Seperti apa penilaian masyarakat terhadap wajah pers setelah pers menikmati kebebasan sejak reformasi digulirkan pada Mei1998? Apa saja harapan masyarakat terhadap pers, dan sejauhmana pers memenuhi harapan tersebut? Seperti apa komunitas pers memaknakan kebebasan pers? Seberapa kuat tarik menarik antara tuntutan pers bebas dan kebebasan pers? Pertanyaan ringkasnya, seberapa tingkat profesionalisme pers dewasa ini?
Sudah tentu, ada banyak metode untuk menilai profesionalisme pers. Salah satu caranya dengan mendengar kritik dari masyarakat atau narasumber berita. Termasuk menyimak pandangan pakar komunikasi. Banyak keluhan dilontarkan masyarakat terhadap perilaku (beberapa) pers paska longsornya rezim otoriter Suharto. Ada yang menilai pers tak lebih dari tong sampah. Tempat dimana segala sumpah serapah pribadi atau kelompok ditampung.
Tujuannya bukan untuk mencerdaskan atau mengasah akal sehat publik. Tapi untuk mempermalukan atau membunuh karakter seseorang atau kelompok, yang dipandang berseberangan secara politik. Parni Hadi, redaktur harian Republika menilai bahwa pers sekarang tak lebih dari talang air tanpa alat penyaring. Akibatnya segala ucapan narasumber menggelontor begitu saja menghiasi kolom-kolom halaman media pers.
Ada juga yang menilai pers telah berubah menjadi provokator. Terutama ketika pers memberitakan tentang konflik berdimensi etnik. Misalnya yang terjadi antara masyarakat Madura dan Dayak di Kalimantan, serta konflik antar penganut agama yang berbeda di Ambon.
Pemberitaan pers ditengarai juga telah memantik konflik lanjutan pada tingkat masyarakat itu sendiri. Dalam meliput konflik, pers tidak menjalankan fungsi conflict resolution. Tapi justru sebagai issue intensifier. Pers memunculkan issue atau konflik dan kemudian mempertajamnya. Soal materi liputan, ada juga kritik yang mengatakan bahwa pers terlalu banyak “mengobok-obok” urusan domestik seseorang. Terutama jika berhubungan isu skandal para pejabat.
Pendeknya, ada sebagian masyarakat yang menganggap kebebasan pers telah berubah menjadi “kebablasan pers”. Misalnya Aisyah Aminy, seorang anggota DPR dari Fraksi PPP, yang dalam rapat kerja dengan Menteri Negara Informasi dan Komunikasi Syamsul Muarif tahun 2001, malahan melontarkan usulan untuk merevisi UU Pokok Pers No. 40 Tahun 1999. Dalam pandangannya, UU Pers telah gagal mengantisipasi ekses-ekses negatif dari kebebasan pers.
Misalnya maraknya penerbitan pornografi, penyebaran berita yang provokatif, character assassination terhadap tokoh publik, serta fenomena wartawan gadungan alias wartawan bodreks. Soal pers yang kebablasan ini, Syamsul Muarif juga berpendapat bahwa pers telah membuat berita-berita yang tidak lagi faktual, tapi menjadi provokatif karena sudah diskenariokan untuk kepentingan tertentu. (Suara Pembaruan, 22/12 /01).
Cara lain untuk menilai profesionalisme pers adalah dengan melihat isi komplain publik yang dimuat dalam rubrik surat pembaca. Menurut (almarhum) Mahbub Djunaidi, jurnalis, bekas ketua PWI sekaligus kolomnis yang dikenal jenaka, komplain publik merupakan mekanisme yang sangat demokratis dalam dunia jurnalistik. Karenanya, jika ada pers yang mengabaikan komplain publik, pers itu bisa menjadi tiran yang menindas hak-hak demokratis publik, yang notabene sebagian dari mereka ikut membiayai kehidupan institusi pers lewat uang berlangganan tersebut. Atau membeli secara eceran.
Kedua, UU Pers No. 40 Tahun 1999 mencantumkan secara khusus tentang Hak Jawab dan Hak Koreksi, sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat 2 dan 3. Ketiga, dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) juga ada rambu-rambu moral, terutama butir ketujuh, yakni “Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.” Jadi, ada alasan konstitusional sekaligus moral bagi pers untuk meladeni hak jawab. Pengertian hak jawab itu sendiri adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Alasan keempat, dan ini yang lebih penting, pemuatan hak jawab juga mencerminkan masalah pertanggungjawaban pers kepada publik. Artinya, ketika menyampaikan informasi, pers berada dalam tanggung jawab yang tergantung atas dukungan atau penolakan masyarakat. Dukungan masyarakat atau publik bersumber dari kredibilitas pers. Dan salah satu sumber kredibilitas pers ditentukan oleh kredibilitas pemberitaannya. Dengan demikian komplain publik merupakan salah satu indikator untuk menilai sejauhmana profesionalisme pers.
Metode lain yang bisa digunakan untuk menilai profesionalisme pers adalah dengan melakukan studi terhadap teks-teks berita yang diproduksi surat kabar, majalah atau tabloid. Alat analisinya bisa dengan menggunakan analisis kuantitatif (content analysis) maupun analisa kualitatif (discourse analysis dan framing analysis).
Pers Dewasa Ini
Di bagian depan, sudah diungkap beberapa tuduhan masyarakat terhadap pers? Sejauhmana kebenaran tuduhan tersebut? Dan seperti apa isi komplain serta content pemberitaan pers dewasa ini?
Sebelum mengurai lebih jauh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, bagian berikut mendeskripsikan beberapa karakteristik wajah pers paska reforrmasi.
Pertama, isi pemberitaan pers boleh dikatakan tak lagi mengenal rambu-rambu seperti yang ditabukan pada saat Suharto berkuasa. Pers kini tak lagi sungkan menulis soal konflik antar suku secara terbuka. Bahkan bisnis keluarga Suharto serta skandal anak dan cucunya juga sudah menjadi sasaran pemberitaan pers. Tak ada lagi kini hantu pembredelan yang membayangi kerja para pekerja pers. Kehadiran UU Pers No. 40 Tahun 1999, juga dianggap sangat akomodatif terhadap kemerdekaan pers. Bahkan menurut jurnalis senior Atmakusumah Astraatmadja, produk hukum di era B.J. Habibie tersebut tergolong sangat liberal.
Sudah tentu, berbagai pihak yang dulunya menikmati immunitas pemberitaan ala orde baru, kini menjadi “kelabakan” menghadapi pertanyaan-pertanyaan kritis para wartawan. Para perwira tinggi di Kostrad barangkali tidak pernah membayangkan kalau kredibilitas yang selama ini dibangun secara angker dan berhasil “mengelabui” masyarakat, tiba-tiba ambrol dalam sekejap. Korps baju hijau yang diagung-agungkan sebagai patriot sejati, pembela nusa bangsa dan tanah air, hidup penuh suasana disiplin, tibat-tiba dikejutkan dengan temuan kasus korupsi yang melibatkan para jendral, dan dipublikasikan secara luas oleh media massa.
Anggota korps baju hijau yang semasa rezim orde baru Suharto hampir-hampir tak pernah tersentuh pemberitaan media massa, kecuali cerita-cerita seputar keunggulan mereka terhadap kaum sipil, mendadak banyak diberitakan pers karena skandal-skandalnya. Berbagai kisah pelanggaran HAM yang mereka lakukan di tanah rencong Aceh, Irian Jaya, Timor Timur, sampai berbagai isu selingkuh para jendral, laris manis menjadi komoditi informasi media. Sebuah perubahan yang sangat drastis. Bahkan mungkin Suharto sendiri juga tidak menduga kalau proses penistaan terhadap diri dan keluarganya akan terjadi demikian cepat!
Isi pemberitaan pers yang tak lagi mengenal rambu-rambu SARA, juga berkaitan dengan prosedur perolehan SIUPP yang tergolong cepat dan tak lagi sepolitis seperti di era rezim Orde Baru Suharto. SIUPP kini tak lagi dijadikan instrumen politik, namun sekadar persyaratan birokrasi usaha. Sama seperti ketika seorang warga hendak membuka usaha tertentu. Akibatnya jumlah penerbitan bertambah secara signifikan. Menurut hasil penelitian Dewan Pers, pada tahun 1999, Deppen, sebelum dibubarkan, telah mengeluarkan SIUPP baru sebanyak 1.687 buah. Kemudian pada tahun 2000 dan 2001 terdapat penambahan 500 SIUPP baru lagi. Namun dalam prakteknya, tidak semua pemilik SIUPP memiliki usaha penerbitan. Tahun 1999 misalnya dari 1.687 buah SIUPP baru, hanya 1.381 buah yang terbit. Selama tahun 1999, satu per satu penerbitan baru mulai rontok, hingga akhirnya tinggal 551 penerbitan yang bertahan.
Kedua, profesi jurnalis adalah profesi yang terbuka. Tak ada kualifikasi seperti seseorang yang hendak membuka praktek dokter atau pengacara. Walau ada sekolah khusus untuk calon jurnalis, namun jurnalis yang memiliki latar belakang pendidikan jurnalistik, barangkali jumlahnya lebih sedikit dibanding jurnalis yang memiliki latar belakang pendidikan non jurnalistik.
Profesi jurnalis yang terbuka ini membuat siapa saja bisa menjadi jurnalis. Akibatnya, mana yang jurnalis sejati dan mana yang jurnalis “jadi-jadian”, dewasa ini susah untuk ditengarai. Termasuk mana media yang “jadi-jadian”, mana media yang “sejati”. Lebih jauh lagi, seorang intel, provokator, preman, sekarang ini bisa menjadi jurnalis sekaligus pemimpin redaksi merangkap sebagai pemodal. Mereka inilah kelompok yang potensial untuk menyalahgunaan (kartu) pers untuk kepentingan-kepentingan non jurnalistik. Merekalah kelompok yang bisa membangun wajah pers di era reformasi menjadi bopeng-bopeng.
