Peran Media Siaran untuk Mendorong Pilkada Damai (2)

Masyarakat siaran bisa belajar dari kasus di Rwanda. Negara yang terletak di Afrika bagian tengah tersebut pernah dikoyak konflik etnis yang meminta korban sampai 800.000 jiwa.. Media siaran dipandang memiliki peran dalam ikut mengobarkan propaganda kebencian rasial yang dikobarkan dari elit politik suku Hutu terhadap suku Tutsi.

Sebagaimana diketahui, sebagian besar penduduk Rwanda sangat mengandalkan radio sebagai sumber informasi. Terutama selama konflik antara pasukan RPA (Rwanda Patriotic Army), sayap militer RPF (Rwanda Patriotic Front) yang mayoritas berasal dari suku Tutsi, melawan pemerintah Rwanda, yang mayoritas dipegang suku Huttu. Bagi banyak orang, radio di Rwanda juga merupakan satu-satunya media yang bisa diakses, karena angka buta huruf penduduk yang tinggi. Namun dalam beberapa kejadian, Radio Rwanda menyajikan laporan-laporan yang jelas palsu dan menghasut kebencian mengenai RPF serta mengobarkan permusuhan. Khususnya Radio Television de Milles Collines (RTLM), yang seakan-akan didirikan sebagai alat pembunuhan.

Dalam setiap siaran, mereka mengobarkan kebencian: mayoritas suku Hutu dihasut agar membenci minoritas suku Tutsi. Lalu sesudah itu orang-orang Hutu didorong, bahkan diperintahkan membunuh orang-orang Tutsi. Suku Tutsi itu diburu bagai celeng, dicari sampai ke tempat-tempat perlindungan, bahkan sampai ke rumah-rumah ibadat. Hingga gereja dan mesjid pun jadi salah satu ladang pembantaian terbesar selama masa genosida, dan itu berkat media (Article XIX: 2004).

Selama puluhan tahun media massa memang terbiasa membungkus berita konflik dengan perspektif perang. Konflik digambarkan secara hitam – putih, kalah – menang, jahat – baik. Di sisi lain, politik pemberitaan juga tidak bebas dari pengaruh komodifikasi untuk mengusung kepentingan modal. Akibatnya peristiwa konflik diberitakan dengan logika pasar. Hasilnya adalah produk media yang penuh efek sensasi atau bombabtis. Hal ini dilakukan karena “panasnya” konflik berbanding lurus dengan rating pemberitaan atau tiras media.

Prihatin dengan situasi tersebut, semenjak dasawarsa 1980-an, sejumlah ahli perdamaian dan jurnalis mempelopori pentingnya penerapan perspektif perdamaian untuk meliput konflik atau perang. Munculah genre jurnalisme damai. Penganjurnya antara lain Johan Galtung, Jake Lynch dan Annabel McGoldrick. Gagasan sentral mereka salah satunya adalah meninggalkan pendekatan liputan khas olahraga yang mengedepankan sisi dramatik dan memuja hero. Gantinya adalah pendekatan liputan macam reportase terhadap penderita kanker.

Karena virus yang menyebabkan kanker akan menghabisi tubuh si penderita dari waktu ke waktu hingga akhirnya meninggal, reporter harus mampu menceritakan apa yang menyebkan orang tersebut terkena kanker. Reporter juga harus menelisik gaya hidup, lingkungan, faktor keturunan, kemungkinan penyembuhan serta memaparkan langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mencegah penyakit kanker bagi penderita. Dengan kata lain, perspektif perdamaian menganjurkan reporter agar mengedepankan resolusi konflik, bukan hanya mem-blow up konflik saja. Reporter memang tidak ditugaskan sebagai juru runding. Apalagi juru damai. Namun demikian para penganjur jurnalisme damai mempunyai sebuah harapan. Yakni, agar fakta media yang diproduksi reporter, dapat memberi inspirasi bagi pihak-pihak yang berkonflik, untuk mengedepankan resolusi konflik secara damai.  

