Pentingnya Historiografi Masyarakat Tionghoa Medan !

Beberapa peneliti asing yang tengah melakukan penelitian untuk tesis doktoral mereka, sering mengeluh tentang sulitnya memperoleh historiografi tokoh-tokoh Tonghoa  Medan yang tengah menjadi objek penelitian mereka. Chong Wu Ling dari National University of Singapore misalnya mengaku sudah menjumpai beberapa akademisi dan sejumlah perpustakaan, tapi hasilnya nihil. bersilancar di dunia maya juga sudah dilakukan, tapi hasilnya idem ditto!

Beberapa tokoh Tionghoa Medan, baik yang masih hidup, maupun  yang sudah meninggal, menurut kandidat doktor sosiologi dar Universitas Singapore tersebut sangat jarang meninggalkan dokumentasi tertulis seperti  biografi, otobiografi atau memoar, yang dapat menjadi sumber rujukan untuk bahan penelitiannya. Hanya satu, dua tokoh, yang riwayat hidup dan kiprah sosial, politik, ekonomi dan budaya mereka terdokumentasi secara tertulis. Diantara yang sedikit ia menyebut nama dr. Sofyan Tan, tokoh muda Tionghoa yang telah menerbitkan biografi berjudul “Dokter Penakluk Badai”., atau Queny Chang, puteri tokoh kontrovesial Tjong A Fie, yang menerbitkan “Memories of a Nonya”. Dari buku tersebutlah, masyarakat bisa mengais sepenggal sejarah kehidupan Tjong A Fie.

Hal yang berbeda terjadi di negara tempatnya  melakukan studi,  Singapura. Di sana ada Pusat Sejarah Lisan yang aktif melakukan upaya pendokumentasian tokoh-tokoh ternama di berbagai bidang dengan menggunakan metode sejarah lisan. Hasilnya salah satu adalah Leaders of Singapore yang ditulis Melanie Chow, yang membahas semua persoalan pemimpin ddan kkepemimpinan, tidak saja  dalam dunia bisnis, tetapi juga dunia politik, berbagai profesi, dan bidang-bidang kegiatan lain. Buku itu didasarkan pada wawancara dengan orang-orang singapura terkemuka yang berjasa  dalam membangunn Singapura. Buku tersebut  mengandung isi yang padat dan merupakan referensi penting untuk memahami Singapura masa kini (Widjarnako:2000).

 

Ikut Menghapus Stereotipe

Minimnya sumber-sumber historiografi, tak sebatas pada absennya dokumentasi tertulis tokoh-tokoh terkemuka  Tionghoa Medan, tapi juga pada sejarah masyarakat Tionghoa Medan secara umum dalam lapangan ekonomi, politik dan budaya. Padahal arus kedatangan orang Tionghoa ke Sumatera Timur yang sudah dimulai sejak permulaan abad 18 diyakini telah memberi kontribusi mereka dalam membentuk kelembagaan ekonomi dan budaya terhadap masyarakat Medan yang heterogen. Hal ini misalnya dapat dilihat dari lahirnya pusat-pusat perdagangan, transfer teknologi pangan maupun budi daya pertanian, serta artefak-artefak perumahan yang menyumbang pada kekayaan multikultur masyarakat Medan.

Akibat minimnya sumber-sumber historiografi (tokoh-tokoh) masyarakat Tionghoa, baik dalam konteks masa lalu maupun kekiniannya, maka upaya untuk memahami masyarakat Tionghoa di Medan dan Sumut, seringkali menjadi kurang  memadai. Ditambah lagi pada setiap kelompok masyarakat, umumnya mereka memiliki stereotip-stereotip tertentu ketika memandang kelompok di luar lingkarannya. Hal inilah yang kerap melahirkan prasangka-prasangka rasial.

