Toba Tartar di Tao Toba

Oleh: J Anto

Suara Profesor Dr Bungaran Simanjuntak terdengar menggebu-gebu saat berbicara asal-usul orang Batak. Ia menolak pandangan hegemonik bahwa nenek moyang orang Batak diturunkan Tuhan di Pusuk Buhit.

“Itu mitos, yang disebut orang Batak itu Toba Tartar, imigran keturunan dari boru China dari Dinasti Tang,” katanya. Sedangkan orang Batak sebelumnya telah punah 74.000 tahun lalu setelah meletusnya gunung Toba.

Nenek moyang orang Toba Tartar atau yang kerap disebut Batak Toba itu menurutnya berasal dari suku bangsa Manchuria di dataran pegunungan utara Tibet, perbatasan India dan Tiongkok. Pada masa itu, akibat perang, nenek moyang orang Batak itu terusir dari tanah leluhur mereka oleh suku Barbar Tartar.

Prof Dr Bungaran Simanjuntak

Suku Manchuria itu lalu melakukan emigrasi ke pegunungaan Tibet melalui Tiongkok (China). Di pegunungan Tibet mereka menemukan sebuah danau. danau yang lalu diberi nama Toba Tartar untuk mengenang peristiwa pengusiran itu. Dari pegunungan Tibet, mereka lalu meneruskan perjalanan ke utara Burma atau perbatasan dengan Thailand.

Budaya Dongson
Saat menetap di sini, mereka meninggalkan jejak budaya Dongson, suatu tingkat peradaban yang ditandai kemampuan masyrakat pada masa itu membuat peralatan dari logam perunggu seperti kapak, gong, dan berbagai perhiasan dari perunggu. Karena terus dikejar suku Barbar Tartar, mereka lalu bergerak menuju arah timur menuju Kamboja, dan ke Indocina, lalu berlayar menuju Philipina Sulawesi Utara, atau Toraja, Bugis Sulawesi Selatan, lalu berlayar ke arah Lampung di wilayah Ogan Komering Ulu, dan akhirnya naik ke Pusuk Buhit, Danau Toba.

Saat berlayar dari Indocina, sebagian melewati Tanah Genting Kra di Semenanjung Melayu. Di sini menurut Bungaran Simanjuntak mereka membangun Kampung Toba Tartar. Setelah itu, mereka berlayar menuju Pantai Timur Sumatera, dan mendarat di Kampung Teluk Aru, Aceh. Dari Teluk Aru mereka terus bermigrasi naik ke Tanah Karo, dan kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai ke Pusuk Buhit. Pusut Buhit dipilih karena dari atas puncak pegunungan mereka bisa mengatur siasat perang jika suku Barbar Tartar kembali mengejar mereka.

Bungaran Simanjuntak menggunakan rujukan penelitian Elizabeth Seeger dan Edmund Leach tentang asal usul orang Batak itu.

Kebudayaan Berbagai Ras
Menurut Ketut Wiradnyana, cikal bakal orang Batak sudah ada 6.000 tahun di Tanah Gayo, Tanah Karo dan wilayah yang sekarang disebut Humbang Hasundutan. Mereka bermukim dan telah bertani secara sederhana. Merujuk hasil penelitian geologis, setelah Gunung Toba meletus 74.000 tahun lalu, Pulo Samosir belum naik kepermukaan Danau Toba.

“Baru sekitar 3.000 – 4000 tahun lalu terbentuk Pulo Samosir dan belum bisa dihuni karena masih berlumpur,” katanya. Namun di bagian atas Pulo Samosir, di Sianjur Mula-mula sudah ada hunian. Penghuninya menurut Ketut Wiradnyana adalah orang-orang yang ada di Humbahas, Tanah Karo dan Gayo (Takengon).

Dalam sebuah seminar, Ketut menyebutkan berdasar penelitian arkeologi yang dilakukan di Penen, Tanah Karo, ditemukan rangka manusia yang diperkirakan telah berusia 2.000 tahun lalu. Hasil eskavasi di Huta Huta Urat, Sianjur Mula-mula pada Mei 2018 dominan menemukan fragmen gerabah/tembikar. Selain itu, ditemukan juga pada manik-manik kaca dan fragmen logam.

Pada ekskavasi ini juga ditemukan adanya umpak batu yang merupakan fondasi bangunan rumah panggung. Selain itu, ditemukan juga adanya bekas lubang tiang bangunan. Berdasarkan temuan eskavasi itu, Ketut Wiradnyana memperkirakan perkampungan di Sianjur Mula-mula itu telah berusia 1.000 tahun.

Saat kemenyan dan kapur barus menjadi komoditi utama perdagangan dunia, terjadi hubungan yang intensif antara masyarakat pesisir, termasuk dari Asahan dengan masyarakat pedalaman.

