Dr. Ria Noviada Telaumbanua

Srikandi untuk Warga Miskin di Siantar

*Bersihar Lubis & J Anto

Foto blog dr riaMedanBisnis – Medan Bola mata perempuan 48 tahun itu berkaca-kaca. Suatu hari, ibu tiga anak itu bersama beberapa relawan berkunjung ke pinggiran kota Pematangsiantar. Tiba-tiba, seorang guru jemaat gereja bertutur soal susahnya warga jika ada anggota keluarga yang meninggal dunia.

“Untuk mengubur jenazah di TPU harus membayar antara Rp 2 – 3 juta,” kata si guru. Suaranya parau. Ya, Tuhanku! Mereka hanya punya satu jalan keluar: mengubur sanak saudara yang meninggal di depan rumah! Dokter Ria shock mendengarnya.

“Bu dokter, saya tidak takut mati. Saya takut kalau mati nanti tidak bisa dikubur!” keluh lelaki tua itu. RS “Hantu” Nama lengkapnya adalah dr. Ria Novida Telaumbanua, M.Kes, alumni Fakultas Kedokteran USU 1987. Ia lulus cumlaude Magister Epidemiology Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat USU Medan pada 2004.

Ada lagi: Ria dikenal sebagai dokter bertangan “dingin” karena “menyelamatkan” RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar dari ambang kehancuran. Ini buktinya. Pendapatan Asli Daerah (PAD) RSUD tersebut pada 2005 masih Rp 588.077.260. Tapi pada 2006, PAD rumah sakit naik drastis menjadi Rp 1.148.038.565, atau naik 95,22 persen. Pada 2007, melonjak menjadi Rp 2.139.356.520.

Bangunan RSUD yang dipimpinnya semula kumuh dan dijuluki masyarakat sebagai “rumah sakit hantu” berubah bersih dan megah. Peralatan medisnya pun komplit. Bahkan, BOR (bed occupancy rate), atau tingkat rata-rata hunian kamar rumah sakit rata-rata 32,32 persen pada 2005 naik menjadi di atas 60 persen pada 2007.

Tak pelak, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) pada 2008 memilih dr. Ria sebagai satu dari 260 dokter terbaik di Indonesia. RSUD itu pun terpilih sebagai “Rumah Sakit Berpenampilan Kinerja Terbaik se Sumatera Utara” pada 2006 dan 2007. Ria juga menyabet “Juara III Inovasi Manajemen Tingkat Nasional” dari PERSI (Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia). Ria juga mengantarkan RS dr. Djasamen Saragih sebagai RS Model Akreditasi untuk 5 Pelayanan di Indonesia pada Agustus 2008.

Warga Pinggiran

Ria kelahiran Siantar pada 23 November 1961 itu selalu terharu menyaksikan warga miskin yang tak terjangkau layanan kesehatan. Ia kerap mendatangi kampung-kampung kumuh di pinggiran Siantar.

 “Banyak warga menderita gizi buruk, tak punya air PAM dan listri dan lantai rumah masih tanah merah,” katanya. Anak putus sekolah dan menganggur berjibun jumlahnya. Infrastruktur jalan dari kampung ke kota juga hancur-hancuran. Padahal, daerah pinggiran itu hanya berjarak sekitar 2 KM dari Kantor Walikota. Ihwal tempat pemakaman umum (TPU) juga prihatin.

“Pemko menganggap sepele,” katanya. Ia lihat TPU sudah tak memadai. Sangat padat. Tapi ironisnya, Pemko sibuk mengurus pembangunan mall berlantai 14 di atas tanah SMAN-IV yang diruislag seorang investor. Perlu Empati Ria pun prihatin melihat kebijakan kesehatan untuk warga miskin dengan program jamkesmas yang berjumlah 15 persen.

Padahal, ada 40 persen warga lain yang tidak miskin, tidak juga kaya, tapi masuk dalam kategori “rawan”. Misalnya tukang becak, guru honerer dan PNS golongan I – III, juga pedagang kecil. Mereka cemas bisa makan atau tidak kelak. Bisa menyekolahkan anaknya atau tidak. Bisa berobat atau tidak ketika sakit.

