Saatnya Menyiasati “Sihir Televisi”

Oleh: J. Anto
Direktur Eksekutif KIPPAS
(Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera)

Si “kotak ajaib” (televisi), kini lebih pantas dijuluki sebagai “kotak sihir”. Ibarat Pipiot, nenek penyihir dalam sinetron Cerita Dari Negeri Dongeng yang mampu mengubah segala sesuatu dalam hitungan menit, acara-acara TV kini juga mampu “menyihir” benak pemirsa. Tak peduli pemirsa dewasa, remaja, orangtua ataupun anak-anak. Seorang ibu mengeluh karena anaknya yang berusia 3,5 tahun belakangan berkata cedal dan tergagap-gagap. Rupanya si anak, demikian penuturan sang ibu dalam suratnya yang dimuat sebuah harian Jakarta, suka menonton sinetron Si Yoyo. Nah, di sinetron yang dikhusukan untuk orang dewasa tersebut memang menampilkan seorang tokoh pemuda lugu, dan terkesan nyaris bego, yang gaya bicaranya serba cadel dan tergagap-gagap.

Beberapa waktu silam, pemirsa juga dikejutkan dengan berita seorang anak yang masuk ke lemari es! Si anak rupanya “tersihir” dengan iklan permen Frozt, yang memvisualkan seorang gadis muda yang masuk ke lemari es karena merasa panas. Baru setelah menelan permen Frozt, si gadis merasa lega! Eh, bukannya membeli permen Frozt, si anak malah “tersihir” masuk ke lemari es!

Masih banyak data tentang dampak program televisi yang mempengaruhi, sebagian ahli komunikasi mengatakan memperkuat, perilaku masyarakat. Berikut beberapa dampak sihir televisi yang muncul di AS.

Ketika film The Three Stooges menjadi populer di televisi, seorang guru Taman Kanak-Kanak memberitahu Benjamin Spock, seorang peneliti di bidang pediatrik, bahwa secara tiba-tiba anak-anak mulai saling pukul kepala tanpa peringatan. Ketika sang guru memberitahu bahwa seorang anak yang baru saja memukul anak lainnya bahwa memukul itu tidak baik, anak itu tidak memperlihatkan tanda-tanda menyesal, malah berkata, “Itulah yang dilakukan oleh the Three Stooges”.

Pada 1984, setelah Farrah Fawcett bermain dalam The Burning Bed, sebuah drama televisi yang bercerita tentang kisah nyata mengenai seorang istri yang sering dipukul, yang mengakhiri siksaan perkawinan selama tigabelas tahun itu dengan menaruh api di atas tempat tidur yang sudah disiram bensin ketika suaminya sedang tertidur, maka sejumlah hal serupa terjadi di negara itu. Di Milwaukee, Joseph Brandt (39 tahun) menonton pertunjukan televisi itu dan tidak lama sesudah itu menyiram bensin ke atas istrinya dan membakarnya. Di Quincy, Massachusetts, seorang suami menjadi marah oleh film itu, dan memukul istrinya. Di Chicago, seorang istri yang sering dipukul, menonton pertunjukan itu dan kemudian menembak suaminya (Wiliiam F. Fore: 2002).

Itulah sihir televisi, yang setiap hari kini telah menyelinap masuk ke ruang-ruang keluarga, ruang tidur, ruang kantor dan ruang-ruang lainnya yang dimana si “benda sihir” gampang diletakkan. Televisi kini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, baik di perkotaan maupun pedesaan. Televisi kini teronggok di ruang keluarga, kamar tidur, kantor-kantor, ruang satpam sampai di warung-warung kaki lima.

Memperkuat atau Mempengerahui?
Namun di kalangan para ahli, masih terjadi debat panjang tentang pengaruh media massa, khususnya televisi, terhadap perilaku masyarakat. Setidaknya ada tiga tahapan penelitian yang bisa dijadikan rujukan bagi masyarakat dalam menilai dampak media massa. Penelitian pertama mengikuti rentang waktu dari awal abad ke 19 hingga akhir tahun 1930-an. Pada kurun ini, hasil penelitian menunjukan bahwa media massa yang berkembang dengan baik mengembangkan pengaruh yang cukup signifikan untuk membentuk opini dan keyakinan serta mengubah kebiasaan hidup masyarakat. Secara aktif media juga membentuk perilaku yang kurang lebih sesuai dengan keinginan orang-orang yang dapat mengendalikan media massa dan isinya (Bauer dan Bauer, 1960).