Ketiga, menguatnya fenomena pers industri, yang merupakan konsekuensi dari proses industrialisasi di bidang media massa. Fenomena pers industri, membuat media massa memiliki dua wajah, sebagai institusi bisnis dan institusi sosial. Kedua sifat institusional ini membawa implikasi dalam orientasi keberadaannya. Sebagai institusi bisnis media massa sama halnya dengan setiap korporasi, yaitu menjalankan operasinya dengan orientasi ke dalam (inward looking), untuk kepentingan sendiri. Sedang dalam menjalankan fungsi sebagai institusi sosial, berorientasi ke luar (outward looking) untuk kepentingan masyarakat. Pertentangan dua wajah ini menjadi perdebatan yang kunjung usai, menandai keberadaan media dalam masyarakat. Sementara ke dalam pertentangan orientasi ini membawa implikasi terhadap opersi kerja kaum jurnalis. Di satu pihak, dari dalam, jurnalis yang dituntut untuk menghasilkan informasi untuk memenuhi orientasi bisnis, pada pihak lain, dari luar, ada harapan agar menjalankan fungsi sosial. Sehingga media dan jurnalis berada di antara dua dunia, sebagai pekerja dalam konteks institusi bisnis ataukah sebagai pelaku profesi yang menjalankan fungsi sosial (Ashadi Siregar: 2002).
Yang jelas, kekuatan kapitalisme media seringkali mengorbankan fungsi pers sebagai institusi sosial. Persaingan antar media yang semakin sengit, apalagi sejak reformasi jumlah media bertambah sedemikian drastis, menjadikan pemberitaan sejumlah media pers keluar dari norma-norma etika jurnalistik. Banyak pemberitaan pers yang lebih mengedepankan sensasi, bombabtis dan mendramatisir realitas atau isu yang diliput. Semata karena orientasi untuk memenangkan pasar.
Ketiga kecenderungan tersebut, barangkali merupakan setting sosial yang ikut membentuk seperti apa wajah pers dewasa ini.
Kebebasan Pers dan Pers Bebas
Kritik penting yang perlu dikritisi adalah tuduhan masyarakat, termasuk sejumlah elit politik, yang mengatakan bahwa pers telah kebablasan. Bagaimana kritik tersebut mesti ditanggapi?
Agar tidak timbul pemahaman yang keliru, maka perlu dibedakan antara kebebasan pers (freedom of the press) dengan pers bebas (free press). Kebebasan pers dapat diartikan sebagai hak warga masyarakat untuk mengetahui (right to know) masalah-masalah atau fakta publik, dan di sisi lainnya hak warga masyarakat dalam mengekspresikan pikiran dan pendapatnya (right to expression). Kedua dimensi hak ini saling bertalian. Untuk memiliki pikiran dan pendapat tentang masalah publik, warga masyarakat dengan sendirinya harus mendapat informasi yang benar.
Sedangkan pers bebas adalah kebebasan yang dimiliki orang pers untuk menerbitkan segala jenis media, mulai dari yang bersifat partisan secara politik, memamerkan paha dan dada, berisi tebakan kode buntut sampai yang mengurusi jin dan tuyul. Profil pengusaha yang menerbitkan juga beragam. Mulai dari konglomerat, bekas aktivis partai, pengacara, preman, calon tanah, sampai bandar narkoba. Siapa saja bisa menjadi pengusaha pers dan bisa menjadi pemimpin redaksi tanpa perlu rekomendasi organisasi wartawan, dan tenu saja: bebas penataran P4!
Oleh karena itu pertanyaannya: apakah yang berlaku sekarang ini kebebasan pers atau sekedar pers bebas?
Landasan Normatif
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya diuraikan terlebih dahulu sumber dari kebebasan pers. Secara normatif hak masyarakat dalam proses berpendapat dijamin secara universal dalam naskah Deklarasi Hak asasi Manusia PBB, khususnya Pasal 19 dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik PBB Pasal 19 dan 20.
Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, Pasal 19 menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima serta menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dengan tidak memandang batas.”
Ketentuan tersebut dijabarkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 19 dan 20. Isi kedua pasal tersebut tidak hanya menjamin prinsip kebebasan bagi pers, tetapi lebih luas lagi bagi setiap orang.
Pertama, setiap orang mempunyai hak untuk mempunyai pendapat tanpa gangguan; kedua, setiap orang mempunyai hak akan kebebasan menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan gagasan apapun, tanpa memandang batas-batas, baik secara lisan, melalui tulisan ataupun cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lain menurut pilihannya; ketiga, pelaksanaan hak-hak yang disebut dalam ayat 2 pasal ini membawa kewajiban-kewajiban dan tanggungjawab khusus.
Oleh karena itu, pelaksanaan hak-hak tersebut bisa dikenai pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi pembatasan-pembatasan itu hanya diperkenankan sepanjang ditetapkan dalam undang-undang dan perlu: untuk menghormati hak-hak dan nama baik orang lain. Untuk melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum (public order), atau kesehatan masyarakat dan kesusilaan.
Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani Deklarasi PBB dan Kovenan tersebut, telah menerjemahkan ketentuan normatif tersebut, misalnya sebagai tertuang dalam Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998, tentang Hak Asasi Manusia yang antara lain menyatakan: (i) Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani (Pasal 14); (ii) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 21).
Itulah landasan normatif dan konstitusional pers di negara kita. Tentu disamping pemberlakuan UU Pers No. 40 Tahun 1999. Kebebasan pers dengan demikian sebenarnya merupakan nama generik dari hak asasi manusia. Oleh karena itu kebebasan pers menurut Ashadi Siregar, dapat dilihat dari dua aras: Pertama, adalah kebebasan warga untuk mendapatkan informasi publik, serta kebebasan serta kebebasan warga menyatakan pendapat tentang masalah publik. Kedua, kebebasan media pers untuk mencari dan menyampaikan informasi publik. Dua sisi kebebasan pers itu berbeda letaknya, sebab aras pertama merupakan hak dasar (asasi), dan inilah yang sesungguhnya disebut kebebasan pers. Sedangkan yang kedua merupakan implikasi logis dari yang pertama, biasa disebut kaidah pers bebas.
Kebebasan pers karenanya tidak menjadi concern atau monopoli orang-orang pers saja, tetapi juga menjadi urusan warga masyarakat. Soalnya, kebebasan pers bisa disalahgunakan oleh orang-orang pers itu sendiri. Yaitu ketika pers, baik pada aras individu jurnalis atau pemilik media, berselingkuh dengan kekuasaan politik, ekonomi dan komunalisme/budaya.
Perselingkuhan itu menelusup lewat kolom-kolom berita bahkan sampai ke ruang editorial. Akibatnya, pers tak lagi menjadi ruang publik yang menyemai nilai-nilai demokrasi, tapi hanya menjadi alat untuk merekayasa alam pikiran masyarakat. Pers tidak lagi mendorong sebagai ruang publik yang mencerahkan masyarakat, tetapi menjadi alat hegemoni bagi kekuasaan tertentu untuk menaklukkan daya pikir publik.
Persoalannya, apakah media pers yang beredar di ruang publik dominan mengusung semangat pers bebas atau kebebasan pers?
Apa yang akan dipaparkan dalam bagian berikut tulisan ini, akan membahas berbagai hasil riset yang dilakukan KIPPAS, selama kurang lebih tiga tahun sejak 1999, terhadap berbagai pemberitaan beberapa surat kabar yang terbit di Sumatera. Barangkali, beberapa temuan KIPPAS bisa dijadikan bahan untuk menilai seperti apa tingkat profesionalisme pers dewasa ini.
Wajah Pertama: Tidak Peka Gender
“Ditengah rontaan sang gadis, tangan Es bekerja. Payudara milik korban ia remas
dengan nafsu. Tidak hanya sampai disitu, tangannya yang lain menelusup masuk ke
celana dalam gadis itu. Kemudian, telunjuk kanan pria dewasa itu masuk menjelajah
bagian terlarang yang selama ini dijaga sang gadis”. (Semarak,7/7/01).
Protes masyarakat yang mengutuk peredaran tabloid dan majalah yang menyiarkan gambar-gambar porno, terjadi di berbagai kota besar di Indonesia. Secara atraktif, sejumlah demonstran membakar beberapa eksemplar tabloid yang dihujatnya, sambil tidak lupa mengutuk pihak eksekutif dan legislatif yang dianggap kurang aspiratif dalam memberantas soal pornografi.
Persoalan pornografi memang tak pernah usai diperdebatkan. Di kalangan pers sendiri muncul perdebatan sengit menyangkut media yang kerap memajang gambar-gambar yang mengeksploitasi tubuh wanita sekadar sebagai barang dagangan. Satu pihak menganggap bahwa media yang gemar memasang foto sekwildapa wanita bukanlah bagian dari jurnalisme. Argumennya karena jurnalisme tak berurusan dengan fakta personal. Apalagi bagian dari fakta personal yang sangat pribadi, yang semestinya tak perlu diumbar ke publik. Di sisi lain para pembela pers bebas, sangat percaya bahwa mekanisme pasar akan menseleksi persoalan media lheeer tersebut. Kalau pasar membutuhkan, maka media lheeer tersebut akan diserap. Namun jika pasar tidak membutuhkan, maka tak perlu ada protes atau aksi bakar segala, media lheerr akan sekadar jadi kertas pembungkus cabe!
