Mendokumentasikan “Kartini-Kartini” Sumatera Utara

Dunia perbukuan di Sumatera Utara, belakangan ini mulai tampak menggeliat. Ibarat raksasa yang terbangun dari tidur panjang. Beberapa akademisi, jurnalis, aktivis Ornop (organisasi non pemerintah), dan mantan pejabat, kini banyak menerbitkan buku. Isinya beragam. Mulai dari memoar hidup dan perjalanan karier mereka, maupun pemikiran-pemikiran serta hasil kontemplasi terhadap perkembangan sosial politik sesuai bidang kajian yang didalami. Tidak ketinggalan, sejumlah sastrawan dan budyawan, juga aktif menerbitkan antologi puisi, cerpen maupun esai-esai budaya yang pernah diterbitkan di rubrik-rubrik surat kabar dan majalah.

Tentu saja ini perkembangan menggembirakan. Soalnya, setiap karya peradaban yang dihadirkan seseorang lewat sebuah buku, selalu memiliki sumbangan terhadap terbentuknya narasi sejarah masyarakat dimana orang itu berkarya. Sekecil apapun sumbangan tersebut, patut untuk diberi apresiasi dan penghargaan. Tentu saja ada banyak kendala kenapa karya peradaban seseorang, tidak dapat diwujudkan ke dalam bentuk sebuah buku agar dapat dinikmati dan dipetik hikmahnya oleh masyarakat luas.

Seringkali narasi sejarah sebuah bangsa, misalnya sejarah pembangunan ekonominya, didominasi oleh cerita keberhasilan tokoh-tokoh besar. Misalnya dari kalangan menteri, atau kaum teknokrat. Tidak ada ruang bagi ‘orang biasa’, untuk tampil dalam teks-teks buku sejarah resmi walau “orang-orang kecil” tersebut juga menghasilkan karya-karya pembangunan yang menyumbang bagi kemajuan peradaban bangsa tersebut. Narasi sejarah sebuah bangsa, memang hanya kerap dikonstruksi dari orang-orang “besar”. Merekalah yang menentukan “hitam-putihnya” narasi sejarah bangsa tersebut.

Tidak terkecuali karya-karya peradaban di bidang pelayanan kesehatan. Sebagaimana diketahui, kesehatan menjadi syarat utama manusia agar bisa menjalankan fitrahnya di dunia: bekerja! Tanpa didukung badan dan jiwa yang sehat, seorang manusia akan banyak menghadapi tantangan dalam mempertahankan hidup dan keluarganya. Karena itu masyarakat internasional, termasuk negara Indonesia, telah mengakui kesehatan sebagai bagian dari hak seorang warga yang paling asasi. Negara karena itu wajib menjamin dan memberikan pelayanan kesehatan yang baik bagi warganya.

Kesehatan dengan demikian telah menjadi dimensi HAM. Sama seperti dimensi HAM lain yang wajib dijamin oleh negara seperti hak berpolitik, berserikat, atau bebas dari kekerasan.

Namun mengandalkan “kebaikan” negara saja tidaklah cukup. Dibutuhkan juga prakarsa-prakarsa pihak lain dalam rangka memfasilitasi tersedianya layanan kesehatan yang prima kepada masyarakat. Hemat penulis, masyarakat Sumut dapat bercermin dari pengalaman yang telah dilakukan oleh dua orang “Kartini Kesehatan” dari Sumut. Mereka yaitu Bidan Sauria Sitanggang dan dr. Ria Novida Telaumbanua. Penulis merasa beruntung karena ikut terlibat dalam mempersiapkan penerbitan buku kedua “Kartini Kesehatan Sumut” tersebut. Berikut adalah nukilan kisah keduanya.

 

Kiprah Bidan Sauria Sitanggang dengan RSU Mutiara

       Bidan Sauria Sitanggang dilahirkan di Lumban Sibabiat, Samosir, pada 20 Juli 1938. Ia dipanggil Tuhan pada 23 Mei 2007 (69) karena komplikasi penyakit yang dideritanya.  Almarhumah oleh masyarakat Sumut dikenal sebagai bidan langka, atau bidan “bertangan dingin”. Di kalangan para calon paramedis, khususnya mereka yang tengah menempuh pendidikan kebidanan, ibu dari tujuh anak dan 20 cucu tersebut bahkan nyaris menjadi legenda!