“Mereka harus diberi rasa aman dengan asuransi kesehatan berjenjang,” cetusnya. Misalnya ada warga yang diberi premi asuransi kesehatan sebesar 75 persen, sisanya, 25 persen ditanggung warga sendiri. Ada juga warga yang diberi asuransi 50 persen, pemerintah 50 persen. Tapi ada juga warga yang diberi premi 100 persen.

Warga yang diberi subsidi premi asuransi 75 persen, dalam jangka setahun diberi target agar subsidi premi asuransinya turun, misalnya menjadi 50 persen. Ria tak setuju pengobatan gratis.

“Mereka akan pasif. Tak berusaha untuk hidup sehat,” katanya. Namun ini bukan kerja sektoral. Kalau sudah ada asuransi, pemukiman warga juga harus sehat. Selokan air lancar, air PAM bisa mengucur ke rumah warga, listrik menyala, dan penghasilan terjamin.

Dokter Teladan Deli Serdang (1996), dan Dokter Teladan Provinsi Sumut (1996) ini merasa rakyat Siantar butuh sentuhan kepemimpinan perempuan. Eh, kala banyak pihak mendorongnya maju dalam Pilkada Pematangsiantara 2010 – 2015, isteri dari E.W. Simanjuntak itu mengaku terharu.

“Kepercayaan itu akan kuperjuangkan sekuat tenagaku,” katanya.

J. Anto, penulis lepas tinggal di Medan.

MENGAPA MEDIA PERS PERLU DIAWASI?

Wartawan teKUPAS-Agustus 09 blogrkadang memberitakan kejadian yang tidak sebenarnya. Misalnya waktu meliput acara di Pemkab Deli Serdang, sebenarnya Pak Bupati tidak hadir, tetapi esok harinya di koran, wartawan menulis bahwa Pak Bupati hadir dalam acara tersebut. Padahal saya hadir di situ sampai selesai acara. Kenapa bisa seperti itu?

Pertanyaan seperti ini, merupakan satu dari sekian banyak kebingungan masyarakat yang mengikuti kegiatan pelatihan media literasi yang diadakan KIPPAS bekerjasama dengan Yayasan TIFA pertengahan Juli 2009 lalu. Pesertanya dari kelompok tani, ibu rumah tangga dan motivator masyrakat. Ada juga seorang ibu dari Dolok Sanggul yang bingung. Pasalnya, ada seorang anak perempuan di bawah umur yang diperkosa salah seorang warga desa. Tetapi esok harinya, anak perempuan tersebut diberitakan hanya “disentuh” alat reproduksinya saja.

Hubungan antara media pers dengan masyarakat selaku konsumen media, memang tidk seperti hubungan produsen sabun dengan konsumennya. Jika sabun yang dibeli tidak berbau harum seperti semboyan yang ada dalam kemasan, konsumen bisa langsung melakukan komplain, atau mengaduk ke lembaga konsumen. Ada kemungkinan sabun ytang bermasalah diganti oleh pemilik toko.

Tapi bagaimana jika konsumen media tidak memperoleh informasi seperti yang diharapkan terhadap surat kabar yang dibeli atau dilangganinya? Atau pertanyaan utamanya: bagaimana konsumen media mengetahui bahwa produk sebuah media pers tidak sesuai dengan harapannya? Bagaimana konsumen media mengetahui bahwa informasi yang disajikan media pers tidak mereprsentasikan fakta sebenarnya?

Dengan kata lain, bagaimana mendeteksi bias pemberitaan medi massa?

Era Keberlimpahan Komunikasi

Dewasa ini, hampir mustahil bagi masyarakat, termasuk yang tinggal di pedesaan, untuk mengelak dari terpaan informasi. Surat kabar lokal, tumbuh di mana-mana. Jejaring radio komunitas juga bermunculan mengatasi daerah-daerah blank spot dari lembaga penyiaran elektronik yang bersiaran nasional. Teknologi HP juga bisa mengunduh portal-portal informasi. Inilah era yang oleh John Keane, disebut sebagai era keberlimpahan komunikasi (communication abundance).