Terlepas dari perdebatan tersebut, yang jelas, persoalan kekerasan terhadap wanita (pornografi adalah termasuk salah satu bentuk kekerasan), tak melulu diproduksi lewat bahasa visual. Media pers justru hampir setiap waktu melakukan kekerasan terhadap wanita lewat teks-teks berita yang diproduksinya. Riset KIPPAS terhadap pemberitaan peristiwa kekerasan (khususnya perkosaan) yang dialami kaum wanita pada tujuh surat kabar yang terbit di Sumatera tahun 2001 memperlihatkan masih dominannya penggunaan diksi (kata) yang bersifat konotatif ketika jurnalis mengkonstruksi peristiwa perkosaan. Dari sebanyak 98 item berita yang dianalisis, sebanyak 62 item berita (63,26%) mengandung kekerasan simbolik, dimana sebanyak 31 item berita (50%) mengandung eufimisme dan 16 item berita (25,81%) berupa metafora. Jenis kekerasan simbolik lainnya adalah stigmatisasi, disfemisme dan hiperbola.
Eufemisme umumnya digunakan jurnalis untuk mengganti istilah perkosaan yang dialami korban, sedangkan metafora digunakan untuk memperbandingkan korban, kecantikan korban dan bagian tubuh korban dengan istilah atau benda-benda tertentu yang sudah dikenal masyarakat. Dalam teks berita, eufemisme muncul dalam kata seperti: menggagahi, meniduri, menggauli, mencicipi, mencabuli, menodai, dintimi, dihamili, di perawani, diesek-esek, berindehoy, dibor, memaksakan kehendak, berbuat hal yang sama, ambil bagian, minta jatah, merenggut kesucian, dikerjai, lubang terlarang, diobok-obok dan metafora muncul dalam kata seperti: pagar makan tanaman, habis manis sepah dibuang, menghabisi, memetik kegadisan, menggarap, mahkota berharga, naik ke bulan dan kembang desa.
Pilihan kata atau ungkapan-ungkapan konotatif, umumnya dilakukan jurnalis dengan alasan untuk menghindari kebosanan publik ketika membaca berita perkosaan tersebut. Ada juga yang berpendapat untuk memperkaya gaya penulisan berita mereka. Argumen lain adalah agar pembaca tersedot perhatiannya. Dan itu mesti dengan bumbu: sex and crime! Jurnalis lain beragumen bahwa kekayaan diksi juga menunjukkan kekayaan intelektual mereka. Namun sayang, tak cukup banyak jurnalis yang memperhitungkan implikasi sosiologis dari pilihan kata yang mereka tulis. Pilihan kata yang konotatif tersebut justru akan melahirkan pemahaman yang berbeda dari publik. Khususnya terhadap tindak kejahatan perkosaan itu sendiri.
Selain itu, ketika menulis berita perkosaan, para jurnalis umumnya juga gemar menggunakan bahasa-bahasa yang merangsang imaji pembaca. Contohnya kalimat seperti telentang tanpa memakai pakaian dan membuka celananya. Menurt Yasraf A. Pilliang, kalimat tersebut memang mempunyai nilai ekonomi libido yang tinggi, karena memikat pembaca untuk berfantasi terhadap jalannya perkosaan. Selain mengungkapkan ‘ketelanjangan’, kata-kata itu sendiri sudah merupakan sebuah ‘ketelanjangan bahasa’ (naked language) atau ‘kecabulan bahasa’ (language obscenity), sebagaimana yang dimaksud Jean Baudrillard. Tidak ada lagi tabir, tidak ada lagi rahasia, tidak ada lagi yang disembunyikan oleh bahasa, semuanya diungkapkan, inilah kecabulan (dan sekaligus kekerasan) informasi.
Contoh penggunaan diksi lain yang konotatif adalah melalui ungkapan metafora yang umumnya digunakan dalam dunia fiksi. Contohnya mengajak “naik ke bulan”. Sebagai sebuah metafora untuk menjelaskan proses persetubuhan, kata-kata naik ke bulan dapat dimasukkan ke dalam apa yang disebut Ricoeur sebagai ‘metafora menyimpang’ (deviant metaphor). Sebagai sebuah tanda pinjaman (transferred sign), kata-kata tersebut telah kehilangan makna lateral maupun konotatif.
Tidak ada sama sekali makna konotatif yang muncul dari kata bulan, misalnya konotasi ‘tindak seksual’, atau ‘feminin’. Metafora tersebut mungkin digunakan untuk merepresentasikan ‘kepuasan puncak’. Bila memang demikian, ia telah meredusir sebuah perkosaan sebagai sebuah ‘kesenangan bersama’, oleh karena kedua pihak bersama-sama ‘naik ke bulan’. Metafora digunakan di sini, bukan untuk menggiring ke arah kebenaran makna, akan tetapi untuk menciptakan deviasi dan distorsi makna yang sangat jauh (Yasraf: 2002).
Komodifikasi Informasi Jurnalisme
Media pers memang dapat menjadi reflektor dari ketidak-adilan gender dalam masyarakat karena mengambil fakta sosial tanpa disertai perspektif. Hal ini mengakibatkan fakta sosial dijadikan sekadar sebagai komoditas informasi media. Dengan kata lain, fakta perempuan sebagai komoditas di ruang publik, diangkat sebagai sebagai komoditas media, sehingga media bukan hanya merefleksikan, tetapi telah mereplika fakta tersebut. Sebagai replikator, media menggandakan ketidak-adilan struktural, sebab komodifikas perempuan berlangsung dua tahap, pertama pada saat menjadi fakta sosial dan kedua setelah menjadi fakta media (informasi). Ini terjadi dengan pengambilan detail dari fakta dalam kerangka alam pikiran patriarkhi. Penampilan fitur bagian tubuh perempuan untuk tujuan kesenangan laki-laki misalnya, dapat disebut sebagai eksploitasi perempuan dalam kerangka patriarkhi.
Persoalannya, bagaimana proses komodifikasi informasi sampai menjadi “ideologi” dominan para jurnalis? Apakah semata karena karena persoalan subyektifitas persepektif terkait dengan “kemiskinan intelektual” yang diidap para jurnalis? Atau lebih karena bekerjanya sistem nilai dominan di masyarakat, dimana para jurnalis berfungsi sebagai konsumen sekaligus produsen yang mereplikasi sistem nilai yang dominan tersebut? Pertanyaan selanjutnya adalah: sistem nilai seperti apa yang dominan dianut oleh masyarakat? Jawabannya adalah keduanya: ya kemiskinan intelektual, ya karena ideologi patriakhi.
Menurut Ana Nadhya Abrar, komodifikasi perempuan oleh pekerja pers tidak terlepas dari konstruksi nilai yang dianut sebagian besar pekerja pers. Kontruksi sosial itu menyebutkan bahwa laki-laki berada di “atas” (mendominasi) perempuan, dan karena itu perempuan berada ”dibawah” (subordinasi) laki-laki. Kontruksi sosial seperti inilah kemudian lebih populer dengan sebutan ideologi patriarkhi. Persoalan yang kemudian muncul adalah, bisakah ideologi patriarkhi diatas digusur oleh ideologi lain yang lebih menghargai perempuan? Jawabnya bisa. Tetapi ada syaratnya, yaitu, ideologi patriarkhi tidak bisa lagi dimengerti masyarakat; (ii) ideologi patriarkhi tidak lagi menjadi perekat masyarakat; dan (iii) ideologi patriarkhi tidak terwujud dalam norma-norma, larangan-larangan, simbol-simbol, aturan-aturan masyarakat.
Sesungguhnya ideologi patriarkhi tersebut bukan sesuatu yang diberikan pada satu masyarakat, melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang melalui proses interpretasi dan reinterpretasi berbagai pengalaman dalam kehidupan masyarakat. Artinya, kalau interpretasi dan reinterpretasi berbagai pengalaman dalam kehidupan masyarakat yang menerapkan ideologi patriarkhi menunjukkan hasil yang negatif, maka ideologi tersebut bisa digantikan oleh ideologi lain. Untuk itu, berbagai pihak perlu menginterpretasikan dan me-reinterpretasikan berbagai pengalaman yang menunjukkan kepedihan, ketertindasan dan kenistaan yang disebabkan oleh penerapan ideologi patriarkhi.
Persoalannya kemudian menjadi tidak sederhana. Terutama ketika muncul kesadaran bahwa keberadaan media pers tak bisa lepas dari faktor kepentingan modal. Era pers perjuangan saat ini hanya tinggal ditemukan pada teks-teks buku sejarah, dan mungkin, beberapa penerbitan yang diasuh kalangan aktivis mahasiswa dan NGO, yang siginifikansinya masih bisa diperdebatkan. Yang menggejala kini semangat kapitalisme hampir dalam segala sektor kehidupan masyarakat. Tak terkecuali pada sektor media. Spirit kapitalisme menemukan artikulasinya dalam hampir seluruh isi pemberitaan media.
Terutama ketika media memberitakan hal-ihwal yang berkaitan dengan perempuan.Dalam fenomena pers industri, pemberitaan media berubah dari fungsi “politis” menjadi fungsi yang lebih utama: hiburan. Informasi lebih difungsikan sebagai “alat” hiburan yang diperjual-belikan secara massal. Berita tentang kawin-cerai atau perselingkuhan para selebritis punya bobot nilai yang sama dengan berita bencana alam, korupsi uang rakyat, atau tertangkapnya putra mantan presiden yang sempat buron selama lebih 1 tahun.
Dalam pers industri seperti yang berlangsung sekarang ini,pembagian kerja secara seksual menjadi kehilangan relevansinya. Memang, hasil penelitian yang dilakukan LP3Y terhadap 9 surat kabar yang terbit di luar Jakarta, yakni Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Jawa Pos dan Surabaya Post, menunjukan bahwa hampir semua jurnalis perempuan yang bekerja pada koran bersangkutan, ditempatkan di bidang-bidang yang dianggap lunak. Kebanyakan jurnalis perempuan hanya meliput atau membidangi masalah-masalah wanita, misalnya masalah anak dan keluarga, urusan rumah tangga, masak-memasak, masalah dunia kecantikan, serta urusan mode. Sedangkan bidang-bidang yang keras, dalam arti fakta yang dihadapi adalah fakta-fakta keras, seperti politik, ekonomi, hukum dan kriminal atau olahraga, dikuasai jurnalis laki-laki.