Memenuhi Objektivitas Pemberitaan

Perspektif jurnalisme damai karena itu sebaiknya dijadikan kebijakan media penyiaran dalam meliput seluruh kepingan fakta dalam penyelenggaraan Pilkada Gubsu tahun 2008. Kesadaran ini menjadi sangat penting mengingat realita keberadaan masyarakat Sumut yang sangat plural. Tantangannya, keberagamaan masyarakat Sumut tengah “diprovokasi” sejumlah sejumlah politikus dan sejumlah calo politik, yang giat melakukan politisasi suku dan agama dalam rangka mencari dukungan politik.

Karena itu ada baiknya jika media siaran bersikap kritis menghadapi fenomena politik “belah bambu” tersebut. Sikap kritis dapat diterjemahkan lewat rekonstruksi fakta yang disiarkan. Sebaiknya media siaran tidak perlu memunculkan atribusi suku dan agama dalam pemberitaan mereka. Apalagi jika peristiwa yang dikonstruksi adalah peristiwa politik seperti pilkada. Seandainya pun terjadi bentrokan diantara massa pendukung pasangan calon yang berbeda suku dan agama, media siaran tidak perlu menegaskan identitas suku atau agama masa pendukung yang bentrok. Media siaran di Sumut dapat belajar dari kasus Ambon. Pada awalnya media massa menulis bahwa yang terjadi adalah perkelahian biasa antar preman di terminal bis. Tapi ketika berbagai kepentingan politik mulai menunggangi, media massa pun akhirnya ikut terseret. Media massa kemudian mengkonstruksi kasus di Maluku sebagai konflik antar etnis, bahkan agama.

Namun perspektif  jurnalisme damai saja tidak cukup. Untuk mengurangi kemungkinan fakta media memantik konflik lanjutan di masyarakat, media siaran juga harus kembali pada prinsip objektivitas. Inilah metode kerja yang membimbing reporter agar tidak berubah menjadi pengobar konflik. Prinsip objektivitas pemberitaan menuntut dipenuhinya mekanisme cover both sides, bahkan cover all sides. Artinya kedua belah pihak yang terlibat suatu masalah harus diwawancara. Termasuk mereka yang terimbas konflik secara tidak langsung. Terpenuhinya prinsip ini menghindarkan isi siaran dari fitnah atau pembunuhan karakter seseorang.

Prinsip lain yang penting untuk diamalkan adalah imparsialitas. Cover both sides saja memang tidak cukup. Porsi dan nuansa yang disiarkan juga perlu dibuat berimbang, atau tidak menguntungkan salah satu pihak. Seperti komentator sepakbola, reporter harus belajar obyektif atau netral ketika melakukan liputan dan memastikan agar kedua pihak dalam konflik dilaporkan secara adil dan akurat. Reporter yang baik, juga tidak akan membiarkan suku, agama dan keyakinan politiknya bercampur dengan fakta yang dilaporkan. Dengan demikian, imparsialitas pemberitaan bisa dijaga.

Jurnalisme memang hanya alat. Namun jika produk jurnalisme ditengarai mampu memantik konflik lanjutan di tingkat masyarakat, maka produk jurnalisme juga seyogyanya mampu memantik setiap elemen masyarakat untuk menjaga dan memperkuat tali silaturahmi diantara masyarakat yang beragam. Dan media siaran memiliki peran strategis untuk merekatkan ikatan keberagaman pilihan politik masyarakat Sumut dalam hajatan Pilkada 2008 yang sudah diambang mata! (Selesiai).

Peran Media Siaran untuk Mendorong Pilkada Damai (1)

Aksi demonstrasi massa yang tidak puas dengan hasil pilkada adalah berita. Reporter berkewajiban untuk menyiarkan peristiwa tersebut. Terlebih jika aksi demonstrasi berubah menjadi anarkis. Jika tidak menyiarkan peristiwa tersebut, reporter malah bisa dikategorikan tengah menyembunyikan informasi! Dalam bahasa lain, reporter dianggap sedang menghalangi hak masyarakat untuk memperoleh informasi tentang proses dan tahapan pilkada.