“Orang pesisir kemungkinan sebagian besar adalah pendatang, orang Cethar dari India dan orang-orang dari Sumatra bagian barat. Mereka adalah para pedagang yang tengah mengumpulkan emas, kemenyan dan kapur barus. Sebagian dari mereka diperkirakan menetap lalu akhirnya tinggal dan berbaur dengan masyarakat pedalaman. Itu sebabnya Ketut Wiradnyana menyebut kebudayaan Batak sebagai kebudayaan campuran dari berbagai ras.

Kearifan masyarakat pedalaman beradaptasi dengan kebudayaan masyarakat pendatang dipujinya. Untuk mendukung argumentasinya, ia lalu menyebut foklor 2 trah keturunan si Raja Batak, yakni Tatea Bulan dan Isumbaon yang menurunkan marga-marga Batak.

“Mungkinkah 2 trah itu mewakili mereka yang berasal dari pedalaman dan barat Pulau Sumatera?” ujarnya seperti membuat hipotesis. Menurut Ketut Wiradnyana, foklor itu tak sembarang dibuat dan diwariskan. Ada tujuannya, yaitu untuk mencegah lahirnya konflik karena adanya halak hita dan bukan halak hita.

Pusuk Bukit Konsep Religi
Soal Pusuk Buhit, Ketut Wiradnyana lebih memaknai sebagai konsep religi masyarakat pada yakni masyarakat abad megalitik. Bagi masyarakat yang hidup pada masa itu, gunung adalah simbol tempat tertinggi untuk berhubungan dengan dunia atas. Kepercayaan religi seperti bukan khas hanya pada orang Batak saja, tapi juga masyarakat lain.

“Bagi saya mitologi Pusuk Buhit itu harus ditafsirkan sebagai roh yang turun di gunung Pusuk Buhit sesuai kepercayaan religi masa itu,” katanya.

Tulisan ini pernah dimuat di Rubrik Cakrawala harian Analisa, Minggu, 26 Juli 2020

Dari Toba Tartar Sampai Paspor Laklak

Oleh: J Anto

Baru beberapa detik Henry Hutabarat memulai ceramah, seorang peserta tiba-tiba angkat tangan dan langsung menyela pembicaraannya.

“Pak Henry, tolong memakai bahasa Indonesia, kami semua tak mengerti Bahasa Batak.”

Ketut Wiradnyana, Bungaran Simanjuntak dan Thompson HS

Henry Hutabarat kaget. Bukan apa-apa. Saat itu ia tengah memberi ceramah di hadapan ibu-ibu muda Batak. Pendengarnya sesama “halak hita”. Asumsinya, mereka mengerti Bahasa Batak. Tapi ia rupanya keliru. Tentu saja ia kecewa.

Nukilan kisah itu dituturkan Bungaran Simanjuntak, dalam webinar Bincang Santai Batak Dulu, Kini dan Akan Datang, yang digelar Balai Arkeologi Sumut, Rabu (22/7). Meski kegiatan diberi label “santai”, sejatinya yang dibincangkan narasumber, Guru Besar (emeritus) Sosiologi dan Antropologi Universitas Medan, Bungaran Antonius Simanjuntak, Kepala Balai Arkeologi Sumut, Ketut Wiradnyana, budayawan Batak Thompson Hutasoit dan pengusaha Henry Hutabarat, bukan perkara ringan.

Meski beranjak dari rasa prihatin melihat fenomena anak-anak muda Batak yang tak bisa lagi berbahasa Batak, seiring waktu, acara marnonang itu melebar ke pandemi Covid-19 yang jadi ancaman serius terhadap eksistensi kebudayaan Batak sampai menyinggung asal-usul orang Batak.

Dianggap Menaikkan Status Sosial
“Bahasa itu menunjukkan bangsa, kalau seorang Batak tak bisa berbahasa Batak, marpasir-pasir sekalipun, bagaimana ia bisa meyakinkan orang lain yang bukan Batak,” ujar Bungaran Simanjuntak. Pengalaman Henry Hutabarat, menurutnya sudah lama jadi keprihatinan banyak tokoh masyarakat Batak. Mulai kalangan akademisi, budayawan, sastrawan Batak bahkan pendeta.

Penulis sejumlah buku sosiologi dan kebudayaan Batak itu juga punya pengalaman serupa. Di kampung-kampung, ia kerap mendengar kaum ibu, terutama parengge-rengge, bercakap-cakap menggunakan Bahasa Indonesia dengan dialek Batak. Terdengar lucu di kupingnya. Namun ada yang mengusik hatinya. Mereka sebenarnya bisa bicara dalam bahasa Batak, tapi enggan melakukannya. Kenapa?

