Bukan Ayat-ayat Penebar Cinta

Kekuasaan politik, memang mempesona banyak orang. Tidak terkecuali bagi mereka yang sehari-hari bergelut, merenungi dan menyebarkan ayat-ayat Tuhan yang tercetak dalam kitab-kitab suci agama. Dari sanalah, harta duniawi atau mamon diproduksi dan didistribusikan. Dari sana juga, skandal hidup manusia, seringkali diawali dan diakhiri.

Mari lupakan sejenak gegap gempita media massa yang tengah larut dengan kampanye capres – cawapres. Lupakan juga sejenak euforia hampir seluruh pengurus Partai Demokrat dan sekutunya ketika lembaga pooling ‘mengunggulkan’ capres – cawapres mereka. Lupakan juga wajah sumringah  para capres – cawapres dalam iklan-iklan politik yang bertaburan di media elektronik dan cetak.

Mari kita simak kisah para penafsir ayat-ayat Tuhan kontrakan, yang kisahnya dapat memberikan gambaran tentang kualitas pemilu legislatif 2009. Sudah tentu, ini bukan soal tuturan DPT yang amburadul, atau surat suara yang nyasar ke daerah pemilihan lain. Ini hanya sebuah kisah biasa, namun dampaknya luar biasa, yang selalu menjadi pernik-pernik hajatan politik kita dari tahun ke tahun. Namun perlu berkali-kali ditulis dan diungkapkan agar ayat-ayat Tuhan, tidak dijadikan landasan untuk membuat umat manusia makin tersegregasi. Agar ayat-ayat Tuhan, tidak dijadikan dasar bagi sebuah “industri pemilu” yang tidak bertanggungjawab. Dan tentu saja, agar ayat-ayat Tuhan tidak diperdagangkan kembali dalam Pemilu Presiden 2009 nanti!

Para Penafsir Ayat-ayat Tuhan Kontrakan

Apa saja dilakukan caleg untuk mendapatkan kursi kekuasaan di lembaga legislatif dalam pemuli legislatif April lalu. Di Sumatera Utara, pada masa-masa kampanye, muncul istilah para penafsir ayat-ayat Tuhan kontrakan. Ini memang konsekuensi dari hukum pasar pemilu. Sistem pemilihan caleg yang menganut prinsip suara terbanyak, mirip hukum besi pasar. Siapa yang paling bisa memasarkan diri ke konsumen, maka peluang untuk dibeli konsumen tinggi. Karena itu, pemasaran caleg harus mempertimbangkan produk dan juga kemasan produk. Bahkan elemen kemasan, atau dalam bahasa pemasaran sering disebut packaging, sering jauh lebih menonjol daripada perkara produknya sendiri.

Pencitraan politik, memang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pentas politik di tanah air. Sejumlah ahli komunikasi politik mengatakan bahwa citra politik seseorang dapat diciptakan, dibangun dan diperkuat melalui proses kognitif dan afektif. Galibnya, citra politik seseorang, dilakukan dengan kombinasi kedua pendekatan tersebut. Pendekatan kognitif mengacu pada pertimbangan rasional, sebaliknya pendekatan afektif mengacu pada pertimbangan emosi dan perasaan.

Dalam pendekatan pertama ada asumsi bahwa hubungan antara seorang aktor politik, dengan pemilih adalah hubungan transaksional yang rasional. Pemilih tidak begitu saja percaya terhadap program, janji-janji seorang kandidat atau iming-iming materi yang ditawarkan. Program yang tidak rasional, atau terkesan hanya untuk menyenangkan pemilih, akan ditolak. Dengan demikian dukungan politik yang diberikan pemilih kepada kandidat semata-mata karena kandidat dinilai memiliki kompetensi dan kapasitas sebagai aktor politik. Karena itu politik pencitraan seorang aktor politik sangat tergantung dari sejauhmana platform politik yang disusun dapat meyakinkan pemilih.

