingan kesukuan. Misalnya yang teramati pada beberapa pembentukan kabupaten di Sumatera Utara, termasuk tuntutan pembentuk Propinsi Tapanuli.  

Pers Sebagai Faktor Penguat Identitas

Dalam atmosfir politik yang penuh dengan isu primordialisme seperti ini, apa yang bisa diharapkan dari jurnalis dan media pers? Dan apa istimewanya media pers sehingga harus memperoleh perhatian khusus?

Hampir dalam setiap hajatan politik, mustahil menafikan peran pers. Kita bisa menengok gegap gempita pemilu presiden tahun lalu. Terpilihnya SBY-Kalla sebagai pasangan Presiden/Wakil Presiden diyakini tidak terlepas dari politik pencitraan yang dilakukan oleh media pers, khususnya media elektronik televisi. Beberapa pakar komunikasi bahkan meyakini bahwa sebagian besar proses politik dewasa ini sebenarnya merupakan mediated politics atau bahkan media driven politics. Dalam arti, fungsi penghubung antara elit politik atau kandidat dengan warga masyarakat, tidak lagi dominan dilakukan oleh partai atau pun kelompok-kelompok politik tertentu. Dalam banyak hal, fungsi  penghubung tersebut semakin banyak yang diambilalih oleh media massa. Proses memproduksi dan mereproduksi berbagai sumber daya politik, seperti menghimpun dan mempertahankan dukungan masyarakat dalam pemilu, memobilisasi dukungan publik terhadap suatu kebijakan, merekayasa citra kinerja sang kandidat, dan sebagainya, banyak dijembatani, atau bahkan dikemudikan oleh kepentingan dan kaidah-kaidah yang berlaku di pasar industri media (Deddy N Hidayat: 2004).

Namun juga harus diingat bahwa perdebatan tentang dampak pemberitaan pers terhadap masyarakat masih mengundang pro – kontra. Sejumlah pakar komunikasi mempercayai bahwa pers bisa membentuk opini dan memperkuat keyakinan seseorang. Hasil studi yang dilakukan McCombs dan Shaw menemukan adanya korelasi sangat kuat antara pemeringkatan isu yang dibuat media dengan pemeringkatan isu oleh para pemilih, atau adanya sensitivitas media terhadap perhatian para pemilih (David Weaver: 1999).Dengan kata lain, pemberitaan media pers bisa menjadi faktor penguat atas keyakinan-keyakinan atau nilai-nilai yang dianut seseorang atau calon pemilih.

Ketika bangunan nilai masyarakat diperkuat dengan pemberitaan yang mendukung penguatan identitas kesukuan, maka pemberitaan pers akan memperteguh keyakinan-keyakinan tersebut menjadi tindakan politik kesukuan dalam pilkadal. Dalam arti, pilihan politik yang dijatuhkan seorang pemilih, lebih karena kesamaan suku dengan calon atau pasangan calon yang dipilihnya. Bukan karena reputasi sang calon kandidat sendiri. Oleh karena isu “putra daerah”  yang dijual para kandidat, berpotensi mencederai upaya-upaya yang tengah dilakukan untuk meningkatkan kualitas representasi politik di daerah.  

Peran ‘Moulder of Reality’

Jurnalis memang bukan subyek yang bebas nilai. Namun ia juga menganut nilai-nilai tertentu yang mempengaruhi strateginya dalam merepresentasikan fakta yang dikonstruksinya. Nilai itu bisa terbentuk dari identitas kesukuannya. Namun bisa juga karena pandangan politik yang dianutnya. Bisa juga karena kepentingan pragmatisme ekonomi sempit mereka. Misalnya karena iming-iming amplop. Yang berbahaya adalah jika berbagai nilai dan kepentingan tadi saling berkelindan. Jurnalis tak bisa diharapkan lagi menjadi pihak yang diharapkan dapat menjadi moulder of reality (mengubah wajah masyarakat), yang berfungsi untuk mengubah wajah perpolitikan berbasis kesukuan, menuju wajah perpolitikkan yang menghormati keragaman yang ada.

Oleh karena itu dalam situasi seperti ini, kita hanya bisa berharap pada para jurnalis yang masih memiliki sikap kritis dan etis. Para jurnalis harus mendukung kandidat kepala daerah yang terbaik, terlepas dari perbedaan suku, agama atau kepentingan jurnalis sendiri. Jurnalis tak perlu mem-blow up berbagai kampanye yang menggunakan isu suku atau isu primordialisme lainnya yang diusung para kandidat. Terutama yang dirancang tim sukses agar meraih sukses politik. Tak semua fakta mesti diberitakan. Apalagi jika ada pertimbangan etis yang kuat. Misalnya fakta tersebut diprediksi dapat menimbulkan ancaman yang membahayakan kepentingan publik secara luas. Konflik horizontal, sudah tentu bukan sebuah realita yang diharapkan. 

Kasus Yugoslavia dan Rwanda

Media pers memang bukan pengobar konflik. Namun lewat kekuatan kata-kata, media pers dapat memantik konflik lanjutan dalam arti yang sebenarnya. Di Yugoslavia, media pers memainkan peran dalam mengubah warga yang semulai damai menjadi saling bermusuhan. Bahkan dapat dikatakan, kampanye media pers yang bersifat menghasut itu adalah pra kondisi tidak hanya bagi perang itu sendiri, tapi juga bagi kekejaman yang mula-mula diperanginya. Orang-orang yang semula bertetangga, berteman, berhubungan sebagai rekan kerja dan teman sekolah, berbalik saling melawan, saling membunuh, dan saling menjarah benda (Gabriela Mischkowski: 1999).

Kita juga bisa belajar dari kasus genosida di Rwanda. Banyak media di sana, khususnya Radio Television de Milles Collines (RTLM) seakan-akan didirikan  sebagai alat pembunuhan. Dalam setiap siaran, mereka mengobarkan kebencian: mayoritas suku Hutu dihasut agar membenci minoritas suku Tutsi. Lalu sesudah itu orang-orang Hutu didorong, bahkan diperintahkan membunuh orang-orang Tutsi. Suku Tutsi itu diburu bagai celeng, dicari sampai ke tempat-tempat perlindungan, bahkan sampai ke rumah-rumah ibadat. Hingga gereja dan mesjid pun jadi salah satu ladang pembantaian terbesar selama masa genosida, dan itu berkat media (Ging Ginanjar: 2004). Memang benar, tanpa RTLM dan media penghasut kebencian lainnya, pembantaian terhadap orang-orang Tutsi yang memakan korban sampai 800.000 orang akan tetap berlangsung. Namun pers telah memberi andil untuk mengobarkan rasa benci menjadi tindak pembantaian yang biadab tersebut!  

Kesadaran Multikultur

Di tengah menguatnya upaya menghidupkan politik identitas dalam pilkadal, jurnalis  seharusnya mempunyai kesadaran multikultur. Keberagaman suku, budaya dan agama jelas bukan untuk dipertentangkan, tapi dihayati sebagai sebuah taman multikultur. Ibarat pelangi yang kaya warna-warni, jurnalis harus mampu melukiskan realitas yang warna-warni tersebut tanpa perlu menononjol-nonjolkan satu warna saja agar dominan.Ada baiknya, para jurnalis mengingat kembali isi “Deklarasi Bilboa”, Perancis, yang ditandatangani oleh para jurnalis dari 70 negara, termasuk Indonesia, yang antara lain:  mengakui bahwa ada ancaman pada kedamaian dan demokrasi karena peningkatan kekerasan rasial di masyarakat, meluasnya ketidakrukunan agama, perang dan pembunuhan massal akibat perseteruan antar etnik, dan prasangka terhadap kaum berbahasa dan status sosial minoritas dan mengakui bahwa seluruh jurnalis pada tingkat nasional, regional dan internasional harus bergabung untuk mempertegas kembali berbagai prinsip jurnalistik dengan kemandirian profesi serta penghormatan pada kebenaran guna memenuhi misi media dalam mendukung kewarganegaraan, toleransi dan demokrasi.

Pesan Deklarasi Bilboa secara eksplisit menganjurkan jurnalis agar tidak ikut terjebak dalam permainan politik berbasis identitas kesukuan yang ditebar para calon, tim sukses maupun para broker politik dalam pilkadal Juni nanti.

Tulisan ini dimuat di harian Analisa, 30 April 2005

Profil Tambah Tua Saragih (74): “Aku Berani” Karena Untuk Kepentingan Rakyat

untitled-scanned-01.jpgMantan Pangdam yang satu ini, memang tidak sampai berpangkat jendral, walau relasinya tidak sedikit yang jendral. Ia juga tidak memiiiki pasukan penjaga untuk keamanan di rumahnya. Tapi popularitas dan sepak terjangnya, tidak kalah popuier dengan Pangdam yang sesungguhnya. Banyak cerita gaib dan berbau mistik, yang mengitari riwayat kehidupannya. Tambah Tuah Saragih, atau lebih akrab dipanggil Oppung memang tergolong tokoh Simalungun yang langka. Namanya justru berkibar di luar tempat kelahirannya. Simak penuturan (sebagian) pengalaman hidupnya kepada Suara Insani.   

Di Sumatera Utara, pernah muncul guyon: ada dua Pangdam yang masing–masing  mempunyai markas berbeda. Yang satu di Kodam Bukit Barisan Medan, yang satunya di Dusun Damak, Desa Sondi Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun. Tapi harap dicermati. Pangdam yang bermarkas di Dusun Damak ini hanyalah sebutan populer bagi orang sipil yang bernama Tambah Tuah Saragih (74). Panghulu artinya kepala desa, sedang Damak adalah nama dari sebuah dusun yang menjadi bagian dari Desa Sondi Raya, tempat kelahiran dan kediamannya. Tambah Tuah Saragih memang kepala desa Sondi Raya periode 1946 – 1976. Sebagai mantan panghulu, kepopulerannya kerap dihubungkan dengan cerita-cerita mistik berbau gaib yang selalu jadi bahan pembicaraan hangat di masyarakat. Coba anda bayangkan. Ia misalnya pernah digunjingkan mampu menggetarkan markas polisi Si­malungun karena marah melihat perilaku polisi yang asal main tangkap warganya. Yang lebih dahsyat barangkali ketika beredar cerita bahwa ia mampu menarik mobil yang jatuh ke jurang hanya dengan menggunakan seutas tali benang ! 

Silakan Anda percaya atau tidak. Kepada Suara Insani sendiri, Oppung, begitu panggilan akrabnya, menuturkan pengalamannya membantu menarik traktor seberat 12 ton yang terjerembab di lumpur. Alat derek sudah dicoba berkali-kali menarik, tapi gagal. Bupati Simalungun waktu itu, Rajamin Purba, akhirnya datang minta bantuan kepadanya. Harap diketahui. Ketika itu, akan ada rombongan menteri yang hendak melewati jalan tersebut. Jadi soal mesin traktor yang terjerembab, jelas bukan pemandangan yang pantas disuguhkan untuk tamu yang terhormat. Si Oppung, waktu itu hanya men­jawab: “Besok pukul sebelas sudah bisa dipindah traktor itu” . 

“Aku sendiri heran, kenapa waktu itu aku bisa men­jamin demikian”, ujar Oppung sambil mengenang pe­ristiwa itu. Jadi apa yang dilakukan oleh si Oppung pada malam hari sebelum ia ‘action’ ? “Aku berdoa khusuk. Aku bilang, jangan bikin malu aku Tuhan, sebab aku sudah janji sama bupati”.

Esok paginya, dihadapan ban­yak orang kampung dan tentara, Oppung pun turun lokasi. Sebelum ‘mendemonstrasikan’ kekuatannya, ia pun berdoa. Dan ajaib, selesai berdoa, ketika kakinya menjejak ke tanah berlumpur, pundaknya ditempelkan di traktor dan tangannya menolak traktor itu, maka perlahan traktor itu mulai bergeser. Sorak-sorai pun bergemuruh dari orang-orang yang menonton. 

Peristiwa itu sempat diabadikan oleh seorang wartawan harian lokal melalui jepretan kamerariya. Hanya sayang hasil jepretan itu kosong sama sekali ketika dicetak. Sekali lagi, Anda boleh percaya, boleh tidak.

Yang pasti, setiap ada pergantian pejabat baru di Simalungun, mulai dari tingkat camat, komandan korem, walikota sampai bupati, si Oppung biasanya jadi sibuk menerima mereka.  Lho, apa pasalnya? Ternyata sebagai tokoh Simalungun yang langka, si Oppung masih suka dimintai ‘restu’ oleh mereka. Tak heran jika rumahnya di dusun Damak pun berpenampilan seperti rumah pe­jabat di kota. Maklum, tamunya juga bukan sembarangan tamu. 

Ia juga laris didatangi oleh orang-orang yang sakit. “Semua yang sakit, punya masalah keluarga, masalah kerja, motornya sering terlanggar, korban perampokan, semuanya aku bantu”, ujarnya. Pun mereka yang sakit karena diganggu mahluk yang tidak kelihatan.

Pernah misalnya ada seorang pekerja sosial wanita dari Jerman tinggal di Saribudolok. Ketika pindah ke Aceh karena ikut suaminya, yang juga orang Jerman harus, mengajar di sana. la kerap terbangun malam hari. Mendapat mimpi buruk dan merasa didatangi mahluk halus. Ke­jadian tersebut terjadi berulang-ulang. Akibatnya fisik perempuan itu terganggu; sakit-sakitan. Ketika dibawa ke Oppung, si bule hanya disarankan agar tidak men­dekati daerah tertentu di Aceh yang selama ini kerap dikunjunginya. Rupanya ‘resep’ tersebut manjur. Mimpi buruk, tak lagi kerap mendatangi si bule. Maka ketika si bule ini pulang kampung, sebuah jam tangan dan mesin kalkulator dihadiahkan kepada si Oppung. 

Ketika ditanya apa rahasinya sehingga bisa menyembuhkan berbagai macatn penyakit, dengan enteng ia menjawab. “Perkara sembuh atau tidak penyakit itu, tergantung rejeki orang tersebut. Kalau Tuhan mengatakan sembuh, maka sembuh orang itu,” jawabnya.  Bagaimana soal obatnya? “Obat apapun kalau memang sudah rejekinya orang tersebut, bisa untuk menyembuhkan. Contoh, ada orang yang tidak bisa jalan, datang ke sini. Kebetulan karena ada rejekinya, maka daun sirih saja sudah jadi obatnya”, katanya. la menolak kalau dikatakan sebagai orang sakti. Padahal, ia pernah digossipkan tak mempan oleh terjangan peluru kalau sudah mengenakan pakaian serba hitam. 

Oppung memang sebuah figur yang unik. Ketika masih menjabat sebagai kepala desa, ia juga tidak segan- segan untuk melabrak atasannya yang paling atas, yakni bupati.”Aku berani karena untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi”, ujarnya. Terkesan, ia memang seperti tak pernah kenal rasa takut. 

Ketika Bupati Simalungun dijabat oleh T.P.R. Sinaga, la misalnya pernah menyenggaknya karena air irigasi tidak mengairi sawah warganya. “Ngamuk aku di kantor Camat sama bupati, juga sama ketua DPRD. Aku katakan kamu wakil rakyat jangan hanyamakan gaji saja, tapi tidak memperjuangkan rakyat”, tuturnya dengan intonasi suara yang kalem.

la juga punya pengalaman lain yang tidak kalah menarik pula. Pernah sungai bagian hulu dikampungnya diambil batu-batu cadasnya oleh sebuah penusahaan swasta. Setiap hari tidak kurang 6 buah truk hilir mudik mengangkut batu-batu cadas tersebut. Sudah tentu aspal jalan kampungnya banyak yang bocor. Berlubang-lubang dan rusak parah. “Aku kemudian datangi bupati, minta bantuan untuk menyetop usaha pengambilan batu itu, kalau tidak aku akan selesaikan dengan caraku sendiri”, ceritanya.

Malam harinya, dengan cara bergerilya ia memasang patok di tengah jalan sehingga truk truk tersebut tidak bisa lewat. Keesokan harinya berdatangan orang-orang berseragam hijau dan coklat. Mereka mencari warga desa yang memasang palang itu. Tambah Tuah Saragih pun maju. Mereka bilang supaya ia tidak ter­lalu bersikap keras. “Aku bilang sama mereka, mati pun di sini aku tidak apa­-apa karena aku berbuat semua ini demi rakyat”, ceritanya. Hanya dua hari ke­mudian truk-truk itu pun berhenti meng­gali batu cadas.  

Apa sebenarnya rahasia dibalik keberanian dan kisah-kisah tak masuk akalnya tersebut? “Berani dan jujur. Yesus kan mati karena jujur”, ujarnya mengemukakan prinsip hidupnya. “Saya tidak sakti. Saya tidak takut terhadap apapun dan siapapun karena yang saya lakukan benar dan untuk rakyat”, ujarnya mantap. La1u ia memberi contoh. Pernah datang seorang dokter yang stress akibat jabatannya tidak naik sebagai kepala sebuah jawatan, padahal ia sudah tergolong senior. Yang diangkat justru  dokter yang lebih yunior. Si dokter meminta kepada Oppung untuk membunuh dokter saingannya. “Aku ben­tak dokter itu, tapi ia ngotot dan minta maaf. Katanya  kalau tidak dibunuh, ya, dibikin tidak bisa jalan selama 3 tahun”, tuturnya. Apa yang dilakukan Oppung menghadapi orang seperti itu?  “Kutampar orang itu dan kusuruh pergi”, ujarnya. Apa yang dituturkan Oppung, memperlihatkan bahwa prinsip untuk membela yang benar memang benar benar ia pegang.

Riwayat masa kecil Oppung itu sendiri, tergolong penuh perjuangan. Ia bertutur, tahun 1930-an ketika jaman penjajahan Belanda, ia berdagang apa saja. Mulai dari babi, anjing, petai, tuak dan hasil bumi yang lain. Usianya ketika itu menginjak 18 tahunan. Ia harus me­nempuh perjalanan kaki 2 hari pulang balik ke desa lain untuk membeli barang tersebut. “Jaman dulu kalau me­nempuh perjalanan masih harus jalan kaki, lewat hutan lebat. Pacetnya masih sebesar jempol kaki, kalau digigitpedihnya bukan main”, tuturnya. Ia juga kenyang ikut kerja rodi ketika Jepang masuk menjajah Indonesia.

Sekarang di usianya yang hampir menginjak angka 80 tahun, ia banyak menghabiskan waktunya di kam­pung. “Sekarang saya sudah tua, mengangkat kayu pun sudah tidak bisa”, tuturnya dengan suara lirih. Di Kam­pungnya, selain bersawah, ia juga memelihara 29 ekor kerbau, mengoperasikan truk barang dan memelihara kuda. Kerbaunya dibiarkan lepas begitu saja. Si Oppung dikarunia 6 orang anak, 5 perempuan dan l laki-laki. Dan semuanya sudah berkeluarga.

** Features ini dimuat di Majalah Tiga Bulanan Suara Insani No. 10, April-Juni 1996, yang diterbitkan Yayasan Bina Insani Pematangsiantar.  

Jurnalisme Damai, Bukan Jurnalisme Perang!

Apakah mungkin sebuah symbol dapat melukai orang? Apakah mungkin sebuah kata-kata dapat menikam? Apakah mungkin sebuah ucapan lebih tajam dari sebuah pedang? Apakah mungkin sebuah makna dapat menghancurkan sebuah bangsa?

(Yasraf Amir Pilliang:2001).

Walau terdengar provokatif, pertanyaan tersebut sangat relevan jika dikaitkan dengan penggunaan bahasa surat kabar ketika mengkonstruksi konflik (etnis) yang merebak di berbagai pelosok tanah air kita. Beberapa hasil riset yang dilakukan analis media KIPPAS (Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera) menunjukkan tentang tingginya frekuensi penggunaan diksi yang mengandung kekerasan simbolik.

Aktivitas jurnalisme memang menggunakan bahasa sebagai bahan baku untuk memproduksi berita. Namun bagi surat kabar, bahasa bukan sekedar alat komunikasi untuk menyampaikan informasi atau peristiwa. Bahasa juga bukan sekedar alat untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran-gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada publik (pembaca).

Ketika konstruksi relitas surat kabar berbeda dengan realitas yang ada di lapangan, maka hakikatnya telah terjadi kekerasan terhadap realitas itu sendiri. Ada realitas yang sebagian disembunyikan, diperhalus atau bahkan dilebih-lebihkan. Karena surat kabar menggunakan bahasa untuk menyembunyikan sebagian realitas, memperhalus atau mengasarkan fakta yang ada, maka hakikatnya media tengah memproduksi kekerasan simbolik.

Kekerasan simbolik bekerja dalam level olah pikir, karenanya kekerasan simblik mengkondisikan korban kekerasan tanpa merasa bahwa kekerasan sedang bekerja menerjang dirinya. Selama puluhan tahun hidup dibawah rezim orde baru Suharto, masyarakat “dicuci” kesadarannya untuk menerima realitas lewat kampanye yang menyembunyikan realitas kepahitan itu sendiri. Rezim misalnya tak pernah mengakui adanya kenaikan harga barang, tapi penyesuaian harga. Rezim tak pernah mengakui telah menganiaya aktivis mahasiswa yang melakukan demonstrasi, tapi “mengamankan” (walau para mahasiswa sudah babak belur dihajar polisi atau aparat TNI), kemiskinan atau kemelaratan tak ada di negeri ini, yang ada hanya “keluarga pra sejahtera”.
Penghalusan fakta melalui bahasa yang eufimistik tersebut mendominasi kolom-kolom surat kabar selama hidup di bawah rezim orde baru. Namun bagaimana kondisi surat kabar setelah lepas dari cengkraman hegemoni rezim orde baru?

Anarki Kata-kata
Seperti sudah disinggung sebelumnya, pemberitaan beberapa surat kabar sebagaimana yang diamati analis media KIPPAS, penuh dengan pergelaran bahasa-bahasa kekerasan. Tak hanya ketika surat kabar mengkonstruksi fakta yang sudah kerasa seperti konflik (etnis), tetapi juga ketika mereka mengkonstruksi konflik diantara elit politik.

Dalam istilah Prof Dr Hasan Alawi, ahli bahasa yang pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia itu, bahasa komunikasi yang dipraktekkan para elit politik merupakan bentuk vulgarisasi bahasa Indonesia. Hal tersebut menurut Hasan Alawi merupakan perubahan yang ekstrem dari kramanisasi bahasa Indonesia karena adanya hegemoni semantik yang terjadi selama masa Orde Baru.

