Masyarakat siaran bisa belajar dari kasus di Rwanda. Negara yang terletak di Afrika bagian tengah tersebut pernah dikoyak konflik etnis yang meminta korban sampai 800.000 jiwa.. Media siaran dipandang memiliki peran dalam ikut mengobarkan propaganda kebencian rasial yang dikobarkan dari elit politik suku Hutu terhadap suku Tutsi.
Sebagaimana diketahui, sebagian besar penduduk Rwanda sangat mengandalkan radio sebagai sumber informasi. Terutama selama konflik antara pasukan RPA (Rwanda Patriotic Army), sayap militer RPF (Rwanda Patriotic Front) yang mayoritas berasal dari suku Tutsi, melawan pemerintah Rwanda, yang mayoritas dipegang suku Huttu. Bagi banyak orang, radio di Rwanda juga merupakan satu-satunya media yang bisa diakses, karena angka buta huruf penduduk yang tinggi. Namun dalam beberapa kejadian, Radio Rwanda menyajikan laporan-laporan yang jelas palsu dan menghasut kebencian mengenai RPF serta mengobarkan permusuhan. Khususnya Radio Television de Milles Collines (RTLM), yang seakan-akan didirikan sebagai alat pembunuhan.
Dalam setiap siaran, mereka mengobarkan kebencian: mayoritas suku Hutu dihasut agar membenci minoritas suku Tutsi. Lalu sesudah itu orang-orang Hutu didorong, bahkan diperintahkan membunuh orang-orang Tutsi. Suku Tutsi itu diburu bagai celeng, dicari sampai ke tempat-tempat perlindungan, bahkan sampai ke rumah-rumah ibadat. Hingga gereja dan mesjid pun jadi salah satu ladang pembantaian terbesar selama masa genosida, dan itu berkat media (Article XIX: 2004).
Selama puluhan tahun media massa memang terbiasa membungkus berita konflik dengan perspektif perang. Konflik digambarkan secara hitam – putih, kalah – menang, jahat – baik. Di sisi lain, politik pemberitaan juga tidak bebas dari pengaruh komodifikasi untuk mengusung kepentingan modal. Akibatnya peristiwa konflik diberitakan dengan logika pasar. Hasilnya adalah produk media yang penuh efek sensasi atau bombabtis. Hal ini dilakukan karena “panasnya” konflik berbanding lurus dengan rating pemberitaan atau tiras media.
Prihatin dengan situasi tersebut, semenjak dasawarsa 1980-an, sejumlah ahli perdamaian dan jurnalis mempelopori pentingnya penerapan perspektif perdamaian untuk meliput konflik atau perang. Munculah genre jurnalisme damai. Penganjurnya antara lain Johan Galtung, Jake Lynch dan Annabel McGoldrick. Gagasan sentral mereka salah satunya adalah meninggalkan pendekatan liputan khas olahraga yang mengedepankan sisi dramatik dan memuja hero. Gantinya adalah pendekatan liputan macam reportase terhadap penderita kanker.
Karena virus yang menyebabkan kanker akan menghabisi tubuh si penderita dari waktu ke waktu hingga akhirnya meninggal, reporter harus mampu menceritakan apa yang menyebkan orang tersebut terkena kanker. Reporter juga harus menelisik gaya hidup, lingkungan, faktor keturunan, kemungkinan penyembuhan serta memaparkan langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mencegah penyakit kanker bagi penderita. Dengan kata lain, perspektif perdamaian menganjurkan reporter agar mengedepankan resolusi konflik, bukan hanya mem-blow up konflik saja. Reporter memang tidak ditugaskan sebagai juru runding. Apalagi juru damai. Namun demikian para penganjur jurnalisme damai mempunyai sebuah harapan. Yakni, agar fakta media yang diproduksi reporter, dapat memberi inspirasi bagi pihak-pihak yang berkonflik, untuk mengedepankan resolusi konflik secara damai.
Memenuhi Objektivitas Pemberitaan
Perspektif jurnalisme damai karena itu sebaiknya dijadikan kebijakan media penyiaran dalam meliput seluruh kepingan fakta dalam penyelenggaraan Pilkada Gubsu tahun 2008. Kesadaran ini menjadi sangat penting mengingat realita keberadaan masyarakat Sumut yang sangat plural. Tantangannya, keberagamaan masyarakat Sumut tengah “diprovokasi” sejumlah sejumlah politikus dan sejumlah calo politik, yang giat melakukan politisasi suku dan agama dalam rangka mencari dukungan politik.
Karena itu ada baiknya jika media siaran bersikap kritis menghadapi fenomena politik “belah bambu” tersebut. Sikap kritis dapat diterjemahkan lewat rekonstruksi fakta yang disiarkan. Sebaiknya media siaran tidak perlu memunculkan atribusi suku dan agama dalam pemberitaan mereka. Apalagi jika peristiwa yang dikonstruksi adalah peristiwa politik seperti pilkada. Seandainya pun terjadi bentrokan diantara massa pendukung pasangan calon yang berbeda suku dan agama, media siaran tidak perlu menegaskan identitas suku atau agama masa pendukung yang bentrok. Media siaran di Sumut dapat belajar dari kasus Ambon. Pada awalnya media massa menulis bahwa yang terjadi adalah perkelahian biasa antar preman di terminal bis. Tapi ketika berbagai kepentingan politik mulai menunggangi, media massa pun akhirnya ikut terseret. Media massa kemudian mengkonstruksi kasus di Maluku sebagai konflik antar etnis, bahkan agama.
Namun perspektif jurnalisme damai saja tidak cukup. Untuk mengurangi kemungkinan fakta media memantik konflik lanjutan di masyarakat, media siaran juga harus kembali pada prinsip objektivitas. Inilah metode kerja yang membimbing reporter agar tidak berubah menjadi pengobar konflik. Prinsip objektivitas pemberitaan menuntut dipenuhinya mekanisme cover both sides, bahkan cover all sides. Artinya kedua belah pihak yang terlibat suatu masalah harus diwawancara. Termasuk mereka yang terimbas konflik secara tidak langsung. Terpenuhinya prinsip ini menghindarkan isi siaran dari fitnah atau pembunuhan karakter seseorang.
Prinsip lain yang penting untuk diamalkan adalah imparsialitas. Cover both sides saja memang tidak cukup. Porsi dan nuansa yang disiarkan juga perlu dibuat berimbang, atau tidak menguntungkan salah satu pihak. Seperti komentator sepakbola, reporter harus belajar obyektif atau netral ketika melakukan liputan dan memastikan agar kedua pihak dalam konflik dilaporkan secara adil dan akurat. Reporter yang baik, juga tidak akan membiarkan suku, agama dan keyakinan politiknya bercampur dengan fakta yang dilaporkan. Dengan demikian, imparsialitas pemberitaan bisa dijaga.
Jurnalisme memang hanya alat. Namun jika produk jurnalisme ditengarai mampu memantik konflik lanjutan di tingkat masyarakat, maka produk jurnalisme juga seyogyanya mampu memantik setiap elemen masyarakat untuk menjaga dan memperkuat tali silaturahmi diantara masyarakat yang beragam. Dan media siaran memiliki peran strategis untuk merekatkan ikatan keberagaman pilihan politik masyarakat Sumut dalam hajatan Pilkada 2008 yang sudah diambang mata! (Selesiai).