Akibat lanjutannya konstruksi tentang masyarakat multikultur di Medan dan Sumut, sebenarnya minus masyarakat Tionghoa. Hal ini misalnya dapat dilihat dari peristiwa-peristiwa kebudayaan di Medan dan Sumut, dimana kebudayaan masyarakat Tionghoa belum memperoleh tempat yang memadai. Bahkan dalam rangka ikut membangun budaya politik melalui institusi politik formal seperti partai politik, lembaga perwakilan rakyat dan lembaga eksekutif, masih sering mengalami hambatan akibat stereotip-stereotip yang ada.

Salah satu contoh dampak dari minimnya historiografi masyarakat Tionghoa dalam era revolusi midsalnya melahirkan stereotip bahwa semua orang Tionghoa adalah “antek Belanda”.padahal dalam pergolakan revolusi di Sumatera Utara, sebenarnya ada juga kontribusi beberapa tokoh Tionghoa, misalnya dalam perjuangan melawan fasisme Jepang dan Belanda pada waktu clash action tahun 1946. 10391022089154527458

 

Peran Kesejarahan Orang Tionghoa Medan

Berikut beberapa nukilan peran kesejarahan sejumlah “tokoh” Tionghoa Medan, yang bahannya terserak dalam berbagai bentuk, seperti bagian dari sebuah sub bab  buku, feature profil di surat kabar dan majalah.

Pada saat Jepang menjajah misalnya, banyak muncul kelompok-kelompok perlawanan bawah tanah yang melakukan berbagai sabotase untuk melemahkan pasukan Jepang. Yang terkenal misalnya ‘Gerakan Anti Fasis” yang dipimpin oleh Abdul Xarim M.S. Dalam melakukan aksi-aksi sabotase, “Gerakan Anti Fasis” bekerjasama dengan “Liga Anti Fasis” yang dikoordinir oleh Chong Hong Ping, Wong Pen Shu, Yap Ee Chong, Yap Ee Fong, Yap Ee Sek dan Yap Ee Hong. Kegiatan sabotase yang dilakukan mereka antara lain dilakukan dengan membusukkan persediaan bahan makan Jepang serta menampurinya dengan bahan-bahan kimia tertentu. Pada saat perjuangan melawan Belanda, Oei Boen Tjoan berperan sebagai orang yang dipercaya pihak TNI untuk melakukan pembelian senjata di Singapura. (Mohammad Said: 1976).

Tapi seperti apa riwayat hidup Chong Hong Ping, Wong Pen Shu, Yap Ee Chong, Yap Ee Fong, Yap Ee Sek dan Yap Ee Hong, buku yang ditulis Mohammad Said dkk., tak memberikan penjelasan lebih detil. Karena itu diperlukan upaya-upaya rekonstruksi secara lebhi mendetail tentang peran oang-orang Tionghoa Medan yang tergabung dengan “Liga Anti Fasis” tersebut.

Dengan adanya dokumentasi tertulis  tentang peran mereka selam menghadapi masa penjajahan fasisme Jepang, dihapkan sejarah lokal di Medan dapat memperoleh pengayaan dar sisi tokoh-tokoh sejarah yang terlibat di dalamnya.

Semasa revolusi fisik di Sumatera Utara dan Aceh, ada juga orang Tionghoa Medan yang menjadi barisan rakyat bahkan sampai bergabung dengan TNI. Orang itu adalah Taufik Halim, atau Tan Kuan Lim kelahiran Medan, 10 April 1927. Tahun 1945, Taufik Halim memenuhi seruan Bung Karno untuk bergabung dengan Angkatan Perang Pemuda Indonesia (APPI). Kemudian organisasi ini berubah nama menjadi Barisan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal Tentera Nasional Indonesia (TNI).