Namun walaupun bidang-bidang yang keras dipegang jurnalis perempuan, tetap tak menjamin bahwa informasi jurnalisme yang dihasilkan akan lebih berperspektif gender. Bahkan ketika jurnalis perempuan memegang posisi mayoritas dan mengelola apa yang disebut sebagai “media perempuan”, informasi jurnalisme yang diproduksi pun tetap dalam bingkai kepentingan modal, bahkan semakin mengukuhkan relasi ketimpangan yang ada.
Menurut Stanley A. Prasetyo, meski banyak media perempuan yang didirikan dengan cita-cita untuk memajukan kaum perempuan, namun nyatanya dari sisi isi, cara peliputan maupun iklan hampir semua media perempuan tak mampu keluar dari nilai-nilai kapitalisasi sebuah media. Antara lain dengan berbagai cara harus mampu mencapai tiras penjualan setinggi-tingginya dan memperoleh iklan dari barang-barang berkelas dan bermerk tinggi sebanyak-banyaknya. Konsep ini tentu saja kerap bertentangan dengan misi sosial sebuah media. Penyebutan media perempuan oleh beberapa media yang ada tak lain sekadar menjadikan kaum perempuan sebagai penegasan atas segmentasi pasar media tersebut.
Dari sisi isi, model peliputan maupun iklan yang dimuat, media perempuan di Indonesia saat ini secara umum justru mengukuhkan subordinasi perempuan terhadap laki-laki. Media juga menempatkan perempuan sebagai obyek dagangan. Antara lain untuk pemasaran barang-barang konsumtif dan kosmetik, untuk membeli fesyen (fashion) dan minyak wangi mahal dari kelas dunia, untuk membeli arloji bertahtakan emas dan intan permata dan lain-lain. Media perempuan juga mengukuhkan pemitosan perempuan cantik yang tak lain adalah yang bercirikan ras kaukasid, yaitu perempuan berkulit putih, berhidung mancung, bermata cekung-lebar dan berperawakan semampai-tinggi. Perempuan dalam iklan jamu hanyalah sebuah perkecualian.
Dalam media perempuan terkemuka, hampir semua model yang memperagakan fesyen baru serta model dalam iklan adalah mereka yang menggambarkan garis keturunan non-asia.
Pada sejumlah surat kabar yang terbit di Medan, topik-topik isi rubrik-rubrik wanita yang ada juga masih kental diwarnai semangat ideologi patriakhi.
Jika dikaji secara kritis, meskipun topik-topik yang ditampilkan oleh ketiga surat kabar tersebut cukup beragam, akan tetapi kebanyakan isinya tetap bermuara kepada peran-peran domestik yang harus dilakukan kaum wanita. Dengan kata lain topik-topik yang diulas masih belum jauh beranjak dari peran tradisional wanita yakni sebagai isteri, ibu, atau sebagai pendamping laki-laki.
Salah satu topik psikologi yang dimuat Waspada pada terbitan 8 Juli 2001, diberi judul “Menghargai Perasaan Pasangan” membahas tentang hal apakah yang seharusnya dilakukan dalam rangka menyelesaikan konflik yang sering terjadi antara suami isteri dalam rumah tangga. Akan tetapi pembahasannya lebih ditekankan kepada bagaimana sebaiknya sikap seorang isteri terhadap suaminya (jika terjadi konflik). Dalam artikel itu, isteri diharuskan memahami suami, sementara tak ada pembahasan perlunya suami memahami isteri. Simak kutipan teks berikut:
“Belajarlah menerima kenyataan dan kelemahan suami. Bagaimana pun dia sudah menjadi pilihan hidup Anda, jadi baik buruknya harus kita terima. Coba renungkan juga tentang diri Anda. Siapa tahu ada sifat yang tidak disukai suami namun, suami tetap menerima Anda apa adanya” (Waspada, 8/7/01).
Dibutuhkan Jurnalisme Empati
Perempuan sesungguhnya bukan hanya menghadapi musuh lama (laki-laki) tetapi musuh baru yang jauh lebih perkasa, yakni kapitalisme. Laki-laki bahkan telah dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk bersama-sama melestarikan struktur hubungan gender yang timpang. Pelestarian ketimpangan hubungan itu tidak hanya menyebabkan perempuan semakin tersubordinasi, tapi juga menyebabkan subordinasi perempuan oleh perempuan sendiri (Irwan Abdullah: 2001).
Jurnalis(me) yang peka gender dengan demikian memang tak mengenal pembagian kerja secara seksual. Dalam banyak kasus, tak sedikit jurnalis laki-laki yang justru memiliki kepekaaan gender dalam pemberitaan yang mereka buat. Sedang di sisi lain cukup banyak jurnalis perempuan yang justru tidak memiliki kepekaan gender dalam berita-berita yang mereka tulis. Sudah tentu, persoalannya bukan sekadar jurnalis laki-laki atau jurnalis perempuan yang paling tepat untuk meliput peristiwa kekerasan terhadap perempuan. Yang dibutuhkan adalah suatu metode kerja jurnalis(me), yang mampu menghasilkan informasi jurnalisme yang berperspektif gender.
Ashadi Siregar mengenalkan apa yang disebut sebagai jurnalisme empati, yaitu prinsip metode jurnalisme yang membawa konsekuensi dalam mengerangka (framing) suatu situasi sosial. Adapun suatu pengkerakaan secara sederhana dimaksudkan sebagai cara pandang bahwa di dalam setiap realitas sosial pada dasarnya merupakan interaksi antar manusia, dan dalam setiap interaksi sosial pada dasarnya secara potensial terdapat korban. Korban adalah person yang kalah atau tidak berdaya manakala berhadapan dengan pihak lainnya dalam suatu interaksi sosial (Ashadi: 2002).
Penerapan jurnalisme empati melalui metode reportase dalam mengeksplorasi fakta-fakta publik melalui sudut pandang (angle) dan fokus perhatian (focus interest). Kedua hal saling berkaitan, yaitu sudut pandang merupakan pilihan dalam menentukan sasaran yang akan dijadikan sebagai subyek sebagai titik tolak dalam menentukan sasaran yang akan dijadikan subyek sebagai titik tolak dalam pemaparan berita (news story). Manakala yang dijadikan subyek adalah korban dalam relasi sosial, maka untuk mendapatkan gambaran tentangfakta situasi sosial korban ini, diperlukan langkah jurnalisme yang berlandaskan metode partisipatoris.
Metode partisipatoris bertolak dari rasa empati jurnalis terhadap korban. Bahwa yang dihadapi bukan sekadar fakta kekerasan an sich, bukan sekadar korban yang mengalami kekerasan. Tapi sebuah fenomena sosial yang memiliki dimensi struktural, dus karenanya mengandung ketidakadilan.
Persoalannya di tengah berkembangnya arus pragmatisme yang berujung pada pemujaan terhadap materi yang hidup di sebagian besar jurnalis(me), bisakah metode partisipatoris menjadi langgam kerja para pekera pers di sana? Di tengah konstruksi fakta kekerasan terhadap perempuan yang umumnya sekadar dipungut dari keterangan pers aparat keamanan atau mencuplik BAP (Berita Acara Pemeriksaan) aparat, masihkah harapan itu bisa dititipkan kepada mereka?
Apa Yang Harus Dilakukan?
Barangkali kita bisa mempunyai jawaban yang sama, tapi yang terpenting kita harus berbuat: jangan jemu melontarkan sikap kritis ke pers! Baik dalam bentuk pengiriman hak jawab, komentar (tanggapan), menulis opini atau mengikutsertakan para jurnalis dalam kegiatan-kegiatan “pencerahan” ala LSM! Selain itu, sudah saatnya masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang tengah memperjuangkan keseteraan gender seperti LSM, memprakarsai suatu gerakan untuk menggalang dukungan publik agar pers bisa mengubah orientasi pemberitaan mereka yang bias gender. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan melakukan pembacaan secara kritis (watching) terhadap setiap teks media yang menyudutkan kaum wanita. Hasil watching tersebut kemudian dikirimkan ke surat kabar bersangkutan dalam bentuk artikel opini.
Jika tidak mempan, maka dapat ditempuh cara lain, misalnya menggalang solidaritas masyarakat untuk memboikot surat kabar yang tidak mau mengubah oientasi pemberitaan mereka agar peka gender. Bentuk boikot masyarakat bisa dengan berhenti berlangganan atau membeli secara eceran, atau bahkan memutuskan sama sekali tidak membaca surat kabar bersangkutan.
Ada yang mengatakan bahwa pers adalah mirror of reality. Isi media pers karenanya merupakan cerminan dari realita masyarakat. Tapi ada juga yang menganggap bahwa pers adalah moulder, atau pembentuk rupa masyarakat. Jika kita meletakkan harapan pers sebagai moulder, maka sebagai konsumen pers, kita memang harus segera melakukan langkah-langkah korektif. Terutama agar kaum tidak menjadi korban kekerasan untuk keduakalinya oleh pers!
Wajah Kedua: Jurnalisme Perang!
Perang saudara di bekas negara Yugoslavia dimulai pada musim panas 1991. Perang ini diperjuangkan oleh bangsa-bangsa dan orang-orang yang dulunya hidup damai sebagai warga-negara Yugoslavia sejak akhir perang Dunia II. Media memainkan peranan penting dalam mengubah warga yang semula damai menjadi saling bermusuhan. Bahkan dapat dikatakan, kampanye media yang bersifat menghasut itu adalah prakondisi tidak hanya bagi perang itu sendiri tetapi juga bagi kekejaman yang mula-mula diperanginya.