Henry Hutabarat

“Karena dianggap tidak modern, tidak menaikkan status sosial mereka. Karena itu meski marpasir-pasir, mereka berbahasa Indonesia,” katanya. Padahal sebagai identitas sebuah bangsa, bahasa suatu waktu bisa lenyap jika ditinggal penuturnya. Lebih-lebih lagi, bagi masyarakat Batak, bahasa Batak bukan semata berfungsi sebagai alat komunikasi.

“Tapi juga media membangun rasa kekerabatan sosial, bahkan menumbuhkan rasa saling tolong menolong,” katanya.

Hampir mirip yang dialami Henry Hutabarat dan Bungaran Simajuntak, Albiner Siagian, profesor ahli gizi dari Universitas Sumatera Utara (USU), juga pernah kesandung hal serupa. Sebagai penggiat literasi, Albiner Siagian rajin menulis kolom di beberapa surat kabar di Jakarta dan Medan. Ia juga kerap menulis feature pendek di akun media sosial miliknya. Dalam bahasa Batak karena ia memang punya misi ingin melestarikan penggunaan bahasa Batak.

Selesai menulis, feature itu lalu bagikan ke 15 grup sosmed yang anggotanya semua orang Batak. Selalu muncul komentar yang membuatnya geleng-geleng kepala: “pakai bahasa Indonesia juga dong pak .”

Di Indonesia, seperti dirilis Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dewasa ini 718 bahasa ibu atau bahasa daerah yang sudah teridentifikasi. Sebanyak 14 bahasa daerah sudah dikategorikan punah, yakni 10 bahasa di Maluku Tengah, meliputi bahasa Hoti, Hukumina, Hulung, Serua, Te\’un, Palumata, Loun, Moksela, Naka\’ela dan Nila, 2 bahasa daerah di Maluku Utara yakni Ternateno dan Ibu, 2 bahasa lagi di Papua, yakni Saponi dan Mapia.

Bagaimana kemungkinan kepunahan bahasa Batak seperti kekhawatiran Bungaran Simanjuntak?
Sejauh ini memang belum ada penelitian serius tentang berapa sebenarnya jumlah penutur Bahasa Batak, berapa usia mereka, apa pekerjaan mereka, dsb.

Dari Salam Cipika-cipiki Sampai Paspor Laklak
Namun berbagai pengalaman tadi, minimal bisa jadi alarm kuning. Namun Bungaran Simanjuntak sendiri tak hanya prihatin soal bahasa Batak, tapi ia menyentil generasi muda yang mengidap gejala tuna budaya.

Ia memberi contoh salam khas Batak, dicirikan dengan kedua tangan teratas sembari mengucap: hora-horas. Salam ini sudah banyak ditinggalkan. Diganti salam produk budaya bangsa lain.

Sanggar tari Jolo di Samosir, mengenalkan tati tradisional Batak sejak dini

“Anak muda Batak lebih suka cipika-cipiki, tempel pipi kiri kanan atau bersalaman tangan,” katanya. Nah, ironisnya, saat muncul pandemi Covid-19 itu, kedua bentuk salam itu harus ditinggalkan karena bisa jadi sumber transmisi virus corona. Sebagai gantinya kini orang saling bersapa lewat kedua telapak tangan seperti dilakukan umat Buddha. Atau membungkukkan badan bak orang Jepang. Salam khas, yang diwariskan nenek moyang mereka sendiri hanya dilakukan pada acara-acara adat. Padahal salam itu mengandung doa dan harapan agar orang selalu dalam keadaan sehat dan sejahtera.

Ia juga menyebut tentang paspor Batak berbentuk lak-lak bambu. Menurut Bungaran Simanjuntak, keberaaan paspor berbentuk lak-lak bambu itu memerlihatkan bahwa masyarakat Batak sebelum era kolonialisme, telah memiliki birokrasi pemerintahan. Paspor lak-lak dibuat oleh msing-masing bius. Digunakan saat warga sebuah bius bepergian ke bius lain.

Bius adalah federasi beberapa horja 9 (federasi kampung semarga atau memiliki kekerabatan marga) yang disatukan kawasan teritorial dengan memiliki identitas sosial yang sama namun berasal dari beragam marga. Dalam birokrasi modern, bius itu serupa kabupaten.

Paspor laklak bambu dibuat karena antar bius, sering terlibat konflik. Karena itu warga sebuah bius yang melakukan perjalanan ke bius lain, merasa aman jika membawa bekal paspor lak-lak bambu.

Kebudayaan Akulturasi
Masyarakat Batak Toba, tak dipungkiri punya aneka ragam budaya yang kaya nilai-nilai kearifan lokal. Kepala Balai Arkeologi Sumut, Ketut Wiradnyana, menyebut kebudayaan itu telah mengalami proses akulturasi antara budaya masyarakat pesisir, yang banyak dihuni masyarakat pendatang seperti orang Chetti dari India dan Sumatra bagian Barat, dan kearifan masyarakat pedalaman. Saling pengaruh itu menjadikan kebudayaan Batak merupakan kebudayaan hibrid.
Henry Hutabarat semisal menyebut adanya pengaruh budaya Hindu dan Tiongkok.