Namun meliput dan menyiarkan peristiwa kekerasan massa adalah dua hal yang berbeda. Hal itu dikemukakan Sasha Djuarsa, Ketua KPI Pusat, sebagaimana terungkap dalam diskusi tentang regulasi penyiaran kampanye pemilu Gubsu 2008, yang diadakan Bainfokom Sumut (Kamis, 15/11/07). Menurut Sasha Djuarsa, media penyiaran hendaknya tidak membungkus (packaging) pemberitaan yang sudah keras tersebut sehingga menjadi fakta media yang lebih keras lagi. Maksudnya, berita yang disiarkan “mengompori” massa untuk melakukan kekerasan yang lebih masif lagi.

Harapan Ketua KPI Pusat tersebut layak diperhatikan kalangan media penyiaran. Termasuk kalangan media cetak. Masalahnya sangat fundamental. Penyelenggaraan pilkada di beberapa wilayah di tanah air, kerap diiringi politsasi pengerahan massa yang berujung pada konflik kekerasan. Kasus terbaru muncul di Sulawesi Selatan. Kelompok massa dari kandidat yang tidak puas dengan hasil pilkada, menuntut pilkada ulang. Sayangnya aksi massa tersebut disertai tindak perusakan terhadap Aula Kantor PWI, yang berada dalam satu area dengan Kantor Panwasda Sulsel.

Di Sumatera Utara, pelaksanaan pilkada sepanjang tahun 2005 juga tidak bebas dari peristiwa kekerasan massa. Misalnya yang terjadi pada Pilkada Binjai. Kelompok massa dari tiga calon pasangan walikota, menuntut pengunduran pilkada. Alasan mereka karena masih banyak dijumpai warga yang belum menerima kartu pemilih. Akibat permintaan penundaan mereka ditolak KPUD Binjai, massa dari ketiga calon pasangan tersebut melakukan aksi kekerasan. Kantor KPUD Binjai dirusak, bahkan Ketua KPUD Binjai harus diamankan aparat keamanan karena dikejar-kejar massa yang marah. Di Sibolga, Pj Ketua KPUD Kota Sibolga bahkan terkena bogem mentah dari massa pasangan calon yang tidak lolos verifikasi adiminsitrasi KPUD. Kasus serupa terjadi di Nias Selatan. Namun aksi massa dari balon yang tidak lolos pendaftaran di kabupaten ini berlangsung  anarkis. Selain sang calon melakukan penyanderaan terhadap Ketua dan anggota KPUD Nisel, kelompok massa mereka juga membakar Kantor Camat Teluk Dalam dengan menggunakan bom molotov.

Politik kekerasan massa telah menjadi modus sejumlah kandidat yang tidak puas dengan pelaksanaan pilkada. Sejumlah pihak mengkaitkan hal ini dengan kinerja penyelenggara pilkada yang dipandang belum maksimal. Termasuk adanya sikap partisan terhadap pasangan calon tertentu sehingga memicu ketidakpuasan calon pasangan lain. Ada juga pendapat soal tumpang tindih aturan main yang berlaku. Analisis lain menyebut soal ketidakdewasaan politik pasangan calon. Sistem rekrutmen sumber daya politik berubah, namun budaya politik aktor politik masih tetap menggunakan langgam lama. Sejumlah elit politik ditengarai lebih suka menggunakan politik otot (kekerasan massa), daripada mengelola konflik dengan otak. Akibatnya nota kesepakatan pilkada damai hanya indah di atas kertas.

Persoalannya, apa sumbangan yang dapat diberikan media siaran untuk ikut membangun terselenggaranya pilkada damai 2008 di Sumut? 