Tahap kedua dimulai dengan serangkaian studi Payne Fund di Amerika Serikat pada awal tahun 1930-an (Blumer, 1993: Blumer dan hauser, 1933, Peterson dan Thurstone, 1933), berlanjut hingga awal tahun 1960an. Menurut Joseph Klapper (1960), komunikasi massa biasanya tidak menjadi penyebab yang pasti dan memadai atas efek yang muncul pada khalayak, namun komunikasi massa lebih berfungsi diantara dan melalui hubungan dengan faktor-faktor dan pengaruh-pengaruh yang dimediasinya.

Sedangkan tahap ketiga, merupakan tahap di mana dampak dan kemungkinan dampak masih sedang ditelaah, tanpa menolak kesimpulan penelitian sebelumnya, tetapi didasarkan atas perbaikan konsepsi tentang proses sosial dan media yang mungkin terlibat (Denis McQuail: 1996.

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, McCombs dan Shaw (1972) dari School of Journalism University of North Carolina melakukan studi tentang pemilihan presiden tahun 1969 dengan fokusnya efek agenda setting media dan bukan efek media terhadap perubahan sikap dan opini. Hasilnya, McCombs dan Shawv menemukan adanya korelasi sangat kuat antara pemeringkatan isu yang dibuat media dengan pemeringkatan isu oleh para pemilih, atau adanya sensitivitas media terhadap perhatian para pemilih (David Weaver, 1999).

Hasil-hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa media massa memang memiliki potensi untuk mempengaruhi dan memperkuat perilaku seseorang.

Persoalannya, apakah program-program televisi, khususnya program non berita, memiliki dampak memperkuat nilai-nilai budaya, religisiotas, dan mengasah hati nurani serta akal sehat masyarakat, atau justru sebaliknya? Apakah program-program seperti sinetron, kisah nyata, tayangan misteri, pertunjukan dangdut, justru membantu menumbuh-suburkan dan sekaligus memperkuat nilai-nilai mistik dan ketahyulan?

Bagi para pemodal atau pengelola stasiun televisi, jelas acara tersebut dipandang semata sebagai hiburan thok! Tanpa perlu diberi embel-embel atau label lain dibelakangnya. Dengan menggunakan logika rating, yang isi pertanyaannya sering “menghina” isi kepala responden, para pengelola stasiun televisi selalu berdalih, kalau penonton suka, anda mau apa?

Memahami Peta Ideologi Media Massa
Bahwa ada sebagian masyarakat yang menyukai tayangan sejenis buser atau goyang dangdut model Anissa Bahar atau Inul Daratista, adalah sebuah fakta. Namun ada juga fakta bahwa sebagian masyarakat tidak menyukai acara-acara yang berbau mistik dan mengclos-up paha dan dada yang serba (setengah) terbuka!

Dalam konteks kebebasan berekspresi, masyarakat memang tak perlu saling menindas selera orang yang berbeda-beda. Goyang Inul dan Anissa Bahar memang tak perlu dilarang. Soalnya budaya main larang, jelas merupakan bibit-bibit dari ororitarianisme. Apalagi jika budaya main larang tersebut kemudian dilembagakan dan dijaga oleh aparat negara. Maka orde baru jilid kedua, ketiga dan seterusnya bakalan muncul kembali. Yang diperlukan barangkali adalah pembatasan dan regulasi penayangan acara-acara tersebut. Misalnya pengaturan bahwa tayangan goyang dangdut yang serba syuur dipindah jam siarnya di atas jam 24.00 WIB. Sebuah waktu dimana diperkirakan anak-anak sudah tidak lagi mengkonsumsi tayangan televisi.
Soalnnya program-progrram televisi, tak melulu dibuat karena mengikuti selera pemirsanya. Tapi televisi, termasuk media cetak, juga aktif membentuk selera pemirsa lewat program atau pemberitaan mereka! Media massa mempunyai agenda settingnya sendiri dalam mempengaruhi dan membentuk selera konsumennya. Termasuk membentuk nilai-nilai masyarakat agar sesuai dengan nilai-nilai yang ada di kepala para pembuat keputusan di media.

Mengutip Daniel Hallin, ada tiga peta ideologis atau nilai yang dianut orang-orang media, dalam konteks fungsi agenda setting.

Pertama yang disebut nilai penyimpangan (sphere of deviance). Dalam peta ideologis ini, gagasan, peristiwa, atau perilaku tertentu dikucilkan dan dipandang menyimpang oleh masyarakat, termasuk media massa. Ini semacam nilai yang dipahami bersama bagaimana peristiwa secara umum dipahami secara sama antara berbagai anggota komunitas. Contohnya untuk waktu yang lama peristiwa pemberontakkan PKI masuk dalam wilayah ini. Peristiwa itu dikutuk, dipandang sebagai sesuatu yang buruk dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut komunitas. Juga perilaku gay, dipandang menyimpang.