“Saya pernah mendapat cerita pada jaman dulu kalau orang Batak di Samosir meninggal, mayat mereka dibakar, lalu di masyarakat Karo juga dijumpai kebiasaan tradisi mengikir gigi persis yang dilakukan orang Bali,” katanya.

Pengaruh budaya India dan Tiongkok yang paling kentara terlihat dari ensambel musik Batak, terutama gong (ogung) yang terbuat dari logam kuningan. Ogung berasal dari peradaban logam, dan diperkirakan berasal dari Tiongkok. Orang Batak sendiri saat itu dikategorikan masih berada pada tahap peradaban megalitik.

Namun Bungaran Simanjuntak punya pendapat lain. Orang-orang Batak yang sekarang berdiam di sekitar Danau Toba adalah keturunan bangsa Toba Tartar. Nenek moyang mereka berasal dari Manchuria dari Dinasti Tang. Mereka adalah para pendatang setelah Gunung Toba meletus 74.000 tahun lalu.
“Masyarakat Batak sebelumnya sudah punah,”katanya. (Lihat Tulisan Toba Tartar di Tao Toba).

Nilai Utama Habatahon
Sebenarnya sebagai sistem nilai, kebudayaan Batak banyak memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang tetap kontekstual dengan kehidupan kekinian. Termasuk nilai-nilai yang berasal dari peradaban Barat. Mengutip, Kepala Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen, Manguji Nababan, dalam etika sosial semisal ada narasi na talup di jolo-jolo (yang pantas memimpin atau dituakan harus diberi kesempatan) dan martangga jojoran songon anak ni balatuk (sudah ada aturan seperti urutan anak).

Etika sosial ini secara gamblang mengajarkan orang Batak tentang budaya antre, bukan budaya main terabas. Ada juga ajaran etika yang ditandai dengan kata ta, semisal boru/anakta (boru kita, anak kita), hutanta (kampung kita), adatta (adat kita), dan jabunta (rumah kita). Etika ini mengajarkan orang Batak untuk hidup bersama, bukan individualis.

Ada juga ajaran untuk mengelola kelestarian lingkungan hutan atau pohon di hutan tidak boleh sembarang ditebang. Itu terlihat tradisi pembuatan abal-abal atau peti mati dengan memakai satu pohon besar yang dikeruk. Mencari pohon dengan diameter besar bukan hal mudah.

Etos bekerja keras juga sudah diajarkan sejak dulu, semisal seperti terdapat dalam ungkapan na olo loja do na tama mangan (orang yang bekerja keraslah yang pantas jadi kaya). Bagi yang belum berhasil mencapai hamoraon, miskin, mereka diajarkan agar punya harga diri: metmet pe sohapor lunjung dijujung do uluna (walaupun sekecil capung, namun kepalanya selalu dimunculkan).

Ajaran untuk tidak melakukan korupsi terungkap dalam ungkapan dang jadi allangon indahan sian toru ni rere (pantang bagi seorang pemimpin untuk menyelewengkan atau mengambil hak-hak yang dipimpinnya). Tentu masih banyak harta karun ajaran mulia dari kebudayaan Batak.

Pertanyaannya, seperti dilontarkan Ketut Wiradnyana, anak-anak muda butuh rumusan nilai-nilai utama habatahon. Tujuannya agar generasi muda lebih mudah memahami dan bisa jadi bekal dalam menghadapi globalisasi. Dialektika budaya tak mungkin dihindarkan.

Di sisi lain, ada fakta objektif, seperti diungkap Henry Hutabarat, migrasi anak-anak muda dari bona pasogit ke pusat-pusat kota terus berlangsung. Tak sedikit mereka memiliki posisi sebagai ekspatriat di perusahan multinasional, bahkan jadi Batak dispora. Pertanyaannya, apakah mereka telah mendapat pewarisan nilai-nilai habatahon dari orangtua mereka?

Ketiga, dan ini yang paling kritis, kebudayaan Batak sebenarnya kini juga tengah menghadapi tantangan langsung dari pandemi Covid-19. Menurut Henry Hutabarat, di Jakarta kini acara adat pernikahan kini telah dibatasi hanya boleh sampai pukul 15.00 WIB. Jumlah tamu undangan juga dibatasi.