“Menyuntik” Perilaku Pemilih

Tidak dapat dipungkiri, media siaran, khususnya televisi, memiliki peran penting dalam pelaksanaan pilkada Sumut. Kesadaran calon kepala daerah menggunakan media siaran, tidak terlepas dari dampak yang ditimbulkan dalam mempengaruhi perilaku politik pemilih. Beberapa ahli komunikasi percaya bahwa media siaran televisi, mampu membentuk opini dan memperkuat keyakinan seorang pemilih. Misalnya studi yang pernah dilakukan McCombs dan Shaw, yang menemukan korelasi sangat kuat antara pemeringkatan isu yang dibuat media dengan pemeringkatan isu oleh para pemilih. Termasuk adanya sensitivitas media terhadap perhatian para pemilih (David Weaver: 1999).

Penayangan rekam jajak pendapat calon, juga dipercaya telah mempengaruhi pemilih yang semula belum belum punya pilihan terhadap kandidat. Sejumlah ahli komunikasi menengarai adanya efek bandwagon pada penayangan hasil jajak pendapat. Kandidat yang muncul sebagai pemenang hasil jajak pendapat, kemungkinan akan dipilih oleh pemilih yang belum menentukan pilihan tersebut. Mereka akan terdorong mengikuti  sikap seperti yang diambil oleh responden mayoritas yang dilibatkan dalam jajak pendapat.   

Itu soal dampak televisi. Dalam menjalankan fungsi mediasi antara calon dengan pemilih, ahli komunikasi juga percaya bahwa televisi telah mengambil sebagian peran partai politik. Mereka menyebutnya mediated politics atau media driven politics. Artinya, proses memproduksi dan mereproduksi berbagai sumber daya politik, seperti menghimpun dan mempertahankan dukungan pemilih, memobilisasi dukungan publik terhadap suatu kebijakan yang dikampanyekan, merekayasa citra kinerja calon, banyak dijembatani, atau bahkan dikemudikan oleh kepentingan dan kaidah-kaidah yang berlaku di pasar industri media (Deddy N Hidayat: 2004).

Itu berarti, pemberitaan televisi bisa “menyuntik” aspek kognisi sekaligus psikomotorik pemilih dalam menjatuhkan pilihan politik mereka. Pada posisi seperti inilah, persoalan bingkai pemberitaan media penyiaran dalam meliput seluruh tahapan dan berbagai pernik yang muncul selama pilkda Gubsu 2008, menjadi penting untuk didiskusikan. Teristiwa ketika media siaran meliput konflik yang mengiringi proses dan tahapan pilkada 2008 Sumut. 

Bingkai Pemberitaan untuk Pilkada Damai

Yang jelas, meliput konflik, bukan hal asing bagi reporter. Sama tidak asingnya jika ada reporter televisi atau radio, yang terkena kekerasan saat meliput peristiwa konflik. Bahkan tidak sedikit reporter yang tewas ketika meliput peristiwa kekerasan, semisal perang. Sebagai gambaran, menurut Reporter Sans Frontiers (RSF), selama periode 1995 – 2005, sebanyak  433 jurnalis tewas ketika meliput berbagai peristiwa kekerasan.

Itulah resiko yang dihadapi reporter saat meliput konflik. Namun yang tidak kalah beresiko adalah ketika reporter membingkai peristiwa konflik yang diliput. Sebagaimana diketahui, bagi media massa, konflik dapat diibaratkan seperti seorang penambang yang menemukan sebutir emas! Hasil pemantauan Koalisi Media terhadap pemberitaan media pada Pemilu 2004, dapat dijadikan bukti. Koalisi 11 LSM tersebut menemukan kencenderungan pemberitaan media yang menjadikan pemilu lebih sebagai arena balap kuda (horse race). Media lebih sering mem-blow up konflik yang muncul, baik antara lembaga penyelenggara pemilu (KPU – Panwaslu), konflik di tubuh parpol maupun massa pendukung.