Sementara A. Muis, pakar komunikasi dari komunikasi dari Universitas Hasanudin, memaknai penggunaan bahasa kekerasan itu dengan istilah anarki kata-kata atau anarki simbol-simbol. yang dilakukan para elit politik baik dalam komunikasi sosial maupun komunikasi di media massa. Menurut A. Muis, anarki kata-kata merupakan penerjemahan dari model komunikasi politik jarum suntik (hypodermic needle model) yang dilakukan para elit politik kepada masyarakat “awam”. Tujuannya, agar opini publik cepat berubah sesuai dengan maksud para elit politik itu.
Ada banyak contoh yang bisa diberikan di sini, misalnya ketika media meliput konflik entar etnis Dayak dan Madura yang terjadi di Kalimantan. Tindakan sekelompok orang Dayak yang melakukan pencarian dan pembunuhan terhadap orang-orang Madura, diistilahkan pers sebagai “aksi perburuan”. Sebuah konstruksi makna yang menggiring publik pada aktivitas para pemburu yang sedang mengejar binatang buruan di tengah hutan.

Melalui penggunaan istilah “perburuan”, efek yang hendakan ditimbulkan kepada publik adalah penonjolan kebiadaban perilaku sejumlah orang Dayak. Di pihak lain, orang-orang Madura juga digambarkan ibarat “binatang buruan” yang tak berdaya dan menjadi objek buruan semata. Ada juga istilah lain yang dimunculkan media, misalnya “pembabatan”, sebuah istilah yang menggiring fantasi publik pada ayunan ketajaman ayunan sabit yang membabat habis batang-batang ilalang dalam hitungan detik. Juga ada lagi istilah “pembersihan”. Faktanya tentu masih banyak warga Madura yang tinggal di Kalimantan Tengah.

Fakta kekerasan juga diumbar pers tanpa disertai tindakan penyaringan di kamar redaksi. Simak contoh berikut: “Saya telah memakan jantung dari seseorang”, “Ratusan kepala digantung tanpa anggota tubuh”, atau ini: “mereka didatangi ratusan orang, kemudian langsung membabat dengan senjatanya, darah pun mengalir.”

Bahasa kekerasan simbolik juga meruyak dalam pemberitaan pers pasca turunnya Memorandum I DPR RI kepada Presiden Abdurrahman Wahid tahun 2001 yang lalu. Elit politik yang bersikap super kritis terhadap Presiden Abdurrahman Wahid, menebarkan istilah “gempa politik” atau “rumah republik semakin terbakar” untuk mengkonstruksi krisis politik di tanah air. Sementara elit politik yang mendukung Gus Dur, menciptakan istilah “preman politik”, “bandit politik” atau “reformis gadungan” untuk mengkonstruksi perilaku elit politik yang super kritis tersebut.

Kekerasan simbolik memang tidak melukai secara fisik. Namun ia bisa menjadi api pemantik bagi konflik lanjutan dalam arti yang sebenarnya. Di Yugoslavia, pers memainkan peran penting dalam mengubah warga yang semula damai menjadi saling bermusuhan. Bahkan dapat dikatakan, kampanye pers yang bersifat menghasut adalah prakondisi tidak hanya bagi perang itu sendiri, tapi juga bagi kekejaman yang mula-mula diperangi pers. Orang-orang yang semula berteman, berhubungan sebagai rekan kerja dan teman sekolah, berbalik saling melawan, saling membunuh, dan saling menjarah harta benda.

Jurnalisme Perang
Meliput peristiwa konflik (kekerasan), pada dasarnya merupakan sesuatu yang wajar bagi pers. Salah satu kriteria untuk mengukur apakah suatu peristiwa layak diberitakan atau tidak adalah kandungan unsur konflik itu sendiri. Semakin keras konflik yang terkandung dalam suatu peristiwa, semakin tinggi nilai beritanya. Rumus seperti ini, masih banyak dianut oleh kalangan jurnalis.

Akibatnya ketika meliput suatu konflik (etnis), orientasi liputan yang dominan terbingkai dalam apa yang disebut sebagai jurnalisme perang (war journalism). Liputan jurnalis lebih berorientasi pada peristiwa kekerasannya itu sendiri. Jurnalisme perang lebih berfokus pada arena atau tempat dimana konflik itu terjadi, jumlah korban yang mati, penderitaan korban, rumah yang hancur atau harta benda yang terbakar. Dengan kata lain, jurnalisme perang lebih suka mengeksploitasi the visible effect of violance, korban kekerasan yang tampak, dibanding yang tidak tampak.

Akibatnya jurnalisme perang secara tidak sadar juga menggiring publik untuk memihak pada salah satu pihak yang bertikai. Ini bisa dimaklumi karena dalam proses liputan, jurnalisme perang selalu menggunakan kacamata “kita-mereka”.

Jurnalisme Damai
Secara teoritis, ada tiga posisi media dalam memberitakan konflik pertama, media sebagai issue intensifier dimana media berposisi memunculkan isu atau konflik dan mempertajamnya. Isu yang diangkat media akan memunculkan dan menampakkan dimensi isu secara tajam. Dengan posisi sebagai intensifier, media memblow –up realitas yang jadi issu sehingga seluruh dimensi isu menjadi transparan.

Kedua, media sebagai conflict diminisher, yakni media menenggelamkan suatu issu atau konflik. Secara sengaja media meniadakan issu tersebut, terutama bila menyangkut kepentingan media bersangkutan, entah kepentingan ideologis atau pragmatis. Ketiga, media juga bisa berfungsi jadi pengarah conflict resolution, yakni media menjadi mediator dengan menampilkan isu dari berbagai perspektif serta mengarahkan pihak yang bertikai pada penyelesaian konflik. Dengan peliputan media, pihak yang terlibat diharapkan memahami sudut pandang pihak lain, mengatasi prasangka dan kecurigaan, serta mengevaluasi ulang sikap dasar yang terbentuk semula.

Pola peliputan yang seperti ini kemudin dikenal dengan jurnalisme yang mempunyai tugas utama untuk memetakan konflik, mengindentifikasi pihak-pihak yang terlibat dan menganalisis tujuan-tujuan mereka, dan membicarakan informasi yang mereka sediakan dalam agenda khusus mereka.

Jurnalisme damai memang hanya sekedar opsi. Jurnalis(me) bisa mengadopsi atau bahkan mengabaikannya. Namun harus diingat, keberadaan pers bukanlah sekedar sebagai mirror of reality, tetapi juga molder of reality (pembentuk rupa) masyarakat. Jika keberadaan jurnalis(me) adalah dalam rangka menjalankan fungsi pembentuk rupa masyarakat, maka seyogyanya jurnalisme damai menjadi opsi yang tak terelakkan.

** Materi disampaikan dalam “Pendidikan Lanjut Jurnalistik Nasional 2002” yang diadakan Tabloid Mahasiswa SUARA USU, Medan, 25 Mei 2002.

DIKSRIMINASI WARGA KETURUNAN CINA: “ANTARA SENTIMEN ANTI RAS, SASARAN ANTARA DAN POLITIK KEKERASAN”

Dalam setiap peristiwa politik yang dibarengi aksi massa yang terjadi di tanah air, warga keturunan Cina selalu menjadi korban amuk massa. Tak peduli apakah peristiwa itu bersumber dari perilaku warga keturunan Cina yang mengundang kemarahan warga pribumi atau tidak. Mau contoh?

Tahun 1994 di Medan terjadi demonstrasi kaum buruh yang menuntut kenaikan UMR. Ketika tuntutan kaum buruh dihadapi secara represif oleh aparat keamanan, maka pabrik-pabrik milik keturunan Cina menjadi sasaran amuk kemarahan massa. Bahkan seorang warga keturunan tewas dianiaya massa setelah dipaksa untuk turun dari mobil yang ditumpanginya.

Bulan Mei lalu, ketika terjadi friksi di lingkaran elit politik, yang menjadi korban amuk massa, bahkan tindak perkosaan, juga warga keturunan Cina. Bahkan kutukan juga ditimpakan bagi warga keturunan Cina yang melakukan eksodus ke luar negeri. Mereka dihujat karena lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan negara. Padahal hengkangnya sebagian warga keturunan Cina disebabkan tidak adanya jaminan keselamatan dan kepastian hukum dari aparat keamanan. Penjarahan dan tindak kekerasan berlangsung di depan mata mereka, sementara aparat keamanan hanya menonton saja.

“Nasib warga keturunan Cina memang bagaikan pecahan belanga. Kalau pecah tidak bisa lagi diterima oleh tanah alias tidak diterima lagi di negeri leluhur mereka. Sedang kalau mau jadi belanga lagi juga tidak bisa karena memang bukan belanga. Buktinya waktu mau daftar sekolah sepulang ke tanah air, mereka ditolak Depdikbud,” demikian diungkapkan Drs Irianto, seorang aktifis pembauran Medan dalam acara Talk Show yang diselenggaraan SNB (Solidaritas Nusa Bangsa) Medan di Novotel Sochi, Sabtu (19/9) lalu.

Pembicara lain Dr Onghokham, pakar sejarah dari UI dan RM H Subanindyo Hadiluwih SH MBA, anggota SNB Medan.

Irianto, yang mantan aktifis BAKOM PKB TK I Sumut menduga-duga bahwa dalam setiap peristiwa kerusuhan, etnis Cina sebenarnya dijadikan sasaran antara oleh kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan politik.

“Kelompok ini sebenarnya dongkol terhadap kelompok lain, namun tidak berani melakukan konfrontasi langsung. Jadi etnis Tionghoa yang dijadikan korban karena mereka selama ini tak berani melawan,” ujarnya. Makanya di Medan beredar guyon, shio orang Cina kini tinggal 3 saja, tak lagi lengkap 12 buah, yaitu tinggal sebagai SAPI perahan, KAMBING hitam dan KELINCI percobaan.

Irianto yang pernah memimpin aksi demonstrasi mahasiswa ke gedung DPRD Sumut menuntut Soeharto lengser dari kursi kepresidenan, mensinyalir bahwa memang ada kelompok tertentu yang tidak menginginkan warga etnis Cina bersatu dengan etnis lain. Lho kok?

“Kalau warga Cina sudah bersatu dengan warga pribumi, maka kelompok-kelompok tertentu tidak bisa lagi mengompas atau menjarah harta benda mereka,” tandasnya yang mengundang tepuk tangan peserta talk show yang sebagian besar merupakan generasi muda warga keturunan Cina Medan itu.

Kalau Irianto menengarai adanya konflik kepentingan di elit politik yang membutuhkan sasaran antara etnis Cina sebagai korban petualangan politik mereka, maka RM H Subanindyo Hadiluwih SH MBA lebih beranggapan adanya sentimen anti ras yang sangat kuat dari warga pribumi terhadap warga keturunan Cina. Subanindyo memberikan argumentasinya. Di Jawa, pembauran antara warga keturunan Cina dengan orang Jawa sudah berlangsung dengan baik. Bahkan banyak warga keturunan Cina yang “lebih njawani daripada orang Jawa”. Contohnya ahli keris ternama di Jawa justru seorang warga keturunan Cina, bukan orang Jawa. Toh orang Cina di Jawa juga kena jarah. Di Medan juga sudah banyak warga keturunan Cina yang kawin dengan etnis Batak atau Jawa. “Namun dalam kerusuhan kemarin, mereka juga tetap dijarah,” ujar penulis buku STUDI TENTANG MASALAH TIONGHOA DI INDOENSIA (STUDI KASUS: DI MEDAN) itu.

Subanindyo kurang setuju jika sentimen anti ras itu dikaitkan dengan masalah kesenjangan ekonomi. “Yang sudah kawin campur di Medan itu kebanyakan Cina yang miskin,” papar konsultan manajemen pada beberapa perusahaan di Medan itu. Sentimen anti ras itu sendiri sudah berumur panjang. Sudah terjadi sejak jaman penjajahan Belanda, yang membagi warga Hindia Belanda waktu itu menjadi tiga golongan. Golongan pertama diisi orang Belanda/Eropa, golongan kedua Asia Timur Raya dan golongan paling bawah adalah orang-orang pribumi.
Sejarawan Onghokham menambahkan bahwa waktu jaman penjajahan Belanda, untuk mengasingkan warga Cina dengan pribumi, maka dibuat perkampungan tersendiri bagi orang-orang Cina. Jika orang Cina hendak pergi dari kota ke kota lain, mereka juga wajib meminta surat jalan. Sistem diskriminasi semacam ini, diadopsi pemerintah RI setelah merdeka. Baik Orla maupun Orba. Contohnya soal surat bukti kewarganegaraan yang dipersyaratkan untuk warga keturunan Cina walau orangtuanya sudah menjadi warganegara RI. Soal KTP yang diberi kode berbeda untuk warga keturunan Cina, soal jatah untuk masuk PTN dan profesi-profesi lain yang mempersempit partisipasi warga keturunan Cina.

Tapi Ong lebih melihat akar diskriminasi terhadap warga keturunan Cina Indonesia karena dipraktekkannya politik kekerasan oleh rejim Orde Baru.

Yang paling mutakhir adalah Peristiwa 27 Juli dan Kerusuhan Bulan Mei 1998. “Kerusuhan digunakan oleh para elit politik jika mereka mengalami pergolakan,” tambah Ong. Dan korbannya, menurut Ong bukan hanya warga keturunan Cina saja, tapi juga etnis lain.

Ong juga memandang bahwa membincangkan persoalan hubungan antara warga pribumi dan nonpribumi sebenarnya merupakan hal yang tak berguna. Dalam era globalisasi, menurut Ong sangat tidak masuk akal jika masih ada upaya untuk menjegal peranan ekonomi warga keturunan Cina. “Masa kita mau memusuhi warga negara sendiri, sementara kita membiarkan modal asing masuk sebebas-bebasnya?” kata Ong.

Acara talk show yang baru pertama kali diadakan SNB Medan tersebut berlangsut hangat. Tak seperti diduga banyak pihak. Ternyata generasi muda keturunan Cina Medan nampak galak dalam menggugat nasib mereka. Seorang peserta menyayangkan kenapa unsur pemerintah tidak ada yang diundang.

“Sebenarnya mereka yang hendak kita ‘pukul’ agar tak lagi melakukandiskriminasi terhadap kita,” ujarnya.

Peserta lain mengungkapkan bahwa di kalangan warga keturunan Cina masih banyak yang memiliki ketakutan terhadap politik. “Ibu saya melarang saya untuk ikut-ikutan berorganisasi karena nanti nasibnya bisa seperti orang-orang Baperki. Lehernya digorok seperti waktu orang memotong leher babi,” ujar peserta tersebut. Namun demikian, setelah di tanah air belakangan kerap terjadi kerusuhan yang menelan korban etnis Cina, maka ia tergerak untuk aktif berorganisasi. Tujuannya untuk saling menumbuhkan rasa saling mengerti di antara sesama etnis.

Sementara peserta dari HMI, mengungkapkan kerinduannya akan lahirnya orang seperti Arief Budiman yang mau turun ke lapangan. Imbauan itu nampaknya cukup antusias disambut generasi muda warga keturunan Cina Medan.

“Kita memang mempunyai satu tujuan, yaitu sama-sama ingin memajukan bangsa dan negara Indonesia. Namun demikian itu semua tetap dalam konteks Bhineka Tunggal Ika. Jangan paksa kami untuk menanggalkan budaya kami dan memaksa kami menjadi seperti orang Batak atau Jawa. Karena bagaimanapun kami tetap bangga menjadi orang Cina, sekaligus kami juga bangga jadi bangsa Indonesia!” ujar peserta lain.

Memang benar pendapata tersebut. Kwik Kian Gie juga sudah kerap mengatakan bahwa untuk menjadi seorang nasionalis sejati yang dituntut adalah perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari yang membawa kemaslahatan bagi orang banyak. Seseorang tak perlu ganti nama, melakukan operasi mata agar tak sipit atau ganti kulit biar berwarna sawo matang, mengganti agama, atau harus menabukan bahasa ibu, hanya agar dirinya disebut nasionalis.

Yang belakangan memang merupakan warisan usang Orde Baru, yang lebih mementingkan “kulit” daripada “isi”.***

Tulisan ini dimuat di: SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist, edisi 22/9/98

Membangun Pemilu Rakyat, Menumbuhkan Jurnalisme Empati untuk Kaum Difable

Di banyak negara berkembang, kecacatan kerap disikapi oleh pemerintah dan lembaga-lembaga pemberi bantuan sebagai sebuah problem yang tidak perlu diprioritaskan. Perhatian mereka lebih tersedot oleh masalah pendapatan per kapita, akses terhadap tanah, lapangan kerja, perawatan kesehatan, penurunan tingkat kematian anak, urusan sanitasi dan air bersih. Itu semua merupakan masalah-masalah yang dianggap mendesak, tak dapat ditunda, dan karenanya penyandang cacat harus antre di belakang. Politik pembangunan yang memarjinalkan kaum penyandang cacat tersebut telah menimbulkan berbagai bentuk diskriminasi. Misalnya dalam hal perolehan lapangan pekerjaan, pendidikan, kegiatan-kegiatan budaya, olah raga, seni, transportasi serta akses terhadap fasilitas publik.

Semua fasilitas atau sarana publik dibangun dengan menggunakan paradigma orang “normal”. Akibatnya orang yang mempunyai kecacatan fisik, seperti orang cacat yang menggunakan kursi roda, seringkali mengalami kesulitan untuk keluar masuk gedung-gedung perkantoran, plaza, stadion olahraga dsb. Soalnya, pintu masuk elevator atau eskalator dibuat dengan ukuran lebar tubuh manusia “normal”. Dan jamak pula, para pemilik gedung tidak menyediakan jalur khusus untuk mereka. Tak heran, jika kaum difable sering menghadapi kerepotan. Terutama saat mereka keluar dari rumah dan masuk ke dalam ruang publik yang tidak aksesible. Naik kendaraan umum bus, kereta api, kapal laut atau berjjalan-jalan di jalur pejalan kaki, merupakan “siksaan” tersendiri bagi mereka.

Singkat cerita, fokus pembangunan rezim Orde Baru memang lebih berpusat pada pembangunan ekonomi dengan mengesampingkan perhatian terhadap perbaikan fasilitas publik, khususnya untuk para penyandang cacat. Pemerintah memang telah berupaya mengatasi masalah kurangnya fasilitas publik untuk penyandang cacat dengan dikeluarkannya UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Termasuk Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 468/1998 yang menekankan perlunya perhatian bagi akses untuk penyandang cacat. Namun dalam implementasinya, tidak banyak pengelola gedung atau perkantoran yang membangun sarana fisik untuk para penyandang cacat.

Perjuangan kaum penyandang cacat untuk memperoleh hak aksesibilitas mereka memang masih panjang. Bahkan dalam tingkat statistik pun, terjadi kesimpangsiuran yang membingungkan masyarakat. Secara statistik, mereka kerapkali “dianggap tak ada”. Akibatnya mereka seringkali tak dihitung sebagai bagian dari statistik penduduk Indonesia! Tak heran jika menurut perkiraan WHO (World Health Organization), tahun 1999 jumlah kaum penyandang cacat di Indonesia diperkirakan mencapai 5,43% dari jumlah penduduk. Namun meneurut pemerintah jumlah mereka ditaksir kurang lebih 3% dari keseluruhan penduduk Indonesia. Ketidakjelasan data statistik tersebut menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap keberadaan kaum penyandang cacat memang sangat kurang.

Namun siapakah kaum penyandang cacat tersebut?
Menurut Deklarasi Hak Penyandang Cacat, penyandang cacat adalah “seseorang yang tidak mampu melakukan oleh dirinya sendiri sebagian atau seluruh keharusan untuk menjalankan kehidupan sosial dan individu yang normal, akibat berkurangnya (deficiency), baik yang bersifat kebetulan ataupun tidak, kemampuan fisik atau mentalnya. Sedangkan menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), penyandang cacat adalah: “seorang individu yang prospek keamanan, keselamatan dan kemajuan dalam pekerjaan yang sesuai sungguh-sungguh tereduksi akibat kelemahan/kerusakan fisik dan mental yang teramat sangat.”Mereka adalah para penyandang cacat seperti kaum tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, dan tuna grahita (cacat mental). Saat ini di Indonesia, penyandang cacat mental menduduki jumlah paling banyak diantara para penyandang cacat lainnya. Dan kebanyakan penduduk di Indonesia, para difable itu adalah perempuan.

Dari sisi terminologi, memang telah terjadi pergeseran istilah yang cukup signifikan terhadap kaum penyandang cacat. Masyarakat internasional semula menggunakan istilah disability. Namun istilah tersebut kemudian ditinggalkan karena dipandang merupakan salah satu sumber diskriminasi. Alias tidak sesuai dengan semangat kesetaraan sebagaimana dimaktub dalam Pasal 25 Piagam PBB dan DUHAM yang menegaskan: “Setiap orang berhak atas taraf hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya…. pada saat menganggur, menderita sakit, cacat (disability), menjadi janda mencapai usia lanjut atau keadaan lain yang mengakibatkan kekurangan penghasilan, yang berada di luar kekuasaanya.”
Oleh karena itu penggunaan istilah difable didasari oleh suatu pandangan yang berupaya untuk melihat mereka bukan sebagai orang “cacat”. Namun lebih positif, yaitu sebagai orang dengan kemampuan berbeda. Tulisan ini selanjutnya akan menggunakan istilah difable, walau disana-sini terkadang muncul penggunaan istilah penyandang cacat. Semata untuk lebih mengingatkan tentang keberagaman keterbatasan fisik yang ada, dan terkait dengan rekomendasi yang diusulkan.

Pemilu Yang Inklusif
Walau sudah ada instrumen internasional yang bisa dijadikan dasar bagi pemerintah-pemerintah di dunia untuk memperhatikan aksesibilitas kaum difable, namun realitas empiriknya masihlah jauh dari panggang. Masih banyak pemerintah-pemerintah di dunia, termasuk pemerintah Indonesia, yang membangun fasilitas publik dengan orientasi untuk kebutuhan masyarakat “normal”. Aksesibilitas bagi kaum difable masih merupakan “kebutuhan mewah”. Bisa dilihat misalnya, sulit sekali bagi kaum difable untuk menemukan sarana-sarana publik yang mendukung mobilitas mereka. Inilah yang membedakan Indonesia dengan negara-negara maju. Di negara-negara maju, fasilitas-fasilitas untuk penyandang cacat bisa ditemukan di tempat-tempat umum, semisal di trotoar, di pusat perbelanjaan dan lain-lain.