Bungaran Simanjutak jujur mengaku sangat khawatir dengan dampak pandemi Covid-19. Saat acara-acara adat dipadatkan, ia hawatir hal itu akan menghilangkan esensi dari acara itu sendiri. Ia bahkan menengarai nilai-nilai solidaritas kini makin tergerus. Ritus- ritus-ritus adat juga mulai ditinggalkan. Di tengah semua sengkarut tantangan dan masalah itu, ia mengaku geram melihat dinas-dinas pendidikan di daerah-daerah seolah tak memedulikan semua itu.


Jadi akan seperti apa wajah kebudayaan orang Batak dimasa depan?

Tulisan ini pernah dimuat di Rubrik Cakrawala Harian Analisa, Minggu 26 Juli 2020

Perjuangan Mengubah Nilai Patriarki

Oleh: J Anto

Film baru saja usai diputar. Cuma sekitar 15 menit durasinya. Saat lampu ruangan hotel kembali dinyalakan, suara gerundelan langsung muncul bak dengung kerumunan suara lebah. Umumnya berasal dari penonton laki-laki. Kegelisahan tertangkap dari wajah mereka. Sebagian terlihat geleng-geleng kepala.

Dina Lumbantobing

Seorang perempuan yang berdiri di tengah penonton lalu mengajukan pertanyaan: “Setelah menonton film tadi, menurut bapak ibu, adakah yang harus diberdayakan, dengan cara apa?”
Penonton laki-laki hampir serentak angkat tangan.

“Rata-rata yang laki-laki umumnya bilang, si suami harus diberdayakan, si isteri harus disadarkan supaya tidak merendahkan suaminya. Masa membiarkan suaminya menggoreng telur, mencuci, menjemur cucian dan memandikan anak. Itu menyedihkan.”

Nukilan kisah itu dituturkan Lely Zailani, Ketua Dewan Pengurus Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI), Selasa (14/7) saat dihubungi lewat telpon. Pertengahan Juli, ia menjadi salah satu fasilitator kegiatan diklat Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Kepala Desa se Kabupeten Labuhan Batu. Kegiatan itu diikuti 40 peserta. Lely membawakan topik “Keadilan Gender di Keluarga”.

Untuk membongkar pengetahuan gender peserta, ia memutar film dokumenter karya Nia Dinata. Judulnya Surga Kecil di Bondowoso. Sebuah film tentang pasangan suami isteri muda beranak satu. Si suami seorang kyai muda, tugasnya mengajar para santri cilik. Sedang istrinyai kepala sekolah sekaligus guru.

Dikisahkan sejak awal menikah mereka memiliki komitmen untuk menghargai pekerjaaan masing-masing.
Sang isteri sering pergi ke luar kota untuk dinas sekolah yang dipimpinnya. Saat ditinggal pergi istrinya, suaminya memandikan si anak, menjemur cucian, mengepel lantai rumah dan menggoreng telur untuk sarapan bersama anaknya.

Seperti diduga Lely, peserta diklat laki-laki bersikap resisten. Tak bisa menerima fakta seperti itu. Meski itu film dokumenter, bukan fiksi. Sikap resistensi itu bahkan sampai terbawa ke meja makan besok harinya.
“Aihh kok bisa begitu yang pak kyai? Kok mau, ya?”

Mindset Patriarki
Mengubah mindset, menurut Lely Zailani memang takseperti membalik telapak tangan. Padahal mindset patriarki seperti itulah yang telah menjadi biang terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Konstruksi nilai yang menempatkan relasi sosial yang menganggap laki-laki lebih tinggi, dan perempuan sebagai subordinat dan tubuh perempuan sebagai objek seksual, membuat kekerasan seksual menimpa perempuan di ranah domestik, tapi juga publik.

Lely Zailani

“Sayangnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang secara khusus dan komprehensif untuk mencegah terjadi kekerasan seksual dan memberi perlindungan serta rasa adil bagi korban, justru dicabut dari prioritas prolegnas oleh dewan,” ujar Lely.
Dalam jangka panjang arti penting UU Penghapusan Kekerasan Seksual, kelak setelah diundangkan, menurutnya akan mengubah cara pandang masyarakat terhadap kekerasan seksual. Ia menyebut seperti pengundangan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Walau proses perubahan nilai bukan perkara mudah, namun setidaknya banyak orang kini berpikir untuk melakukan KDR. Di sisi lain kesadaran perempuan/isteri dan anak untuk melaporkan kasus kekerasan yangmenimpa mereka pun tumbuh.

Hati-hati kau, jangan mudah main tampar, bisa kena UU KDRT,” ujarnya. Artinya UU KDRT bisa jadi alat untuk mengerem orangtua untuk melakukan kekerasan terhadap anak, suami mengerem untuk melakukan kekerasan kepada isteri.
Menurut Lely, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah pernah masuk prolegnas tahun 2016, tapi gagal dibahas oleh dewan periode 2014 – 2019. Tarik ulur kepentingan terjadi kental mewarnai RUU ini.