Konflik memang tidak mungkin dihindari. Bahkan pada taraf tertentu harus dibutuhkan untuk mendinamisasi kehidupan sosial. Namun memberitakan atau menayangkan konflik yang bermuatan kekerasan, membutuhkan perspektif yang lebih arif. Media siaran, tidak bisa lagi menggunakan perspektif lama, alias perspektif perang. (Bersambung)

** Tulisan ini dimuat di harian Medan Bisnis, 8 Desember 2007

Perpustakaan Sebagai Pusat Wisata Karya Peradaban (2)

Mengutip Soeatminah, peran perpustakaan saat ini memang tengah berada dalam situasi transisi. Jika pada sebelumnya perpustakaan lebih berfungsi sebagai gudang buku (Store House Period) dan memberikan fungsi layanan (Service Period) kepada pengguna yang ditandai dengan meningkatnya jumlah koleksi pustaka dan jumlah masyarakat pemakai, maka dewasa ini perpustakaan tengah menuju pada fungsi pendidikan dan penelitian (Educational and Research Period). Perpustakaan pada tahap ini berfungsi sebagai tempat untuk mendidik dan mengembangkan masyarakat penggunanya. Perpustakaan dituntut untuk mampu memberi kepuasan kepada masyarakat pemakainya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama bagi mereka yang betul-betul menekuni bidang ilmunya. Perpustakaan bagi pendidik dan peneliti merupakan penyalur informasi sekaligus sebagai sumber inspirasi. (Subhan: http://blog.360. yahoo.com).

Tantangan yang dihadapi pengelola perpustakaan memang tidak ringan. Saat ini mereka juga berhadapan dengan lembaga penyedia jasa yang beroperasi di dunia maya. Beberapa literatur klasik telah tersedia di perpustakaan maya yang bisa diakses dari tempat manapun asal tersedia perangkat internet. Sejumlah situs bahkan menawarkan buku digital, yang dapat di-download secara gratis. Bahkan sejumlah naskah kuno yang biasanya hanya bisa diakses di perpustakaan atau para kolektor buku kuno, kini sebagian sudah mulai tersedia di dunia maya. Di sisi lain, dengan makin banyaknya area hot spot di sejumlah ruang publik, seperti hotel, cafe, dan plaza yang dapat dimanfaatkan secara gratis, proses pemilikan dokumen digital yang berasal dari bahan cetak menjadi lebih mudah dan praktis.   

Pusat Produksi Literasi Daerah

Hal lain yang perlu dipikirkan pengelola Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumut adalah memfasilitasi kebangkitan budaya literasi masyarakat Sumut. Jika merunut sejarah jauh ke belakang, tradisi penulisan, yang sekaligus mengindikasikan kesadaran membaca, pernah muncul di sekitar abad 19.  

Kita misalnya mengenal Parada Harahap, yang menerbitkan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempuan pada 1919. Selain dikenal sebagai wartawan yang kerap keluar masuk tahanan akibat tulisannya yang menyerang pemerintah kolonial Belanda, Parada Harahap juga produktif menulis buku. Diantaranya yang mashur adalah Journalistic in Indie yang terbit tahun 1924, dan Journalistic in America yang terbit tahun 1925. Parada juga menerbitkan buku Dari Pantai ke Pantai yang merupakan kumpulan laporan perjalanannya ke pusat-pusat perkebunan rakyat di Jambil, Palembang, Sumatera Barat, Rapanuli dan Sumatera Timur.

Wartawan yang juga penulis buku produktif lain misalnya Mohammad Said, salah seorang pendiri Waspada, sekaligus intelektual otodidak yang mempunyai sejumlah karya monumental: Aceh Sepanjang Abad (dua jilid), Koeli kontrak, Medan Area Mengisi Proklamasi, Sejarah Pers di Sumatera Utara Dengan Masyarakat Yang Dicermatinya (1885 – Maret – 1942), Soetan Koemala Boelan (Flora), Raja Pemimpin rakyat, wartawan, Penentang Kezaliman Belanda masa 1912-1932 dsb.