Pengalaman Gabriela Mischkowski yang hidup di tengah-tengah komunitas bangsa Yugoslavia yang tercabik-cabik oleh peperangan antar etnis itu, memberikan perenungan reflektif tentang arti kebebasan pers.
Ketika rezim Suharto berkuasa, media pers dikenakan pembatasan untuk tidak memuat peristiwa atau kejadian (yang bernuansa) SARA. Kalaupun media memuatnya, biasanya berdasarkan versi negara. Dan konsekuensinya, ada orang atau kelompok tertentu yang dijadikan kambing hitam. Wacana media pers pun akhirnya kaya dengan stigma-stigma seperti “gerakan ekstrim kiri”, “Islam radikal”, “sisa-sisa PKI”, “gerakan anti pembangunan”, “musuh negara”dsb.
Dengan stigma-stigma seperti itu, maka hak publik untuk memperoleh informasi yang benar terhalang. Di sisi lain, hak jurnalis untuk melaporkan informasi juga terhambat. Dengan kata lain, fungsi right to know dan right to expression terhambat. Tidak ada kebebasan pers dalam arti yang sebenarnya.
Namun setelah rezim Suharto berhasil dilongsorkan kekuatan mahasiswa, politik pemberitaan pers, khususnya untuk berita-berita politik, ibarat seekor kuda yang baru dilepas dari tali kekangnya! Tidak ada lagi rambu-rambu SARA atau ancaman pencabutan SIUPP yang menghantui kinerja orang pers. Tak ada lagi rasa takut untuk memberitakan tentang korupsi ekonomi dan politik yang dilakukan dinasti Suharto dan kroni-kroninya. Bahkan media pers kini tak tabu lagi untuk ‘mengobok-obok’ para jendral sekalipun. Sebuah wilayah yang semasa rezim Suharto boleh disebuat zona terlarang bagi para jurnalis.
Banyak debat tentang sejauhmana dampak pemberitaan pers. Khususnya sejauhmana kata-kata mampu mengubah pola pikir apalagi perilaku seseorang. Apakah mungkin sebuah simbol dapat melukai orang? Apakah mungkin sebuah kata-kata dapat menikam? Apakah mungkin sebuah ucapan lebih tajam dari sebuah pedang? Apakah mungkin sebuah makna dapat menghancurkan sebuah bangsa? Yasraf Amir Pilliang: 2001).
Walau terdengar provokatif, pertanyaan tersebut sangat relevan jika dikaitkan dengan penggunaan bahasa pers ketika mengkonstruksi konflik (etnis) yang merebak di berbagai pelosok tanah air kita. Beberapa hasil riset KIPPAS menunjukkan tentang tingginya frekuensi penggunaan diksi yang mengandung kekerasan simbolik. Misalnya ketika media pers memberitakan konflik antar warga Madura dan warga dari suku Dayak di Kalimantan.
Aktivitas jurnalisme memang menggunakan bahasa sebagai bahan baku untuk memproduksi berita. Namun bagi surat kabar, bahasa bukan sekedar alat komunikasi untuk menyampaikan informasi atau peristiwa. Bahasa juga bukan sekedar alat untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran-gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada publik (pembaca).
Ketika konstruksi relitas surat kabar berbeda dengan realitas yang ada di lapangan, maka hakikatnya telah terjadi kekerasan terhadap realitas itu sendiri. Ada realitas yang sebagian disembunyikan, diperhalus atau bahkan dilebih-lebihkan. Karena surat kabar menggunakan bahasa untuk menyembunyikan sebagian realitas, memperhalus atau mengasarkan fakta yang ada, maka hakikatnya media tengah memproduksi kekerasan simbolik.
Kekerasan simbolik bekerja dalam level olah pikir, karenanya kekerasan simblik mengkondisikan korban kekerasan tanpa merasa bahwa kekerasan sedang bekerja menerjang dirinya. Selama puluhan tahun hidup dibawah rezim orde baru Suharto, masyarakat “dicuci” kesadarannya untuk menerima realitas lewat kampanye yang menyembunyikan realitas kepahitan itu sendiri. Rezim misalnya tak pernah mengakui adanya kenaikan harga barang, tapi penyesuaian harga. Rezim tak pernah mengakui telah menganiaya aktivis mahasiswa yang melakukan demonstrasi, tapi “mengamankan” (walau para mahasiswa sudah babak belur dihajar polisi atau aparat TNI), kemiskinan atau kemelaratan tak ada di negeri ini, yang ada hanya “keluarga pra sejahtera”.
Penghalusan fakta melalui bahasa yang eufimistik tersebut mendominasi kolom-kolom surat kabar selama hidup di bawah rezim orde baru. Namun bagaimana kondisi surat kabar setelah lepas dari cengkraman hegemoni rezim orde baru?
Anarki Kata-kata
Seperti sudah disinggung sebelumnya, pemberitaan beberapa surat kabar sebagaimana yang diamati analis media KIPPAS, penuh dengan pergelaran bahasa-bahasa kekerasan. Tak hanya ketika surat kabar mengkonstruksi fakta yang sudah kerasa seperti konflik (etnis), tetapi juga ketika mereka mengkonstruksi konflik diantara elit politik.
Dalam istilah Prof Dr Hasan Alawi, ahli bahasa yang pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia itu, bahasa komunikasi yang dipraktekkan para elit politik merupakan bentuk vulgarisasi bahasa Indonesia. Hal tersebut menurut Hasan Alawi merupakan perubahan yang ekstrem dari kramanisasi bahasa Indonesia karena adanya hegemoni semantik yang terjadi selama masa Orde Baru.
Sementara A. Muis, pakar komunikasi dari komunikasi dari Universitas Hasanudin, memaknai penggunaan bahasa kekerasan itu dengan istilah anarki kata-kata atau anarki simbol-simbol. yang dilakukan para elit politik baik dalam komunikasi sosial maupun komunikasi di media massa. Menurut A. Muis, anarki kata-kata merupakan penerjemahan dari model komunikasi politik jarum suntik (hypodermic needle model) yang dilakukan para elit politik kepada masyarakat “awam”. Tujuannya, agar opini publik cepat berubah sesuai dengan maksud para elit politik itu.
Ada banyak contoh yang bisa diberikan di sini, misalnya ketika media meliput konflik entar etnis Dayak dan Madura yang terjadi di Kalimantan. Tindakan sekelompok orang Dayak yang melakukan pencarian dan pembunuhan terhadap orang-orang Madura, diistilahkan pers sebagai “aksi perburuan”. Sebuah konstruksi makna yang menggiring publik pada aktivitas para pemburu yang sedang mengejar binatang buruan di tengah hutan.
Melalui penggunaan istilah “perburuan”, efek yang hendakan ditimbulkan kepada publik adalah penonjolan kebiadaban perilaku sejumlah orang Dayak. Di pihak lain, orang-orang Madura juga digambarkan ibarat “binatang buruan” yang tak berdaya dan menjadi objek buruan semata. Ada juga istilah lain yang dimunculkan media, misalnya “pembabatan”, sebuah istilah yang menggiring fantasi publik pada ayunan ketajaman ayunan sabit yang membabat habis batang-batang ilalang dalam hitungan detik. Juga ada lagi istilah “pembersihan”. Faktanya tentu masih banyak warga Madura yang tinggal di Kalimantan Tengah.
Fakta kekerasan juga diumbar pers tanpa disertai tindakan penyaringan di kamar redaksi. Simak contoh berikut: “Saya telah memakan jantung dari seseorang”, “Ratusan kepala digantung tanpa anggota tubuh”, atau ini: “mereka didatangi ratusan orang, kemudian langsung membabat dengan senjatanya, darah pun mengalir.”
Bahasa kekerasan simbolik juga meruyak dalam pemberitaan pers pasca turunnya Memorandum I DPR RI kepada Presiden Abdurrahman Wahid tahun 2001 yang lalu. Elit politik yang bersikap super kritis terhadap Presiden Abdurrahman Wahid, menebarkan istilah “gempa politik” atau “rumah republik semakin terbakar” untuk mengkonstruksi krisis politik di tanah air. Sementara elit politik yang mendukung Gus Dur, menciptakan istilah “preman politik”, “bandit politik” atau “reformis gadungan” untuk mengkonstruksi perilaku elit politik yang super kritis tersebut.
Kekerasan simbolik memang tidak melukai secara fisik. Namun ia bisa menjadi api pemantik bagi konflik lanjutan dalam arti yang sebenarnya.
Jurnalisme Perang
Meliput peristiwa konflik (kekerasan), pada dasarnya merupakan sesuatu yang wajar bagi pers. Salah satu kriteria untuk mengukur apakah suatu peristiwa layak diberitakan atau tidak adalah kandungan unsur konflik itu sendiri. Semakin keras konflik yang terkandung dalam suatu peristiwa, semakin tinggi nilai beritanya. Rumus seperti ini, masih banyak dianut oleh kalangan jurnalis.
Akibatnya ketika meliput suatu konflik (etnis), orientasi liputan yang dominan terbingkai dalam apa yang disebut sebagai jurnalisme perang (war journalism). Liputan jurnalis lebih berorientasi pada peristiwa kekerasannya itu sendiri. Jurnalisme perang lebih berfokus pada arena atau tempat dimana konflik itu terjadi, jumlah korban yang mati, penderitaan korban, rumah yang hancur atau harta benda yang terbakar. Dengan kata lain, jurnalisme perang lebih suka mengeksploitasi the visible effect of violance, korban kekerasan yang tampak, dibanding yang tidak tampak.
Akibatnya jurnalisme perang secara tidak sadar juga menggiring publik untuk memihak pada salah satu pihak yang bertikai. Ini bisa dimaklumi karena dalam proses liputan, jurnalisme perang selalu menggunakan kacamata “kita-mereka”.