Persoalannya, ditengah kesibukan bangsa ini menyongsong penyelenggaraan Pemilu 2004, akankah aksesisibilitas kaum difable pada pemilu juga akan termarjinalkan? Sudah cukupkah perhatian yang diberikan penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan kalangan civil society dalam memenuhi harapan-harapan kaum difable agar mereka tidak kehilangan hak-hak politiknya?
Belum lama berselang terbetik berita sejumlah aktivis dari kaum difable berencana melakukan aksi boikot dengan cara tak menggunakan hak pilih mereka dalam pemilu. Alasannya karena KPU dinilai tak konsisten dengan aturan main yang telah mereka buat sendiri. Misalnya soal akses (kemudahan) kaum difable ke TPS. KPU sampai sekarang dinilai tidak serius untuk menjamin pengadaan bilik suara yang ukurannya memenuhi standar bagi pemilih yang menggunakan kursi roda. Termasuk ketersediaan templete atau kertas karton yang dilubangi dan diberi huruf braille, yang bisa membantu pemilih yang cacat netra, agar bisa memilih secara langsung tanpa diwakilkan lagi kepada orang lain atau pendamping.

Sejauh terbaca dari pemberitaan media massa, penolakan KPU untuk memberikan fasilitas akses kepada kaum difable semata karena persoalan keterbatasan dana. Namun justru hal inilah yang tak bisa diterima kaum difable. Dalam penilaian mereka, khususnya yang tergabung dalam PPUA (Panitia Pemilihan Umum Akses), KPU harus konsisten menindaklanjuti isi Pasal 88 ayat 2 dari UU Pemilu No. 12 Tahun 2003 yang menyatakan: “TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas dan rahasia.”

Melihat rumusan Pasal 88, KPU semestinya memang tidak akan membuat bilik suara berdasarkan desain universal. Desain bilik suara umum, jelas melupakan unsur different ability dari para penyandang cacat. Kemudian tidaknya ada templete yang membantu kemudahan pemilih yang tuna netra, jelas bertentangan dengan prinsip pemberian suara yang luber. Namun berhadapan dengan kendala keterbatasan anggaran, KPU tampaknya memilih jalan yang berbeda. KPU besar kemungkinan akan menunda harapan kaum difable untuk memperoleh akses dalam Pemilu 2004.
Padahal salah satu prinsip pemilu adalah sifatnya yang inklusif. Dalam arti setiap warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih, atas nama perbedaan apapun, berhak memperoleh perlakuan yang sama sebagai calon pemilih. Oleh karena itu walaupun orang tersebut tergolong masyarakat terasing, menganut agama yang tak diakui negara, berstatus sosial gurem, menganut ideologi politik yang berbeda dengan ideologi mainstream, bahkan memiliki kemampuan yang berbeda, tanpa kecuali harus diakui hak-haknya secara politik.

Pengakuan terhadap hak pilih, akan menentukan tingkat aktualisasi pilihan politik seseorang terhadap calon wakil rakyat, utusan daerah atau capres/cawapres yang akan dipilihnya. Hak pilih, ketika digunakan, oleh karena itu merupakan bentuk perwujudan kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat. Tak menjadi masalah, apakah akan digunakan pada Pemilu 2004, atau akan disimpan dan baru digunakan pada Pemilu 2009. Pengakuan negara atas hak pilih seseorang, dengan demikian merupakan wujud pengakuan negara terhadap hak politik orang bersangkutan.

Berkaca Pada Pemilu Sebelumnya
Belajar dari penyelenggaraan pemilu-pemilu sebelumnya, kaum difable boleh dibilang merupakan kelompok yang paling termarjinalkan dalam pelaksanaan Pemilu. Tentu jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Pada level kultural, ada anggapan pada sebagian besar masyarakat yang menganggap kaum difable sebagai kaum yang tidak sehat secara jasmaniah. Padahal kaum ini tetap sehat. Mereka hanya memiliki anggota tubuh dan kemampuan yang berbeda (different abilities) dibanding masyarakat “normal” umumnya. Implikasi dari anggapan seperti ini, berdampak pada cara masyarakat, termasuk pemerintah, memperlakukan kaum difable. Pendekatan santunan sosial dan belas kasihan menjadi sangat kental menjadi basis bagi pengadaan proyek-proyek sosial pemerintah dan para dermawan. Akhirnya tercipta pola hubungan “penyantun” dan “yang disantuni”.

Akibat berbagai stigma tersebut, secara kultural, kelompok difable mengalami kendala psikologis berupa rasa minder untuk bergaul dengan mereka yang “normal”. Umumnya, sikap minder diri dijumpai pada kalangan penyandang cacat yang tinggal di luar panti asuhan. Artinya, banyak dijumpai pada kelompok yang tinggal di daerah-daerah pedesaan. Atau mereka yang tinggal bersama keluarga mereka sendiri. Alasan tinggal di rumah bersama anggota keluarga sendiri umumnya untuk menghindari sorotan perhatian orang banyak. Para orang tua penyandang juga merasa malu kalau anaknya yang cacat itu dilihat orang banyak. Oleh sebab itu para orang tua lebih menginginkan kalau anaknya tinggal saja di rumah. Akibatnya dalam hampir setiap momen pemungutan suara, para orangtua penyandang cacat biasanya akan mewakili hak suara dari anggota keluarganya yang mengalami kecacatan.

Dengan kata lain, bagi kaum difable, datang ke tempat bilik pencoblosan saja sudah merupakan beban tersendiri. Untuk menyalurkan suaranya, mereka butuh bantuan orang lain, terutama keluarga. Bagi mereka yang tidak punya keluarga, akan mengalami kesulitan. Bagi kebanyakan kaum tuna netra, kerahasiaan memilih pada akhirnya menjadi sesuatu yang hampir mustahil. Di sisi lain, kesulitan teknis dan rasa minder yang dihadapi kaum difable, membuat tingkat golput di kalangan ini menjadi cukup besar pada Pemilu 1999.

Pararel dengan kondisi umum tersebut adalah minimnya sarana bagi para penyandang cacat untuk menampilkan aspirasi politiknya. Dari Pemilu ke Pemilu, selalu muncul kendala-kendala teknis yang itu-itu juga. Misalnya saja kendala teknis saat pendaftaran calon pemilih. Petugas P4B, ternyata jarang sekali yang mempunyai inisiatif untuk menanyakan dengan rinci jenis kecacatan kelompok difable yang di data. Akibatnya, tidak teridentifikasi dengan jelas, apakah kebutaan yang dialami calon pemilih bersifat total atau hanya low vision (masih bisa melihat tapi samar) atau buta toal. Hal ini akan mempengaruhi data tentang jumlah dan jenis kelompok difable yang ada di tiap-tiap tempat pemungutan suara (TPS), termasuk akan mempengaruhi aksesibilitas mereka di TPS.

Selain kendala yang bersifat kultural dan teknis, sebuah assessment yang dilakukan enam lembaga yang tergabung dalam Koalisi Media untuk Pemilu Bebas dan Adil juga menunjukkan adanya kendala struktural, yang terlihat dari terjadi proses marjinalisasi politik kaum difable. Berkaca pada pengalaman-pengalaman Pemilu sebelumnya, kaum difable mengaku bahwa mereka sebenarnya hanya sekedar dipandang sebagai angka statistik yang dibutuhkan Parpol untuk kepentingan menambah jumlah suara. Ketika rezim Orde Baru Soeharto berkuasa, situasi represi politik dan pola hubungan paternalistik yang terjadi pada panti-panti sosial atau institusi para penyandang cacat, membuat mereka harus mematuhi pilihan politik yang digariskan pihak pengurus. Dalam hal ini mereka harus mencoblos Golkar.

Pada saat itu, hak berpolitik dipahami semata sebagai dukungan terhadap Golkar. Dan itu artinya, ketika pemilihan berlangsung, mencoblos tanda gambar Golkar. Realitas politik seperti itu tampaknya belum beranjak ketika rezim Orde Baru Soeharto dilengserkan oleh kekuatan reformasi. Pada Pemilu 1999, kaum difable tanpa sempat memperoleh bekal pendidikan politik tentang arti penting Pemilu, kembali memperoleh gerilya politik ala Orde Baru, namun dengan aktor-aktor yang berbeda. Namun intinya sebenarnya sama: Pemilu = memberikan suara bagi Megawati. Tujuan = Megawati menjadi presiden, alasan = Megawati pernah datang ke panti mereka dan memberikan sumbangan.

Pengetahuan Tentang Sistem Pemilu 2004 Masih Rendah
Pemerintah semestinya mempunyai kepedulian terhadap hal ini. Namun kenyataannya, bukan hanya pemerintah yang tidak peduli, namun termasuk juga kalangan masyarakat sipil. Kalangan pers misalnya, tidak cukup memberi perhatian terhadap nasib dan aspirasi kelompok penyandang cacat. Kelemahan media kita memang, membiarkan pemberitaan mengalir sesuai dengan perkembangan isu dan situasi, tanpa ada desain atau agenda untuk mengangkat dan mempersoalkan sisi-sisi tertentu dari sebuah penyelenggaraan Pemilu.

Hasil Assessment memperlihatkan terjadi perbedaan pengetahuan yang cukup signifikan tentang pemilu 2004 antara kaum difable yang tinggal di panti-panti sosial dengan yang tinggal bersama keluarga. Bagi kaum penyandang cacat yang tinggal di pedesaan dan tinggal bersama keluarga mereka sendiri, umumnya pengetahuan tentang tahapan dan sistem Pemilu 2004 masih memprihatinkan. Mereka umumnya hanya mengetahui bahwa yang membedakan Pemilu 2004 dengan pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa pada Pemilu 2004 masyarakat akan memilih calon presiden secara langsung. Hal ini bertolak belakang dengan kaum penyandang cacat yang tinggal di panti-panti sosial, yang umumnya sudah memperoleh sosialisasi Pemilu 2004 dan menyadari hak-hak politik mereka sebagai calon pemilih pada Pemilu 2004.

Umumnya beberapa pengurus dari organisasi penyandang cacat bahkan sudah pernah berhubungan atau mengikuti kegiatan-kegiatan pendidikan politik yang diadakan kalangan Ornop, misalnya mengikuti simulasi Pemilu yang diadakan CETRO.

Rendahnya pengetahuan dan kesadaran para penyandang cacat terhadap sistem, tahapan dan mekanisme Pemilu antara lain disebabkan kurangnya sosialisasi tentang sistem, tahapan dan mekanisme Pemilu yang menerpa mereka. Pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga formal yang memang bertanggungjawab melakukan sosialisasi justru belum pernah secara langsung melakukan sosialisasi kepada kelompok-kelompok penyandang cacat. Sementara pihak LSM/NGO yang melakukan sosialisasi kepada kelompok cacat juga masih sangat terbatas yaitu baru dilakukan oleh CETRO. Itupun hanya terbatas pada penyandang cacat tertentu dalam panti dan materi hanya hanya menyangkut prosedur memilih secara umum.

Proyeksi Kaum Difable Dalam Pemilu 2004
Belajar dari fakta-fakta di atas, dapat dilihat betapa masih minimnya persiapan dan proyeksi-proyeksi buat kaum difable menghadapi Pemilu 2004. Di tingkat pemahaman tentang seluk-beluk Pemilu, kesadaran politik sebagai pemegang hak pilih (dan apalagi hak untuk dipilih), hingga aspek-aspek teknis pelaksanaan Pemilu itu sendiri. Bagaimana kemungkinan-kemungkinan pada Pemilu 2004? Hasil assessement menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya gerilya politik yang dilakukan sejumlah partai politik dengan membawa mereka ke acara-acara perayaan yang diadakan partai politik. Mereka diberi janji-janji politik akan diperjuangkan nasibnya jika memilih Parpol bersangkutan. Namun buntutnya, mereka juga diberi cindera mata berupa kaos dan uang transportasi.

Parpol-parpol yang aktif melakukan gerilya politik terhadap kaum difable, kembali mengulang politik gaya Orde Baru, menjadikan mereka hanya mesin pendukung suara. Sementara pendidikan politik tentang arti Pemilu, sistem Pemilu 2004, prosedur pemilihan, tidak disentuh sama sekali. Pemerintah, dalam hal ini KPU juga setali tiga uang. Sosialisasi tentang Sistem Pemilu 2004 masih dipandang kebutuhan mewah.

Sejumlah harapan memang dialamatkan ke penyelenggara Pemilu. KPU misalnya diharapkan dapat membuat berbagai brosur tentang sistem Pemilu 2004 yang memudahkan kaum difable untuk memahaminya. Pada tingkat teknis pelaksanaan hari pencoblosan, sebuah TPS (Tempat Pemungutan Suara) untuk kaum difable diharapkan juga dapat difasilitasi KPU. Dengan adanya TPS khusus, yang memang disediakan untuk mereka, diharapkan berbagai perlakuan diskriminatif yang mereka terima selama ini bisa dihindari. Misalnya bagi kaum tuna netra yang sudah lama ikut antri melakukan pencoblosan, tiba giliran mereka, panitia tiba-tiba mengalihkan giliran tersebut kepada calon lainnya yang normal. Sedangkan tuna wicara mengharapkan agar panitia menyediakan seorang penterjemah yang dapat memberikan keterangan tentang mekanisme pencoblosan. Hal ini penting, terutama bagi kaum tuna wicara yang tidak targebung dalam organisasi, tapi hendak menggunakan hak pilihnya. Tentu saja mereka membutuhkan penjelasan dari panitia.

Fakta Publik, Bukan Pejabat Publik
Persoalannya, bagaimana respon media massa dalam melihat minimnya aksesisibilitas kaum difable dalam pemilu 2004? Sejauhmana media massa dapat memerankan diri sebagai saluran advokasi bagi kaum difable agar hak-hak politik mereka dalam Pemilu 2004 tidak dimarjinalkan? Lebih dari itu, mungkinkah media massa bisa berperan sebagai mediator agar terjadi “kontrak-kontrak sosial” baru dari para peserta pemilu dengan kaum difable? Mungkinkah media massa bisa berperan sebagai penyambung lidah bagi kaum difable?

Berkaca pada pemberitaan media massa pada pemilu-pemilu sebelumnya, media massa tampaknya belum terlalu banyak memperhatikan keberadaan kaum difable. Analisis isi berita Pemilu tahun 1999 yang pernah dilakukan ISAI dan Artikel XIX menunjukkan bagaimana media lebih tertarik memberitakan pertarungan antar partai politik. Media lebih banyak didominasi oleh suara-suara elit partai politik daripada memperhatikan suara masyarakat seperti kaum difable ini. Akibatnya berbagai persoalan yang berhubungan dengan nasib dan diskriminasi kelompok difable, tidak muncul dalam pemberitaan media.

Survei ISAI, KIPPAS, LSPS, Elsim, Lespi dan Radio Mara pada tahun 2003 terhadap wartawan di enam kota besar di Indoensia, menunjukkan bahwa berita media masih akan seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya yang diwarnai oleh berita-berita elitis pertarungan antar elit politik. Ini bisa dilihat ketika kepada responden ditanyakan apakah menurut mereka penting atau tidak penting untuk diberitakan berbagai isu seputar Pemilu. Ternyata, pada urutan teratas, masalah yang dianggap penting adalah isu soal persaingan atau pertarungan antar partai politik dan kandidat presiden. Berbagai masalah yang lebih substansial untuk diketengahkan seperti soal kelompok marjinal, pemilih pemula atau isu perempuan, meski dianggap penting tetapi menempati urutan bawah.

Pilihan tertinggi tetap pada isu-isu elitis mengenai persaingan antar partai politik atau kandidat presiden. Isu soal persaingan antar partai politik misalnya dianggappenting oleh 86.8% responden, sementara isu soal program partai atau kandidat presiden dianggap penting oleh 85.8% responden. Isu-isu soal masayarakat sipil atau hak kaum marjinal menempati ututan yang dianggap penting lebih bawah.

Hasil survei tersebut membenarkan kritik bahwa pers memang kerap mengabaikan suara-suara orang yang tak bersuara tersebut. Pers hanya mengutip pendapat atau komentar dari orang-orang terkenal. Padahal orang-orang terkenal tersebut seringkali bukan pemilik masalah. Sementara masyarakat marjinal seperti kaum buruh, kaum tani, kaum nelayan, para penyandang cacat sebagai pemilik masalah, justru tak diberi kesempatan untuk bersuara. Mereka merasa hanya dijadikan angka statistik yang kegunaannya bagi wartawan adalah sekedar deskripsikan suatu peristiwa.

Kritik masyarakat kecil yang sering menjadi bahan pemberitaan pers tapi marjinal posisinya sebagai narasumber media, penting dikemukakan di sini terkait dengan harapan agar pers bisa memerankan sebagai media advokasi bagi kaum ‘grass root” tersebut. Persoalannya, realistiskah mengharapkan institusi media yang dikelola lewat logika kapital menjadi media advokasi bagi masyarakat marjinal seperti kaum difable tersebut?

Jurnalisme Empati
Menurut Ashadai Siregar, dari hari ke hari jurnalis berkutatan menghadapi fakta sosial. Andaikan jurnalis berada dalam ruang sosial yang keadaannya bagaikan surga, fakta macam apakah yang akan dijadikannya berita? Ruang sosial semacam ini berkondisikan fakta-fakta yang di dalamnya hubungan antar manusia bersifat setara, setiap orang memperoleh keadilan yang menjadi haknya. Dengan demikian interaksi sosial pada hakekatnya suatu situasi sosial dengan orang-orang yang terjamin keberadaannya, terbebas dari penindasan, kekerasan, atau kerugian lainnya. Karenanya pula dapat dipastikan setiap cerita tentang fakta merupakan deskripsi yang adil dan seimbang, sebab fakta itu sendiri sudah bersifat adil dan seimbang. Namun ruang sosial yang dihadapi jurnalis bukanlah suatu kehidupan surgawi. Soalnya, tidak pernah realitas bangunan sosial sepenuhnya berisi relasi antar manusia bersifat setara dan adil, sebab kondisi realitas sosial pada hakekatnya adalah ketidak-setaraan dan ketidak-adilan. Dengan visi bertolak dari paradigma semacam ini, selalu muncul panggilan untuk kesadaran suatu misi manakala dihadapkan dengan tujuan bersifat idealistis. Hanya dengan visi yang bernuansa negatif seseorang terpanggil untuk suatu misi positif. Kesetaraan dan keadilan, selamanya merupakan tujuan dari misi yang ingin diwujudkan dalam kehidupan sosial.

Jjurnalisme empati bertolak dari cara pandang jurnalis bahwa setiap realitas sosial pada dasarnya merupakan interaksi sosial antar manusia. Dan dalam setiap interaksi sosial pada dasarnya secara potensial terdapat korban. Korban adalah person yang kalah atau tidak berdaya manakala berhadapan dengan pihak lainnya dalam suatu interaksi sosial tersebut. Semakin kecil kekuasaan seseorang atau sekelompok, semakin besar peluangnya untuk menjadi korban bagi orang atau kelompok lain yang lebih kuat. Dengan kata lain, dalam setiap interaksi sosial selalu ada pihak yang powerless, dan ada pihak yang powerfull.

Kaum buruh, petani dan nelayan, adalah kelompok masyarakat yang selalu berada pada posisi korban, terutama jika berhadapan dengan kaum bermodal (pengusaha). Oleh karena itu ketika jurnalis mengeksplorasi kisah mereka, pada hakikatnya jurnalis tengah mendeskripsikan cerita tentang ketidakadilan sosial yang menimpa mereka. Oleh karenanya menurut Ashadi Siregar, untuk mengimplementasikan jurnalisme empati, seorang jurnalis dalam mengeksplorasi fakta-fakta tersebut sebelumnya sudah harus mempunyai sudut pandang (angle) dan fokus perhatian (focus interest).

Kedua hal tersebut saling berkaitan. Sudut pandang merupakan pilihan dalam menentukan sasaran yang akan dijadikan subyek dalam pusat perhatian. Dengan sudut pandang akan menjadikan subyek dalam pusat perhatian. Dengan sudut pandang, akan menjadikan subyek sebagai titik tolak dalam pemaparan berita (news story). Manakala yang dijadikan subyek adalah korban dalam relasi sosial, maka untuk mendapatkan gambaran tentang fakta situasi sosial korban, diperlukan langkah jurnalisme yang berlandaskan metode partisipatoris.

Metode partisipatoris bertolak dari rasa empati jurnalis terhadap korban. Bahwa yang dihadapi bukan sekadar fakta kekerasan an sich, bukan sekadar korban yang mengalami kekerasan. Bukan sekedar buruh yang tak mampu makan ayam goreng a la Kentucky atau menyantap burger. Atau nelayan yang tinggal di rumah yang mirip bedeng. Dan dibelit kemiskinan yang langgeng. Tapi sebuah fenomena sosial yang memiliki dimensi struktural, dus karenanya mengandung ketidakadilan. Dengan metode partisipatoris, jurnalis diharapkan bisa menangkap realitas yang sebenarnya kehidupan kaum marjinal tersebut.

Oleh karena itu ketika membingkai realitas sosial kehidupan kaum buruh, nelayan, petani atau kaum miskin kota seperti pedagang kaki lima, kaum difable, jurnalis harus mampu menangkap masalah dasar yang membelit masyarakat marjinal. Lewat metode partisipatoris, jurnalis diharapkan tidak sekedar memotret persoalan kaum marjinal yang hanya muncul ke permukaan. Misalnya soal arogansi aparat tibum yang menggusur paksa para pedagang kaki lima, atau para preman yang mengerasi kaum buruh yang tengah melakukan demonstrasi.

Tapi fakta yang digali jurnalis jauh menukik ke fakta-fakta yang tersembunyi, misalnya soal ketidakadilan struktural yang menjadi penyebab terjadinya proses marjinalisasi masyarakat marjinal. Ketidakadilan struktural bisa “diintip” lewat berbagai kebijakan negara atau kekuatan modal swasta yang bersekutu dengan negara, yang telah menyingkikirkan masyarakat marjinal tersebut.

Penutup
Kaum difable barangkali hanyalah sekeping dari bongkahan besar masyarakat Indonesia. Sudah tentu, media massa, tak bisa melayani seluruh kepentingan kelompok masyarakat. Namun tak bisa dipungkiri bahwa media massa kerapkali diharapkan berperan sebagai moulder of reality (pengubah wajah masyarakat). Bukan sekedar mirror of reality. Media massa diharapkan juga mampu mendorong terjadinya perubahan agar wajah masyarakat menjadi penuh empati khususnya terhadap kaum difable yang sering mengalami berbagai tindak diskriminasi.
Dalam konteks perjuangan aksesisibilitas kaum difable, media massa diharapkan dapat menjalankan peran sebagai media public watch dog. Caranya dengan tidak jemu-jemu menghadirkan fakta media yang dibangun dari konstruksi sosial yang berempati terhadap sejumlah persoalan kaum difable. Khususnya dalam menyongsong Pemilu 2004, yang diharapkan bisa berlangsung secara demokratis bagi kaum difable. Dengan menghadirkan fakta media yang dikonstruksi dari suara rakyat, bukan suara elit, diharapkan para pejabat publik, seperti KPU, dapat mengeluarkan sebuah kebijakan publik yang berempati terhadap kebutuhan kaum difable.