            Kiprah dan pengabdiannya untuk memajukan dunia kebidanan serta mendidik tenaga calon bidan yang profesional di Sumut, sulit untuk dicari bandingannya. Dari sebuah klinik kecil pada era 1960-an, hingga di akhir hayatnya, Bidan Sauria Sitanggang meninggalkan dua buah karya peradaban di bidang kesehatan, yaitu RSU Sari Mutiara Medan dan Lubuk Pakam. Juga 5 buah klinik yang berlokasi di Medan, Tandem, Diski dan Tanjung Morawa serta lembaga pendidikan kesehatan yang lebih dikenal dengan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes Sari Mutiara).

            Selain sukses dalam mengelola dan membesarkan rumah sakit, ia juga sukses mengelola akademi kesehatan, yang siswanya berdatangan tidak saja dari wilayah Sumut, tapi juga dari Aceh, Pekanbaru dan Padang. Tapi semua kesuksesan itu tidak membuatnya “besar kepala”. Almarhumah dikenal sebagai pribadi yang low profile. Dalam hidup kesehariannya, ia lebih nyaman menjadi “orang biasa”. Bahkan terkesan menikmati “kesunyian” diri dari hiruk—pikuk pemberitaan media massa. Sejarah perjalanan hidupnya untuk membantu pemerintah dalam memberikan layanan kesehatan ke masyarakat, beredar sebatas dari mulut ke mulut.

Banyak kisah menarik di seputar kehidupan Bidan Sauria Sitanggang ketika masih menjadi bidan keliling dari kampung ke kampung, khususnya di seputaran Helvetia tahun 1970-an. Semisal ketika menangani persalinan pasien, yang rata-rata berasal dari golongan masyarakat miskin. Tidak sedikit keluarga pasien yang mengangsur biaya persalinan. Uniknya, sampai ada  pasien yang belum melunasi utangnya sampai pasien itu melahirkan anaknya yang kedua!

       Tidak jarang, Bidan Sauria Sitanggang juga menerima bayaran bukan dalam bentuk rupiah, tapi hasil bumi. Misalnya beras, sayur atau hasil ladang yang lain. Bahkan pernah ia dibayar dengan seekor ayam! Tidak jarang ada juga keluarga pasien yang cicing, alias tidak membayar. Bagi Bidan Suaria Sitanggang, hal itu dianggap sebagai bagian dari dinamika hidup yang harus diterima dengan penuh kebesaran hati karena melayani warga yang kurang mampu.

       Selain pengalaman yang menerbitkan senyum, ada juga tantangan yang lebih serius. Semisal permusuhan yang ditebar sejumlah dukun kampung. Kelompok yang terakhir ini merasa tersingi dengan kehadiran sang “bidan keliling”.

       Namun menghadapi hal tantangan seperti itu, bidan Sitanggang bersikap arif. Ia sadar bahwa para dukun kampung tetap diperlukan perannya dalam membantu proses persalinan warga. Apalagi jarak antara rumahnya dengan perkampungan warga yang dilayani cukup jauh. Dukun kampung dapat berperan menangani persiapan pasien sampai ia datang dan melakukan proses persalinan. Karena itu ia kemudian berinisiatif melatih para dukun kampung. Para dukun kampung itu kemudian dikumpulkan dalam sebuah pertemuan. Untuk itu ia menjalin kerjasama dengan kepala desa. Setelah terkumpul, mereka diberi petunjuk dan dilatih cara menangani persalinan yang sehat.

       Begitulah gambaran sekilas kiprah bidan Sauria Sitanggang. “Kartini” kesehatan dari Pulau Samosir itu tak hanya berhasil mengembangkan sebuah klinik menjadi rumah sakit ternama, tapi juga berhasil mendirikan institusi pendidikan  yang masih eksis hingga sekarang ini.