Banyak isu bersliweran. Mulai dari isu bahwa RUU itu mendukung aborsi, pelacuran sampai LGBT. Namun tahun 2020, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, masuk lagi sebagai bagian dari 50 RUU prioritas yang masuk prolegnas. Baru kurang lebih 6 bulan bekerja, DPR tiba-tiba mencabut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Bagi dewan RUU RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, belum dianggap mendesak dibahas.

Berpihak Kepada Korban

Padahal bagi organisasi masyarakat sipil yang langsung mendampingi korban kekerasan kekerasan seksual, kehadiran UU Penghapusan Kekerasan Seksual bisa jadi piranti hukum untuk melindungi, memberikan rasa keadilan sekaligus memberdayakan korban.

Lely mengatakan jika menggunakan KUHP, tak semua korban, termasuk keluarga korban bersedia mengaku bahwa telah terjadi kekerasan seksual. Rasa malu biasanya jadi alasan. Soalnya harus korban yang membuat laporan. Belum lagi perlakuan aparat hukum yang terkadang bias patriaki.

“Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, tak perlu korban yang melapor, tapi pendamping korban,” kata Lely. Dalam persidangan, korban lalu berubah posisi sebagai saksi. Terobosan hukum seperti ini menurutnya membuat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak untuk segera diberlakukan, bukan malah ditunda-tunda.

HAPSARI yang memiliki simpul komunitas perempuan di sejumlah kabupaten di Sumut dan di luar Sumut, mencatat jika pada tahun 2018 ada 133 kasus kekerasan terhadap perempuan, tahun 2019 bertambah 75 kasus menjadi 208, atau meningkat 56,4 persen. Dan hingga Juli 2020 bertambah 32 kasus menjadi 208 kasus atau meningkat lagi 15,4 persen.

“Rata-rata 15 persen diantara kasus yang ditangani adalah kekerasan seksual, ujar Lely yang pernah menerima beasiswa Ashoka tahun 2000 itu.

Menurut Lely, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga tak hanya mengatur kekerasan seksual secara fisik, tapi juga secara non fisik.

“Itu laki-laki yang suka bersuit-suit terhadap perempuan, nanti juga bisa dijerat secara hukum,” katanya. Sayangnya, sekali lagi, RUU yang komplit mengatur perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan atas tubuh mereka, kembali tertunda pembahasannya di dewan. Malah muncul isu, RUU yang berkaitan langsung dengan politisasi tubuh perempuan, yakni RUU Ketahanan Keluarga yang bakal segera melenggang.

“Waduh, jika RUU ini lolos, maka kita mundur jauh. Soalnya ada pasal yang kurang lebih mengandung pemikiran seperti ini. Kalau perempuan tak mau diperkosa, perempuan harus selalu berada di rumah jika malam hari,” ujar Lely Zailani.
Sayang karena wawancara dilakukan secara audio lewat ponsel, tak terbaca perubahan ekspresi di wajah aktivis perempuan itu. Hanya tawanya saja yang terdengar. Meski sinis.

Tulisan ini terbit di rubrik Cakrawala Harian Analis Minggu tanggal 19 Juli 2020

Menggantung Asa Perempuan Korban Kekerasan

Oleh: J Anto

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekersan Seksual diyakini akan memberi rasa keadilan bagi perempuan korban kekerasan seksual, mencegah kekerasan seksual dan memberi efek jera pelaku kekerasan. Namun ditengah pendar optimisme, wakil rakyat di Senayan mendadak melipat RUU tersebut dari prioritas Prolegnas 2020.

Dok. WCC Cinceritas Pesadaj

Di pelantang ponsel itu, suara aktivis perempuan itu terdengar meninggi. Ada nuansa geram, kesal sekaligus kecewa.
“Ini kemunduran besar bagi negara untuk melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan atas tubuh mereka. Ini juga wujud bahwa penyelenggara negara yang tak mengerti kekerasan seksual,” katanya.

Nada suaranya masih tinggi, ketus.
Aktivis perempuan itu lalu menyebut kasus perkosaan yang menimpa remaja perempuan berumur 16 tahun di Tangerang Mei 2020 lalu. Awalnya diberitakan remaja itu diperkosa pacarnya. Akibat perkosaan korban mengalami stress dan sempat mendapat perawatan medis dan kejiwaan selama kurang lebih 2 minggu. Tanggal 12 Juni 2020 korban meninggal dunia. Esok harinya, baru pihak keluarga korban melaporkan kasus perkosaan itu ke polisi.