Ada juga Lie Yak Heng (Bung Lie), veteran perang kelahiran Kisaran 20 Oktober 1930. Semasa kanak-kanak, keluarganya terlilit kemiskinan. Kolonialisme dan peperangan hanya memberi kesempatan untuk bertahan hidup. Lie dan kebanyakan anak seusianya tak mengenal bangku sekolah. Pada tahun 1942, saat usianya baru 12 tahun, sekelompok pemuda berhasil menahan beberapa tentara Jepang. Serdadu-serdadu itu diikat dan dimasukkan ke dalam gerbong kereta dan dikunci. Namun entah bagaimana, tentara Jepang itu berhasil lolos dan menyerang masyarakat yang tinggal di sekitar stasiun secara membabi buta. Demi menyelamatkan diri, Lie dan beberapa kawannya lari tunggang langgang meninggalkan tempat. Sekitar tahun 1944, Lie bersama keluarga hijrah ke Tebingtinggi. Setahun kemudian, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan RI. Namun berita menggembirakan itu baru sampai ke Tebingtinggi pada bulan Oktober. Saat berita itu diterima, Lie dan kawan-kawan segera melucuti senjata dan sepeda milik tentara Jepang. Bersama pejuang-pejuang lain, Lie bergabung dengan Laskar Napindo.

Pada tahun 1947, Belanda melancarkan agresi militer pertama. Mereka membonceng NICA dengan alasan Indonesia tidak mematuhi perjanjian Linggarjati yang ditandatangani kedua pihak pada tanggal 24 Maret 1947. Ketika Belanda masuk ke Siantar melewati Tebingtinggi,pPara pejuang tidak tinggal diam. Mereka berupaya menghambat gerak maju tentara Belanda di sepanjang rute tersebut. Lie diangkat sebagai mata-mata dan bertugas melaporkan informasi yang diketahuinya kepada tentara nasional. Dengan menyamar sebagai pengantar sayuran ke kediaman Belanda, ia bisa dengan leluasa mempelajari situasi. Untungnya ia tidak dicurigai sebagai musuh karena pada saat itu tentara Belanda percaya bahwa etnis Tionghoa tidak akan berpihak pada RI. Pekerjaan mata-mata adalah tugas yang berbahaya. Nyawa taruhannya. Lie harus berjuang menaklukkan ketakutannya sendiri demi teman-temannya. Tugas sebagai mata-mata berhasil ia laksanakan dengan baik.

Menurut penuturan Lie, pejuang dari etnis Tionghoa yang terlibat perjuangan TNI pada masa itu cukup banyak jumlahnya. Di regunya saja ada sekitar 3 sampai 4 orang. Selama krisis tersebut, Lie menjadi anggota laskar penghubung TKR, TRI dan TNI. Tugas ini diembannya hingga 4 tahun dengan daerah operasi meliputi Kisaran, Tebingtinggi, Pulau Raja dan Labuhanbatu (Inside Sumatra; 2008)

Penulis percaya masih banyak orang Tionghoa Medan seperti Taufik Halim, Lie Yak Heng (Bung Lie), yang telah memberi kontribusi dalam membentuk narasi sejarah bangsa ini, baik di masa lalu maupun masa kini sesuai dengan lapangan hidup dan pengabdian mereka yang beragam. Sejumlah tokoh Tionghoa Medan seperti Supandi Kusuma, Vincent Wijaya, Indra Wahidin, Tansr Chandra, Eddy Juandy, memang kerap muncul dalam pemberitaan media massa. Namun bagaimana kisah sukses mereka di lapangan hidup masing-masing secara lebih komprehensif, tampaknya belum ada dokumentasi tertulis yang bisa ditemukan.

Padahal lewat historiografi mereka, entah dalam bentuk biografi atau otobiografi, publik dapat mengambil hikmah sekaligus pelajaran yang barangakali berguna untuk kehidupan mereka! Dus dengan begitu, sejarah kontemporer masyarakat Medan juga akan semakin diperkaya dengan pemaknaan dan penghayatan dari beragam perspektif para aktor s sesuai dengan bidang kehidupan yang mereka tekuni !

** Tulisan ini dimuat diharian ANALISA tgl 1 Oktober 2010