Ada juga Hasbullah Parinduri yang menggunakan nama pena Mutu Mona. Sejak tahun 1930-an Hasbullah Parinduri aktif menulis buku roman dan pengetahuan populer lainnya, misalnya: Pacar Merah Indonesia, Harta Terpendam (roman), biografi M Husni Thamrin, WR Soepartman dsb.   

Namun produksi karya-karya intelektual tersebut seolah terputus begitu saja. Berbagai narasi budaya dan peradaban yang lahir dari warga Sumut yang beragam, kini justru dieksploitasi dan dijadikan objek kajian para peneliti atau intelektual dari luar Sumut. Akibatnya banyak narasi sejarah kontemporer yang terjadi di Sumut, justru harus diakses di perpustakaan-perpustakaan universitas luar negri. Akibatnya tidak jarang sejumlah anak muda dari suku dan budaya tertentu harus mempelajari budaya mereka sendiri dari orang lain. Bahkan tragisnya dari sarjana asing yang notebene bukan berasal dari peradaban yang subjek yang ditulisnya!

Dalam konteks sebagai media untuk memperkaya khasanah intelektual, terutama lewat pengadaan berbagai literatur bermuatan content lokal, Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumut dapat berperan sebagai pusat produksi sejumlah karya literasi warga Sumut.

Ada dua fungsi yang bisa diperankan dalam hal ini, yaitu fungsi seleksi dan pembiayaan. Fungsi seleksi berhubungan dengan kegiatan menseleksi naskah-naskah penelitian yang berasal dari kalangan perguruan tinggi, LSM atau instansi-instansi lain. Naskah juga bisa berasal dari makalah-makalah ilmiah atau artikel yang diterbitkan jurnal ilmiah maupun surat kabar. Sudah tentu, hasil penelitian, makalah atau artikel ilmiah yang hendak diterbitkan disaring oleh sebuah tim yang dibentuk untuk keperluan tersebut. Adapun subjek penerbitan bisa beragam, mulai dari sejarah, budaya, politik, hukum dan beragam topik lainnya. Fungsi seleksi juga dapat menggunakan mekanisme kompetisi penulisan buku dengan topik tertentu.

Sedangkan fungsi pembiayaan terkait dengan dimasukannya kegiatan seleksi dan penerbitan buku dalam APBD Sumut. Jika mungkin memperoleh dukungan dari APBD kabupaten. Jika fungsi seleksi dan penerbitan karya-karya intelektual warga Sumut bisa difasilitasi Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumut, maka penerjemahan fungsi arsip tidak lagi sekedar bersifat pasif, tapi aktif. Barangkali ini merupakan sumbangan terbesar yang bisa diperbuat oleh pengelola Perpustakaan dan Arsip daerah Sumut.

Gagasan menjadikan perpustakaan sebagai pusat wisata baca sekaligus harus beriringan sebagai pusat wisata karya narasi peradaban masyarakat Sumut. Dengan demikian tidak hanya warga Sumut saja yang dapat menikmati, tapi juga turis mancanegara atau “turis akademik” yang hendak memperkaya wawasan mereka. Semoga. (Selesai)

Tulisan ini dimuat di Medan Bisnis, 1 Desember 2007

Perpustakaan Sebagai Pusat Wisata Karya Peradaban (1)

Laporan UNDP tahun 2003 yang meneliti tentang minat baca masyarakat, menyebutkan bahwa dari 41 negara yang diteliti, masyarakat Indonesia menduduki peringkat ke-39. Memang bukan posisi bontot. Namun hasil penelitian tersebut tetap saja membuat kita mengelus dada. Soalnya walau laporan UNDP sudah berusia 4 tahun, namun sampai detik ini, kenyataan itu tak jauh api dari panggang: minat baca masyarakat memang masih rendah.