Nah, media massa berperan sangat besar dalam mengikis nilai-nilai penyimpangan tersebut. Hal ini misalnya dapat teramati dengan sejumlah program televisi, yang banyak menampilkan kehidupan kaum gay, lesbian, dan orientasi seks yang berbeda sebagaimana lazimnya. Pada tahap tertentu, sebagian masyarakat di perkotaan, bahkan telah mengadopsi gaya hidup gay atau lesbian tersebut.

Kedua, nilai kontroversi (sphere of legimate controversy). Realitas masih dianggap menyimpang dan buruk, namun dalam realita ini masih diperdebatkan. Contohnya adalah maraknya kasus kumpul kebo atau hidup serumah antara pasangan yang berbeda jenis kelamin tanpa nikah. Tahun 1980-an, masyarakat digemparkan oleh hasil angket yang dilakukan seorang pelajar SMA di Yogyakarta. Angket itu, menyimpulkan bahwa para mahasiswa yang kuliah di Yogyakarta sudah jamak melakukan kumpul kebo! Namun setelah hampir 20-an tahun, sikap masyarakat terhadap fenomena kumpul kebo mulai berubah. Media massa, jelas memiliki peran yang tidak kecil dalam mempengaruhi nilai-nilai masyarakat.

Ketiga adalah nilai konsensus (sphere of consensus). Dalam wilayah ini, peristiwa tertentu dipahami dan disepekati secara bersama-sama sebagai relitas yang sesuai dengan nilai-nilai ideologi yang dianut masyarakat.

Yang perlu diwaspadai masyarakat adalah ketika kekerasan, darah dan mistikisme, yang oleh sebagian besar masyarakat masih merupakan nilai-nilai yang kontrovesial, secara intensif terus-menerus diproduksi dan dijadikan acara-acara unggulan televisi. Yang perlu diwasapadai adalah ketika tontotan kekerasan dan sadisme, tontonan yang memupuk irasionalitas atau penumpulan daya pikir serta mendorong semakin submisifnya nilai-nilai seks bebas, tiap hari menyerbu kamar-kamar keluarga, ruang tidur sampai ruang-ruang tamu anak-anak kost! Yang perlu juga diwaspadai adalah tayangan-tayangan televisi yang ikut mengekalkan nilai-nilai ketidakadilan terhadap kaum perempuan, bahkan tidak jarang ada yang mengolok-olok kelompok penyandang cacat semata untuk membangkitkan tawa pemirsa!

Soalnya bukan mustahil, suatu saat media massa berhasil menggeser nilai-nilai yang masih kontroversial menjadi nilai-nilai yang diamini oleh mayoritas masyarakat (konsesuns).

Menjadi Penonton Yang Kritis
Kekuatan sihir televisi memang luar biasa. Ia bisa bertahan sampai 24 jam nonstop! Oleh karena itulah perlu diupayakan gerakan untuk membangun kesadaran kritis masyarakat dalam menilai program-program televisi. Dibutuhkan suatu usaha untuk membangun kesadaran kritis pemirsa televisi agar bisa menyiasati sihir si Pipiot!

Misalnya dengan tidak jemu membuat surat protes dan melayangkan ke stasiun televisi bersangkutan, jika memang ada acara-acara yang tidak berkenan. Kedua, menulis surat protes terbuka di surat kabar untuk menggalang dukungan yang lebih luas. Ketiga, melakukan aksi demokrasi langsung, tanpa berpretensi untuk menjadi hakim atau jaksa terhadap kebebasan berekspresi. Keempat, jika perlu, mengadu ke anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Pasal 8 ayat 1 UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 menyatakan bahwa KPI merupakan wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. KPI juga diamanatkan untuk menginvestigasi pengaduan-pengaduan masyarakat dan memberi sanksi terhadap industri penyiaran jika memang terbukti melanggar berbagai ketentuan program siaran dan kode perilaku penyiaran yang ada.
Jadi, marilah saatnya kita menjadi penonton yang kritis, bukan sekedar penonton yang dijual kepalanya untuk keperluan rating para pemilik moda televisil!