Menyoal Kebebasan Pers, Pers Bebas dan “Kebablasan Pers”

Seperti apa penilaian masyarakat terhadap wajah pers setelah pers menikmati kebebasan sejak reformasi digulirkan pada Mei1998? Apa saja harapan masyarakat terhadap pers, dan sejauhmana pers memenuhi harapan tersebut? Seperti apa komunitas pers memaknakan kebebasan pers? Seberapa kuat tarik menarik antara tuntutan pers bebas dan kebebasan pers? Pertanyaan ringkasnya, seberapa tingkat profesionalisme pers dewasa ini?

Sudah tentu, ada banyak metode untuk menilai profesionalisme pers. Salah satu caranya dengan mendengar kritik dari masyarakat atau narasumber berita. Termasuk menyimak pandangan pakar komunikasi. Banyak keluhan dilontarkan masyarakat terhadap perilaku (beberapa) pers paska longsornya rezim otoriter Suharto. Ada yang menilai pers tak lebih dari tong sampah. Tempat dimana segala sumpah serapah pribadi atau kelompok ditampung.

Tujuannya bukan untuk mencerdaskan atau mengasah akal sehat publik. Tapi untuk mempermalukan atau membunuh karakter seseorang atau kelompok, yang dipandang berseberangan secara politik. Parni Hadi, redaktur harian Republika menilai bahwa pers sekarang tak lebih dari talang air tanpa alat penyaring. Akibatnya segala ucapan narasumber menggelontor begitu saja menghiasi kolom-kolom halaman media pers.

Ada juga yang menilai pers telah berubah menjadi provokator. Terutama ketika pers memberitakan tentang konflik berdimensi etnik. Misalnya yang terjadi antara masyarakat Madura dan Dayak di Kalimantan, serta konflik antar penganut agama yang berbeda di Ambon.

Pemberitaan pers ditengarai juga telah memantik konflik lanjutan pada tingkat masyarakat itu sendiri. Dalam meliput konflik, pers tidak menjalankan fungsi conflict resolution. Tapi justru sebagai issue intensifier. Pers memunculkan issue atau konflik dan kemudian mempertajamnya. Soal materi liputan, ada juga kritik yang mengatakan bahwa pers terlalu banyak “mengobok-obok” urusan domestik seseorang. Terutama jika berhubungan isu skandal para pejabat.

Pendeknya, ada sebagian masyarakat yang menganggap kebebasan pers telah berubah menjadi “kebablasan pers”. Misalnya Aisyah Aminy, seorang anggota DPR dari Fraksi PPP, yang dalam rapat kerja dengan Menteri Negara Informasi dan Komunikasi Syamsul Muarif tahun 2001, malahan melontarkan usulan untuk merevisi UU Pokok Pers No. 40 Tahun 1999. Dalam pandangannya, UU Pers telah gagal mengantisipasi ekses-ekses negatif dari kebebasan pers.

Misalnya maraknya penerbitan pornografi, penyebaran berita yang provokatif, character assassination terhadap tokoh publik, serta fenomena wartawan gadungan alias wartawan bodreks. Soal pers yang kebablasan ini, Syamsul Muarif juga berpendapat bahwa pers telah membuat berita-berita yang tidak lagi faktual, tapi menjadi provokatif karena sudah diskenariokan untuk kepentingan tertentu. (Suara Pembaruan, 22/12 /01).

Cara lain untuk menilai profesionalisme pers adalah dengan melihat isi komplain publik yang dimuat dalam rubrik surat pembaca. Menurut (almarhum) Mahbub Djunaidi, jurnalis, bekas ketua PWI sekaligus kolomnis yang dikenal jenaka, komplain publik merupakan mekanisme yang sangat demokratis dalam dunia jurnalistik. Karenanya, jika ada pers yang mengabaikan komplain publik, pers itu bisa menjadi tiran yang menindas hak-hak demokratis publik, yang notabene sebagian dari mereka ikut membiayai kehidupan institusi pers lewat uang berlangganan tersebut. Atau membeli secara eceran.

Kedua, UU Pers No. 40 Tahun 1999 mencantumkan secara khusus tentang Hak Jawab dan Hak Koreksi, sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat 2 dan 3. Ketiga, dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) juga ada rambu-rambu moral, terutama butir ketujuh, yakni “Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.” Jadi, ada alasan konstitusional sekaligus moral bagi pers untuk meladeni hak jawab. Pengertian hak jawab itu sendiri adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Alasan keempat, dan ini yang lebih penting, pemuatan hak jawab juga mencerminkan masalah pertanggungjawaban pers kepada publik. Artinya, ketika menyampaikan informasi, pers berada dalam tanggung jawab yang tergantung atas dukungan atau penolakan masyarakat. Dukungan masyarakat atau publik bersumber dari kredibilitas pers. Dan salah satu sumber kredibilitas pers ditentukan oleh kredibilitas pemberitaannya. Dengan demikian komplain publik merupakan salah satu indikator untuk menilai sejauhmana profesionalisme pers.

Metode lain yang bisa digunakan untuk menilai profesionalisme pers adalah dengan melakukan studi terhadap teks-teks berita yang diproduksi surat kabar, majalah atau tabloid. Alat analisinya bisa dengan menggunakan analisis kuantitatif (content analysis) maupun analisa kualitatif (discourse analysis dan framing analysis).

Pers Dewasa Ini
Di bagian depan, sudah diungkap beberapa tuduhan masyarakat terhadap pers? Sejauhmana kebenaran tuduhan tersebut? Dan seperti apa isi komplain serta content pemberitaan pers dewasa ini?

Sebelum mengurai lebih jauh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, bagian berikut mendeskripsikan beberapa karakteristik wajah pers paska reforrmasi.

Pertama, isi pemberitaan pers boleh dikatakan tak lagi mengenal rambu-rambu seperti yang ditabukan pada saat Suharto berkuasa. Pers kini tak lagi sungkan menulis soal konflik antar suku secara terbuka. Bahkan bisnis keluarga Suharto serta skandal anak dan cucunya juga sudah menjadi sasaran pemberitaan pers. Tak ada lagi kini hantu pembredelan yang membayangi kerja para pekerja pers. Kehadiran UU Pers No. 40 Tahun 1999, juga dianggap sangat akomodatif terhadap kemerdekaan pers. Bahkan menurut jurnalis senior Atmakusumah Astraatmadja, produk hukum di era B.J. Habibie tersebut tergolong sangat liberal.

Sudah tentu, berbagai pihak yang dulunya menikmati immunitas pemberitaan ala orde baru, kini menjadi “kelabakan” menghadapi pertanyaan-pertanyaan kritis para wartawan. Para perwira tinggi di Kostrad barangkali tidak pernah membayangkan kalau kredibilitas yang selama ini dibangun secara angker dan berhasil “mengelabui” masyarakat, tiba-tiba ambrol dalam sekejap. Korps baju hijau yang diagung-agungkan sebagai patriot sejati, pembela nusa bangsa dan tanah air, hidup penuh suasana disiplin, tibat-tiba dikejutkan dengan temuan kasus korupsi yang melibatkan para jendral, dan dipublikasikan secara luas oleh media massa.

Anggota korps baju hijau yang semasa rezim orde baru Suharto hampir-hampir tak pernah tersentuh pemberitaan media massa, kecuali cerita-cerita seputar keunggulan mereka terhadap kaum sipil, mendadak banyak diberitakan pers karena skandal-skandalnya. Berbagai kisah pelanggaran HAM yang mereka lakukan di tanah rencong Aceh, Irian Jaya, Timor Timur, sampai berbagai isu selingkuh para jendral, laris manis menjadi komoditi informasi media. Sebuah perubahan yang sangat drastis. Bahkan mungkin Suharto sendiri juga tidak menduga kalau proses penistaan terhadap diri dan keluarganya akan terjadi demikian cepat!

Isi pemberitaan pers yang tak lagi mengenal rambu-rambu SARA, juga berkaitan dengan prosedur perolehan SIUPP yang tergolong cepat dan tak lagi sepolitis seperti di era rezim Orde Baru Suharto. SIUPP kini tak lagi dijadikan instrumen politik, namun sekadar persyaratan birokrasi usaha. Sama seperti ketika seorang warga hendak membuka usaha tertentu. Akibatnya jumlah penerbitan bertambah secara signifikan. Menurut hasil penelitian Dewan Pers, pada tahun 1999, Deppen, sebelum dibubarkan, telah mengeluarkan SIUPP baru sebanyak 1.687 buah. Kemudian pada tahun 2000 dan 2001 terdapat penambahan 500 SIUPP baru lagi. Namun dalam prakteknya, tidak semua pemilik SIUPP memiliki usaha penerbitan. Tahun 1999 misalnya dari 1.687 buah SIUPP baru, hanya 1.381 buah yang terbit. Selama tahun 1999, satu per satu penerbitan baru mulai rontok, hingga akhirnya tinggal 551 penerbitan yang bertahan.

Kedua, profesi jurnalis adalah profesi yang terbuka. Tak ada kualifikasi seperti seseorang yang hendak membuka praktek dokter atau pengacara. Walau ada sekolah khusus untuk calon jurnalis, namun jurnalis yang memiliki latar belakang pendidikan jurnalistik, barangkali jumlahnya lebih sedikit dibanding jurnalis yang memiliki latar belakang pendidikan non jurnalistik.

Profesi jurnalis yang terbuka ini membuat siapa saja bisa menjadi jurnalis. Akibatnya, mana yang jurnalis sejati dan mana yang jurnalis “jadi-jadian”, dewasa ini susah untuk ditengarai. Termasuk mana media yang “jadi-jadian”, mana media yang “sejati”. Lebih jauh lagi, seorang intel, provokator, preman, sekarang ini bisa menjadi jurnalis sekaligus pemimpin redaksi merangkap sebagai pemodal. Mereka inilah kelompok yang potensial untuk menyalahgunaan (kartu) pers untuk kepentingan-kepentingan non jurnalistik. Merekalah kelompok yang bisa membangun wajah pers di era reformasi menjadi bopeng-bopeng.

Ketiga, menguatnya fenomena pers industri, yang merupakan konsekuensi dari proses industrialisasi di bidang media massa. Fenomena pers industri, membuat media massa memiliki dua wajah, sebagai institusi bisnis dan institusi sosial. Kedua sifat institusional ini membawa implikasi dalam orientasi keberadaannya. Sebagai institusi bisnis media massa sama halnya dengan setiap korporasi, yaitu menjalankan operasinya dengan orientasi ke dalam (inward looking), untuk kepentingan sendiri. Sedang dalam menjalankan fungsi sebagai institusi sosial, berorientasi ke luar (outward looking) untuk kepentingan masyarakat. Pertentangan dua wajah ini menjadi perdebatan yang kunjung usai, menandai keberadaan media dalam masyarakat. Sementara ke dalam pertentangan orientasi ini membawa implikasi terhadap opersi kerja kaum jurnalis. Di satu pihak, dari dalam, jurnalis yang dituntut untuk menghasilkan informasi untuk memenuhi orientasi bisnis, pada pihak lain, dari luar, ada harapan agar menjalankan fungsi sosial. Sehingga media dan jurnalis berada di antara dua dunia, sebagai pekerja dalam konteks institusi bisnis ataukah sebagai pelaku profesi yang menjalankan fungsi sosial (Ashadi Siregar: 2002).

Yang jelas, kekuatan kapitalisme media seringkali mengorbankan fungsi pers sebagai institusi sosial. Persaingan antar media yang semakin sengit, apalagi sejak reformasi jumlah media bertambah sedemikian drastis, menjadikan pemberitaan sejumlah media pers keluar dari norma-norma etika jurnalistik. Banyak pemberitaan pers yang lebih mengedepankan sensasi, bombabtis dan mendramatisir realitas atau isu yang diliput. Semata karena orientasi untuk memenangkan pasar.

Ketiga kecenderungan tersebut, barangkali merupakan setting sosial yang ikut membentuk seperti apa wajah pers dewasa ini.

Kebebasan Pers dan Pers Bebas
Kritik penting yang perlu dikritisi adalah tuduhan masyarakat, termasuk sejumlah elit politik, yang mengatakan bahwa pers telah kebablasan. Bagaimana kritik tersebut mesti ditanggapi?
Agar tidak timbul pemahaman yang keliru, maka perlu dibedakan antara kebebasan pers (freedom of the press) dengan pers bebas (free press). Kebebasan pers dapat diartikan sebagai hak warga masyarakat untuk mengetahui (right to know) masalah-masalah atau fakta publik, dan di sisi lainnya hak warga masyarakat dalam mengekspresikan pikiran dan pendapatnya (right to expression). Kedua dimensi hak ini saling bertalian. Untuk memiliki pikiran dan pendapat tentang masalah publik, warga masyarakat dengan sendirinya harus mendapat informasi yang benar.

Sedangkan pers bebas adalah kebebasan yang dimiliki orang pers untuk menerbitkan segala jenis media, mulai dari yang bersifat partisan secara politik, memamerkan paha dan dada, berisi tebakan kode buntut sampai yang mengurusi jin dan tuyul. Profil pengusaha yang menerbitkan juga beragam. Mulai dari konglomerat, bekas aktivis partai, pengacara, preman, calon tanah, sampai bandar narkoba. Siapa saja bisa menjadi pengusaha pers dan bisa menjadi pemimpin redaksi tanpa perlu rekomendasi organisasi wartawan, dan tenu saja: bebas penataran P4!
Oleh karena itu pertanyaannya: apakah yang berlaku sekarang ini kebebasan pers atau sekedar pers bebas?

Landasan Normatif
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya diuraikan terlebih dahulu sumber dari kebebasan pers. Secara normatif hak masyarakat dalam proses berpendapat dijamin secara universal dalam naskah Deklarasi Hak asasi Manusia PBB, khususnya Pasal 19 dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik PBB Pasal 19 dan 20.

Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, Pasal 19 menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima serta menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dengan tidak memandang batas.”

Ketentuan tersebut dijabarkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 19 dan 20. Isi kedua pasal tersebut tidak hanya menjamin prinsip kebebasan bagi pers, tetapi lebih luas lagi bagi setiap orang.

Pertama, setiap orang mempunyai hak untuk mempunyai pendapat tanpa gangguan; kedua, setiap orang mempunyai hak akan kebebasan menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan gagasan apapun, tanpa memandang batas-batas, baik secara lisan, melalui tulisan ataupun cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lain menurut pilihannya; ketiga, pelaksanaan hak-hak yang disebut dalam ayat 2 pasal ini membawa kewajiban-kewajiban dan tanggungjawab khusus.
Oleh karena itu, pelaksanaan hak-hak tersebut bisa dikenai pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi pembatasan-pembatasan itu hanya diperkenankan sepanjang ditetapkan dalam undang-undang dan perlu: untuk menghormati hak-hak dan nama baik orang lain. Untuk melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum (public order), atau kesehatan masyarakat dan kesusilaan.

Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani Deklarasi PBB dan Kovenan tersebut, telah menerjemahkan ketentuan normatif tersebut, misalnya sebagai tertuang dalam Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998, tentang Hak Asasi Manusia yang antara lain menyatakan: (i) Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani (Pasal 14); (ii) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 21).

Itulah landasan normatif dan konstitusional pers di negara kita. Tentu disamping pemberlakuan UU Pers No. 40 Tahun 1999. Kebebasan pers dengan demikian sebenarnya merupakan nama generik dari hak asasi manusia. Oleh karena itu kebebasan pers menurut Ashadi Siregar, dapat dilihat dari dua aras: Pertama, adalah kebebasan warga untuk mendapatkan informasi publik, serta kebebasan serta kebebasan warga menyatakan pendapat tentang masalah publik. Kedua, kebebasan media pers untuk mencari dan menyampaikan informasi publik. Dua sisi kebebasan pers itu berbeda letaknya, sebab aras pertama merupakan hak dasar (asasi), dan inilah yang sesungguhnya disebut kebebasan pers. Sedangkan yang kedua merupakan implikasi logis dari yang pertama, biasa disebut kaidah pers bebas.

Kebebasan pers karenanya tidak menjadi concern atau monopoli orang-orang pers saja, tetapi juga menjadi urusan warga masyarakat. Soalnya, kebebasan pers bisa disalahgunakan oleh orang-orang pers itu sendiri. Yaitu ketika pers, baik pada aras individu jurnalis atau pemilik media, berselingkuh dengan kekuasaan politik, ekonomi dan komunalisme/budaya.

Perselingkuhan itu menelusup lewat kolom-kolom berita bahkan sampai ke ruang editorial. Akibatnya, pers tak lagi menjadi ruang publik yang menyemai nilai-nilai demokrasi, tapi hanya menjadi alat untuk merekayasa alam pikiran masyarakat. Pers tidak lagi mendorong sebagai ruang publik yang mencerahkan masyarakat, tetapi menjadi alat hegemoni bagi kekuasaan tertentu untuk menaklukkan daya pikir publik.

Persoalannya, apakah media pers yang beredar di ruang publik dominan mengusung semangat pers bebas atau kebebasan pers?

Apa yang akan dipaparkan dalam bagian berikut tulisan ini, akan membahas berbagai hasil riset yang dilakukan KIPPAS, selama kurang lebih tiga tahun sejak 1999, terhadap berbagai pemberitaan beberapa surat kabar yang terbit di Sumatera. Barangkali, beberapa temuan KIPPAS bisa dijadikan bahan untuk menilai seperti apa tingkat profesionalisme pers dewasa ini.

Wajah Pertama: Tidak Peka Gender

“Ditengah rontaan sang gadis, tangan Es bekerja. Payudara milik korban ia remas
dengan nafsu. Tidak hanya sampai disitu, tangannya yang lain menelusup masuk ke
celana dalam gadis itu. Kemudian, telunjuk kanan pria dewasa itu masuk menjelajah
bagian terlarang yang selama ini dijaga sang gadis”. (Semarak,7/7/01).

Protes masyarakat yang mengutuk peredaran tabloid dan majalah yang menyiarkan gambar-gambar porno, terjadi di berbagai kota besar di Indonesia. Secara atraktif, sejumlah demonstran membakar beberapa eksemplar tabloid yang dihujatnya, sambil tidak lupa mengutuk pihak eksekutif dan legislatif yang dianggap kurang aspiratif dalam memberantas soal pornografi.

Persoalan pornografi memang tak pernah usai diperdebatkan. Di kalangan pers sendiri muncul perdebatan sengit menyangkut media yang kerap memajang gambar-gambar yang mengeksploitasi tubuh wanita sekadar sebagai barang dagangan. Satu pihak menganggap bahwa media yang gemar memasang foto sekwildapa wanita bukanlah bagian dari jurnalisme. Argumennya karena jurnalisme tak berurusan dengan fakta personal. Apalagi bagian dari fakta personal yang sangat pribadi, yang semestinya tak perlu diumbar ke publik. Di sisi lain para pembela pers bebas, sangat percaya bahwa mekanisme pasar akan menseleksi persoalan media lheeer tersebut. Kalau pasar membutuhkan, maka media lheeer tersebut akan diserap. Namun jika pasar tidak membutuhkan, maka tak perlu ada protes atau aksi bakar segala, media lheerr akan sekadar jadi kertas pembungkus cabe!

Terlepas dari perdebatan tersebut, yang jelas, persoalan kekerasan terhadap wanita (pornografi adalah termasuk salah satu bentuk kekerasan), tak melulu diproduksi lewat bahasa visual. Media pers justru hampir setiap waktu melakukan kekerasan terhadap wanita lewat teks-teks berita yang diproduksinya. Riset KIPPAS terhadap pemberitaan peristiwa kekerasan (khususnya perkosaan) yang dialami kaum wanita pada tujuh surat kabar yang terbit di Sumatera tahun 2001 memperlihatkan masih dominannya penggunaan diksi (kata) yang bersifat konotatif ketika jurnalis mengkonstruksi peristiwa perkosaan. Dari sebanyak 98 item berita yang dianalisis, sebanyak 62 item berita (63,26%) mengandung kekerasan simbolik, dimana sebanyak 31 item berita (50%) mengandung eufimisme dan 16 item berita (25,81%) berupa metafora. Jenis kekerasan simbolik lainnya adalah stigmatisasi, disfemisme dan hiperbola.

Eufemisme umumnya digunakan jurnalis untuk mengganti istilah perkosaan yang dialami korban, sedangkan metafora digunakan untuk memperbandingkan korban, kecantikan korban dan bagian tubuh korban dengan istilah atau benda-benda tertentu yang sudah dikenal masyarakat. Dalam teks berita, eufemisme muncul dalam kata seperti: menggagahi, meniduri, menggauli, mencicipi, mencabuli, menodai, dintimi, dihamili, di perawani, diesek-esek, berindehoy, dibor, memaksakan kehendak, berbuat hal yang sama, ambil bagian, minta jatah, merenggut kesucian, dikerjai, lubang terlarang, diobok-obok dan metafora muncul dalam kata seperti: pagar makan tanaman, habis manis sepah dibuang, menghabisi, memetik kegadisan, menggarap, mahkota berharga, naik ke bulan dan kembang desa.

Pilihan kata atau ungkapan-ungkapan konotatif, umumnya dilakukan jurnalis dengan alasan untuk menghindari kebosanan publik ketika membaca berita perkosaan tersebut. Ada juga yang berpendapat untuk memperkaya gaya penulisan berita mereka. Argumen lain adalah agar pembaca tersedot perhatiannya. Dan itu mesti dengan bumbu: sex and crime! Jurnalis lain beragumen bahwa kekayaan diksi juga menunjukkan kekayaan intelektual mereka. Namun sayang, tak cukup banyak jurnalis yang memperhitungkan implikasi sosiologis dari pilihan kata yang mereka tulis. Pilihan kata yang konotatif tersebut justru akan melahirkan pemahaman yang berbeda dari publik. Khususnya terhadap tindak kejahatan perkosaan itu sendiri.