 

       Dokter Ria N Telaumbanua: Menyelamatkan Rumah Sakit Hantu!

            “Kartini” lain di bidang kesehatan dalam versi berbeda adalah apa yang dilakukan dr. Ria Novida Telaumbanua. Dokter Ria, begitu panggilan karibnya, adalah seorang dokter PNS. Semula ia berkarier di sebuah puskesmas kecil di sebuah kecamatan di Sergai. Ia pernah terpilih sebagai Dokter Teladan Kabupaten Deli Serdang (1996), dan Dokter Teladan Tingkat Provinsi Sumut pada tahun 1996.

            Dokter Ria dikenal sebagai fasilitator penyakit TBC yang handal, selain pembicara soal-soal kesehatan dalam berbagai forum. Tapi sebagai PNS,  karier paling fenomenal yang pernah dilakukannya adalah ketika ia berhasil menyelamatkan RSUD Pematangsiantar dari ambang kehancuran. Sebagaimana diketahui, RSUD Pematangsiantar semula merupakan asset Pemprovsu. Namun semenjak diberlakukan otonomi daerah pada tahun 2000, rumah sakit tersebut diserahkan pengelolaannya pada pihak Pemko Pematangsiantar.

Namun sejak itulah, muncul mismanajemen yang mengakibatkan rumah sakit tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan yang standar bagi masyarakat. Sejumlah peralatan medis juga mengalami kerusakan berat, bahkan sebagian besar tidak bisa difungsikan. Bangunan rumah sakit, kamar pasien, tempat tidur dan kamar mandi juga berada dalam kondisi sekarat. Pelayanan paramedis terhadap pasien juga asal-asalan, termasuk dalam penentuan tarif. Tidak heran di tengah masyarakat Pematangsiantar muncul guyon satiris: “jika ada orang sakit ingin cepat meninggal, maka berobatlah ke RSUD Pematangsiantar”.

            Namun sejak Januari 2006, ketika ia ditunjuk sebagai Direktur RSUD Pematangsiantar, dokter Ria melakukan pembenahan manajemen secara radikal. Ia melakukan formasi menyeluruh di rumah sakit milik pemerintah tersebut. Hanya dalam waktu berkisar 2,5 tahun, ia berhasil menyelamatkan rumah sakit tersebut.

            Rumah sakit tempatnya bekerja terpilih sebagai “Rumah Sakit Berpenampilan Kinerja Terbaik se Sumatera Utara” pada tahun 2006 dan 2007. Prestasi lain yang disabet adalah “Juara III Inovasi Manajemen Tingkat Nasional” dari PERSI (Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia). Terakhir ia menghantarkan RS dr. Djasamen Saragih sebagai RS Model Akreditasi 5 Pelayanan di Indonesia pada Agustus 2008. Atas jasa-jasanya dalam menyelamatkan RSU Pematangsiantar, dokter Ria dianugerahi IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sebagai salah satu dari 206 dokter berprestasi di seluruh Indonesia.

 

            Saatnya Mendokumentasikan Kisah-kisah Karya Peradaban

Sudah tentu, masih ada kiprah “Kartini-kartini” lain dari Sumatera Utara yang belum terdokumentasikan. Karena itu ada baiknya jika pihak pemerintah memberikan perhatian untuk memfasilitasi proyek pendokumentasian karya-karya anak bangsanya sendiri. Tidak terkecuali kalangan perguruan tinggi, atau pihak-pihak lain yang concern dengan terbangunnya narasi sejarah lokal.

Proyek pendokumentasian ini mendesak untuk segera dilakukan. Soalnya dari narasi karya peradaban seseorang, masyarakat dapat memetik hikmah dari apa yang dilakukan “sang tokoh”. Tidak peduli apakah tokoh itu berasal dari kalangan rakyat jelata, PNS, politikus, akademisi, aktivis Ornop dan lainnya. Karena itu mari mulai sekarang kita dokumentasikan kiprah para “kartini” dari Sumut sebelum didokumentasikan peneliti-peneliti dari luar Sumut!

*** Tulisan ini dimuat di Analisa, Kamis, 11 Desember 2008