Jurnalisme “Panik”, Di Tengah Publik Yang Panik

Oleh J Anto
Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS) Medan

“Kematian Iwan dan dua anaknya tidak hanya menggemparkan warga Pondok Cempaka II, Vila Melati Mas, Serpong, Tangerang. Indonesia pun geger. Kematian yang didahului penyakit pernapasan memicu isu flu burung. Dalam sekejap, para konsumen mulai menjauhi ayam. Bisnis ayam sontak merosot. isu flu burung bagai teror bom yang menakutkan” (Investor Daily, 21/7/2006).
“Informasi yang simpang siur tentang penyakit flu burung saat ini membuat masyarakat panik. Masyarakat merasa takut dengan ancaman penyakit yang mematikan itu …..” (Sinar Indonesia Baru,19 Juli 2005).
“Walau wakil presiden dan para menteri sudah mempromosikan makan ayam, tapi flu burung masih menjadi momok di negeri ini. Kemarin, Sayuti, 32 tahun, seorang guru Tsnawiyah di Percutseituan, dilarikan ke RSUP H Adam Malik karena dicurigai mengidap penyakit yang disebabkan virus avian influenza tersebut”. (Sumut Pos, 3/8/2006)
Kutipan teks berita di atas masih bisa diperpanjang lagi. Namun pesan yang hendak dibangun pers sudah terang. Menurut pers, virus flu burung telah “mengganas”, menimbulkan “kepanikan” dan “menggegerkan” masyarakat. Tak hanya di kalangan warga biasa “kepanikan” itu terjadi, tapi juga di kalangan pejabat dan pekerja medis. Simak misalnya perintah Menkes Siti Fadilah Supari untuk “menangkap” pasien flu burung, dan imbauannya agar masyarakat tidak mengkonsumsi ayam dan telor ayam (“Menkes Minta Puskesmas Tangkap Pasien Flu Burung”, Waspada, 26/2/06). Atau pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa wabah flu burung lebih parah dari tsunami (Waspada, 24/10/06).
Di Medan, Sumatera Utara, liputan “kepanikan pers” tergambar ketika pers menyesalkan keberangkatan dua orang Camat Medan yang berangkat studi banding ke luar negeri, walau daerahnya terkena flu burung (“Enam Camat Daerah Flu Burung Bepergian Ke LN, DPRD Belum Respon”, Waspada, 27/7/06). Menurut pers, kedua Camat itu dinilai tidak peduli terhadap “kepanikan” warga. Pers juga menuturkan “keberangan DPRD Sumut karena virus flu burung bisa `lolos’ ke Sumut, sementara pemerintah daerah telah menganggarkan Rp 12 milliar untuk mencegah penyebaran virus flu burung ke Sumut” (Sinar Indonesia Baru, 22/7/06).
Di Binjai, sekitar 20 KM arah barat kota Medan, enam orang peternak di Komplek Pahlawan, diberitakan “secara klinis terindikasi flu burung”. Hal ini, demikian pmberitaan pers, didasarkan pada hasil pemeriksaan medis oleh Puskesmas Kebun Lada. Ke enam orang tersebut kemudian diperiksa secara intensif di RSUP H Adam Malik. Ketika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa keenamnya dinyatakan tidak terindikasi virus flu burung, pers tetap menulis berita tersebut. Judulnya: “Pasien Terindikasi Flu Burung Dirawat di RS Adam Malik”.
Ketika pejabat publik tak lagi dilanda rasa panik, misalnya belakangan seperti ditunjukkan Wakil Presiden dan para menteri yang mempromosikan masyarakat untuk tak lagi takut makan ayam, pers tetap menulis bahwa virus flu burung masih merupakan “momok”.

Strategi Pengerasan Fakta
Fakta media (berita) memang tak lagi sekedar cermin atau pantulan dari realita. Jurnalis dengan dengan segala subjektifitasnya mendefinisikan realita sesuai dengan perspektif dan kepentingan mereka. Jurnalis secara sadar melakukan proses pembingkaian ketika merekonstruksi realitas. Pembingkaian adalah proses seleksi berbagai aspek realitas dan menjadikan realitas hasil seleksi itu menjadi lebih menonjol dalam pemberitaan. Penonjolan aspek realitas atau isu ditujukan agar informasi menjadi lebih menarik pembaca.
Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan instrumen utama untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Selanjutnya penggunaan bahasa (simbol) tertentu menentukan format narasi (dan makna) tertentu. Sedangkan jika dicermati secara teliti, seluruh isi media entah media cetak ataupun media elektronik menggunakan bahasa, baik bahasa verbal (kata-kata tertulis atau lisan) maupun bahasa non-verbal (gambar, foto, gerak-gerik, grafik, angka, dan tabel).
Melalui pilihan diksi, pers membingkai suatu peristiwa sehingga menghasilkan fakta media (berita), yang bisa menggiring publik untuk memaknai fakta media tersebut sesuai dengan kepentingan pers. Dalam konteks liputan wabah flu burung, bingka pemberitaan yang menonjol adalah penggambaran pers tentang kepanikan warga dan pejabat publik. Ada beberapa strategi pemberitaan yang dilakukan pers untuk membangun bingkai pemberitaan yang menakut-nakuti tersebut. Berikut beberapa contoh kutipan teks berita tersebut:

“Penyakit flu burung (avian influenza) makin mengganas. Setelah Iwan Siswara Repel (petugas auditor BPK) dan kedua putrinya meninggal beberapa waktu lalu, kini korban terus berjatuhan. Rini Dinar (37), warga Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, juga menjadi korban keganasan virus ini” (Jawa Pos, 27/9/06).