Selain itu, ketika menulis berita perkosaan, para jurnalis umumnya juga gemar menggunakan bahasa-bahasa yang merangsang imaji pembaca. Contohnya kalimat seperti telentang tanpa memakai pakaian dan membuka celananya. Menurt Yasraf A. Pilliang, kalimat tersebut memang mempunyai nilai ekonomi libido yang tinggi, karena memikat pembaca untuk berfantasi terhadap jalannya perkosaan. Selain mengungkapkan ‘ketelanjangan’, kata-kata itu sendiri sudah merupakan sebuah ‘ketelanjangan bahasa’ (naked language) atau ‘kecabulan bahasa’ (language obscenity), sebagaimana yang dimaksud Jean Baudrillard. Tidak ada lagi tabir, tidak ada lagi rahasia, tidak ada lagi yang disembunyikan oleh bahasa, semuanya diungkapkan, inilah kecabulan (dan sekaligus kekerasan) informasi.

Contoh penggunaan diksi lain yang konotatif adalah melalui ungkapan metafora yang umumnya digunakan dalam dunia fiksi. Contohnya mengajak “naik ke bulan”. Sebagai sebuah metafora untuk menjelaskan proses persetubuhan, kata-kata naik ke bulan dapat dimasukkan ke dalam apa yang disebut Ricoeur sebagai ‘metafora menyimpang’ (deviant metaphor). Sebagai sebuah tanda pinjaman (transferred sign), kata-kata tersebut telah kehilangan makna lateral maupun konotatif.

Tidak ada sama sekali makna konotatif yang muncul dari kata bulan, misalnya konotasi ‘tindak seksual’, atau ‘feminin’. Metafora tersebut mungkin digunakan untuk merepresentasikan ‘kepuasan puncak’. Bila memang demikian, ia telah meredusir sebuah perkosaan sebagai sebuah ‘kesenangan bersama’, oleh karena kedua pihak bersama-sama ‘naik ke bulan’. Metafora digunakan di sini, bukan untuk menggiring ke arah kebenaran makna, akan tetapi untuk menciptakan deviasi dan distorsi makna yang sangat jauh (Yasraf: 2002).

Komodifikasi Informasi Jurnalisme
Media pers memang dapat menjadi reflektor dari ketidak-adilan gender dalam masyarakat karena mengambil fakta sosial tanpa disertai perspektif. Hal ini mengakibatkan fakta sosial dijadikan sekadar sebagai komoditas informasi media. Dengan kata lain, fakta perempuan sebagai komoditas di ruang publik, diangkat sebagai sebagai komoditas media, sehingga media bukan hanya merefleksikan, tetapi telah mereplika fakta tersebut. Sebagai replikator, media menggandakan ketidak-adilan struktural, sebab komodifikas perempuan berlangsung dua tahap, pertama pada saat menjadi fakta sosial dan kedua setelah menjadi fakta media (informasi). Ini terjadi dengan pengambilan detail dari fakta dalam kerangka alam pikiran patriarkhi. Penampilan fitur bagian tubuh perempuan untuk tujuan kesenangan laki-laki misalnya, dapat disebut sebagai eksploitasi perempuan dalam kerangka patriarkhi.

Persoalannya, bagaimana proses komodifikasi informasi sampai menjadi “ideologi” dominan para jurnalis? Apakah semata karena karena persoalan subyektifitas persepektif terkait dengan “kemiskinan intelektual” yang diidap para jurnalis? Atau lebih karena bekerjanya sistem nilai dominan di masyarakat, dimana para jurnalis berfungsi sebagai konsumen sekaligus produsen yang mereplikasi sistem nilai yang dominan tersebut? Pertanyaan selanjutnya adalah: sistem nilai seperti apa yang dominan dianut oleh masyarakat? Jawabannya adalah keduanya: ya kemiskinan intelektual, ya karena ideologi patriakhi.

Menurut Ana Nadhya Abrar, komodifikasi perempuan oleh pekerja pers tidak terlepas dari konstruksi nilai yang dianut sebagian besar pekerja pers. Kontruksi sosial itu menyebutkan bahwa laki-laki berada di “atas” (mendominasi) perempuan, dan karena itu perempuan berada ”dibawah” (subordinasi) laki-laki. Kontruksi sosial seperti inilah kemudian lebih populer dengan sebutan ideologi patriarkhi. Persoalan yang kemudian muncul adalah, bisakah ideologi patriarkhi diatas digusur oleh ideologi lain yang lebih menghargai perempuan? Jawabnya bisa. Tetapi ada syaratnya, yaitu, ideologi patriarkhi tidak bisa lagi dimengerti masyarakat; (ii) ideologi patriarkhi tidak lagi menjadi perekat masyarakat; dan (iii) ideologi patriarkhi tidak terwujud dalam norma-norma, larangan-larangan, simbol-simbol, aturan-aturan masyarakat.

Sesungguhnya ideologi patriarkhi tersebut bukan sesuatu yang diberikan pada satu masyarakat, melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang melalui proses interpretasi dan reinterpretasi berbagai pengalaman dalam kehidupan masyarakat. Artinya, kalau interpretasi dan reinterpretasi berbagai pengalaman dalam kehidupan masyarakat yang menerapkan ideologi patriarkhi menunjukkan hasil yang negatif, maka ideologi tersebut bisa digantikan oleh ideologi lain. Untuk itu, berbagai pihak perlu menginterpretasikan dan me-reinterpretasikan berbagai pengalaman yang menunjukkan kepedihan, ketertindasan dan kenistaan yang disebabkan oleh penerapan ideologi patriarkhi.

Persoalannya kemudian menjadi tidak sederhana. Terutama ketika muncul kesadaran bahwa keberadaan media pers tak bisa lepas dari faktor kepentingan modal. Era pers perjuangan saat ini hanya tinggal ditemukan pada teks-teks buku sejarah, dan mungkin, beberapa penerbitan yang diasuh kalangan aktivis mahasiswa dan NGO, yang siginifikansinya masih bisa diperdebatkan. Yang menggejala kini semangat kapitalisme hampir dalam segala sektor kehidupan masyarakat. Tak terkecuali pada sektor media. Spirit kapitalisme menemukan artikulasinya dalam hampir seluruh isi pemberitaan media.

Terutama ketika media memberitakan hal-ihwal yang berkaitan dengan perempuan.Dalam fenomena pers industri, pemberitaan media berubah dari fungsi “politis” menjadi fungsi yang lebih utama: hiburan. Informasi lebih difungsikan sebagai “alat” hiburan yang diperjual-belikan secara massal. Berita tentang kawin-cerai atau perselingkuhan para selebritis punya bobot nilai yang sama dengan berita bencana alam, korupsi uang rakyat, atau tertangkapnya putra mantan presiden yang sempat buron selama lebih 1 tahun.

Dalam pers industri seperti yang berlangsung sekarang ini,pembagian kerja secara seksual menjadi kehilangan relevansinya. Memang, hasil penelitian yang dilakukan LP3Y terhadap 9 surat kabar yang terbit di luar Jakarta, yakni Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Jawa Pos dan Surabaya Post, menunjukan bahwa hampir semua jurnalis perempuan yang bekerja pada koran bersangkutan, ditempatkan di bidang-bidang yang dianggap lunak. Kebanyakan jurnalis perempuan hanya meliput atau membidangi masalah-masalah wanita, misalnya masalah anak dan keluarga, urusan rumah tangga, masak-memasak, masalah dunia kecantikan, serta urusan mode. Sedangkan bidang-bidang yang keras, dalam arti fakta yang dihadapi adalah fakta-fakta keras, seperti politik, ekonomi, hukum dan kriminal atau olahraga, dikuasai jurnalis laki-laki.

Namun walaupun bidang-bidang yang keras dipegang jurnalis perempuan, tetap tak menjamin bahwa informasi jurnalisme yang dihasilkan akan lebih berperspektif gender. Bahkan ketika jurnalis perempuan memegang posisi mayoritas dan mengelola apa yang disebut sebagai “media perempuan”, informasi jurnalisme yang diproduksi pun tetap dalam bingkai kepentingan modal, bahkan semakin mengukuhkan relasi ketimpangan yang ada.

Menurut Stanley A. Prasetyo, meski banyak media perempuan yang didirikan dengan cita-cita untuk memajukan kaum perempuan, namun nyatanya dari sisi isi, cara peliputan maupun iklan hampir semua media perempuan tak mampu keluar dari nilai-nilai kapitalisasi sebuah media. Antara lain dengan berbagai cara harus mampu mencapai tiras penjualan setinggi-tingginya dan memperoleh iklan dari barang-barang berkelas dan bermerk tinggi sebanyak-banyaknya. Konsep ini tentu saja kerap bertentangan dengan misi sosial sebuah media. Penyebutan media perempuan oleh beberapa media yang ada tak lain sekadar menjadikan kaum perempuan sebagai penegasan atas segmentasi pasar media tersebut.

Dari sisi isi, model peliputan maupun iklan yang dimuat, media perempuan di Indonesia saat ini secara umum justru mengukuhkan subordinasi perempuan terhadap laki-laki. Media juga menempatkan perempuan sebagai obyek dagangan. Antara lain untuk pemasaran barang-barang konsumtif dan kosmetik, untuk membeli fesyen (fashion) dan minyak wangi mahal dari kelas dunia, untuk membeli arloji bertahtakan emas dan intan permata dan lain-lain. Media perempuan juga mengukuhkan pemitosan perempuan cantik yang tak lain adalah yang bercirikan ras kaukasid, yaitu perempuan berkulit putih, berhidung mancung, bermata cekung-lebar dan berperawakan semampai-tinggi. Perempuan dalam iklan jamu hanyalah sebuah perkecualian.

Dalam media perempuan terkemuka, hampir semua model yang memperagakan fesyen baru serta model dalam iklan adalah mereka yang menggambarkan garis keturunan non-asia.
Pada sejumlah surat kabar yang terbit di Medan, topik-topik isi rubrik-rubrik wanita yang ada juga masih kental diwarnai semangat ideologi patriakhi.

Jika dikaji secara kritis, meskipun topik-topik yang ditampilkan oleh ketiga surat kabar tersebut cukup beragam, akan tetapi kebanyakan isinya tetap bermuara kepada peran-peran domestik yang harus dilakukan kaum wanita. Dengan kata lain topik-topik yang diulas masih belum jauh beranjak dari peran tradisional wanita yakni sebagai isteri, ibu, atau sebagai pendamping laki-laki.

Salah satu topik psikologi yang dimuat Waspada pada terbitan 8 Juli 2001, diberi judul “Menghargai Perasaan Pasangan” membahas tentang hal apakah yang seharusnya dilakukan dalam rangka menyelesaikan konflik yang sering terjadi antara suami isteri dalam rumah tangga. Akan tetapi pembahasannya lebih ditekankan kepada bagaimana sebaiknya sikap seorang isteri terhadap suaminya (jika terjadi konflik). Dalam artikel itu, isteri diharuskan memahami suami, sementara tak ada pembahasan perlunya suami memahami isteri. Simak kutipan teks berikut:

“Belajarlah menerima kenyataan dan kelemahan suami. Bagaimana pun dia sudah menjadi pilihan hidup Anda, jadi baik buruknya harus kita terima. Coba renungkan juga tentang diri Anda. Siapa tahu ada sifat yang tidak disukai suami namun, suami tetap menerima Anda apa adanya” (Waspada, 8/7/01).

Dibutuhkan Jurnalisme Empati
Perempuan sesungguhnya bukan hanya menghadapi musuh lama (laki-laki) tetapi musuh baru yang jauh lebih perkasa, yakni kapitalisme. Laki-laki bahkan telah dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk bersama-sama melestarikan struktur hubungan gender yang timpang. Pelestarian ketimpangan hubungan itu tidak hanya menyebabkan perempuan semakin tersubordinasi, tapi juga menyebabkan subordinasi perempuan oleh perempuan sendiri (Irwan Abdullah: 2001).

Jurnalis(me) yang peka gender dengan demikian memang tak mengenal pembagian kerja secara seksual. Dalam banyak kasus, tak sedikit jurnalis laki-laki yang justru memiliki kepekaaan gender dalam pemberitaan yang mereka buat. Sedang di sisi lain cukup banyak jurnalis perempuan yang justru tidak memiliki kepekaan gender dalam berita-berita yang mereka tulis. Sudah tentu, persoalannya bukan sekadar jurnalis laki-laki atau jurnalis perempuan yang paling tepat untuk meliput peristiwa kekerasan terhadap perempuan. Yang dibutuhkan adalah suatu metode kerja jurnalis(me), yang mampu menghasilkan informasi jurnalisme yang berperspektif gender.

Ashadi Siregar mengenalkan apa yang disebut sebagai jurnalisme empati, yaitu prinsip metode jurnalisme yang membawa konsekuensi dalam mengerangka (framing) suatu situasi sosial. Adapun suatu pengkerakaan secara sederhana dimaksudkan sebagai cara pandang bahwa di dalam setiap realitas sosial pada dasarnya merupakan interaksi antar manusia, dan dalam setiap interaksi sosial pada dasarnya secara potensial terdapat korban. Korban adalah person yang kalah atau tidak berdaya manakala berhadapan dengan pihak lainnya dalam suatu interaksi sosial (Ashadi: 2002).

Penerapan jurnalisme empati melalui metode reportase dalam mengeksplorasi fakta-fakta publik melalui sudut pandang (angle) dan fokus perhatian (focus interest). Kedua hal saling berkaitan, yaitu sudut pandang merupakan pilihan dalam menentukan sasaran yang akan dijadikan sebagai subyek sebagai titik tolak dalam menentukan sasaran yang akan dijadikan subyek sebagai titik tolak dalam pemaparan berita (news story). Manakala yang dijadikan subyek adalah korban dalam relasi sosial, maka untuk mendapatkan gambaran tentangfakta situasi sosial korban ini, diperlukan langkah jurnalisme yang berlandaskan metode partisipatoris.

Metode partisipatoris bertolak dari rasa empati jurnalis terhadap korban. Bahwa yang dihadapi bukan sekadar fakta kekerasan an sich, bukan sekadar korban yang mengalami kekerasan. Tapi sebuah fenomena sosial yang memiliki dimensi struktural, dus karenanya mengandung ketidakadilan.

Persoalannya di tengah berkembangnya arus pragmatisme yang berujung pada pemujaan terhadap materi yang hidup di sebagian besar jurnalis(me), bisakah metode partisipatoris menjadi langgam kerja para pekera pers di sana? Di tengah konstruksi fakta kekerasan terhadap perempuan yang umumnya sekadar dipungut dari keterangan pers aparat keamanan atau mencuplik BAP (Berita Acara Pemeriksaan) aparat, masihkah harapan itu bisa dititipkan kepada mereka?

Apa Yang Harus Dilakukan?
Barangkali kita bisa mempunyai jawaban yang sama, tapi yang terpenting kita harus berbuat: jangan jemu melontarkan sikap kritis ke pers! Baik dalam bentuk pengiriman hak jawab, komentar (tanggapan), menulis opini atau mengikutsertakan para jurnalis dalam kegiatan-kegiatan “pencerahan” ala LSM! Selain itu, sudah saatnya masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang tengah memperjuangkan keseteraan gender seperti LSM, memprakarsai suatu gerakan untuk menggalang dukungan publik agar pers bisa mengubah orientasi pemberitaan mereka yang bias gender. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan melakukan pembacaan secara kritis (watching) terhadap setiap teks media yang menyudutkan kaum wanita. Hasil watching tersebut kemudian dikirimkan ke surat kabar bersangkutan dalam bentuk artikel opini.

Jika tidak mempan, maka dapat ditempuh cara lain, misalnya menggalang solidaritas masyarakat untuk memboikot surat kabar yang tidak mau mengubah oientasi pemberitaan mereka agar peka gender. Bentuk boikot masyarakat bisa dengan berhenti berlangganan atau membeli secara eceran, atau bahkan memutuskan sama sekali tidak membaca surat kabar bersangkutan.

Ada yang mengatakan bahwa pers adalah mirror of reality. Isi media pers karenanya merupakan cerminan dari realita masyarakat. Tapi ada juga yang menganggap bahwa pers adalah moulder, atau pembentuk rupa masyarakat. Jika kita meletakkan harapan pers sebagai moulder, maka sebagai konsumen pers, kita memang harus segera melakukan langkah-langkah korektif. Terutama agar kaum tidak menjadi korban kekerasan untuk keduakalinya oleh pers!

Wajah Kedua: Jurnalisme Perang!
Perang saudara di bekas negara Yugoslavia dimulai pada musim panas 1991. Perang ini diperjuangkan oleh bangsa-bangsa dan orang-orang yang dulunya hidup damai sebagai warga-negara Yugoslavia sejak akhir perang Dunia II. Media memainkan peranan penting dalam mengubah warga yang semula damai menjadi saling bermusuhan. Bahkan dapat dikatakan, kampanye media yang bersifat menghasut itu adalah prakondisi tidak hanya bagi perang itu sendiri tetapi juga bagi kekejaman yang mula-mula diperanginya.

Pengalaman Gabriela Mischkowski yang hidup di tengah-tengah komunitas bangsa Yugoslavia yang tercabik-cabik oleh peperangan antar etnis itu, memberikan perenungan reflektif tentang arti kebebasan pers.

Ketika rezim Suharto berkuasa, media pers dikenakan pembatasan untuk tidak memuat peristiwa atau kejadian (yang bernuansa) SARA. Kalaupun media memuatnya, biasanya berdasarkan versi negara. Dan konsekuensinya, ada orang atau kelompok tertentu yang dijadikan kambing hitam. Wacana media pers pun akhirnya kaya dengan stigma-stigma seperti “gerakan ekstrim kiri”, “Islam radikal”, “sisa-sisa PKI”, “gerakan anti pembangunan”, “musuh negara”dsb.

Dengan stigma-stigma seperti itu, maka hak publik untuk memperoleh informasi yang benar terhalang. Di sisi lain, hak jurnalis untuk melaporkan informasi juga terhambat. Dengan kata lain, fungsi right to know dan right to expression terhambat. Tidak ada kebebasan pers dalam arti yang sebenarnya.

Namun setelah rezim Suharto berhasil dilongsorkan kekuatan mahasiswa, politik pemberitaan pers, khususnya untuk berita-berita politik, ibarat seekor kuda yang baru dilepas dari tali kekangnya! Tidak ada lagi rambu-rambu SARA atau ancaman pencabutan SIUPP yang menghantui kinerja orang pers. Tak ada lagi rasa takut untuk memberitakan tentang korupsi ekonomi dan politik yang dilakukan dinasti Suharto dan kroni-kroninya. Bahkan media pers kini tak tabu lagi untuk ‘mengobok-obok’ para jendral sekalipun. Sebuah wilayah yang semasa rezim Suharto boleh disebuat zona terlarang bagi para jurnalis.

Banyak debat tentang sejauhmana dampak pemberitaan pers. Khususnya sejauhmana kata-kata mampu mengubah pola pikir apalagi perilaku seseorang. Apakah mungkin sebuah simbol dapat melukai orang? Apakah mungkin sebuah kata-kata dapat menikam? Apakah mungkin sebuah ucapan lebih tajam dari sebuah pedang? Apakah mungkin sebuah makna dapat menghancurkan sebuah bangsa? Yasraf Amir Pilliang: 2001).

Walau terdengar provokatif, pertanyaan tersebut sangat relevan jika dikaitkan dengan penggunaan bahasa pers ketika mengkonstruksi konflik (etnis) yang merebak di berbagai pelosok tanah air kita. Beberapa hasil riset KIPPAS menunjukkan tentang tingginya frekuensi penggunaan diksi yang mengandung kekerasan simbolik. Misalnya ketika media pers memberitakan konflik antar warga Madura dan warga dari suku Dayak di Kalimantan.

Aktivitas jurnalisme memang menggunakan bahasa sebagai bahan baku untuk memproduksi berita. Namun bagi surat kabar, bahasa bukan sekedar alat komunikasi untuk menyampaikan informasi atau peristiwa. Bahasa juga bukan sekedar alat untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran-gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada publik (pembaca).

Ketika konstruksi relitas surat kabar berbeda dengan realitas yang ada di lapangan, maka hakikatnya telah terjadi kekerasan terhadap realitas itu sendiri. Ada realitas yang sebagian disembunyikan, diperhalus atau bahkan dilebih-lebihkan. Karena surat kabar menggunakan bahasa untuk menyembunyikan sebagian realitas, memperhalus atau mengasarkan fakta yang ada, maka hakikatnya media tengah memproduksi kekerasan simbolik.

Kekerasan simbolik bekerja dalam level olah pikir, karenanya kekerasan simblik mengkondisikan korban kekerasan tanpa merasa bahwa kekerasan sedang bekerja menerjang dirinya. Selama puluhan tahun hidup dibawah rezim orde baru Suharto, masyarakat “dicuci” kesadarannya untuk menerima realitas lewat kampanye yang menyembunyikan realitas kepahitan itu sendiri. Rezim misalnya tak pernah mengakui adanya kenaikan harga barang, tapi penyesuaian harga. Rezim tak pernah mengakui telah menganiaya aktivis mahasiswa yang melakukan demonstrasi, tapi “mengamankan” (walau para mahasiswa sudah babak belur dihajar polisi atau aparat TNI), kemiskinan atau kemelaratan tak ada di negeri ini, yang ada hanya “keluarga pra sejahtera”.
Penghalusan fakta melalui bahasa yang eufimistik tersebut mendominasi kolom-kolom surat kabar selama hidup di bawah rezim orde baru. Namun bagaimana kondisi surat kabar setelah lepas dari cengkraman hegemoni rezim orde baru?

Anarki Kata-kata
Seperti sudah disinggung sebelumnya, pemberitaan beberapa surat kabar sebagaimana yang diamati analis media KIPPAS, penuh dengan pergelaran bahasa-bahasa kekerasan. Tak hanya ketika surat kabar mengkonstruksi fakta yang sudah kerasa seperti konflik (etnis), tetapi juga ketika mereka mengkonstruksi konflik diantara elit politik.

Dalam istilah Prof Dr Hasan Alawi, ahli bahasa yang pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia itu, bahasa komunikasi yang dipraktekkan para elit politik merupakan bentuk vulgarisasi bahasa Indonesia. Hal tersebut menurut Hasan Alawi merupakan perubahan yang ekstrem dari kramanisasi bahasa Indonesia karena adanya hegemoni semantik yang terjadi selama masa Orde Baru.

Sementara A. Muis, pakar komunikasi dari komunikasi dari Universitas Hasanudin, memaknai penggunaan bahasa kekerasan itu dengan istilah anarki kata-kata atau anarki simbol-simbol. yang dilakukan para elit politik baik dalam komunikasi sosial maupun komunikasi di media massa. Menurut A. Muis, anarki kata-kata merupakan penerjemahan dari model komunikasi politik jarum suntik (hypodermic needle model) yang dilakukan para elit politik kepada masyarakat “awam”. Tujuannya, agar opini publik cepat berubah sesuai dengan maksud para elit politik itu.