 Era keberlimpahan komunikasi ditandai oleh komunikasi yang melampui ambang batas, sehingga komunikasi menjadi over load, dan muatan informasi mencapai titik jenuh, tidak hanya dalam masyrakat, tapi juga dalam pikiran, atau benak kita. Bahasa mengenai kelangkaan (scarcity) pun telah digantikan oleh citra mengenai keberlimpahan (abundance). Melimpahnya komunikasi dalam kehidupan ini tak lain karena “ledakan informasi” yang terus-menerus dibawa media ke ruang-ruang kehidupan manusia kontemporer. (Idy Subandy Ibrahim:a 2004).

Dalam era keberlimpahan komunikasi, media pers merupakan salah satu pelaku industri informasi yang penting. Dengan kekuatan modal dan jaringannya, institusi pers kini tumbuh sebgai sebuah usaha konglomerasi. Dewasa ini kita mengenal Jawa Pos Group, yang mengembangkan konglomerasi media di daerah-daerah. Juga kelompok Kompas-Gramedia, serta kelompok Media Nusantara Citra (MNC) Netwokr yang menguasai jaringan sejumlah lembaga penyiaran televisi dan radio serta surat kabar.

Surplus Kekuasaan

Media pers kini memang bukan sekedar institusi sosial yang menyediakan jaa informasi untuk publik, atau lembaga ekonomi yang meraih keuntungan dari berbisnis informasi tersebut. Media pers sudah tumbuh sebagai institusi yang mampu menentukan agenda setting kepentingan mereka sendiri. Seringkali media pers menunjukkan sikap yang membela terhadap suatu pandangan, atau kepentingan ekonomi dan politik tertentu, dengan mengorbankan para pembacanya.

Padahal kebebasan pers adalah milik masyarakat. Kebebasan pers adalah kebebasan masyarakat untuk mendapatkan informasi publik, serta kebebasan untuk menyatakan pendapat tentang masalah publik (right to know dan right to expression). Inilah hak yang paling asasi yang dijamin oleh UUD 45 serta Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB. Sementara bagi media pers (wartawan dan redaktur), mereka adalah pihak yang memperoleh mandat dari masyarakat untuk melaksanakan fungsi kebebasan pers dengan cara mencari dan menyampaikan informasi publik. Dengan kata lain, apa yang dijalankan oleh pers merupakan implikasi logis dari kebebasan pers, karena itu biasa disebut kaidah pers bebas.

Kaidah pers bebas antara lain diatur dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999. Misalnya terhadap pers tidak dikenakan penyensoran. Wartawan juga dilarang dihalangi hak mereka ketika tengah menjalankan tugas jurnalisme mereka mengumpulkan informasi. Pihak yang menghalangi bahkan dikenakan sanksi pidana dan denda. Wartawan juga memiliki hak tolak di depan pengadilan, terutama untuk menyembunyikan identitas narasumber yang informasi dianggap berguna untuk kepentingan publik.

Persoalannya, kaidah pers bebas, seringkali ditelikung oleh media pers itu sendiri. Alasannya beragam, tapi yang jelas karena media pers telah tumbuh menjadi institusi yang surplus kekuasaan.

Karena itu dalam rangka menjalankan tugasnya, wartawan dan pengelola media sebenarnya diatur oleh kode etik jurnalistik. Kode etik diperlukan karena akan membantu wartawan dan pengelola media untuk menentukan apa yang benar dan yang salah, baik atau buruk, dan bertanggungjawab atau tidak dalam proses kerja jurnalisme. Kode etik terkait erat dengan konsep kewajiban wartawan dan pengelola media untuk memberitakan informasi yang benar (truth). Diyakini secara luas konsep ini merupakan tugas paling mendasar dari segala bentuk komunikasi.