Kata “mengganas” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), berarti menyerang dan mengamuk dengan hebatnya. Pilihan kata “mengganas” menggiring pada pemahaman bahwa virus flu burung tidak dapat dikendalikan dan akan menyerang siapa saja serta mematikan. Lihat misalnya kalimat atributif yang menerangkan sifat virus flu burung yang “ganas” tersebut: “….kini korban terus berjatuhan.” Kalimat atributif sepert iini hendak mempersuasi publik bahwa satu per satu warga meninggal akibat tertular virus flu burung.
Padahal fakta sebenarnya, secara medis penularan virus flu burung dapat dihindari dan dicegah. Misalnya dengan menjaga daya tahan tubuh seseorang dengan cara memakan makanan bergizi dan istirahat yang cukup. Upaya lain yaitu dengan mengolah atau memasak unggas dengan cara yang benar, yaitu dengan memilih unggas yang sehat (tidak terdapat gejala-gejala penyakit pada tubuhnya). Juga memasak daging ayam atau unggas sampai suhu kurang lebih 80 derajat celcius selama satu menit, dan pada telur sampai dengan suhu kurang lebih 64 derajat celcius selama 4,5 menit (Sumber: http://www.depkes. go.id).

“Untuk membendung penyebaran flu burung, petugas kesehatan harus jemput bola. Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari meminta Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) menangkap pasien flu burung. Hal itu disampaikan Menkes seusai peluncuran pemurni air minum Rahmat di kantor Menko Kesra, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (28/2)”.

Kata “menangkap”, walau jurnalis hanya mengutip pernyataan narasumber, selain kurang tepat dikenakan pada seseorang yang diindikasikan tertular virus flu burung, juga dapat membangun pemahaman seolah orang tersebut adalah pelaku kriminal. Atau orang yang disangka melakukan suatu kejahatan. Seseorang yang terkena virus flu burung jelas bukan pelaku kejahatan. Mereka adalah korban dari ketidakmampuan negara dalam melindungi kesehatan warganya dari serangan virus berbahaya. Dengan demikin korban adal person yang membutuhkan simpati dan empati, bukan malah diperlakukan seperti pelaku kejahatan. Apalagi korban di sini adalah person yang secara pribadi sebenarnya tidak menghendaki tertular virus flu burung.
Pers seharusnya bisa selektif ketika mengutip pernyataan narasumber, sekalipun narasumber itu seorang menteri. Soalnya seorang menteri, walaupun memiliki komptensi dibidangnya, namun juga tidak luput dari kesalahan. Namun di kalangan jurnalis, masih sering muncul pemahaman bawa setiap pernyataan narasumber adalah fakta. Hal ini ditambah dengan warisan langgam kerja lama yang selalu menampik fakta-fakta lain di luar sumber otoritas resmi sebagai fakta yang “tidak benar” Akibatnya prinsip verifikasi diabaikan. Namun di sisi lain, hal ini juga memperlihatkan tentang etos kerja jurnalis yang masih rendah.
Ada juga contoh kutipan teks berita yang lain:

“Komisi B DPRD Sumut sangat berang melihat kinerja Kadistan (Kepala Dinas Peternakan) Sumut yang tidak becus menangani virus flu burung, sehingga bisa `lolos’ memasuki daerah ini, padahal pencegahannya telah dianggarkan dalam APBD Sumut TA 2004 sebesar Rp 12 miliar”.

Dari teks berita tersebut, pers sebenarnya hendak menggambarkan kekecewaan Sekretaris dan seorang anggota Komisi B DPRD Sumut terhadap kinerja Kepala Dinas Peternakan Sumut, yang dipandang tidak bisa mencegah masuknya virus flu burung ke Sumatera Utara. Padahal menurut mereka, Pemprov Sumut telah menganggarkan dana Rp 12 miliar untuk melakukan pencegahan penyebaran virus flu burung.
Sudah tentu, kecewa berbeda artinya dengan berang. Sebab menurut KUBI berang artinya sangat marah, atau sangat gusar. Jika dalam lead jurnalis menurunkan kata sangat berang, itu artinya publik memahami bahwa anggota dan sekretaris Komisi B itu sangat-sangat berang! Bingkai pemberitaan seperti ini digunakan pers untuk menonjolkan bahwa anggota dewan juga sebenarnya dilanda kepanikan dengan masuknya virus flu burung ke Sumut. Karenanya mereka menjadi sangat-sangat berang!
Simak juga kutipan teks berita berikut ini:

“Walau wakil presiden dan para menteri sudah mempromosikan makan ayam, tapi flu burung masih menjadi momok di negeri ini. Kemarin, Sayuti, 32 tahun, seorang guru Tsnawiyah di Percutseituan, dilarikan ke RSUP H Adam Malik karena dicurigai mengidap penyakit yang disebabkan virus avian influenza tersebut”. (Sumut Pos, 3/8/05)