Ada banyak contoh yang bisa diberikan di sini, misalnya ketika media meliput konflik entar etnis Dayak dan Madura yang terjadi di Kalimantan. Tindakan sekelompok orang Dayak yang melakukan pencarian dan pembunuhan terhadap orang-orang Madura, diistilahkan pers sebagai “aksi perburuan”. Sebuah konstruksi makna yang menggiring publik pada aktivitas para pemburu yang sedang mengejar binatang buruan di tengah hutan.

Melalui penggunaan istilah “perburuan”, efek yang hendakan ditimbulkan kepada publik adalah penonjolan kebiadaban perilaku sejumlah orang Dayak. Di pihak lain, orang-orang Madura juga digambarkan ibarat “binatang buruan” yang tak berdaya dan menjadi objek buruan semata. Ada juga istilah lain yang dimunculkan media, misalnya “pembabatan”, sebuah istilah yang menggiring fantasi publik pada ayunan ketajaman ayunan sabit yang membabat habis batang-batang ilalang dalam hitungan detik. Juga ada lagi istilah “pembersihan”. Faktanya tentu masih banyak warga Madura yang tinggal di Kalimantan Tengah.

Fakta kekerasan juga diumbar pers tanpa disertai tindakan penyaringan di kamar redaksi. Simak contoh berikut: “Saya telah memakan jantung dari seseorang”, “Ratusan kepala digantung tanpa anggota tubuh”, atau ini: “mereka didatangi ratusan orang, kemudian langsung membabat dengan senjatanya, darah pun mengalir.”

Bahasa kekerasan simbolik juga meruyak dalam pemberitaan pers pasca turunnya Memorandum I DPR RI kepada Presiden Abdurrahman Wahid tahun 2001 yang lalu. Elit politik yang bersikap super kritis terhadap Presiden Abdurrahman Wahid, menebarkan istilah “gempa politik” atau “rumah republik semakin terbakar” untuk mengkonstruksi krisis politik di tanah air. Sementara elit politik yang mendukung Gus Dur, menciptakan istilah “preman politik”, “bandit politik” atau “reformis gadungan” untuk mengkonstruksi perilaku elit politik yang super kritis tersebut.

Kekerasan simbolik memang tidak melukai secara fisik. Namun ia bisa menjadi api pemantik bagi konflik lanjutan dalam arti yang sebenarnya.

Jurnalisme Perang
Meliput peristiwa konflik (kekerasan), pada dasarnya merupakan sesuatu yang wajar bagi pers. Salah satu kriteria untuk mengukur apakah suatu peristiwa layak diberitakan atau tidak adalah kandungan unsur konflik itu sendiri. Semakin keras konflik yang terkandung dalam suatu peristiwa, semakin tinggi nilai beritanya. Rumus seperti ini, masih banyak dianut oleh kalangan jurnalis.

Akibatnya ketika meliput suatu konflik (etnis), orientasi liputan yang dominan terbingkai dalam apa yang disebut sebagai jurnalisme perang (war journalism). Liputan jurnalis lebih berorientasi pada peristiwa kekerasannya itu sendiri. Jurnalisme perang lebih berfokus pada arena atau tempat dimana konflik itu terjadi, jumlah korban yang mati, penderitaan korban, rumah yang hancur atau harta benda yang terbakar. Dengan kata lain, jurnalisme perang lebih suka mengeksploitasi the visible effect of violance, korban kekerasan yang tampak, dibanding yang tidak tampak.

Akibatnya jurnalisme perang secara tidak sadar juga menggiring publik untuk memihak pada salah satu pihak yang bertikai. Ini bisa dimaklumi karena dalam proses liputan, jurnalisme perang selalu menggunakan kacamata “kita-mereka”.

Jurnalisme Damai
Secara teoritis, ada tiga posisi media dalam memberitakan konflik pertama, media sebagai issue intensifier dimana media berposisi memunculkan isu atau konflik dan mempertajamnya. Isu yang diangkat media akan memunculkan dan menampakkan dimensi isu secara tajam. Dengan posisi sebagai intensifier, media memblow –up realitas yang jadi issu sehingga seluruh dimensi isu menjadi transparan.

Kedua, media sebagai conflict diminisher, yakni media menenggelamkan suatu issu atau konflik. Secara sengaja media meniadakan issu tersebut, terutama bila menyangkut kepentingan media bersangkutan, entah kepentingan ideologis atau pragmatis.

Ketiga, media juga bisa berfungsi jadi pengarah conflict resolution, yakni media menjadi mediator dengan menampilkan isu dari berbagai perspektif serta mengarahkan pihak yang bertikai pada penyelesaian konflik. Dengan peliputan media, pihak yang terlibat diharapkan memahami sudut pandang pihak lain, mengatasi prasangka dan kecurigaan, serta mengevaluasi ulang sikap dasar yang terbentuk semula.

Pola peliputan yang seperti ini kemudin dikenal dengan jurnalisme yang mempunyai tugas utama untuk memetakan konflik, mengindentifikasi pihak-pihak yang terlibat dan menganalisis tujuan-tujuan mereka, dan membicarakan informasi yang mereka sediakan dalam agenda khusus mereka.

Jurnalisme damai memang hanya sekedar opsi. Jurnalis(me) bisa mengadopsi atau bahkan mengabaikannya. Namun harus diingat, keberadaan pers tidaklah lepas dari fungsi imperatif dengan masyarakat. Itu berarti masyarakat menaruh harapan tertentu terhadap pers. Apa sebenarnya harapan masyarakat, terutama ketika pers meliput konflik?

Umumnya, jurnalis ditengarai kerapkali absen dalam setiap konflik kekerasan. Jurnalis hanya menerima informasi dari kedua belah pihak yang bertikai dan sering tidak melakukan check dan recheck di lapangan. Para jurnalis merasa bahwa keterangan keduabelah pihak tentang versi konflik yang terjadi, dianggap sudah cukup. Padahal ketika bahan baku pemberitaan pers berupa realitas sosiologis (konflik), maka yang perlu dilakukan jurnalis adalah verifikasi fakta. Sejauhmana keterangan kedua belah pihak tersebut dapat diuji di lapangan.

Ketika jurnalis hanya menerapkan prinsip cover both side, maka pers tak ubahnya seperti agen propaganda bagi keduabelah pihak yang bertikai. Produk informasi jurnalis, tak lagi mengabarkan tentang kebenaran faktual, melainkan kebenaran formal yang susah diverifikasi.

Dalam kondisi seperti itu, dibutuhkan sebuah perubahan orientasi. Jurnalis harus mengalihkan objek liputan mereka. Mereka harus menggeser fokus pandangan mereka bahwa dalam meliput setiap konflik, yang paling tersisihkan adalah kaum perempuan, korban-korban pelanggaran HAM, kaum ibu yang harus mengungsi, korban perkosaan, anak-anak yang dijadikan mata-mata, anak-anak korban kekerasan, kaum laki-laki yang tak bisa mengurus ladangnya, mereka yang dilanggar hak asasinya, singkat kata, mereka yang voice of the voiceless! Media pers harus mewartawakan perdamaian!

Wajah Ketiga: Mewariskan Prasangka Rasial?
Keberagaman adalah realitas yang tak dapat ditolak. Namun keberagaman, baik yang bersumber dari suku, agama maupun kedudukan ekonomi, seringkali menjadi pemicu terjadinya diskriminasi. Pertanyaannya, bagaimanakah peran media pers ketika “menemukan” kenyataan bahwa diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa masih bersemayam di benak sebagian besar masyarakat “kita”?

Jika kita menganut pandangan kaum konstruksionis, maka wartawan (media pers) tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita. Dengan demikian, wartawan bertindak sebagai agen konstruksi realitas. Namun jika kita menganut pandangan kaum positivis, maka fungsi wartawan hanya sekedar memindahkan realitas ke dalam berita. Persoalannya cara pandang wartawan terhadap suatu realitas atau issu tergantung dari nilai-nilai yang diyakini dan dianutnya. Termasuk nilai-nilai yang dominan di masyarakat.

Di tengah masyarakat yang subur dengan berbagai stereotip dan tindak diskriminatif, maka point of view wartawan sedikit banyak juga ditentukan oleh nilai-nilai tersebut. Hal tersebut akhirnya mewarnai berita yang dikonstruksinya.

Salah seorang peneliti yang banyak melakukan studi rasialisme dalam pemberitaan media adalah Van Dijk. Menurut Van Dijk, banyak sekali rasialisme yang diwujudkan dan diekspresikan melalui teks media. Contohnya dapat dilihat dari percakapan sehari-hari, wawancara kerja, rapat pengurus, debat di parlemen, propaganda politik, perilklanan, artikel ilmiah, editorial, berita, foto, film, dan sebagainya. Melalui berbagai teks tersebut, kelompok bawah digambarkan tidak sebagaimana mestinya, yang dinyatakan dengan cara meyakinkan, tampak sebagai kewajaran, masuk akal, alamiah, dan terlihat/tampak sah (Kartika dan M. Mahendra (Editor): 1999).

Menurut Van Dijk, teks-teks yang mengandung muatan rasialisme dapat dimaknai seperti berikut ini. Pertama, secara umum menunjukkan bahwa bagaimana kognisi/kesadaran mental masyarakat di Barat bekerja. Mereka semua tidak sadar bagaimana pikiran mereka diliputi oleh pikiran-pikiran yang rasis, dan tanpa sadar memandang rendah, memandang berbeda kelompok minoritas. Kedua, menggambarkan bagaimana wacana rasialisme itu diperkuat dan dimapankan dalam teks media.

Penelitian yang dilakukan LSPP (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan) pada tahun 1998 tentang pemberitaan 20 media massa cetak mengenai kerusuhan Mei memperlihatkan gambaran belum banyak media memahami posisinya sebagai produksi wacana dan persoalan rasialisme. Media massa umumnya masih menggambarkan kecenderungan menjadikan etnis Tionghoa sebagai masyarakat kelas dua di negara ini. Kerusuhan Mei 1998 digambarkan media massa sebagai pertarungan antara pribumi dan nonpribumi sebagai akibat dari sebuah logika yang sering dimainkan para penguasa negeri ini. Banyak berita yang diturunkan media juga masih memproduksi wacana rasial dengan melakukan pembenaran atas sebuah kerusuhan yang telah menelan korban itu (Dicky Lopulalan dan Benjamin Tukan: 2002).

Tak jauh berbeda dengan yang ditemukan LSPP, pada tahun 1999 sejumlah surat kabar di Medan memunculkan berita polemik soal pencalonan walikota Medan. Polemik dipicu oleh pernyataan Sekjen PKB (Partai kebangkitan Bangsa) Sumut, Drs H Marwan Dasopang dan cendekiawan Prof Dr Firman Tambun yang mendukung pencalonan beberapa pengusaha dari etnis Tionghoa untuk masuk ke bursa Walikota Medan. Namun baru sebatas wacana, berbagai kalangan melontarkan reaksi atas usulan tersebut. Reaksi berdatangan dari pihak “mereka” yang menggunakan isu primordialisme untuk mempertegas batas antara ‘kita’ dengan ‘mereka’.

Simak kutipan teks berita berikut:

“Dukungan pencalonan walikota Medan dari etnis Tionghoa, harus dipikirkan secara arif dan bijaksana, jangan hanya asal sebut, tanpa melihat sejauhmana wawasan kebangsaan mereka” (“Pencalonan Balon Walikota Medan dari Etnis Tionghoa Mendapat Reaksi”, Sinar Indonesia Baru, 10 Desember 1999).

Teks di atas menegaskan tentang stereotip yang berkembang di masyarakat bahwa orang-orang Tionghoa memang patut diragukan kadar nasionalismenya. Sebaliknya orang-orang “kita” tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Kadar nasionalisme “kita” sudah seratus persen, sudah selesai. Teks Sinar Indonesia Baru tersebut sekaligus membuat batas pemisah yang jelas bahwa orang-orang Tionghoa memang bukan bagian dari nasion Indonesia. Karenanya tak mungkin orang-orang ini dimajukan sebagai calon pemimpin kota Medan.

Namun seperti apa rumusan orang yang telah menguasai wawasan kebangsaan atau tuntas kadar nasionalismenya, tak ada penjelasan lebih lanjut dari narasumber Sinar Indonesia Baru. Yang jelas, dengan melemparkan dikotomi orang Tionghoa yang a-nasionalis dan orang non Tionghoa yang nasionalis, subjek perdebatan digeser bukan pada kualitas bakal calon walikota. Tetapi lebih pada persoalan lain yang lebih besar, yang memang mengendap dalam benak orang-orang “kita”.

Simak lanjutan kutipan teks berita ini:

“Menurut Banuaran Ritonga, sebaiknya Bakom PKB dan organisasi etnis Tionghoa lainnya supaya melanjutkan proses pembauran secara hakiki, agar etnis tersebut benar-benar memahami adat dan kebiasaan bangsa Indonesia, sehingga makna pembauran itu tidak menimbulkan masalah lagi”.

Teks tersebut kembali menegaskan bahwa etnis Tionghoa memang bukan bagian dari “kita”, karenanya “mereka” harus memahami adat istiadat bangsa Indonesia! Betapa kacaunya logika narasumber yang dikutip Sinar Indonesia Baru, dan sayangnya, koran ini tidak melakukan editing. Dengan memuat secara utuh ucapan narasumber, Sinar Indonesia Baru diasumsikan menyetujui pendapat narasumbernya. Stereotip lain yang “dikhawatirkan” pers Medan jika orang Tionghoa menjadi walikota Medan adalah “ketakutan” nantinya kota Medan akan “dijual”. Anehnya ketika H. Abdillah terpilih sebagai Walikota Medan 2000-2005, pers tidak pernah merasa khawatir terhadap figur tersebut. Padahal masyarakat mengetahui bahwa Abdillah sebelumnya dikenal sebagai pengusaha kontraktor!

Menurut van Dijk, rasisme baru memang berfokus pada perbedaan-perbedaan kultural, mungkin pula pada ‘ketidaksempurnaan’ kultural (cultural deficiencies), dan bukannnya pada inferioritas/superioritas biologis-genetis. Di dalam rasisme baru ketidaksejajaran tidak diwujudkan dengan menindas kelompok lain (the others), melainkan dengan menciptakan “kerugian” sosial-ekonomis. Kerugian ini kemudian disimpulkan sebagai karakteristik kultural kelompok minoritas dan kelompok pendatang (Kartika dan M. Mahendra (Editor): 1999).
Pers, alih-alih berfungsi sebagai institusi demokrasi yang mempomosikan nilai-nilai pluralisme, namun justru terlibat dalam produksi makna yang mengandung muatan rasialisme.

Pers Bukan Sekedar Agen Realita
Dalam seminar yang membahas hasil riset rasialisme pemberitaan media yang diadakan Kippas Maret tahun 2002, Ibrahim Sinik, Pemimpin Umum sekaligus pemilik jaringan media Medan Pos Group menyatakan bahwa surat kabarnya memang mempunyai kebijakan untuk memuat istilah “warga keturunan” bagi seorang etnis Tionghoa yang melakukan tindak kejahatan. Bahkan sekalipun orang tersebut sudah mempunyai nama “Indonesia”, namun Medan Pos akan tetap memuat nama Tionghoanya. Namun bagi orang Tionghoa yang berperilaku baik, Medan Pos tidak akan menyebutnya dengan istilah ‘warga keturunan’.

Ada problematik dalam kebijakan tersebut. Pertama, soal kejahatan sebenarnya tidak berkaitan dengan latar belakang etnis, termasuk agama. Soal kejahatan lebih karena persoalan struktur sosial yang tidak adil dan menciptakan disparitas sosial. Kedua, sebagai gate keeper sekaligus sebagai penyemai nilai-nilai demokrasi, semangat yang diusung komunitas pers mestinya berangkat untuk menghormati adanya kenyataan masyarakat Indonesia yang pluralistik. Media adalah salah satu sumber pengajaran kebudayaan. Rasialisme, jelas bukan merupakan sesuatu yang harus diajarkan, apalagi diproduksi dan direproduksi terus-menerus dalam kognisi masyarakat.

Di tengah masyarakat yang pluralistik, media massa semestinya mengembangkan liputan yang bersifat narrative tolerance, yang mengambil hal-hal positif dalam hubungan antar budaya. Sudah waktunya, setiap jurnalis dan media massa meninggalkan pendekatan berita narrative intolerance, yang memberi kesan seolah-olah masyarakat tak mungkin hidup berdampingan, pelit toleransi secara rukun dan damai, dengan mementingkan sensasi sebuah peristiwa (Dicky Lopulalan dan Benjamin Tukan: 2002).

Jurnalis dan media massa memang bukan segalanya. Namun yang harus dipahami mereka bukanlah sekedar saluran bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberitaan media massa. Jurnalis dan media massa bukanlah corong atau “talang air” yang berfungsi sekedar untuk menggelontorkan pendapat dan pandangan kaum “kita” yang mengidap “penyakit rasisme”. Jurnalis dan media massa juga memiliki seperangkat nilai, yang bisa digunakan untuk menguji pendapat atau pandangan kaum “kita” yang rasis tersebut.

Dengan demikian fakta media yang diproduksi dan dimuat di media massa adalah fakta media yang mengandung penghormatan terhadap nilai-nilai pluralisme, dan jauh dari mengobarkan api rasialisme. Ada baiknya para jurnalis di negara kita perlu mengingat kembali “Deklarasi Bilboa”, Perancis, yang ditandatangani oleh para jurnalis dari 70 negara, termasuk Indonesia, yang berisi hal-hal sebabagi berikut:
• Mengakui bahwa ada ancaman pada kedamaian dan demokrasi karena peningkatan kekerasan rasial di masyarakat urban, meluasnya ketidakrukunan agama, perang dan pembunuhan massal akibat perseteruan antar etnik, dan prasangka terhadap kaum berbahasa dan status sosial minoritas;
• Mempercayai bahwa keragaman adalah kenyataan dasar dari kehidupan manusia, sebagai sebuah cara pengkayaan budaya dan rangsangan bagi pengembangan sosial ekonomi;
• Menyetujui bahwa tolreansi ditambahlagi dengan akses publik pada media adalah penting untuk memahamai potensi keragaman;
• Mengakui bahwa seluruh usaha dan aksi manipulasi media dan penggunaan jurnalisme demi tujuan propaganda rasial, etnik dan kekerasan sosial;
• Mendalami bahwa komersialisasi yang luas mengarahkan kesamaan profesi pada akibat rasisme dan intoleransi;
• Memahami betul bahwa tidak ada peran yang pantas bagi pemerintahan dalam mengatur isi media dan etika jurnalistik;
• Mengakui bahwa seluruh jurnalis pada tingkat nasional, regional dan internasional harus bergabung untuk mempertegas kembali berbagai prinsip jurnalistik dengan kemandirian profesi serta penghormatan pada kebenaran guna memenuhi misi media dalam mendukung kewarganegaraan, toleransi dan demokrasi.

Wajah Keempat: Mengabaikan Standard Objektivitas
Harus diakui, euforia yang terjadi di kalangan jurnalis telah mengakibatkan media pers banyak melanggar rambu-rambu profesionalisme yang semestinya menjadi doktrin kerja mereka. Prinsip pemberitaan berimbang yang mengedepankan both sided coverage, akurasi fakta melalui mekanisme check and recheck, dewasa ini kerap diabaikan oleh para jurnalis.

Akibatnya isi pemberitaan media pers seringkali terkesan menohok salah satu pihak yang diberitakan. Terutama karena mereka tidak diberi kesempatan untuk mengutarakan pendapat atau versi realitasnya. Padahal media pers harus memberikan kesempatan yang sama bagi pihak-pihak yang diberitakan. Tanpa itu, yang terjadi adalah dominasi dari salah satu pihak kepada pihak lain yang telah diabaikan hak-haknya oleh media pers. Atau pemaksaan interpretasi tunggal dari satu pihak kepada pihak lain.

Dalam kasus pemberitaan Jawa Pos, yang bergerak adalah massa Banser NU karena massa berpandangan bahwa pimpinan mereka telah diperlakukan tidak adil oleh pemberitaan Jawa Pos.
Dewasa ini, ada juga penyakit lain yang diderita media pers, yaitu antara fakta dan isssue atau desa-desus, sudah bercampur aduk dalam isi pemberitaan mereka. Belum lagi strategi pemilihan kata-kata yang sering dipilih karena dipandang akan menimbulkan daya tarik bagi konsumen untuk membelinya. Akibatnya lahirlah jurnalisme “konon”, jurnalisme “kira-kira” yang sering tidak didasarkan pada pengamatan terhadap realitas di lapangan, namun bersumber dari “bisik-bisik” dan “kasak-kusuk”. Singkatnya, profesionalisme kerja media pers juga perlu dibenahi agar mengurangi komplain publik.

Hasil penelitian yang dilakukan KIPPAS terhadap empat (4) surat kabar utama yang terbit di Medan, dapat dijadikan contoh. Dengan mengambil jangka waktu selama 11 bulan (Januari-November 2000), ditemukan ada sebanyak 123 komplain publik dalam bentuk surat pembaca yang dimuat oleh keempat surat kabar yang diteliti. Berikut intisari dari hasil penelitian tersebut:

Pertama, Sinar Indonesia Baru. Sepanjang periode penelitian, pada surat kabar ini dijumpai sebanyak 44 komplain yang termasuk dalam kategori mengabaikan mekanisme cek ulang. Dari 44 komplain ini, 9 surat diberi catatan oleh pihak redaksi, sedangkan sebanyak 32 komplain tidak diberi komentar atau dibantah kebenaran materi komplain. Satu komplain menyoal soal berita fiksi karena nasumber yang menulis komplain itu mengaku tidak pernah diwawancarai wartawan Sinar Indonesia Baru. Tapi beritanya muncul pada surat kabar bersangkutan.

Sementara sebanyak 9 buah komplain kukuh dipertahankan veri kebenarannya oleh redaksi Sinar Indonesia Baru. Bagaimana mengartikan kebenaran versi SIB? Ternyata, pertama, karena memang narasumber yang dikutip adalah orang atau lembaga yang dipandang mempunyai otoritas. Misalnya, kalau ada kerusuhan, surat kabar ini cenderung mengutip aparat karena dinilai sudah akurat sebagai narasumber sehingga tidak perlu lagi mengecek ulang ke pihak-pihak lainnya. Termasuk pihak pelaku kerusuhan atau institusi dimana pelaku kerusuhan itu bekerja. Kedua, membuat apologi bahwa berita yang sama dimuat di koran lain. Dua hal ini sering menjadi catatan redaksi koran ini.