Sudah banyak analisis diberikan pakar untuk mengurai soal rendahnya minat baca masyarakat. Misalnya yang mengkaitkan dengan faktor ekonomi. Harga buku, majalah atau surat kabar yang mahal dituding sebagai penyebabnya. Soalnya, hal ini mengakibatkan warga dari golongan ekonomi menengah ke bawah tak bisa menambah “gizi intelektual” mereka. Seorang praktisi dunia perbukuan menyebut faktor kurikulum pendidikan di sekolah yang kurang merangsang tumbuhnya kultur baca pada subyek didik. Soalnya subyek didik dinilai terbiasa “disuapi” pengetahuan secara lisan. Hal ini terjadi akibat dominannya penggunaan metode ceramah selama proses belajar mengajar berlangsung. Analisis lain menyebut peran perpustakaan, khususnya milik pemerintah daerah, yang keberadaannya bak pepatah “mati tak mau, hidup pun segan”. Artinya, perpustakaan dikelola “seadanya” dan pada gilirannya kurang diminati warga.

Sudah tentu, tidak ada faktor tunggal yang mempengaruhi rendahnya minat baca warga. Seperti juga tidak mungkin menyalahkan satu pihak sebagai penyebab utama kemorosotan minat baca. Yang jelas, upaya menumbuhkan minat baca, melibatkan banyak pemangku kepentingan (stake holders). Termasuk lintas kepentingan. Semisal peran pemerintah (daerah), kalangan akademisi/pengajar, industri perbukuan, media massa, kalangan swasta dsb. Semua kontribusi dari para pemangku kepentingan, kelak saling berkelindan sehingga memfasilitasi tumbuhnya minat baca warga.

Mengingat keterbatasan ruangan di sini, tulisan ini hanya menyoroti salah satu peran pemangku kepentingan, yaitu pihak Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumut. Sebagaimana diketahui, keberadan perpustakaan daerah Pemprov Sumut berada di bawah pengelolaan Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah (Baperasda Sumut). Jika bahasan tulisan dipusatkan ke institusi tersebut, hal ini tidak lepas dari konteks kesejarahan masyarakat Sumut, yang dalam kurun waktu tertentu pernah ditandai dengan “kultur” literasi yang cemerlang. Diharapkan lembaga ini ke depan mendorong lahirnya kompetisi literasi yang sehat. 

Perubahan Paradigma

Motto “perpustakaan adalah jantung ilmu pengetahuan” sudah diamini banyak pihak. Namun bagaimana mewujudkan motto tersebut ke dalam praksis kehidupan di tengah-tengah warga, merupakan tantangan tersendiri. Tidak hanya dibutuhkan ide-ide kreatif dari para pengelola perpustakaan, tapi juga dukungan anggaran yang memadai. Belum lama ini terbetik berita tentang rencana Kepala Baperasda Sumut, Drs. Syaiful Syafri, MM, menjadikan Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumut sebagai tempat wisata baca, diskusi dan penelitian.

Gagasan tersebut tentu saja patut didukung. Walau pemberitaan pers tidak merinci seperti apa konsep “wisata baca, diskusi dan penelitian” tersebut, kesanalah arah “roh” tulisan ini dibuat. Harapannya agar gagasan ini disauti, dan dijadikan debat publik untuk menyumbang peningkatan kapasitas dan kinerja seluruh SDM yang terlibat dalam mengemudikan institusi tersebut.

Persoalannya, bagaimana menerjemahkan gagasan tersebut menjadi kenyataan, sehingga pengunjung perpustakaan, atau warga yang memanfaatkan jasa perpustakaan serasa berada di tempat wisata yang serba menyenangkan? Apa saja sarana yang mesti disediakan agar para peneliti, baik peneliti asing maupun dari luar daerah, betah duduk berjam-jam, bahkan mungkin berhari-hari ketika melakukan riset dengan menggunakan data sekunder yang tersedia?