Polisi lalu mengembangkan penyelidikan. Ternyata ada ada fakta baru bahwa korban tidak hanya diperkosa pacarnya saja, tapi juga 7 pria teman pacarnya. Perkosaan dilakukan dalam 2 waktu berbeda. Polisi lalu kembali membongkar makam korban.. Otopsi pun dilakukan seijin keluarga..
Hasilnya mengejutkan Terdapat infeksi serius di alat kelamin korban akibat kekerasan seksual.Hasil otopsi diumumkan awal Juli.

“Namun belum lama kasus perkosaan keji itu terungkap, pada tanggal 2 Juli wakil ketua Komisi VIII mencabut RUU PKS dari daftar Prolegnas. Apa anggota dewan tak punya rasa sesal atas kasus perkosaan remaja itu?” ujarnya. Sekali lagi, nada suara ativis perempuan itu masih tinggi.

Dukungan dari Organisasi Masyarakat Sipil
Aktivis perempuan itu, Dina Lumbantobing dari Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA). Ia dihubungi, Selasa (14/7) sehubungan dikeluarkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Program Legislasi Nasional (prolegnas) prioritas tahun 2020 oleh Komisi VIII DPR.

Dok. Hapsari

Tak hanya disesalkan ratusan organisasi masyarakat sipil yang bergiat di bidang pengarusutamaan gender, bantuan hukum, Hak Asasi Manusia, masyarakat adat dan pluralisme, kecaman juga datang dari organisasi wartawan seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Organisasi masyarakat sipil ini pada intinya meminta agar DPR tetap memprioritaskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Prolegnas prioritas tahun 2020.

Mereka juga mendesak DPR segera membahas dan mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah sangat mendesak, sesuai tuntutan masyarakat sipil dan untuk menjamin keadilan bagi korban.

Dukungan untuk membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, juga mengalir dari ratusan akademisi dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta yang membentuk aliansi untuk mengawal pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Para akademisi meliputi berbagai guru besar berbagai kepakaran, pusat studi gender dan dosen.

“Kekerasan seksual pada perempuan dan anak tak hanya kekerasan pada kesusilaan, tetapi juga kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata Sulistyowati Irianto, Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Indonesia dalam Deklarasi Aliansi Akademisi untuk RUU Penghapusan Seksual, Rabu di Jakarta (16/7).

Urgensi pengundangan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menurut Dina Lumbantobing, Penanggungjawab Women Crisis Center (WCC) Sinceritas, PESADA, sesuai kondisi objektif yang ada.

Pertama jumlah korban kasus kekerasan seksual terus meningkat dari waktu ke waktu. Kedua, perangkat hukum yang ada seperti UU Penghapusan KDRT dan KUHP, masih jauh dari rasa memenuhi keadilan bagi korban. Ketiga bentuk kekerasan seksual juga makin beragam, misalnya seiring kehadiran platform media sosial berbasis internet di ponsel.

Relasi Kuasa Tak Setara
Tentang jumlah korban kekerasan seksual, ia menyebut ibarat puncak gunung es. Artinya yang muncul ke permukaan sebenarnya belum merepresentasikan jumlah kasus kekerasan sebenarnya.

“Kekerasan seksual itu lahir dari relasi kuasa hasil konstruksi sosial politik yang menempatkan laki-laki lebih berkuasa dibanding perempuan,” katanya. Relasi sosial yang tak setara itu membuat laki-laki menentukan kebenaran sesuai ukuran mereka.

Demo mendukung pengsehan RUU PKS di Meda Maret 2020. Dok Hapsari

Ia memberi ilustrasi sederhana. Saat perempuan tampil cantik, berpakaian sedikit terbuka, laki-laki mengartikan bahwa perempuan itu tengah menggoda mereka. Karena konstruksi pikiran seperti itu, laki-laki lalu merasa punya hak menggoda, merayu, memegang-megang, bahkan lebih jauh bisa lebih dari sekadar pelecehan, tapi meningkat menginginkan tubuh perempuan.

Saat perempuan mau diajak keluar malam hari, laki-laki lalu mengartikan sebagai perempuan yang “gampang” diajak berhubungan seks.

“Cara pandang laki-laki terhadap tubuh perempuan itu penuh prasangka, itulah akar terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan,” ujar Dina Lumbantobing. Karena laki-laki menurutnya perlu mengontrol pikiran mereka. Manifestasi atas konstruksi relasi kuasa yang tidak setara muncul di perkantoran, lembaga pendidikan bahkan lembaga agama.

“Di Medan misalnya muncul kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswa. Korban sekian lama tak berani bicara takut kena sanksi dari si dosen, ujarnya. Di kantor-kantor perusahaan, ada boss yang mengatur cara duduk sekretarisnya untuk memenuhi hasrat seksualnya. Kekerasan gender berbasis online juga meningkat. Banyak remaja putri menjadi korban kekerasan seksual karena diancam foto tau video pribadinya disebarluaskan.