Yang kedua, Waspada. Surat kabar ini tergolong unik dalam menanggapi komplain pembacanya. Ada sebanyak 59 komplain yang mereka muat. Dari jumlah tersebut, 56 komplain sama sekali tidak diberi tanggapan. Hanya komplain yang diberi tanggapan redaksi dan diakui sebagai kesalahan jurnalisnya. Sedangkan sebanyak dua berita dipandang sebagai sebagai berita fiksi. Namun sayang komplain ini tak ditanggapi. Sebagian besar isi komplain publik adalah tentang tidak adanya mekanisme check and recheck dan upaya pemlintiran fakta sehingga menjadikan fakta sosial berbeda dengan fakta media.

Surat kabar ketiga yang diteliti adalah Radar Medan, kini berganti nama menjadi Sumut Pos. Surat kabar ini memuat sebanyak 18 komplain. Sama dengan dua koran sebelumnya, Radar Medan dikomplain karena banyak mengabaikan mekanisme cek ulang. Enam komplain di antaranya tidak ditanggapi redaksi. Sebanyak 9 buah komplain ditanggapi dengan tetap mempertahankan versi beritanya, tiga buah komplain lagi ditanggapi dengan mengakui kekhilafan mereka.

Hampir sama dengan Sinar Indonesia Baru yang menanggapi komplain dengan tetap mempertahankan versi beritanya, Radar Medan juga melakukan hal yang sama. Tapi surat kabar ini mencoba membangun argumentasi dengan menyebutkan bahwa fakta-fakta yang dipaparkan berasal dari “bawah”. Dicontohkan soal berita dugaan korupsi yang dilakukan seorang kepala desa. Ternyata berita tersebut hanya mengandalkan berita laporan seorang warga desa. Karena memutlakkan laporan dari “bawah”, Radar Medan akhirnya mengabaikan versi “korupsi”dari sang kepala desa tersebut. Akibatnya berita tersebut dikomplain.

Surat kabar terakhir adalah, Analisa. Pada titik yang sangat ekstrim, Analisa hanya memuat dua komplain berita dalam kurun 11 bulan. Ini sangat aneh dan tak masuk akal. Karena riset yang dilakukan terbatas pada komplain yang dimuat di surat kabar dan tidak dipadu dengan wawancara dengan pihak surat kabar, maka KIPPAS hanya bisa melontarkan sejumlah analisis terhadap temuan tersebut. Pertama, mungkin memang tidak ada komplain publik yang masuk ke surat kabar ini. Ini bisa dikaitkan dengan segmen pembaca utama Analisa yang sebagian besar berasal dari komunitas Tionghoa atau mereka yang berprofesi sebagai pengusaha. Mereka dikenal sebagai komunitas yang tidak memiliki waktu untuk berurusan dengan soal-soal semacam itu. Analisis lain, berita-berita yang diproduksi Analisa sudah memenuhi standar jurnalistik. Analisis ketiga, pihak redaksi melakukan sensor yang ketat. Mereka tidak menginginkan kredibilitas sura kabar mereka yang tergolong mapan dan subur iklan, tercoreng dengan pemuatan komplain publik yang intensif.

Secara umum, riset KIPPAS menyimpulkan bahwa dari 123 komplain yang ditemukan, sebanyak 96 item mengabaikan mekanisme cek ulang tanpa ada tanggapan redaksi. Sebanyak 18 buah komplain ditanggapi dengan tetap mempertahankan isi berita versi wartawannya. Lima buah komplain publik ditanggapi, dan pihak redaksi masing-masing surat kabar mengakui kekhilafannya. Tiga berita merupakan berita fiksi alias tidak wawancara, dan ini tidak diberi komentar oleh pihak redaksi.

Kesimpulan
Tidak peka gender, mengutamakan perspektif perang dalam meliput konflik, terjebak dalam cara pandang yang stereotipik terutama ketika mengkonstruksi peristiwa yang berhubungan dengan etnisitas, dan kurang mengindahkan standar objektifitas pemberitaan, merupakan sejumlah temuan KIPPAS yang bisa dijadikan alat untuk menilai profesionalitas pers pasca reformasi. Keempat temuan tersebut tampaknya akan menjadi pekerjaan rumah yang tidak gampang diselesaikan dalam jangka pendek. Tiga temuan pertama lebih berhubungan dengan persoalan perspektif, sedangkan temuan keempat lebih berhubungan dengan standar objektifitas pemberitaan.

Atmakusumah Astraatmaja secara arif menyatakan bahwa pers memang tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Walau mengakui berbagai keluhan dan ungkapan kekecewaan yang ditujukan kepada pers mengandung kebenaran, namun Atmakusumah menghimbau agar masyarakat tidak memandang tungal pers. Ada perbedaan karakteristik dan kepentingan yang berbeda-beda dari pers. Oleh karena itu yang bisa dilakukan adalah menghimbau agar pers yang majemuk tersebut dapat menggunakan standar jurnalisme profesional.

Imbauan tokoh senior pers Indonesia tersebut menjadi penting, mengingat sebagai konsumen media, sekaligus sebagai pemilik kebebasan pers, publik memiliki motivasi dan kepentingan sendiri terhadap sajian-sajian informasi pers. Namun sebagai “pelayan” yang baik, pada hakikatnya pers harus memberikan segala kebutuhan yang beragam dari publik tersebut.
Dalam jurnalisme dikenal pemeo: “give the public what it wants”. Apa sebenarnya harapan publik terhadap pers? Jika dipilah secara sederhana, sebenarnya hanya ada dua. Pertama, masyarakat mengharapkan agar pers menyediakan informasi publik yang bisa memenuhi rasa ingin tahunya (right to know). Informasi publik tersebut digunakan sebagai landasan untuk membuat penilaian terhadap kebijakan publik (right to expression) dalam kedudukannya sebagai warga negara. Termasuk untuk menilai terhadap kredibilitas pejabat publik yang mengeluarkan kebijakan publik tersebut.

Kedua, masyarakat juga mengharapkan untuk memperoleh informasi psikologis yang bisa memperkaya atau meningkatkan kekayaan batin mereka. Termasuk untuk meningkatkan cita rasa seni atau budayanya. Karenanya informasi seputar kegiatan kesenian, pertunjukkan teater, resensi film atau hasil karya sastera juga diapresiasi masyarakat.

Porsi informasi mana yang lebih banyak disajikan pers, tergantung dari visi dan misi institusi pers bersangkutan. Jika sejak awal memang diniatkan sebagai media untuk memenuhi kebutuhan psikologis pembacanya, maka sebagian besar halaman media pers yang ada akan diisi dengan informasi-informasi hiburan. Cerita selingkuh artis, kawin cerai selibritis, skandal para pejabat, kriminalitas, sampai kisah-kisah seputar ranjang, tuyul, jin sampai tebakan togel. Gaya pemberitaan pun penuh nuansa dramatisasi, sensasi dan bombas.Namun jika sejak awal pemilik media pers memang hendak menjadikan medianya sebagai media public watch dog, maka seluruh halaman yang ada akan banyak diisi oleh informasi publik.

Yang jelas, memang ada sebagian masyarakat yang mengharapkan agar pers bisa ikut mendorong proses demokratisasi. Logikanya karena media pers dihadirkan bukan untuk kepentingan jurnalis. Juga bukan untuk kekuatan modal (internal dan eksternal) yang menghidupi perusahaan pers. Termasuk bukan untuk kekuasaan (negara dan kekuasaan politik) yang melingkupinya sebagai alat menguasai alam pikiran masyarakat (Ashadi Siregar: 1999).
Persoalannya adalah sejauhmana pers bisa terbebas dari “selingkuh” dengan kekuasaan ekonomi dan politik agar bisa tampil profesional memenuhi harapan publik? Sejauhmana pers bisa memerankan diri menjadi ruang publik yang netral, sehingga akal sehat publik dapat terasah dalam mendorong proses demokratisasi yang sangat dibutuhkan bangsa ini?

*** Tulisan ini dimuat dalam Buku “Pikiran-pikiran Reformasi yang Terabaikan, editor: Victor Silaen, Jakarta, 2003, Penerbit: UKI Press.

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan, Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan, Yogyakarta: Tarawang, 2001.
Anto (editor), J., Jurnalisme Anti Toleransi? Rasialisme Dalam Pemberitaan Pers, Medan: KIPPAS dan Bina Insani, 2003.
______, Jurnalisme (Tidak) ramah Geneder, Medan: KIPPAS, 2002.
______, Kebebasan Pers, Bukan Sekadar Pers Bebas, Suara Pembauran, 6 April 2001
______, Media Pers dan Kekerasan Simbolik, Talang Air Tanpa Penyaring?, Jurnal KUPAS, Volume
3 No. 1 Tahun 2001
Amir Pilliang, Yasraf, Sebuah Dunia Yang Menakutkan, Mesin-mesin Kekerasan Dalam Jagat Raya Chaos, Bandung: Pustaka Mizan, 2001.
______, “Hegemoni, Kekerasan Simbolik dan Media, Sebuah Analisis Tentang Ideologi Media”, makalah pada Seminar Keberpihakan Media Cetak, diadakan LSPS Surabaya, 25 Mei 2000.
Lopulalan, Dicky dan Benjamin Tukan, Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Panduan Bagi Jurnalis, Jakarta: LSPP, 2002.
Siregar, Ashadi, AIDS, Gender & Kesehatan Reproduksi, Pintu Menghargai Manusia Bagi Media, Yogyakarta: LP3Y dan Ford Foundation. 2002.
______, “Kebebasan Pers dan Pengawasan Media (Media Watch), makalah disampaikan dalam Seminar Tantangan Dalam Memelihara dan Mengembangkan Kebebasan Pers, diadakan oleh Yayasan KIPPAS, Medan, 24-25 September 1999.
Van Dijk, Teun A, “Rasisme Baru Dalam Pemberitaan di Media”, Pendekatan Analisis Wacana, dalam Sandra Kartika dan M. Mahendra (Editor): Dari Keseragaman Menuju Keberagaman, Wacana Multikultur Dalam Media, Jakarta: LSPP, 1999.

Menunggu Pertarungan David dan Goliat

Pesan Untuk Anggota KPID Sumut

Proses penjaringan calon anggota KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) Sumut, kini tengah memasuki tahapan yang kritis. Untuk menetapkan 7 dari 21 calon anggota yang telah mengikuti fit and proper test saja, pimpinan DPRD Sumut membutuhkan waktu tidak kurang dua bulan! Kini setelah pimpinan DPRD memutuskan 7 orang anggota KPID Sumut, giliran Gubernur Rizal Nurdin yang tampaknya “menggantung” untuk menandatangani SK pengangkatan anggota KPID tersebut. Alasannya, sebagaimana dilansir sejumlah media, Gubsu tidak ingin menuai masalah karena ada beberapa calon yang terindikasi pelanggaran adiministrasi dan tindak pidana.

Terlepas dari “kelambanan” dewan dan sikap “ekstra hati-hati” Gubsu Rizal Nurdin sebagai “barang baru”, keberadaan KPI(D), selain bernilai strategis, juga sering mengundang banyak salah paham. Bahkan tidak jarang, kalangan media penyiaran juga terkesan alergi. KPI, tanpa ditelisik lebih lanjut, kerap disamakan dengan institusi deppen. Sebuah institusi yang semasa rezim Orde Baru Soeharto berkuasa, menjadi penentu mati-hidupnya nyawa sebuah institusi media.

Pasal 8 ayat 1 dari UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 menyatakan bahwa KPI merupakan wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Batasan tersebut secara eksplisit memberikan garansi bahwa partisipasi masyarakat tidak akan mudah diabaikan begitu saja oleh industri penyiaran. Partisipasi masyarakat menjadi sangat signifikan mengingat keberadaan industri penyiaran dewasa ini sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Khususnya industri penyiaran televisi.

Televisi dan Pengaruhnya
Dewasa ini, televisi merupakan media massa yang paling banyak menyita waktu masyarakat. Sebuah penelitian di AS memperlihatkan bahwa dalam seminggu, wanita dewasa (55 tahun ke atas) menggunakan waktunya sebanyak 36 jam 33 menit untuk menonton televisi, sedangkan pria dewasa (55 tahun ke atas) menggunakan waktunya 33 jam 15 menit ke atas; sementara anak-anak remaja (11-18 tahun) menggunakan waktunya sebanyak 22 jam 59 menit untuk menonton televisi; itu artinya setiap hari rata-rata orang dewasa dan anak-anak remaja menonton televisi sekitar 5 – 6 jam.

Penelitian itu juga menunjukkan bahwa waktu yang terpakai untuk menonton televisi lebih banyak dibandingkan dengan kegiatan penyerapan pengetahuan dan nilai lainnya. Di sisi lain, media televisi juga telah mengganti peran sumber-sumber pendidikan konvensional dan tradisional seperti orangtua, pemuka agama dan guru. Banyak anak-anak remaja yang kini banyak menjadikan televisi sebagai “guru” dibandingkan guru mereka yang sesungguhnya di sekolah.

Media televisi memang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi khalayak, baik pada tingkatan kognitif, afektif bahkan sampai psikomotorik. Dengan kelebihan audiovisual yang dimilikinya, tayangan-tayangan program televisi menjadi lebih hidup dan gampang dicerna publik. Sehingga tanpa teks pun publik bisa memahami apa yang hendak disampaikan lewat penyajian secara visual tersebut.

Saat ini di negara kita ada 10 stasiun televisi swasta dan pemerintah yang mengudara dan tengah terlibat dalam persaingan ketat untuk memperoleh rating yang tinggi dari para penonton. Berbagai program dikemas dengan orientasi bisnis untuk menaikkan rating sehingga kerap menabrak nilai-nilai kode etik jurnalistik. Termasuk nilai-nilai moral yang kontekstual dengan kehidupan masyarakat dewasa ini. Dan sayangnya, karena belum ada badan yang mengatur dan memberi sanksi, maka program-program tersebut terus bisa ditayangkan, bahkan telah menjadi mode bagi sejumlah stasiun televisi.

Penumpulan Daya Pikir Publik
Pembentukan KPI(D) oleh karena itu menjadi kebutuhan mendesak, selain karena amanat konstitusi, juga karena untuk melindungi masyarakat. Khususnya anak-anak dan remaja dari berbagai serbuan pogram yang mengandung unsur kekerasan, pornografi dan mistisisme.
Masih segar dalam ingatan kita, ketika tahun lalu, sejumlah stasiun televisi ramai-ramai menayangkan dan mengulas kasus kriminal yang melibatkan Sumanto. Seeorang pria muda yang memakan mayat seorang nenek, yang merupakan tetangganya sendiri. Dalam tayangan tersebut tampak rekaman gambar Sumanto yang dengan lancar menceritakan kronologis peristiwa, beserta barang bukti seperti tulang-belulang Mbok Rinah, nama nenek tersebut, cangkul, sepeda dan lain-lain.

SCTV bahkan melakukan rekonstruksi untuk lebih memperjelas pernyataan Sumanto tersebut. Kegiatan rekonstruksi dilakukan oleh seorang aktor yang berperan sebagai Sumanto. Dari kilasan rekonstruksi yang bernarasikan pernyataan Sumanto, khalayak dapat melihat bagaimana cara Sumanto membongkar kuburan Mbok Rinah untuk kemudian memakan daging Mbok Rinah, tanpa dimasak, atau juga yang dibakar menjadi sate. Selain Sumanto, narasumber lain yang digunakan SCTV adalah anak dan suami Mbok Rinah, serta anggota masyarakat Desa Majatengah, Purbalingga Jawa Tengah.

Tak hanya rekonstruksi kekerasan yang ditonjolkan SCTV, namun kekerasan bahasa juga diungkapkan lewat tuturan Sumanto yang mengatakan telah: “memotong ibu jari” “memakan potongan paha mentah-mentah” dstnya. Tuturan Sumanto tanpa lewat proses penyuntingan tersebut selain merupakan bentuk kekerasan bahasa juga merupakan ketelanjangan bahasa yang mengarah ke sadisme.

Tayangan SCTV jelas telah melanggar rambu-rambu etik dalam Kode Etik Jurnalis Televisi Indonesia, khususnya Bab III (Cara Pemberitaan) khususnya pasal 5 (h),” Menyajikan berita dengan menggunakan bahasa dan gambar yang santun dan patut, serta tidak melecehkan nilai kemanusiaan”.

Namun yang lebih subtansial lagi, penayangan tindak kejahatan yang tergolong sadis semacam ini juga bisa mempengaruhi persepsi publik bahwa orang miskin seperti Sumanto cenderung melakukan tindakan-tidakan masuk akal—memakan daging manusia—hanya untuk mengejar kekayaan. Sadisme juga tak perlu dipertontonkan secara vulgar. Bahkan tidak tertutup kemungkinan orang yang haus publikasi terinspirasi untuk melakukan tindakan serupa, supaya masuk televisi. Tayangan-tayangan seperti ini karenanya dapat menumpulkan daya kiritis publik, khususnya bagi anak-anak dan remaja yang sebenarnya tengah membutuhkan gizi intelektual. Bukan gizi yang berbau mistik, gaib atau kriminalitas.

Belum lama berselang juga ada sebuah program yang menayangkan tentang peristiwa pemerkosaan terhadap seorang perempuan di Sumatera Barat. Pelakunya seorang tukang ojek. Dalam tayangan rekonstruksi, diperagakan bagaimana tukang ojek itu melakukan kejahatan seksualnya. Modelnya diperankan oleh boneka! Tayangan rekonstruksi seperti ini dapat memiliki efek tak terduga. Misalnya memberikan inspirasi bagi calon pemerkosa untuk meniru langkah-langkah perkosaan yang dilakukan si tukang ojek. Barangkali efek seperti ini ynag kurang dipikirkan media penyiaran.

Soalnya, tayangan-tayangan model begini sekarang tengah menjadi mode di sejumlah stasiun televisi. Dalih bahwa publik membutuhkan tayangan seperti itu, jelas menyesatkan. Persoalannya publik misalnya tak pernah diberi peringatan lebih dulu tentang tayangan tersebut. Di sisi lain, jam tayang program seperti itu juga umumnya juga muncul pada saat prime time (tengah malam), dimana anak-anak remaja, masih bebas mengakses pesawat televisi. Berkaca dari negara-negara barat yang sering dipandang liberal, tayangan-tayangan kekerasan dan yang mengandung pornografi, umumnya justru ditayangkan pada malam hari.

Mengubah Paradigma Lama
Paradigma yang berlaku dalam dunia industri penyiaran yang melatari lahirnya berbagai mata program siaran, memang tak lepas dari unsur seks, kejahatan dan konflik. Unsur seks selalu dikaitkan dengan persoalan seberapa jauh peristiwa atau gagasan yang ditayangkan mengandung unsur buka-bukaan. Unsur kriminal atau kejahatan berhubungan dengan pertanyaan seberapa jauh peristiwa atau gagasan/ide itu mengandung unsur kejahatan atau kriminalitas. Semakin berdarah-darah, semakin tinggi nilai beritanya. Sedangkan unsur konflik berkait dengan seberapa jauh peristiwa atau gagasan/ide itu mengandung unsur konflik.

Kasus penayangan Sumanto, goyang Inul, Anisa Bahar, kasus-kasus rekonstruksi perkosaan, perbincangan seks tengah malam dsb., karenanya bagi industri televisi, sekedar “riak kecil” di tengah “gelombang” tayangan kekerasan, mistik, tuyul dan pornografi yang kini tak lagi terkontrol di media elektronik. Tayangan-tayangan seperti itu adalah tiket untuk meraih keuntungan material (iklan)!

Oleh karena itu keberadaan KPI(D) menjadi sangat strategis, sekaligus akan diuji oleh publik: akankah nantinya mereka mampu melindungi kepentingan publik? Atau justru tergerus oleh kepentingan modal raksasa yang tak ingin berkurang jatah keuntungannya? Ibarat pertarungan David melawan Goliat, publik akan menanti dengan berdebar-debar. Mampukah KPI(D) me keras.

Semangat Melindungi Anak-anak dan Remaja
Persoalannya jika KPI(D) berpihak kepada kepentingan publik, apa yang harus mereka lakukan agar program siaran media penyiaran mampu memproteksi anak-anak dan remaja dari pengaruh tayangan kriminalitas, mistisisme dan pornografi?

Belajar dari negara seperti Inggris yang telah memiliki sejarah jurnalisme televisi cukup lama, KPI(D) perlu mengeluarkan code of counduct yang mengatur isi program penyiaran. Kode perilaku biasanya diturunkan dari kode etik. Antara kode etik dan kode perilaku ibarat dua sisi dari mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Secara sederhana kaidah etis bersifat normatif dan universal sebagai kewajiban moral yang harus dijalankan oleh institusi pers. Nilai dari kode etik bertumpu pada rasa malu dan bersalah (shamefully and guilty feeling) dari hati nurani. Sedangkan kode perilaku bersifat praksis dan spesifik bagi jurnalis dalam lingkup institusi persnya. Kode perilaku juga berfungsi sebagai dasar bagi menajamen organisasi media dalam melakukan penilaian dan keputusan atas karir profesional seorang jurnalis.

Di Inggeris ada institusi yang dinamakan ITC (Independent Television Commission) semacam KPI-nya Indonesia. ITC telah berhasil menyusun kode perilaku menyangkut berbagai program televisi di Inggeris. Misalnya larangan untuk menampilkan humor yang mengeksploitir kecacatan fisik, pertunjukkan pemujaan setan atau praktik-praktik gaib dan pengaturan tentang jam tayang film-film yang bisa mempengaruhi perkembangan seksual anak-anak di bawah 16 tahun dsb.

ITC dalam menyusun code of counduct menganut beberapa prinsip dasar yang berorientasi untuk melindungi masyarakat. Pertama, pilihan materi yang yang tepat, kesopanan dan kekerasan. Konsep kuncinya adalah kebutuhan untuk melindungi anak-anak dan remaja dari materi-materi yang mungkin tidak pantas atau bahkan berbahaya untuk kelompok ini. Mekanisme yang biasa ditempuh: (i) menyiarkan program yang tidak sesuai untuk anak-anak dan remaja pada malam hari, (ii) menginformasikan jauh hari sebelumnya tentang materi program yang mungkin tidak sesuai dengan anak-anak dan remaja. Dalam perkembangannya juga informasi yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat menumpulkan daya pikir masyarakat (cerita mistik, gaib dsb).
Terhadap program berita, ITC juga mengembangkan prinsip untuk menghormati privasi dan pengumpulan Informasi. Korban kriminalitas, bencana atau orang yang masih diduga melakukan tindak kejahatan, harus dipertimbangkan privasinya. Jika mereka tidak berkenan, maka media tidak boleh menyiarkannya. Jurnalis juga tidak boleh menggunakan alat perekam rahasia, sejauh investigasi dilakukan untuk kepentingan publik yang luas.