Momok menurut KUBI berarti: pertama, hantu untuk menakut-nakuti anak, kedua sesuatu yang menakutkan karena berbahaya, ganas. Virus flu burung jelas bukan hantu, ia adalah fakta medis berupa virus, yang memang berbahaya bagi manusia, khususnya jika kondisi tubuh seseorang tidak dalam keadaan bugar. Penularannya juga bukan tanpa bisa dicegah. Soalnya virus ini hanya menular dari unggas ke unggas, dan dari unggas ke manusia, melalui air liur, lendir dari hidung dan feces. Penyakit ini dapat menular melalui udara yang tercemar virus HSN1 yang berasal dari kotoran atau sekreta burung/unggas yang menderita flu burung. Penularan dari unggas ke manusia juga dapat terjadi jika bersinggungan langsung dengan unggas yang terinfeksi flu burung.
Pers juga sering memunculkan kata “dicurigai” yang dilabelkan pada seseorang yang diindikasikan (suspect) tertular virus flu burung. Pilihan diksi semacam ini sebenarnya dapat membangun kesan negatif pada korban. Mirip seperti kata “menangkap”, korban justru akhirnya diperlakukan seperti penjahat. Istilah lain yang sering digunakan untuk mengkonstruksi seorang yang meninggal karena virus flu burung adalah “tewas”. Misalnya seperti judul headline berikut: “Keluarga Iwan Tewas Kena Flu Burung, 350 orang Terus Dipantau” (Sumut Pos, 21/7/OS).
Kata tewas biasanya digunakan pers untuk prajurit atau gerilyawan yang meninggal di medan perang. Atau untuk mereka yang meninggal akibat kecelakan, atau terkena bencana alam. Pilihan kata tewas untuk merepresentasikan fakta meninggalnya keluarga Iwan akibat firus flu burung selain tidak berempati terhadap korban, juga membangun nuansa kengerian di benak publik tentang virus flu burung.
Strategi pengerasan fakta, lewat pilihan diksi yang kerap melebih-lebihkan fakta yang sebenarnya, secara jurnalistik memang mampu merebut perhatian publik. Namun pengerasan fakta di sisi lain juga dapat menimbulkan efek kepanikan publik. Politik pemberitaan seperti ini sebenarnya berkebalikan dengan yang umumnya dilakukan pers sewaktu hidup di era orde baru. Dulu pers kerap memunculkan eufimisme dalam merepresentasikan fakta yang mereka tulis. Akibatnya publik kerap dipaksa untuk membaca suatu peristiwa dibalik kata-kata resmi yang tercetak (read between the line).
Generalisasi Fakta
Strategi lain yang dilakukan pers adalah melakukan generalisasi atau asimilasi bahasa untuk memberikan efek berlebihan saat menggambarkan objek liputannya. Ketika memberitakan seorang warga di Desa Percut Seituan terindikasi virus flu burung, pers menurunkan judul berita seperti berikut: “Warga Percut Seituan Diduga Kena Flu Burung” (Sumut Pos, 3/4/06). Ketika objek berita yang hanya satu orang direpresentasikan sebagai “warga”, maka publik pembaca bisa memiliki kesan bahwa yang terkena virus flu burung adalah seluruh warga Percut Seituan.
Judul judul berita yang bias dan membangun kesan objek menjadi sangat besar juga didapati dalam judul judul berita berikut ini: “Terindikasi Ada Flu Burung di Tanah Karo” (SIB, 5/4/06). Berita tersebut sebenarnya menginformasikan tentang seekor ayam yang mendadak mati di sentra produksi yang ada di Kecamatan Juhar dan Tigabinanga, Kecamatan Kabanjahe. Berdasarkan hasil pemeriksaan darah ayam tersebut memang terindikasi terserang virus flu burung. Namun membaca judul berita SIB, yang terbangun di benak publik adalah seluruh daerah di Tanah Karo sudah terindikasi penyebaran virus flu burung.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, generalisasi fakta pada hakikatnya menunjukkan adanya bias representasi terhadap fakta yang diliput pers. Dengan melakukan generalisasi fakta, efek yang hendak dibangun pers adalah persuasi bahwa penyebaran virus flu burung sudah meluas. Biasa representasi fakta di sisi lain juga memperlihatkan bahwa paradigma yang dianut pers memang belum beranjak dari kepentingan komodifikasi informasi dalam rangka bertahan dari persaingan pasar media yang ketat.
Generalisasi fakta, misalnya melalui pemunculan nominalisasi, biasanya dilakukan oleh elit politik ketika mereka terlibat dalam kontestasi politik. Misalnya seorang politikus dari partai politik yang berideologi agama tertentu, ketika secara individual terlibat dalam perseteruan politik, untuk menambah bobot representasi kepentingan politiknya, ia mengklaim bahwa umat agama tertentu tersinggung dengan pernyataan politik dari lawan politiknya.