Sebaliknya pendekatan emosional cocok digunakan kepada pemilih yang belum cukup terdidik. Atau masyarakat yang tidak memiliki kapasitas untuk berpikir dan menganalisa apa yang mereka butuhkan dan bagaimana memenuhinya. Masyarakat jenis ini adalah masyarakat yang tidak memiliki tingkat pendidikan tinggi serta berpemahaman relatif rendah terhadap hak dan kewajiban politik mereka. (Firmanzah: 2007). Ikatan latar belakang kesukuan, agama atau ideologi sang aktor, banyak berpengaruh dalam melakukan transaksi politik dengan aktor politik.

Tentu saja packaging hanya salah satu elemen yang menentukan keberhasilan pemasaran. Ketika konsumen memutuskan untuk membeli suatu produk, sebut misalnya barang konsumsi, maka selain soal packaging, konsumen juga memperhatikan sertifikasi produk bersangkutan: halal atau haram! Pencatuman sertifikasi penting agar konsumen tidak terkecoh membeli produk yang bertentangan dengan keyakinan ajaran agamanya.

Hukum Pasar Ekonomi Pemilu 2009

Tapi begitu sertifikasi halal dan haram dengan menggunakan kriteria ajaran agama merambah ke dunia politik praktis, maka pluralisme menjadi taruhannya. Begitulah fenomena para penafsir ayat-ayat Tuhan kontrakan. Mereka tidak bergerilya dari satu rumah Tuhan ke rumah Tuhan lain. Mereka diberi ruang dan waktu resmi atas nama ritual agama di rumah-rumah Tuhan masing-masing. Tapi bukan ayat-ayat cinta Tuhan yang dikabarkan untuk seluruh umat manusia yang ada di dunia. Tapi kutipan ayat-ayat Tuhan yang digunakan sebagai pembenar, yang belum tentu benar, untuk mendukung para caleg yang memberi kontrak ekonomi berjubah politik.

Caleg atau calon DPD yang tidak seagama divonis sebagai orang kafir. Karena itu mereka jangan dipilih! Hukumnya haram. Istilah kafir di sini digunakan netral untuk setiap penafsir ayat-ayat Tuhan kontrakan terhadap mereka yang tidak seagama. Jadi kalau caleg A tidak seagama dengan para penafsir ayat-ayat Tuhan kontrakan, maka caleg A adalah kafir. Karena itu, apapun agama yang dianut si caleg atau calon DPD, maka mereka digolongkan kafir kalau tidak seagama.

Begitulah, rumah-rumah Tuhan akhirnya dijadikan arena perdagangan politisasi agama oleh para penafsir ayat-ayat Tuhan kontrakan. Dari mulut para penafsir ayat-ayat Tuhan kontrakan, memilih caleg bukan lagi karena pertimbangan kualitas atau kompetensi caleg. Tapi lebih karena model dan warna baju yang dikenakan sang caleg.

Repetisi politisasi agama seperti ini, terus berlangsung dari satu hajatan politik ke hajatan politik lain. Dalam pilkada Walikota Medan 2005, bahkan muncul dikotomi: jika Anda memilih pasangan walikota – wakil walikota A, maka Anda masuk surga, sedang jika Anda memilih pasangan walikota – wakil walikota B, maka Anda masuk neraka! Padahal antara pasangan A dan B masih seagama!

Pada pilkada April 2008 untuk memilih pasangan Gubernur – Wakil Gubernur Sumatera Utara, ujaran serupa dalam versi berbeda juga muncul. Sebuah selebaran seukuran setengah kertas folio, beredar di tengah masyarakat. Isinya kutipan ayat-ayat Tuhan yang digunakan untuk mengkafirkan pasangan calon yang menjadi lawan politik pasangan calon yang mengontraknya! Sedihnya, ada surat kabar cukup ternama, yang terseret dalam pusaran politisasi agama dengan tak pernah memuat sekalipun berita kampanye satu pasangan calon karena persoalan agama!