Sudah tentu masih banyak rambu-rambu lain yang diatur ITC. Yang jelas, prinsip penyusunan kode perilaku yang harus dipatuhi para pelaku penyiaran adalah semangat untuk melindungi publik anak-anak dan remaja, khususnya dari tayangan-tayangan mistik, klenik dan yang beraroma pornografi.

Masalahnya, seberapa siap sumberdaya manusia yang ada di KPI(D) untuk memulai pertarungan melawan kepentingan kapitalisme dari para industriawan televisi yang punya modal raksasa tersebut? Apakah faktor ini yang menjadikan pimpinan dewan menjadi “berjalan ditempat” dalam menentukan 7 dari 21 orang sebagai anggota KPID Sumut?

Terlepas dari semua alasan yang ada, yang jelas publik di Sumatera Utara sudah mulai banyak melontarkan keluhan terhadap beberapa program tayangan televisi. Baik dalam bentuk surat pembaca, artikel opini, sampai yang melanukan unjuk rasa.

Sudah seharusnya institusi yang diberi mandat oleh UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 segera menyahuti keinginan publik tersebut. Institusi KPID Sumut harus segera hadir, agar segera bisa memainkan “peperangan melawan raksasa Goliat” yang kini mendatangi setiap ruang-ruang keluarga tanpa kenal waktu dan cuaca!

Tulisan ini dimuat di harian Analisa, 15 Mei 2004

Wartawan, Pejabat Publik dan Rumah Kaca Kekuasaan

Nasib apes menimpa wartawan Medan Bisnis, Samsudin Harahap yang bertugas di Pematangsiantar. Maksud hati hendak melakukan konfirmasi kepada RE Siahaan, Walikota Pematangsiantar di rumah dinasnya sekitar pukul 23.30 WIB (21/3/07), namun Udin bukannya diterima dengan tangan terbuka oleh tuan rumah. Ia justru dibal-bal aparat militer, dan malah dipenjara dengan tuduhan telah melakukan penganiayaan kepada aparat keamanan!

Kasus Udin Siantar ini menarik untuk dikuliti. Pertama, terkait dengan kultur keterbukaan pejabat publik, dan kedua, modus kekerasan untuk memberangus kebebasan pers. Sudah lama saya mendengar keluhan sejumlah wartawan Siantar, menyangkut sikap RE Siahaan, yang dinilai mereka kurang “ramah” terhadap wartawan. Dugaan saya, sikap tidak ramah RE Siahaan, barangkali karena beliau tidak tahan dengan pemberitaan wartawan, yang dianggap terlalu nyinyir dalam menguliti kebijakan-kebijakannya.

Bagi pejabat yang berkuping “tipis”, kehadiran wartawan memang tak lebih seperti seekor nyamuk: hanya menjadi mahluk pengganggu kekuasaan yang sudah nyaman digenggamnya! Karena itu jika ada kesempatan baik, “nyamuk pers” akan dipithes! Masih untung jika hanya dihalau pakai tangan!

Sikap seperti ini, sebenarnya sudah tak sesuai dengan semangat zaman. Menjadi pejabat publik, apalagi seorang walikota, jelas butuh mental baja. Ibaratnya, seperti kata Pramudya Ananta Toer, pejabat dengan kekuasaannya, seperti tinggal dalam rumah kaca. Mereka harus siap setiap saat disorot terus-menerus dari segala sisi oleh publik.

Rumah Kaca Kekuasaan
Ada baiknya pejabat publik di tanah air ini belajar dari sejarah. Sejak jaman kolonial Belanda hingga jaman reformasi, tugas wartawan memang untuk “menelanjangi” berbagai praktek penyalahgunaan kekuasaan. Hasilnya kemudian disuguhkan kepada publik dalam rangka memenuhi fungsi right to information. Boven Digoel, kamp pembuangan massal yang terletak di pedalaman Pulau Papua, yang didirikan pemerintah kolonial Belanda setelah meletusnya pemberontakan komunis di Jawa tahun 1926, merekam sejarah pembuangan para wartawan yang kerap membangun rumah kaca kekuasaan kolonial Belanda.

Buku sejarah mencatat beberapa nama wartawan yang pernah dibuang disana, misalnya: Gondhojoewono, Soediono Djojoprajitno, S. Darsono, Tjempono, Oesman Gelar Soetan Keadilan, Ali Arham, Urbanus Pardede, Neroes Ginting Soeka, A.C. Salim dsb.

Di Sumatera Utara, bisa disebut Parada Harahap, pendiri sekaligus Pemimpin Redaksi Benih Merdeka yang harus kerap bolak-balik masuk tahanan gara-gara sering memblejeti praktek eksploitasi para tuan kebon terhadap para kuli kebon. Juga HM Manullang, pemimpin redaksi Soeara Batak di Tapanuli Utara yang pernah dihukum 3 tahun di Jakarta. Saat revolusi fisik 1945 berkecamuk, Mohammad Said, Amarullah Ombak Lubis adalah beberapa tokoh pers yang sering berurusan dengan PID (lembaga telik sandi pemerintah kolonial Belanda). Sejarawan Sartono Kartodiharjo karenanya mengibaratkan pers dan pergerakan nasional bagaikan kembar siam yang tak terpisahkan.

Namun wartawan tak sekadar menghadirkan cermin bagi kezaliman. Tapi juga ikut membangun rumah kaca agar kekuasaan yang lalim dapat dilihat dengan mata telanjang oleh publik.
Persoalannya tidak semua orang atau kekuasaan nyaman hidup dalam “rumah kaca”. Mereka lebih nyaman hidup dalam rezim ketertutupan. Padahal rezim ketertutupan inilah yang telah menimbulkan berbagai penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah merusak sendi dasar bangsa ini. Rezim ketertutupan menjadi semakin kuat, khususnya ketika jenis informasi yang hendak diakses wartawan, diindikasikan bernuansa abusse of power. Dengan segala upaya, orang atau kekuasaan yang korup akan membentengi diri agar kepentingannya, entah kepentingan politik, ekonomi atau kariernya, tidak diblejeti wartawan.

Dari sinilah muasal kekerasan terhadap wartawan seringkali terjadi. Namun yang harus disadari pejabat publik, zaman sudah berganti. Kekuasaan yang korup dan bengis, tak lagi leluasa berkuasa seiring dengan bangkitnya tuntutan demokrasi dan penegakkan HAM. Di sisi lain, pers dan wartawan kini juga terus-menerus berupaya membangun rumah kaca kekuasaan.

Kekerasan = Pembredelan Informasi
Memang, tak mudah bagi wartawan untuk menjalankan fungsi sebagai media public watch dog. Wartawan The Washington Post, David S Broder mengingatkan bahwa resiko wartawan untuk dizalimi tetap tinggi. Tidak peduli siapapun rezim yang berkuasa. Apalagi jika medan kebebasan pers yang menjadi arena kerja wartawan terus mengalami proses penyempitan. Baik karena upaya atau siasat rezim, maupun oleh pihak-pihak yang menerapkan prinsip benci tapi rindu terhadap pers. Artinya, suatu saat rindu diberitakan wartawan untuk menjaga citra dan popularitas pribadinya di mata publik, namun suatu waktu berubah menjadi benci karena wartawan mengungkit-ungkit keburukannya di depan publik.

Orang atau kekuasan yang korup, sudah tentu tidak ingin kisahnya terpapar gamblang di media massa. Pejabat, pengusaha, anggota dewan, aktifis ornop, polisi atau tentara yang misalnya terbelit kasus korupsi, akan berupaya sekuat tenaga agar kasusnya tidak muncul di media massa. Berbagai cara dilakukan pejabat publik, mulai dari memberi suap (amplop), dijadikan “piaraan” atau dikasih fasilitas lain. Nah, kalau ada wartawan yang tak mempan dengan iming-iming tersebut, alias tetap bandel, maka nasibnya bisa seperti almarhum Udin, wartawan Bernas Yogyakarta!

Yang tak disadari, kekerasan terhadap wartawan, apapun bentuknya, pada dasarnya merupakan bentuk pembredelan informasi kepada publik. Ketika seorang Samsudin Harahap tak bisa menjalankan tugas jurnalistiknya karena terteror kekuasaan, maka bukan Samsudin an sich, atau keluarga Samsudin dan Medan Bisnis yang dirugikan, tapi juga publik. Soalnya publik tak bisa lagi menikmati karya-karya jurnalistik Samsudin. Karena itu, kekerasan yang dialami Samsudin, hakikatnya telah menghalang-halangi publik untuk memperoleh hak atas informasi atau membredelinformasi yang dibutuhkan publik.

Terus-Menerus Berjuang
Menghadirkan rumah kaca kekuasaan memang tak semudah seperti membangun rumah pasir di laut. Oleh karena itu di masa-masa mendatang, wartawan harus terus-menerus berjuang untuk mengisi kebebasan pers tanpa kenal lelah. Wartawan harus bahu membahu bekerja dengan segenap elemen masyarakat sipil untuk memperjuangkan pentingnya membangun rumah kekuasaan yang transparan untuk kemaslahatan bangsa ini! Untuk itu wartawan harus siap untuk “kesepian” karena akan selalu “dijauhi” kekuasaan yang selama ini menjalin relasi dengan prinsip “benci tapi rindu”. Wartawan juga harus siap mental dan fisik agar kukuh dalam menjaga independensi mereka. Walau resikonya mereka harus menghuni sel penjara!

Namun di sisi lain, wartawan juga harus meningkatkan kapasitas profesionalisme mereka. Soalnya kekerasan yang menimpa wartawan, sering juga berhubungan dengan fakta media yang mereka tulis. Artinya, kekerasan yang dialami wartawan tidak berdiri sendiri. Tidak melulu karena adanya sikap resistensi dari kekuasaan. Tapi juga kerap muncul karena persoalan etika. Baik pada waktu wartawan melakukan liputan, maupun ketika wartawan memilih diksi untuk menggambarkan realitas yang mereka tulis. Pilihan diksi yang tidak mewakili realitas, entah itu mendramatisir, bombabtis atau bias, dapat menimbulkan reaksi balik dari kekuasaan yang tengah ditelisik wartawan.

Dan alih-alih menerima hak jawab, kekuasaan yang tidak akrab dengan mekanisme jurnalistik, akan menempuh cara-cara non jurnalistik. Misalnya dengan cara kekerasan dan pemenjaraan!

Tulisan ini dimuat di harian Medan Bisnis, 21 April 2007

Buku: “Labirin PolitiK”

labirin-politik.jpgPerempuan SUmut Menapak Belantara Politik
Oleh: Dina Lumbantobing dan J Anto

Buku ini, memuat berbagai pengalaman yang dialami lima kandidat DPD Perempuan dari Sumatera Utara, termasuk pengalaman aktivis dan LSM penguatan perempuan (PESADA) dalam mendukung caleg perempuan, yang maju ke pentas politik legislatif dan DPD pada Pemilu 2004 lalu. Namun demikian untuk memperoleh tali temali pencalonan para kandidat perempuan, buku ini juga memaparkan secara ringkas berbagai perkembangan gerakan politik perempuan, termasuk tinjauan konseptual keterwakilan perempuan yang diharapkan memperkaya perspektif pembaca. Bagian ini dipaparkan dalam Bagian Pertama, yang juga mengeksplorasi secara ringkas berbagai perkembangan gerakan politik perempuan dan pencapaian yang ada, baik dalam skala internasional maupun nasional.

Sedangkan bagian kedua membahas tentang situasi politik dan perundangan yang berhubungan dengan posisi perempuan di negara kita, sekaligus mengurai berbagai pengalaman di Sumut mengenai penguatan politik perempuan. Khususnya pengalaman beberapa Ornop penguatan perempuan, seperti PESADA, dalam memperjuangkan keterwakilan perempuan mulai dari institusi politik di tingkat desa.

Bagian ketiga memuat visi, misi, dan pengalaman kelima kandidat DPD perempuan, disertai kisah suka-duka mereka mulai dari tahapan persiapan, kampanye dan hari H pelaksanaan pencoblosan suara di Sumut. Pada bagian ini juga dinukilkan sebagian profil para kandidat sekaligus capaian politik yang diperoleh para kandidat. Sebagai pamungkas, buku ini memuat analisis mengenai strategi yang dipilih para kandidat dari kacamata Ornop Perempuan dan aktivis perempuan. Sekaligus memuat beberapa saran untuk para aktivis dan Ornop perempuan yang mendukung pencalonan para caleg perempuan di masa mendatang. Termasuk beberapa masukan bagi pemerintah dalam rangka meningkatkan partisipasi politik perempuan.

Buku ini memang tidak berpretensi untuk menjadi semacam buku panduan bagi para aktivis perempuan, atau kaum perempuan yang hendak maju ke gelanggang politik di Pemilu 2009. Namun demikian upaya penulisan dan penerbitan buku ini sejak awal memang diniatkan untuk menjadi bahan masukan, minimal sebagai bahan diskusi. Khususnya bagi para aktivis perempuan, pegiat Ornopuntuk penguatan perempuan, para calon legislatif, dan pemerhati penguatan perempuan/akademisi) yang ingin melihat sejarah perkembangan gerakan perempuan di Sumut, secara khusus pada saat Pemilu 2004, di mana kuota mulai diperlakukan.

Sebagai sebuah buku yang ditulis relatif cukup singkat, sudah tentu buku ini tidak akan memuaskan berbagai kalangan. Namun tanpa bermaksud membuat apologi, penerbitan buku ini juga dimaksudkan sebagai media dialog diantara berbagai elemen masyarakat yang menaruh perhatian pada upaya-upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di setiap institusi politik, khususnya di Sumatera Utara.

Buku Indorayon

SUARA PEMBARUAN DAILY


indorayon.jpgKisah Daud Melawan Goliath dalam Kasus Indorayon

Judul: Menolak Menjadi Miskin

Penulis: J Anto dan Benget Silitonga

Pengantar: George Junus Aditjondro dan Asmara Nababan

Penerbit: Bakumsu, Medan

Cetakan: Pertama, Juni 2004

Tebal Buku: xii + 229 halaman

BUKU ini, boleh dibilang, merupakan kelanjutan dari karya J Anto yang telah diterbitkan pada November 2001, berjudul Limbah Pers di Danau Toba, Media Pers Menghadapi Gurita Indorayon Anno 2000. Dalam buku terdahulu itu, Anto memaparkan hasil penelitiannya di bidang komunikasi dengan kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif dan menggunakan metode analisis isi (content analysis) terhadap pemberitaan empat media pers lokal (di Sumatera Utara) tentang konflik antara rakyat (di Porsea dan sekitarnya) dengan pihak Indorayon.

Kali ini, Anto bekerja sama dengan Benget Silitonga (keduanya sama-sama aktivis organisasi non-pemerintah/ornop di Medan) melakukan penelitian secara khusus terhadap sejumlah korban dalam gerakan perlawanan rakyat terhadap Indorayon.

Karena itulah, isi buku ini tak melulu berisi pembahasan atas hasil kajian kedua penulis terhadap gerakan rakyat tersebut. Sebaliknya, bahkan, paradigma dan suara rakyat sebagai pihak korbanlah yang lebih ditonjolkan dalam setiap bagian buku ini.

Buku yang diterbitkan oleh Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) ini terdiri dari 4 bab, ditambah 2 artikel sebagai pengantar, yang masing-masing ditulis oleh George Junus Aditjondro dan Asmara Nababan.

Di bagian awal juga ada sekapur sirih yang ditulis oleh Johny Silitonga, Ketua Bakumsu. Sementara di bagian akhir ada lampiran, yang mencantumkan kronologi perjuangan rakyat melawan Indorayon selama 20 tahun, dari 1983 sampai 2003.

Aditjondro, dalam artikelnya yang berjudul Kisah Daud Melawan Goliath di Pedalaman Tanah Batak, mengatakan ada tiga hal yang spesifik dalam the true story Daud (rakyat Porsea) melawan Goliath (perusahaan Indorayon) ini.

Pertama, tentang para perempuan desa (Sugapa) yang memainkan peranan penting dalam perjuangan rakyat Porsea melawan Indorayon. Kedua, tentang peranan penting sebuah gereja (Huria Kristen Batak Protestan), mulai dari pimpinan puncaknya (Ephorus) sampai dengan gembala-gembala jemaat yang jelas-jelas ikut berjuang bersama warga jemaat mereka.

Ketiga, tentang duka dan derita rakyat selama berjuang melawan Indorayon, karena harus berhadapan dengan popor senjata aparat keamanan, sampai-sampai ada dua warga yang tewas karena diterjang peluru polisi dan serdadu.

Sementara Nababan, dalam artikelnya yang berjudul Tanpa Penghormatan dan Akuntabilitas Hak Asasi Manusia, Investasi Modal adalah Sebuah Kehancuran, mengingatkan kita semua bahwa konsep pembangunan yang semata bertopang pada aspek ekonomi sudah lama ditinggalkan.

Pembangunan harus diartikan sebagai sebuah upaya pemajuan manusia, bukan hanya pembangunan negara atau untuk memproduksi sesuatu. Pembangunan harus dipahami sebagai sebuah proses memperbaiki ekonomi, sosial, dan budaya, yang dilakukan untuk memastikan bahwa manusia dapat hidup dalam standar minimum yang ditetapkan oleh International Bill of Rights.

Hal yang sama, menurut Nababan, juga dinyatakan dalam Deklarasi PBB tentang Hak atas Pembangunan yang menempatkan penghormatan atas hak asasi manusia, baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi-sosial-budaya, harus dipastikan memiliki posisi sentral dalam sebuah kebijakan pembangunan negara.

Unik Kisah rakyat Porsea versus Indorayon ini memang tergolong unik. Sebagai sebuah persoalan, misalnya, ia mampu membuat empat presiden (mulai dari Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, sampai Megawati Soekarnoputri) kerepotan mengurusinya.

Bayangkan, persoalan ini telah muncul sejak 1983, tapi hingga kini tak juga jelas penyelesaiannya. Indorayon masih terus beroperasi, meski sempat juga berhenti, beberapa kali – terutama dari 1999 sampai 2002.

Tapi, jika semula ia bernama PT Inti Indorayon Utama, pada 15 November 2000 terpaksa berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari, agar terkesan lebih membumi. Namun, harus diingat, perubahan itu bukanlah soal nama belaka, melainkan juga core business-nya, yang terpaksa dikurangi: dari pulp (bubur kertas) dan rayon (serat nilon) menjadi pulp saja.

Sementara, dari sisi rakyat, meski terus berhadapan dengan kekuatan modal besar yang didukung aparat negara dan elite-elite politik, toh tak juga surut dan melangkah mundur dari medan tempur yang telah mengorbankan dua nyawa di pihak mereka.

Indorayon, memang sejak awal sudah kontroversial. Meski sebelumnya mendapat penolakan oleh beberapa menteri terkait (Emil Salim, AR Soehoed, dan Suyono Sasrodarsono), toh akhirnya, perusahaan milik konglomerat asal Medan, Sukanto Tanoto, yang didirikan di Desa Sosorladang, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir, diresmikan juga.

Tapi, dikarenakan banyaknya dampak negatif yang timbul maka warga masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi Indorayon tak henti-hentinya bersuara lantang memprotes kehadiran pabrik raksasa itu di tanah leluhur mereka.

Rakyat Porsea yang mendapat dukungan dari berbagai kalangan yang berjejaring di tingkat lokal, nasional, bahkan sampai ke luar negeri, tetap gigih berjuang, meski melelahkan, karena mereka menolak menjadi miskin.

Memang, sebelum ada Indorayon atau selama Indorayon berhenti beroperasi, kehidupan rakyat Porsea relatif tenteram dan sejahtera. Apa pun yang mereka usahakan, baik bersawah, memelihara ikan seusai panen di sawah, atau juga beternak ayam, babi, kerbau dan sapi, selalu dapat memberikan hasil-hasil yang menggembirakan.

Tapi, akibat dampak negatif dari limbah pabrik Indorayon, banyak hal kemudian berubah ke arah yang sangat menyedihkan. Bukan saja dalam aspek ekonomi, tapi juga kesehatan, ketenteraman, dan keamanan.

Di dalam buku inilah para korban Indorayon itu bertutur jujur, tentang duka dan derita mereka karena kemiskinan yang kian mengancam, kualitas kesehatan yang kian memburuk, alam yang kian tak bersahabat karena air yang tercemar dan udara yang berbau busuk, aparat keamanan yang berseliweran di sekitar pemukiman mereka, dan banyak lagi yang lainnya.

Tunggul Sitorus, misalnya, berkata demikian: “Kami sudah kehilangan kepercayaan kepada pemerintah. Jadi, apapun kata pemerintah, kami tidak akan mau menerima bantuan apapun. Yang kami minta adalah tutup dulu Indorayon. Lagi pula bantuan apa yang mau diberikan kepada masyarakat? Apakah bantuan untuk berjualan?

Tidak mungkin semua masyarakat petani ini akan berjualan. Kalau bantuan untuk pertanian, juga untuk apa? Sapi dan kerbau pun sudah pada mati keracunan. Beternak ikan mas pun tidak ada lagi hasilnya. Jadi, bantuan apapun yang diberikan itu tidak ada gunanya kalau Indorayon masih tetap beroperasi.”

Akan halnya Pendeta Sarma Siregar, yang pernah ditangkap aparat dan kemudian dipenjarakan, karena dituduh menghasut masyarakat dalam aksi demonstrasi 20 November 2003 di Sirait Uruk, bertutur jujur sebagai berikut: “Bagaimana mungkin saya menyampaikan Ffirman Allah, sementara jemaat saya menjerit tidak ada lagi yang dimakan, karena hasil panen yang terus-menerus rusak akibat limbah dan racun yang ditimbulkan oleh PT TPL? Tertindas dan tertekan karena lalu-lalang para polisi yang mengawal barang-barang Indorayon?”

Buku ini, selain menggugah hati, juga bermanfaat untuk dibaca. Karena, selain suara-suara para korban yang dikedepankan, bahasannya juga mengacu pada konsep-konsep dan teori-teori berdasar paradigma kritisisme yang niscaya membuat kita mampu melihat pembangunan dalam kacamata baru: yang berorientasi pada hak-hak asasi dan harkat-martabat manusia.

Victor Silaen


Last modified: 1/10/04