Identias Korban
Beberapa pemberitaan yang dikaji juga menunjukkan kecenderungan adanya upaya pers untuk menulis identitas korban secara lengkap. Misalnya berita seorang warga di Percut Seituan yang terindikasi virus flu burung, selain disebutkan namanya secara lengkap, juga disebut tempat dimana korban tinggal (nama kecamatan, kelurahan clan lingkungan). Penyebutan identitas korban secara rinci, selain mengganggu psikologis korban dan keluarganya, juga dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Di tengah masyarakat yang masih banyak didominasi cara berpikir yang kurang rasional, hal-hal yang tidak diharapkan bukan mungkin tidak terjadi pada korban.
Di sisi lain, asas keterbukaan yang menjadi ruang bagi media pers, sering disalahrtikan. Seolah-olah jurnalis berhak untuk mengaduk-aduk fakta privat korban untuk dijadikan informasi publik. Persoalannya, jurnalis sering mencampurbaurkan antara fakta personal dan fakta publik. Fakta personal merupakan domain dengan hak yang melekat secara asasi pada person bersangkutan. Seseorang memiliki hak sepenuhnya untuk menentukan apakah fakta personalnya boleh atau tidak boleh diceritakan kepada orang lain (Ashadi Siregar: 2002).
Sebenarnva kaidah jurnalisme sudah memberikan batasan sejauhmana sesungguhnya suatu takta personal boleh menjadi informasi media. Pertama dari aspek etis, menyangkut person yang bersangkutan, yaitu adanya kerelaan atau kesetujuan untuk terpublikasi. Kedua, dengan format berita yang biasa disebut sebagai human interest story. Sayangnya, human story sering dilihat hanya sebagai cerita personal yang menarik. Padahal menurut Ashadi Siregar, huma story sebenarnya dapat dikaitkan dengan tujuan jurnalisme, yaitu menyadarkan masyarakat akan fakta-fakta sosial, dan pada dataran kultural dapat mengasah penghayatan warga akan kehidupan manusia (Ashadi Siregar: 2002, hlm 45). Namun dalam banyak pemberitaan, jurnalis seolah abai dalam hal ini. Bagi jurnalis, penderitaan seseorang seringkali justru menjadi sumber komodifikasi informai, yang akhirnya mengabaikan empati kemanusiaan jurnalis terhadap korban sebagai manusia.

Pemberitaan Model Jarum Suntik
Dalam konteks untuk mencerdaskan rakyat, pers memiliki peranan yang strategis dalam mendorong rakyat untuk mengasah akal sehat mereka. Walau terjadi banyak perdebatan tentang dampak pemberitaan pers terhadap rakyat, namun sejumlah pakar komunikasi percaya bahwa pers bisa membentuk opini dan memperkuat keyakinan seseorang. Pemberitaan pers bisa menjadi faktor penguat atas keyakinan-keyakinan atau nilai-nilai yang dianut seseorang atau masyarakat.
Eksposing pers yang berlebihan terhadap pemberitaan virus flu burung, di satu sisi selain bisa mendorong terjadinya eskalasi kepanikan pembaca, juga dapat mendorong rakyat untuk melakukan tindakan-tindakan yang kurang proporsional.
Sebagai contoh ketika merebak penyebaran virus SARS sekitar tahun 2003. Pers memberitakan perilaku “aneh” sejumlah warga di Batam yang beramai-ramai menempatkan ramuan cuka dan bawang putih di pintu dan ventilasi rumah mereka agar terhindar dari virus SARS! Sekelompok masyarakat lain berusaha mencegah SARS dengan meminum minuman rebusan air kacang ijo dicampur gula aren, menghirup uap cuka putih dan rebusan kacang hijau dan ketela. Bahkan ada ada ada yang mengatakan SARS dapat dicegah dengan minum urine sendiri.
Secara medis vaksin penangkal virus SARS memang belum ditemukan. Namun belum juga ada yang membuktikan bahwa cuka putih, rebusan kacang hijau, lobak dan campuran cuka, serta bawang putih dapat menangkal virus SARS. Yang jelas, secara medis rebusan kacang hijau dan ketela berfungsi meningkatkan daya tahan tubuh karena mengandung vitamin B dan C, serta memiliki protein yang tinggi.
Munculnya reaksi yang berlebihan, yang dilakukan sejumlah warga yang panik dengan merebaknya virus SARS, jelas karena mereka kurang memperoleh informasi yang benar dari pers. Disamping itu, bingkai pemberitaan pers memang lebih menonjolkan untuk menakut-nakuti rakyat waktu itu. Simak misalnya judul judul berita berikut ini. “Seluruh warga Indonesia Diimbau Tidak Bepergian Ke Singapura. Ayah, Ibu, dan Adik dari Pelajar Warga Yang Tewas juga Terkena Virus SARS” (Sinar Indonesia Baru, 1/4/03), “Pengawasan Kesehatan Di Bandara Longgar, Warga Medan Terancam SARS. Diskes T. Balai Siaga I Antisipasi SARS” (Waspada. 1/4/03). “Ribuan Penumpang Kapal Sinabung Ketakutan Penderita SARS” (Analisa, 8/4/03). “Masker bukan Jaminan. SARS Tetap Bisa Menembus dan Masuk ke Mulut atau Hidung” (Sumut Pos, 2/4/03).