Data yang dirilis Komnas Perempuan Maret 2020 menyebut dalam 12 tahun terakhir sejak 2008 jumlah kekerasan terhadap perempuan meningkat 72%, dari 54,425 kasus (2008) menjadi 431,471 kasusv(2019). Kasus kekerasan terjadi baik di ranah domestik (rumah tangga) dan publik atau komunitas.

Sebagai gambaran, tahun 2019 tercatat ada 3.602 kasus kekerasan perempuan diranah publik. Sebanyak 58% adalah kekerasan seksual berupa pencabulan (531 kasus), perkosaan (715 kasus) dan pelecehan seksual (520 kasus), persetubuhan (176), dan sisanya percobaan perkosaan dan persetubuhan.

Berbagai Kelebihan
Tentang perangkat hukum yang belum memenuhi rasa keadilan korban, Ketua Dewan Pengurus Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI), Lely Zailani menyebut alasan klasik hakim saat menyidangkan kasus perkosaan adalah kurangnya alat bukti.

Nah, yang dimaksud alat bukti saksi perkosaan.
“Masa hakim minta untuk menghadirkan saksi perkosaan, mana ada saksi dalam peristiwa perkosaan?” ujar Lely. Mekanisme legal formal seperti ini kerap membuat sidang berujung dengan “perdamaian”, bahkan tak jarang turun SP3 alias penghentian perkara. WCC Cinceritas PESADA, pernah mengalami kasus seperti ini. Akibat kekurangan saksi, pelaku pun akhirnya bebas.

Korban sempat trauma karena lalu berkembang tuduhan di masyarakat bahwa korbanlah yang menggoda dan menjebak pelaku untuk melakukan hubungan badan, tutur Dina. Kasus-kasus kekerasan seksual yang ditangani dengan Hukum acara KUHP. Andaipun pelaku dipidana, biasanya ringan. Ada alasan yang meringankan pelaku. Terutama untuk korban yang sudah berumur 18 tahun ke atas. Hakim biasanya mempertimbangkan unsur “mau sama mau” dalam kasus itu.

Sengkarut proses hukum yang tak memenuhi rasa keadilan korban, menurut Dina Lumbantobing, makin paripurna saat korban adalah perempuan disabilitas. Dalam berbagai kasus yang pernah ditangani WCC Sinceritas PESADA, aparat penegak hukum semisal tak pernah memfasilitasi keberadaan saksi ahli sesuai jenis disabilitas korban.

Karena itu bagi korban dan organisasi masyarakat sipil yang melakukan advokasi terhadap korban kekerasan seksual, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu dianggap sebagai solusi agar korban memeroleh rasa keadilan. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual memang memiliki kelebihan yang kelak jika diundangkan bisa menjadi undang-undang lex specialis, Kelebihan itu diantaranya:

Pertama dari sisi acara pidana, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menawarkan terobosan dalam hal jenis alat bukti, pemulihan, pendampingan, larangan kriminilasasi terhadap korban dan larangan aparat hukum untuk merendahkan, serta menyalahkan korban. Dalam hal pendampingan korban aparat penegak hukum juga wajib menyediakan pendamping.

Kedua, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual engatur tentang pencegahan di 5 sektor, yakni sektor infrastruktur dan tata ruang; pendidikan; tata kelola pemerintahan; ekonomi; dan sosial  budaya. Pencegahan sangat dibutuhkan untuk menghilangkan atau mengurangi kesempatan terjadinya kekerasan seksual dan memastikan ketidakberulangan kekerasan seksual.

Ketiga, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga mengatur pemulihan korban dari sebelum, selama dan setelah proses peradilan. Pemulihan sangat dibutuhkan korban karena paska kekerasan tak jarang korban yang tak mendapat pemulihan mengalami trauma, depresi dan dapat melakukan bunuh diri.

Keempat, ketentuan pidana RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengatur pidana pokok yang terdiri dari penjara, kerja sosial, dan rehabilitasi khusus. Selain itu, RUU ini juga mengatur tentang  pidana tambahan lainnya. Rehabilitasi khusus diperuntukkan pelaku kekerasan seksual anak dibawah umur atau pelaku pelecehan seksual non-fisik. Tujuannya untuk memperbaiki akar masalah kekerasan seksual agar tidak terjadi keberulangan kekerasan seksual.

“Istilahnya pemidanaan yang manusiawi dan bertujuan menimbulkan efek jera bagi pelalu kekerasan seksual,” ujar Lely Zailani.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengatur 9 tindak pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Begitu penting arti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, baik korban maupun untuk mencegah terulangnya kekeraasan seksual, karena itu bagi Dina Lumbantobing pihak yang menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut seolah tak sadar bahwa mereka sebenarnya tengah menggantung asa bagi jutaan perempuan agar memeroleh perlindungan dan pemenuhan hak-hak atas tubuh mereka dari negara.