Pengawasan Konsumen Media

Agar wartawan dan pengelola terhin dari dari surplus kekuasaan, maka media pers wajib dikontrol oleh konsumen media. Amanat itu termuat jelas dalam Pasal 17 ayat 1 dan 2 UU Pers No. 40 Tahun 1999, yang mengatakan bahwa “masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi, antara lain dengan memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers”.

Memonitor pelanggaran hukum dan etika jurnalistik pemberitaan media pers, dapat dilakukan jika konsumen media mengerti dan memahami kode etik jurnalistik dan delik-delik pers seperti kabar bohong, fitnah, mengandung unsur SARA dan sebagainya. Untuk itu, yang harus dilakukan adalah upaya-upaya untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang kode etik jurnalistik dan delik pers ke kalangan konsumen media. Khususnya konsumen media yang sering menjadi subyek pemberitaan media pers. Misalnya kaum petani, buruh, nelayan, guru, dan kelompok kepentingan lainnya yang powerless jika berhadapan dengan media pers.

Upaya pendalaman materi harus dipadu dengan latihan untuk mengidentifikasi berita-berita yang melanggar kode etik dan hukum. Untuk itu, berita-berita yang telah dinilai Dewan Pers sebagai melanggar kode etik atau hukum, dapat dijadikan bahan latihan. Termasuk berita-berita yang dikritisi oleh lembaga pemantau media (media watch).

Seiring dengan itu, konsumen media juga harus dilatih agar memiliki ketrampilan dalam menulis laporan hasil monitoring mereka. Laporan montioring yang dilakukan lembaga pemantau media biasanya mengacu kepada kaidah-kaidah penelitian umumnya. Misalnya ada latar belakang alasan pemilihan berita, permasalahan penelitian, metode penelitian, hasil-hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan serta saran.

Namun untuk konsumen media, tak perlu seketat itu. Hasil-hasil pemantauan pemantauan dapat ditulis dalam bentuk yang sederhana tanpa mengurangi nilai pemantauan yang dilakukan. Pada intinya, laporan pemantauan itu berisi, pertama, ringkasan berita yang dipantau. Bila perlu, berita yang utuh dijadikani lampiran. Kemudian pemantau juga harus menunjukkan jenis-jenis pelanggaran kode etik dan hukum yang dilakukan dari berita yang dipantau. Sebuah berita, mungkin saja mengandung satu atau lebih pelanggaran etik atau hukum. Atau mungkin juga pencampuran dari keduanya.

Kedua, tulisan hasil pemantauan harus didukung dengan kutipan teks-teks berita yang memperlihatkan adanya pelanggaran etika dan hukum. Ketiga, tulisan hasil pemantauan juga harus mencantumkan sumber berita yang dipantau, misalnya nama surat kabar, edisi penerbitan (hari, tanggal dan tahun) dan halaman pemuatan berita. Hal ini penting jika ada pihak-pihak lain, misalnya Dewan Pers, atau pihak media pers sendiri, hendak melakukan evaluasi atas berita yang dinilai oleh konsumen media.

Ketiga, tulisan hasil pemantau juga harus disertai analisis sederhana untuk mendukung bahwa berita yang dianalisis nenar-benar berita yang bertentangan dengan kode etik jurnalistik dan hukum.

Memantau dan melaporkan pelanggaran=pelanggaran kode etik dan hukum adalah bentuk kontribusi masyarakat untuk menjaga dan mengembangkan kebebasan pers secara sehat. Karena itu media pers, terlebih wartawan, tak perlu tipis telinga! Jika dicermati, gerakan pemantauan media oleh konsumen justru ikut andil dalam membangun uapaya melembagakan demokrasi secara santun dan beradab. Dan tentu saja anti kekerasan! Soalnya, konsumen media tidak mengajarkan untuk melakukan teror, atau menggeruduk ramai-ramai ke kantor redaksi!

** Tulisan ini dimuat di Harian Analisa, tanggal 31 Agustus 2009,  tulisan ini dikembangkan dari bahan diskusi pada Workshop Monitoring Media untuk Kelompok Masyarakat yang diadakan pada tanggal 27 Juli – 5 Agustus 2009 di Medan.