Pada Pemilu 2009, intensitas para penafsir ayat-ayat Tuhan kontrakan menjadi semakin agresif. Mereka memanfaatkan situasi psikologi politik rakyat Sumatera Utara paska insiden kekerasan dalam demonstrasi yang dilakukan massa pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli. Insiden 3 Februari 2009 yang mengakibatkan meninggalnya Ketua DPRD Sumut, H. Azis Angkat, menjadi bola salju yang menggelinding liar ke mana-mana. Politik pemberitaan media massa, semakin menambah runyam. Terutama ketika fokus pemberitaan ditekankan seolah telah terjadi penistaan dari satu kelompok umat beragama, terhadap umat bergama lain.

Lahirlah psikologi politik yang secara diametral mengeraskan masing-masing kubu, yang kemudian melahirkan fenomena para penafsir ayat-ayat Tuhan kontrakan. Begitulah hari Jumat dan Minggu, di sebagian tempat dan waktu, ayat-ayat Tuhan tidak lagi diajarkan sebagai berkah agar umat Tuhan yang ada di seluruh muka bumi bisa hidup saling berdampingan secara damai. Ayat-ayat Tuhan justru dimanipulasi dan dijadikan alat untuk memenangkan caleg atau calon DPD yang memberikan kontrak ekonomi.

Begitulah ketika hukum pasar telah mengintervensi ke sejumlah penafsir ayat-ayat Tuhan. Kepentingan ekonomi, telah mendorong mereka melakukan komodifikasi ayat-ayat Tuhan. Secara ekonomi, bagi para penafsiran ayat-ayat Tuhan kontrakan, hal tersebut jelas merupakan berkah ekonomi di tengah kehidupan ekonomi yang semakin memburuk. Tapi bagi umat Tuhan, adakah berkah lain yang mereka terima selain hanya surplus segregasi psikologis yang dapat mempertebal dan mengancam toleransi dalam kehidupan bergama?

Memang butuh sebuah riset khusus untuk mengetahui hal tersebut.

Tapi sebagai gambaran, ada baiknya kita menengok hasil survei dengan tajuk “Islam, Terorisme, dan Toleransi” yang diadakan The Wahid Institute bekerjasama dengan Indo Barometer pada pertengahan bulan Mei 2007 tersebut. Survey yang dilakukan di 33 provinsi tersebut, memberikan kesimpulan utama bahwa sikap toleran dalam kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini sudah berada di status “lampu kuning”. Artinya, memerlukan perhatian sangat serius serta program-program lebih terarah untuk bisa segera menyelamatkan, sebelum nantinya jatuh ke dalam situasi yang semakin buruk.

Menurut hasil ruvey, kalau sampai muncul konflik antarmasyarakat, maka 36,3 persen kesalahan akan ditimpakan kepada tokoh agama, kemudian 35,6 persen kepada pemerintah, 7,4 persen kepada presiden, 6 persen kepada polisi. Menanggapi hasil survey tersebut, pemikir senior Muhammadiyah, Dr Moeslim Abdurahman, berpendapat, “Dengan survei ini kita semua sekarang sudah punya potret sebenarnya sikap masyarakat Indonesia. Karena ternyata potretnya memang buram, maka menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memperbaikinya.”

Sayangnya, dalam hajatan politik seperti pemilu dan pilkada, Bawaslu tak terlalu serius memantau rumah-rumah Tuhan yang dijadikan media kampanye yang materinya “menghina suku, agama, ras, antar golongan tertentu”, sebagaimana “diharamkan” UU Pemilu legislatif dan DPD tahun 2008. Mudah-mudahan ke depan hal-hal ini akan lebih diperhatikan lagi oleh mereka. Harapannya agar tidak lagi terjadi komodifikasi agama. Apalagi pemilu presiden 2009, sudah ada berada di depan mata.

* Penulis Koordinator Kelompok Kerja Jaringan Demokrasi (KKJD) Sumut, Direktur Eskekutif KIPPAS

** Tulisan ini dimuat di Harian ANALISA Medan, 30 Juni 2099