Jurnalisme Damai
Secara teoritis, ada tiga posisi media dalam memberitakan konflik pertama, media sebagai issue intensifier dimana media berposisi memunculkan isu atau konflik dan mempertajamnya. Isu yang diangkat media akan memunculkan dan menampakkan dimensi isu secara tajam. Dengan posisi sebagai intensifier, media memblow –up realitas yang jadi issu sehingga seluruh dimensi isu menjadi transparan.
Kedua, media sebagai conflict diminisher, yakni media menenggelamkan suatu issu atau konflik. Secara sengaja media meniadakan issu tersebut, terutama bila menyangkut kepentingan media bersangkutan, entah kepentingan ideologis atau pragmatis.
Ketiga, media juga bisa berfungsi jadi pengarah conflict resolution, yakni media menjadi mediator dengan menampilkan isu dari berbagai perspektif serta mengarahkan pihak yang bertikai pada penyelesaian konflik. Dengan peliputan media, pihak yang terlibat diharapkan memahami sudut pandang pihak lain, mengatasi prasangka dan kecurigaan, serta mengevaluasi ulang sikap dasar yang terbentuk semula.
Pola peliputan yang seperti ini kemudin dikenal dengan jurnalisme yang mempunyai tugas utama untuk memetakan konflik, mengindentifikasi pihak-pihak yang terlibat dan menganalisis tujuan-tujuan mereka, dan membicarakan informasi yang mereka sediakan dalam agenda khusus mereka.
Jurnalisme damai memang hanya sekedar opsi. Jurnalis(me) bisa mengadopsi atau bahkan mengabaikannya. Namun harus diingat, keberadaan pers tidaklah lepas dari fungsi imperatif dengan masyarakat. Itu berarti masyarakat menaruh harapan tertentu terhadap pers. Apa sebenarnya harapan masyarakat, terutama ketika pers meliput konflik?
Umumnya, jurnalis ditengarai kerapkali absen dalam setiap konflik kekerasan. Jurnalis hanya menerima informasi dari kedua belah pihak yang bertikai dan sering tidak melakukan check dan recheck di lapangan. Para jurnalis merasa bahwa keterangan keduabelah pihak tentang versi konflik yang terjadi, dianggap sudah cukup. Padahal ketika bahan baku pemberitaan pers berupa realitas sosiologis (konflik), maka yang perlu dilakukan jurnalis adalah verifikasi fakta. Sejauhmana keterangan kedua belah pihak tersebut dapat diuji di lapangan.
Ketika jurnalis hanya menerapkan prinsip cover both side, maka pers tak ubahnya seperti agen propaganda bagi keduabelah pihak yang bertikai. Produk informasi jurnalis, tak lagi mengabarkan tentang kebenaran faktual, melainkan kebenaran formal yang susah diverifikasi.
Dalam kondisi seperti itu, dibutuhkan sebuah perubahan orientasi. Jurnalis harus mengalihkan objek liputan mereka. Mereka harus menggeser fokus pandangan mereka bahwa dalam meliput setiap konflik, yang paling tersisihkan adalah kaum perempuan, korban-korban pelanggaran HAM, kaum ibu yang harus mengungsi, korban perkosaan, anak-anak yang dijadikan mata-mata, anak-anak korban kekerasan, kaum laki-laki yang tak bisa mengurus ladangnya, mereka yang dilanggar hak asasinya, singkat kata, mereka yang voice of the voiceless! Media pers harus mewartawakan perdamaian!
Wajah Ketiga: Mewariskan Prasangka Rasial?
Keberagaman adalah realitas yang tak dapat ditolak. Namun keberagaman, baik yang bersumber dari suku, agama maupun kedudukan ekonomi, seringkali menjadi pemicu terjadinya diskriminasi. Pertanyaannya, bagaimanakah peran media pers ketika “menemukan” kenyataan bahwa diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa masih bersemayam di benak sebagian besar masyarakat “kita”?
Jika kita menganut pandangan kaum konstruksionis, maka wartawan (media pers) tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita. Dengan demikian, wartawan bertindak sebagai agen konstruksi realitas. Namun jika kita menganut pandangan kaum positivis, maka fungsi wartawan hanya sekedar memindahkan realitas ke dalam berita. Persoalannya cara pandang wartawan terhadap suatu realitas atau issu tergantung dari nilai-nilai yang diyakini dan dianutnya. Termasuk nilai-nilai yang dominan di masyarakat.
Di tengah masyarakat yang subur dengan berbagai stereotip dan tindak diskriminatif, maka point of view wartawan sedikit banyak juga ditentukan oleh nilai-nilai tersebut. Hal tersebut akhirnya mewarnai berita yang dikonstruksinya.
Salah seorang peneliti yang banyak melakukan studi rasialisme dalam pemberitaan media adalah Van Dijk. Menurut Van Dijk, banyak sekali rasialisme yang diwujudkan dan diekspresikan melalui teks media. Contohnya dapat dilihat dari percakapan sehari-hari, wawancara kerja, rapat pengurus, debat di parlemen, propaganda politik, perilklanan, artikel ilmiah, editorial, berita, foto, film, dan sebagainya. Melalui berbagai teks tersebut, kelompok bawah digambarkan tidak sebagaimana mestinya, yang dinyatakan dengan cara meyakinkan, tampak sebagai kewajaran, masuk akal, alamiah, dan terlihat/tampak sah (Kartika dan M. Mahendra (Editor): 1999).
Menurut Van Dijk, teks-teks yang mengandung muatan rasialisme dapat dimaknai seperti berikut ini. Pertama, secara umum menunjukkan bahwa bagaimana kognisi/kesadaran mental masyarakat di Barat bekerja. Mereka semua tidak sadar bagaimana pikiran mereka diliputi oleh pikiran-pikiran yang rasis, dan tanpa sadar memandang rendah, memandang berbeda kelompok minoritas. Kedua, menggambarkan bagaimana wacana rasialisme itu diperkuat dan dimapankan dalam teks media.
Penelitian yang dilakukan LSPP (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan) pada tahun 1998 tentang pemberitaan 20 media massa cetak mengenai kerusuhan Mei memperlihatkan gambaran belum banyak media memahami posisinya sebagai produksi wacana dan persoalan rasialisme. Media massa umumnya masih menggambarkan kecenderungan menjadikan etnis Tionghoa sebagai masyarakat kelas dua di negara ini. Kerusuhan Mei 1998 digambarkan media massa sebagai pertarungan antara pribumi dan nonpribumi sebagai akibat dari sebuah logika yang sering dimainkan para penguasa negeri ini. Banyak berita yang diturunkan media juga masih memproduksi wacana rasial dengan melakukan pembenaran atas sebuah kerusuhan yang telah menelan korban itu (Dicky Lopulalan dan Benjamin Tukan: 2002).
Tak jauh berbeda dengan yang ditemukan LSPP, pada tahun 1999 sejumlah surat kabar di Medan memunculkan berita polemik soal pencalonan walikota Medan. Polemik dipicu oleh pernyataan Sekjen PKB (Partai kebangkitan Bangsa) Sumut, Drs H Marwan Dasopang dan cendekiawan Prof Dr Firman Tambun yang mendukung pencalonan beberapa pengusaha dari etnis Tionghoa untuk masuk ke bursa Walikota Medan. Namun baru sebatas wacana, berbagai kalangan melontarkan reaksi atas usulan tersebut. Reaksi berdatangan dari pihak “mereka” yang menggunakan isu primordialisme untuk mempertegas batas antara ‘kita’ dengan ‘mereka’.
Simak kutipan teks berita berikut:
“Dukungan pencalonan walikota Medan dari etnis Tionghoa, harus dipikirkan secara arif dan bijaksana, jangan hanya asal sebut, tanpa melihat sejauhmana wawasan kebangsaan mereka” (“Pencalonan Balon Walikota Medan dari Etnis Tionghoa Mendapat Reaksi”, Sinar Indonesia Baru, 10 Desember 1999).
Teks di atas menegaskan tentang stereotip yang berkembang di masyarakat bahwa orang-orang Tionghoa memang patut diragukan kadar nasionalismenya. Sebaliknya orang-orang “kita” tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Kadar nasionalisme “kita” sudah seratus persen, sudah selesai. Teks Sinar Indonesia Baru tersebut sekaligus membuat batas pemisah yang jelas bahwa orang-orang Tionghoa memang bukan bagian dari nasion Indonesia. Karenanya tak mungkin orang-orang ini dimajukan sebagai calon pemimpin kota Medan.
Namun seperti apa rumusan orang yang telah menguasai wawasan kebangsaan atau tuntas kadar nasionalismenya, tak ada penjelasan lebih lanjut dari narasumber Sinar Indonesia Baru. Yang jelas, dengan melemparkan dikotomi orang Tionghoa yang a-nasionalis dan orang non Tionghoa yang nasionalis, subjek perdebatan digeser bukan pada kualitas bakal calon walikota. Tetapi lebih pada persoalan lain yang lebih besar, yang memang mengendap dalam benak orang-orang “kita”.
Simak lanjutan kutipan teks berita ini:
“Menurut Banuaran Ritonga, sebaiknya Bakom PKB dan organisasi etnis Tionghoa lainnya supaya melanjutkan proses pembauran secara hakiki, agar etnis tersebut benar-benar memahami adat dan kebiasaan bangsa Indonesia, sehingga makna pembauran itu tidak menimbulkan masalah lagi”.