Pertama-tama hemat penulis dibutuhkan perubahan paradigma. Seperti juga diakui oleh Kepala Baperasda Sumut. Sudah saatnya kata perpustakaan diubah maknanya dari kata benda (yang menunjuk pada gedung dan ketersediaan buku dan sumber referensi lain), menjadi kata kerja (berbagai kegiatan dari pengelola yang dapat merangsang minat kunjung dan minat baca warga). Sebuah eksperimen menarik pernah dilakukan Pengelola Perpustakaan Daerah Jakarta Selatan dan Jakarta Barat. Pengalaman tersebut dapat dijadikan bahan perbandingan. Bekerjasama dengan sebuah LSM Jakarta (Yayasan PAKTA), dan didukung pendanaan dari Coca Cola Foundation Indonesia, kedua perpustakaan daerah tersebut mengintrodusir perpustakaan digital sebagai pusat pembelajaran warga.  

Strateginya dengan mengintrodusir teknologi informasi dan pengadaan bahan-bahan informasi berbasis teknologi informasi. Misalnya pengadaan kaset-kaset VCD yang berisi serial pengetahuan populer lengkap dengan CVD playernya. Berbagai mainan edukatif untuk anak usia TK dan SD juga disediakan dalam jumlah memadai. Aktifitas perpustakaan yang semula bersifat individual, dalam arti hanya diisi kegiatan membaca secara individual, diubah menjadi kegiatan bersama karena ujungnya terbentuk komunitas warga yang melakukan kegiatan pemutaran film dan diskusi.

Kehadiran dokumen-dokumen digital, telah mendorong pengunjung membentuk sebuah kelompok diskusi, yang secara reguler melakukan pertemuan mendiskusikan topik-topik sesuai minat anggota kelompok. Tidak jarang isu yang diangkat adalah isu aktual seperti merebaknya penyebaran HIV/AIDS atau penyalahgunaan narkoba. Namun tidak jarang juga topik yang sangat praktis, semisal bagaimana berkebun kopi. Dalam kegiatan diskusi, biasanya dihadirkan seorang narasumber yang diundang secara khusus untuk mengomentari topik yang dipilih.

Beberapa ruang perpustakaan juga diubah fungsinya mitip shelter untuk penitipan anak-anak. Hal ini dilakukan pengelola perpustakaan merespon situasi lingkungan. Di sekitar gedung perpustakaan memang banyak bangunan Play Group, TK dan SD. Usai jam belajar, banyak anak-anak usia TK – SD tersebut yang menunggu jemputan orangtua. Jeda waktu menunggu jemputan yang berjam-jam karena situasi lalu lintas yang sering tidak bisa diprediksi, membuat sejumlah orangtua merasa lebih aman “menitipkan” anak mereka di shelter perpustakaan. Bagi sejumlah orangtua, sheltr itu menjadi tempat alternatif yang paling aman sekaligus edukatif untuk anak-anak mereka.  

Kerjasama tersebut juga menghasilkan perubahan lain. Waktu layanan perpustakaan misalnya ditambah. Jika sebelumnya hari Sabtu dan Minggu perpustakaan libur, maka setelah diadakan survey pengunjung, pengelola perpustakaan mengubah kebijakan tersebut. Hasil survey justru menunjukkan tingginya minat pengunjung untuk memanfaatkan perpustakaan pada hari Sabtu dan Minggu. Soalnya itulah hari bebas bagi pengunjung, yang umumnya merupakan anak-anak setingkat SLTP dan SLTA. Rata-rata jumlah pengunjung perpustakaan pada hari Sabtu – Minggu mencapai 100 – 200 orang.

Di sisi lain, seperti hakikatnya sebagai perpustakaan digital, berbagai jenis dokumen cetak juga diubah dalam bentuk format digital. Dokumen-dokumen tersebut kemudian disimpan dalam komputer pusat (server) yang dapat diakses dengan cepat dan mudah lewat jaringan komputer lain yang tersedia. Era teknologi informasi memang mengharuskan SDM pengelola perpustakaan untuk bersikap kreatif dan adaptif. Jika tidak, maka bukan hal mustahil kalau perpustakaan berubah menjadi musium. Ia akan diberlakukan bak “benda antik” yang menjadi objek tontonan para turis. Tentu situasi seperti ini harus dihindari. (Bersambung)

Tulisan ini dimuat di harian Medan Bisnis, 1 Desember 2007