Oleh: J Anto
Suara Profesor Dr Bungaran Simanjuntak terdengar menggebu-gebu saat berbicara asal-usul orang Batak. Ia menolak pandangan hegemonik bahwa nenek moyang orang Batak diturunkan Tuhan di Pusuk Buhit.
“Itu mitos, yang disebut orang Batak itu Toba Tartar, imigran keturunan dari boru China dari Dinasti Tang,” katanya. Sedangkan orang Batak sebelumnya telah punah 74.000 tahun lalu setelah meletusnya gunung Toba.
Nenek moyang orang Toba Tartar atau yang kerap disebut Batak Toba itu menurutnya berasal dari suku bangsa Manchuria di dataran pegunungan utara Tibet, perbatasan India dan Tiongkok. Pada masa itu, akibat perang, nenek moyang orang Batak itu terusir dari tanah leluhur mereka oleh suku Barbar Tartar.
Suku Manchuria itu lalu melakukan emigrasi ke pegunungaan Tibet melalui Tiongkok (China). Di pegunungan Tibet mereka menemukan sebuah danau. danau yang lalu diberi nama Toba Tartar untuk mengenang peristiwa pengusiran itu. Dari pegunungan Tibet, mereka lalu meneruskan perjalanan ke utara Burma atau perbatasan dengan Thailand.
Budaya Dongson
Saat menetap di sini, mereka meninggalkan jejak budaya Dongson, suatu tingkat peradaban yang ditandai kemampuan masyrakat pada masa itu membuat peralatan dari logam perunggu seperti kapak, gong, dan berbagai perhiasan dari perunggu. Karena terus dikejar suku Barbar Tartar, mereka lalu bergerak menuju arah timur menuju Kamboja, dan ke Indocina, lalu berlayar menuju Philipina Sulawesi Utara, atau Toraja, Bugis Sulawesi Selatan, lalu berlayar ke arah Lampung di wilayah Ogan Komering Ulu, dan akhirnya naik ke Pusuk Buhit, Danau Toba.
Saat berlayar dari Indocina, sebagian melewati Tanah Genting Kra di Semenanjung Melayu. Di sini menurut Bungaran Simanjuntak mereka membangun Kampung Toba Tartar. Setelah itu, mereka berlayar menuju Pantai Timur Sumatera, dan mendarat di Kampung Teluk Aru, Aceh. Dari Teluk Aru mereka terus bermigrasi naik ke Tanah Karo, dan kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai ke Pusuk Buhit. Pusut Buhit dipilih karena dari atas puncak pegunungan mereka bisa mengatur siasat perang jika suku Barbar Tartar kembali mengejar mereka.
Bungaran Simanjuntak menggunakan rujukan penelitian Elizabeth Seeger dan Edmund Leach tentang asal usul orang Batak itu.
Kebudayaan Berbagai Ras
Menurut Ketut Wiradnyana, cikal bakal orang Batak sudah ada 6.000 tahun di Tanah Gayo, Tanah Karo dan wilayah yang sekarang disebut Humbang Hasundutan. Mereka bermukim dan telah bertani secara sederhana. Merujuk hasil penelitian geologis, setelah Gunung Toba meletus 74.000 tahun lalu, Pulo Samosir belum naik kepermukaan Danau Toba.
“Baru sekitar 3.000 – 4000 tahun lalu terbentuk Pulo Samosir dan belum bisa dihuni karena masih berlumpur,” katanya. Namun di bagian atas Pulo Samosir, di Sianjur Mula-mula sudah ada hunian. Penghuninya menurut Ketut Wiradnyana adalah orang-orang yang ada di Humbahas, Tanah Karo dan Gayo (Takengon).
Dalam sebuah seminar, Ketut menyebutkan berdasar penelitian arkeologi yang dilakukan di Penen, Tanah Karo, ditemukan rangka manusia yang diperkirakan telah berusia 2.000 tahun lalu. Hasil eskavasi di Huta Huta Urat, Sianjur Mula-mula pada Mei 2018 dominan menemukan fragmen gerabah/tembikar. Selain itu, ditemukan juga pada manik-manik kaca dan fragmen logam.
Pada ekskavasi ini juga ditemukan adanya umpak batu yang merupakan fondasi bangunan rumah panggung. Selain itu, ditemukan juga adanya bekas lubang tiang bangunan. Berdasarkan temuan eskavasi itu, Ketut Wiradnyana memperkirakan perkampungan di Sianjur Mula-mula itu telah berusia 1.000 tahun.
Saat kemenyan dan kapur barus menjadi komoditi utama perdagangan dunia, terjadi hubungan yang intensif antara masyarakat pesisir, termasuk dari Asahan dengan masyarakat pedalaman.
“Orang pesisir kemungkinan sebagian besar adalah pendatang, orang Cethar dari India dan orang-orang dari Sumatra bagian barat. Mereka adalah para pedagang yang tengah mengumpulkan emas, kemenyan dan kapur barus. Sebagian dari mereka diperkirakan menetap lalu akhirnya tinggal dan berbaur dengan masyarakat pedalaman. Itu sebabnya Ketut Wiradnyana menyebut kebudayaan Batak sebagai kebudayaan campuran dari berbagai ras.
Kearifan masyarakat pedalaman beradaptasi dengan kebudayaan masyarakat pendatang dipujinya. Untuk mendukung argumentasinya, ia lalu menyebut foklor 2 trah keturunan si Raja Batak, yakni Tatea Bulan dan Isumbaon yang menurunkan marga-marga Batak.
“Mungkinkah 2 trah itu mewakili mereka yang berasal dari pedalaman dan barat Pulau Sumatera?” ujarnya seperti membuat hipotesis. Menurut Ketut Wiradnyana, foklor itu tak sembarang dibuat dan diwariskan. Ada tujuannya, yaitu untuk mencegah lahirnya konflik karena adanya halak hita dan bukan halak hita.
Pusuk Bukit Konsep Religi
Soal Pusuk Buhit, Ketut Wiradnyana lebih memaknai sebagai konsep religi masyarakat pada yakni masyarakat abad megalitik. Bagi masyarakat yang hidup pada masa itu, gunung adalah simbol tempat tertinggi untuk berhubungan dengan dunia atas. Kepercayaan religi seperti bukan khas hanya pada orang Batak saja, tapi juga masyarakat lain.
“Bagi saya mitologi Pusuk Buhit itu harus ditafsirkan sebagai roh yang turun di gunung Pusuk Buhit sesuai kepercayaan religi masa itu,” katanya.
Tulisan ini pernah dimuat di Rubrik Cakrawala harian Analisa, Minggu, 26 Juli 2020