Teks tersebut kembali menegaskan bahwa etnis Tionghoa memang bukan bagian dari “kita”, karenanya “mereka” harus memahami adat istiadat bangsa Indonesia! Betapa kacaunya logika narasumber yang dikutip Sinar Indonesia Baru, dan sayangnya, koran ini tidak melakukan editing. Dengan memuat secara utuh ucapan narasumber, Sinar Indonesia Baru diasumsikan menyetujui pendapat narasumbernya. Stereotip lain yang “dikhawatirkan” pers Medan jika orang Tionghoa menjadi walikota Medan adalah “ketakutan” nantinya kota Medan akan “dijual”. Anehnya ketika H. Abdillah terpilih sebagai Walikota Medan 2000-2005, pers tidak pernah merasa khawatir terhadap figur tersebut. Padahal masyarakat mengetahui bahwa Abdillah sebelumnya dikenal sebagai pengusaha kontraktor!
Menurut van Dijk, rasisme baru memang berfokus pada perbedaan-perbedaan kultural, mungkin pula pada ‘ketidaksempurnaan’ kultural (cultural deficiencies), dan bukannnya pada inferioritas/superioritas biologis-genetis. Di dalam rasisme baru ketidaksejajaran tidak diwujudkan dengan menindas kelompok lain (the others), melainkan dengan menciptakan “kerugian” sosial-ekonomis. Kerugian ini kemudian disimpulkan sebagai karakteristik kultural kelompok minoritas dan kelompok pendatang (Kartika dan M. Mahendra (Editor): 1999).
Pers, alih-alih berfungsi sebagai institusi demokrasi yang mempomosikan nilai-nilai pluralisme, namun justru terlibat dalam produksi makna yang mengandung muatan rasialisme.
Pers Bukan Sekedar Agen Realita
Dalam seminar yang membahas hasil riset rasialisme pemberitaan media yang diadakan Kippas Maret tahun 2002, Ibrahim Sinik, Pemimpin Umum sekaligus pemilik jaringan media Medan Pos Group menyatakan bahwa surat kabarnya memang mempunyai kebijakan untuk memuat istilah “warga keturunan” bagi seorang etnis Tionghoa yang melakukan tindak kejahatan. Bahkan sekalipun orang tersebut sudah mempunyai nama “Indonesia”, namun Medan Pos akan tetap memuat nama Tionghoanya. Namun bagi orang Tionghoa yang berperilaku baik, Medan Pos tidak akan menyebutnya dengan istilah ‘warga keturunan’.
Ada problematik dalam kebijakan tersebut. Pertama, soal kejahatan sebenarnya tidak berkaitan dengan latar belakang etnis, termasuk agama. Soal kejahatan lebih karena persoalan struktur sosial yang tidak adil dan menciptakan disparitas sosial. Kedua, sebagai gate keeper sekaligus sebagai penyemai nilai-nilai demokrasi, semangat yang diusung komunitas pers mestinya berangkat untuk menghormati adanya kenyataan masyarakat Indonesia yang pluralistik. Media adalah salah satu sumber pengajaran kebudayaan. Rasialisme, jelas bukan merupakan sesuatu yang harus diajarkan, apalagi diproduksi dan direproduksi terus-menerus dalam kognisi masyarakat.
Di tengah masyarakat yang pluralistik, media massa semestinya mengembangkan liputan yang bersifat narrative tolerance, yang mengambil hal-hal positif dalam hubungan antar budaya. Sudah waktunya, setiap jurnalis dan media massa meninggalkan pendekatan berita narrative intolerance, yang memberi kesan seolah-olah masyarakat tak mungkin hidup berdampingan, pelit toleransi secara rukun dan damai, dengan mementingkan sensasi sebuah peristiwa (Dicky Lopulalan dan Benjamin Tukan: 2002).
Jurnalis dan media massa memang bukan segalanya. Namun yang harus dipahami mereka bukanlah sekedar saluran bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberitaan media massa. Jurnalis dan media massa bukanlah corong atau “talang air” yang berfungsi sekedar untuk menggelontorkan pendapat dan pandangan kaum “kita” yang mengidap “penyakit rasisme”. Jurnalis dan media massa juga memiliki seperangkat nilai, yang bisa digunakan untuk menguji pendapat atau pandangan kaum “kita” yang rasis tersebut.
Dengan demikian fakta media yang diproduksi dan dimuat di media massa adalah fakta media yang mengandung penghormatan terhadap nilai-nilai pluralisme, dan jauh dari mengobarkan api rasialisme. Ada baiknya para jurnalis di negara kita perlu mengingat kembali “Deklarasi Bilboa”, Perancis, yang ditandatangani oleh para jurnalis dari 70 negara, termasuk Indonesia, yang berisi hal-hal sebabagi berikut:
• Mengakui bahwa ada ancaman pada kedamaian dan demokrasi karena peningkatan kekerasan rasial di masyarakat urban, meluasnya ketidakrukunan agama, perang dan pembunuhan massal akibat perseteruan antar etnik, dan prasangka terhadap kaum berbahasa dan status sosial minoritas;
• Mempercayai bahwa keragaman adalah kenyataan dasar dari kehidupan manusia, sebagai sebuah cara pengkayaan budaya dan rangsangan bagi pengembangan sosial ekonomi;
• Menyetujui bahwa tolreansi ditambahlagi dengan akses publik pada media adalah penting untuk memahamai potensi keragaman;
• Mengakui bahwa seluruh usaha dan aksi manipulasi media dan penggunaan jurnalisme demi tujuan propaganda rasial, etnik dan kekerasan sosial;
• Mendalami bahwa komersialisasi yang luas mengarahkan kesamaan profesi pada akibat rasisme dan intoleransi;
• Memahami betul bahwa tidak ada peran yang pantas bagi pemerintahan dalam mengatur isi media dan etika jurnalistik;
• Mengakui bahwa seluruh jurnalis pada tingkat nasional, regional dan internasional harus bergabung untuk mempertegas kembali berbagai prinsip jurnalistik dengan kemandirian profesi serta penghormatan pada kebenaran guna memenuhi misi media dalam mendukung kewarganegaraan, toleransi dan demokrasi.
Wajah Keempat: Mengabaikan Standard Objektivitas
Harus diakui, euforia yang terjadi di kalangan jurnalis telah mengakibatkan media pers banyak melanggar rambu-rambu profesionalisme yang semestinya menjadi doktrin kerja mereka. Prinsip pemberitaan berimbang yang mengedepankan both sided coverage, akurasi fakta melalui mekanisme check and recheck, dewasa ini kerap diabaikan oleh para jurnalis.
Akibatnya isi pemberitaan media pers seringkali terkesan menohok salah satu pihak yang diberitakan. Terutama karena mereka tidak diberi kesempatan untuk mengutarakan pendapat atau versi realitasnya. Padahal media pers harus memberikan kesempatan yang sama bagi pihak-pihak yang diberitakan. Tanpa itu, yang terjadi adalah dominasi dari salah satu pihak kepada pihak lain yang telah diabaikan hak-haknya oleh media pers. Atau pemaksaan interpretasi tunggal dari satu pihak kepada pihak lain.
Dalam kasus pemberitaan Jawa Pos, yang bergerak adalah massa Banser NU karena massa berpandangan bahwa pimpinan mereka telah diperlakukan tidak adil oleh pemberitaan Jawa Pos.
Dewasa ini, ada juga penyakit lain yang diderita media pers, yaitu antara fakta dan isssue atau desa-desus, sudah bercampur aduk dalam isi pemberitaan mereka. Belum lagi strategi pemilihan kata-kata yang sering dipilih karena dipandang akan menimbulkan daya tarik bagi konsumen untuk membelinya. Akibatnya lahirlah jurnalisme “konon”, jurnalisme “kira-kira” yang sering tidak didasarkan pada pengamatan terhadap realitas di lapangan, namun bersumber dari “bisik-bisik” dan “kasak-kusuk”. Singkatnya, profesionalisme kerja media pers juga perlu dibenahi agar mengurangi komplain publik.
Hasil penelitian yang dilakukan KIPPAS terhadap empat (4) surat kabar utama yang terbit di Medan, dapat dijadikan contoh. Dengan mengambil jangka waktu selama 11 bulan (Januari-November 2000), ditemukan ada sebanyak 123 komplain publik dalam bentuk surat pembaca yang dimuat oleh keempat surat kabar yang diteliti. Berikut intisari dari hasil penelitian tersebut:
Pertama, Sinar Indonesia Baru. Sepanjang periode penelitian, pada surat kabar ini dijumpai sebanyak 44 komplain yang termasuk dalam kategori mengabaikan mekanisme cek ulang. Dari 44 komplain ini, 9 surat diberi catatan oleh pihak redaksi, sedangkan sebanyak 32 komplain tidak diberi komentar atau dibantah kebenaran materi komplain. Satu komplain menyoal soal berita fiksi karena nasumber yang menulis komplain itu mengaku tidak pernah diwawancarai wartawan Sinar Indonesia Baru. Tapi beritanya muncul pada surat kabar bersangkutan.
Sementara sebanyak 9 buah komplain kukuh dipertahankan veri kebenarannya oleh redaksi Sinar Indonesia Baru. Bagaimana mengartikan kebenaran versi SIB? Ternyata, pertama, karena memang narasumber yang dikutip adalah orang atau lembaga yang dipandang mempunyai otoritas. Misalnya, kalau ada kerusuhan, surat kabar ini cenderung mengutip aparat karena dinilai sudah akurat sebagai narasumber sehingga tidak perlu lagi mengecek ulang ke pihak-pihak lainnya. Termasuk pihak pelaku kerusuhan atau institusi dimana pelaku kerusuhan itu bekerja. Kedua, membuat apologi bahwa berita yang sama dimuat di koran lain. Dua hal ini sering menjadi catatan redaksi koran ini.
Yang kedua, Waspada. Surat kabar ini tergolong unik dalam menanggapi komplain pembacanya. Ada sebanyak 59 komplain yang mereka muat. Dari jumlah tersebut, 56 komplain sama sekali tidak diberi tanggapan. Hanya komplain yang diberi tanggapan redaksi dan diakui sebagai kesalahan jurnalisnya. Sedangkan sebanyak dua berita dipandang sebagai sebagai berita fiksi. Namun sayang komplain ini tak ditanggapi. Sebagian besar isi komplain publik adalah tentang tidak adanya mekanisme check and recheck dan upaya pemlintiran fakta sehingga menjadikan fakta sosial berbeda dengan fakta media.
Surat kabar ketiga yang diteliti adalah Radar Medan, kini berganti nama menjadi Sumut Pos. Surat kabar ini memuat sebanyak 18 komplain. Sama dengan dua koran sebelumnya, Radar Medan dikomplain karena banyak mengabaikan mekanisme cek ulang. Enam komplain di antaranya tidak ditanggapi redaksi. Sebanyak 9 buah komplain ditanggapi dengan tetap mempertahankan versi beritanya, tiga buah komplain lagi ditanggapi dengan mengakui kekhilafan mereka.
Hampir sama dengan Sinar Indonesia Baru yang menanggapi komplain dengan tetap mempertahankan versi beritanya, Radar Medan juga melakukan hal yang sama. Tapi surat kabar ini mencoba membangun argumentasi dengan menyebutkan bahwa fakta-fakta yang dipaparkan berasal dari “bawah”. Dicontohkan soal berita dugaan korupsi yang dilakukan seorang kepala desa. Ternyata berita tersebut hanya mengandalkan berita laporan seorang warga desa. Karena memutlakkan laporan dari “bawah”, Radar Medan akhirnya mengabaikan versi “korupsi”dari sang kepala desa tersebut. Akibatnya berita tersebut dikomplain.
Surat kabar terakhir adalah, Analisa. Pada titik yang sangat ekstrim, Analisa hanya memuat dua komplain berita dalam kurun 11 bulan. Ini sangat aneh dan tak masuk akal. Karena riset yang dilakukan terbatas pada komplain yang dimuat di surat kabar dan tidak dipadu dengan wawancara dengan pihak surat kabar, maka KIPPAS hanya bisa melontarkan sejumlah analisis terhadap temuan tersebut. Pertama, mungkin memang tidak ada komplain publik yang masuk ke surat kabar ini. Ini bisa dikaitkan dengan segmen pembaca utama Analisa yang sebagian besar berasal dari komunitas Tionghoa atau mereka yang berprofesi sebagai pengusaha. Mereka dikenal sebagai komunitas yang tidak memiliki waktu untuk berurusan dengan soal-soal semacam itu. Analisis lain, berita-berita yang diproduksi Analisa sudah memenuhi standar jurnalistik. Analisis ketiga, pihak redaksi melakukan sensor yang ketat. Mereka tidak menginginkan kredibilitas sura kabar mereka yang tergolong mapan dan subur iklan, tercoreng dengan pemuatan komplain publik yang intensif.
Secara umum, riset KIPPAS menyimpulkan bahwa dari 123 komplain yang ditemukan, sebanyak 96 item mengabaikan mekanisme cek ulang tanpa ada tanggapan redaksi. Sebanyak 18 buah komplain ditanggapi dengan tetap mempertahankan isi berita versi wartawannya. Lima buah komplain publik ditanggapi, dan pihak redaksi masing-masing surat kabar mengakui kekhilafannya. Tiga berita merupakan berita fiksi alias tidak wawancara, dan ini tidak diberi komentar oleh pihak redaksi.
Kesimpulan
Tidak peka gender, mengutamakan perspektif perang dalam meliput konflik, terjebak dalam cara pandang yang stereotipik terutama ketika mengkonstruksi peristiwa yang berhubungan dengan etnisitas, dan kurang mengindahkan standar objektifitas pemberitaan, merupakan sejumlah temuan KIPPAS yang bisa dijadikan alat untuk menilai profesionalitas pers pasca reformasi. Keempat temuan tersebut tampaknya akan menjadi pekerjaan rumah yang tidak gampang diselesaikan dalam jangka pendek. Tiga temuan pertama lebih berhubungan dengan persoalan perspektif, sedangkan temuan keempat lebih berhubungan dengan standar objektifitas pemberitaan.
Atmakusumah Astraatmaja secara arif menyatakan bahwa pers memang tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Walau mengakui berbagai keluhan dan ungkapan kekecewaan yang ditujukan kepada pers mengandung kebenaran, namun Atmakusumah menghimbau agar masyarakat tidak memandang tungal pers. Ada perbedaan karakteristik dan kepentingan yang berbeda-beda dari pers. Oleh karena itu yang bisa dilakukan adalah menghimbau agar pers yang majemuk tersebut dapat menggunakan standar jurnalisme profesional.
Imbauan tokoh senior pers Indonesia tersebut menjadi penting, mengingat sebagai konsumen media, sekaligus sebagai pemilik kebebasan pers, publik memiliki motivasi dan kepentingan sendiri terhadap sajian-sajian informasi pers. Namun sebagai “pelayan” yang baik, pada hakikatnya pers harus memberikan segala kebutuhan yang beragam dari publik tersebut.
Dalam jurnalisme dikenal pemeo: “give the public what it wants”. Apa sebenarnya harapan publik terhadap pers? Jika dipilah secara sederhana, sebenarnya hanya ada dua. Pertama, masyarakat mengharapkan agar pers menyediakan informasi publik yang bisa memenuhi rasa ingin tahunya (right to know). Informasi publik tersebut digunakan sebagai landasan untuk membuat penilaian terhadap kebijakan publik (right to expression) dalam kedudukannya sebagai warga negara. Termasuk untuk menilai terhadap kredibilitas pejabat publik yang mengeluarkan kebijakan publik tersebut.
Kedua, masyarakat juga mengharapkan untuk memperoleh informasi psikologis yang bisa memperkaya atau meningkatkan kekayaan batin mereka. Termasuk untuk meningkatkan cita rasa seni atau budayanya. Karenanya informasi seputar kegiatan kesenian, pertunjukkan teater, resensi film atau hasil karya sastera juga diapresiasi masyarakat.
Porsi informasi mana yang lebih banyak disajikan pers, tergantung dari visi dan misi institusi pers bersangkutan. Jika sejak awal memang diniatkan sebagai media untuk memenuhi kebutuhan psikologis pembacanya, maka sebagian besar halaman media pers yang ada akan diisi dengan informasi-informasi hiburan. Cerita selingkuh artis, kawin cerai selibritis, skandal para pejabat, kriminalitas, sampai kisah-kisah seputar ranjang, tuyul, jin sampai tebakan togel. Gaya pemberitaan pun penuh nuansa dramatisasi, sensasi dan bombas.Namun jika sejak awal pemilik media pers memang hendak menjadikan medianya sebagai media public watch dog, maka seluruh halaman yang ada akan banyak diisi oleh informasi publik.
Yang jelas, memang ada sebagian masyarakat yang mengharapkan agar pers bisa ikut mendorong proses demokratisasi. Logikanya karena media pers dihadirkan bukan untuk kepentingan jurnalis. Juga bukan untuk kekuatan modal (internal dan eksternal) yang menghidupi perusahaan pers. Termasuk bukan untuk kekuasaan (negara dan kekuasaan politik) yang melingkupinya sebagai alat menguasai alam pikiran masyarakat (Ashadi Siregar: 1999).
Persoalannya adalah sejauhmana pers bisa terbebas dari “selingkuh” dengan kekuasaan ekonomi dan politik agar bisa tampil profesional memenuhi harapan publik? Sejauhmana pers bisa memerankan diri menjadi ruang publik yang netral, sehingga akal sehat publik dapat terasah dalam mendorong proses demokratisasi yang sangat dibutuhkan bangsa ini?
*** Tulisan ini dimuat dalam Buku “Pikiran-pikiran Reformasi yang Terabaikan, editor: Victor Silaen, Jakarta, 2003, Penerbit: UKI Press.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan, Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan, Yogyakarta: Tarawang, 2001.
Anto (editor), J., Jurnalisme Anti Toleransi? Rasialisme Dalam Pemberitaan Pers, Medan: KIPPAS dan Bina Insani, 2003.
______, Jurnalisme (Tidak) ramah Geneder, Medan: KIPPAS, 2002.
______, Kebebasan Pers, Bukan Sekadar Pers Bebas, Suara Pembauran, 6 April 2001
______, Media Pers dan Kekerasan Simbolik, Talang Air Tanpa Penyaring?, Jurnal KUPAS, Volume
3 No. 1 Tahun 2001
Amir Pilliang, Yasraf, Sebuah Dunia Yang Menakutkan, Mesin-mesin Kekerasan Dalam Jagat Raya Chaos, Bandung: Pustaka Mizan, 2001.
______, “Hegemoni, Kekerasan Simbolik dan Media, Sebuah Analisis Tentang Ideologi Media”, makalah pada Seminar Keberpihakan Media Cetak, diadakan LSPS Surabaya, 25 Mei 2000.
Lopulalan, Dicky dan Benjamin Tukan, Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Panduan Bagi Jurnalis, Jakarta: LSPP, 2002.
Siregar, Ashadi, AIDS, Gender & Kesehatan Reproduksi, Pintu Menghargai Manusia Bagi Media, Yogyakarta: LP3Y dan Ford Foundation. 2002.
______, “Kebebasan Pers dan Pengawasan Media (Media Watch), makalah disampaikan dalam Seminar Tantangan Dalam Memelihara dan Mengembangkan Kebebasan Pers, diadakan oleh Yayasan KIPPAS, Medan, 24-25 September 1999.
Van Dijk, Teun A, “Rasisme Baru Dalam Pemberitaan di Media”, Pendekatan Analisis Wacana, dalam Sandra Kartika dan M. Mahendra (Editor): Dari Keseragaman Menuju Keberagaman, Wacana Multikultur Dalam Media, Jakarta: LSPP, 1999.