Penutup
Bingkai pemberitaan yang membangun ketakutan pembaca melalui strategi pengersan fakta dan generalisasi fakta, jelas bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Jurnalis bekerja dan menjadi bagian dari institusi sosial yang juga tidak dapat dipisahkan dari kepentingan bisnis: institusi pers. Tarik menarik antara kekuatan kapitalisme media seringkali mengorbankan fungsi pers sebagai institusi sosial. Persaingan antar media yang semakin sengit, apalagi sejak reformasi jumlah media pers bertambah drastis, menjadikan pemberitaan sejumlah media pers Iebih banyak mengedepankan sensasi, bombabtis dan mendramatisir realitas.
Akibatnya informasi pers tidak lagi memberikan pencerahan, atau mendorong publik untuk berpikir dan bertindak secara rasional. Ketika kepentingan komodifikasi lebih kuat dibanding kepentingan sosial pers untuk memberikan informasi yang kritis, pada hakikatnya pers telah kehilangan sisi yang paling fundamental dari dimensi kebebasan pers: freedom for? Ya, pers sekarang ini sudah bebas (freedom from), tapi bebas untuk apa?
Bebas untuk meliput dan memberitakan penderitaan korban yang disangka terkena virus flu burung, SARS, HIV/AIDS semata sebagai komoditas informasi? Atau menjadikan korban sebagai pintu masuk bagi lahirnya jurnalisme yang digerakkan oleh pengharapan akan masa depan yang lebih baik? Bahwa teknologi medis akan selalu menjanjikan untuk membawa kehidupan manusia yang lebih baik lagi.

Referensi:
Ashadi Siregar, AIDS, Gender & Kesehatan Reproduksi, Pintu Menghargai Manusia Bagii Media, 2002: Yogyakarta, Penerbit LP3Y.
J. Anto, “Kebebasan Pers, Pers Bebas dan “Kebablasan Pers”, dalam Victor Silaen: Pikiran-Pikiran Reformasi yang Terabaikan, Jakarta, 2003, UKI Press.

Peran Pers Dalam Merawat Pluralisme

Realitas pluralitas suku, budaya, agama dan kepercayaan, merupakan salah satu modal sosial yang menjadikan warga hidup dalam kebersamaan. Pluralitas memang bukan untuk dikutuk, apalagi dijadikan sumber untuk meniadakan mereka yang dianggap “berbeda”. Salah satu wilayah geograifs yang kerap dijadikan contoh untuk menampilkan wajah Indonesia yang pluralis adalah kota Medan, Sumatera Utara. Kota ini dihuni tidak kurang dari puluhan suku atau sub etnis seperti Batak Toba, Simalungun, Karo, Mandailing, Melayu, Cina, Jawa, Sunda, Madura, Nias, Tamil dsb. Medan bahkan kerap dijadikan barometer kondusifitas politik nasional. Kondusifitas politik tersebut minimal tergambar dari soliditas sosial yang terbangun diantara warga yang berbeda tanpa adanya letupan-letupan sosial yang berarti.

Masih lekat dalam ingatan warga Medan ketika pada penghujung tahun 2000,  sejumlah bom meledak di beberapa gereja dan melukai puluhan umat yang tengah melakukan ibadah. Banyak pihak menilai aksi pengeboman tersebut merupakan upaya provokasi yang dilakukan untuk memecah soliditas keberagaman yang ada. Saat itu beberapa kota di tanah air memang tengah diguncang “teror bom” yang mengoyak kohesi sosial yang telah lama terbangun. Teror bom juga muncul di Ambon, Poso, Kupang, Kalimantan dan Nganjuk (Jawa Timur). Jika di Ambon dan Poso teror bom mampu mengoyak konflik lanjutan di tingkat masyarakat, di Medan hal tersebut tidak membuat umat yang berbeda agama dan keyakinan tersebut terpancing untuk mengobarkan konflik horizontal.

Namun harus juga diakui bahwa potensi konflik yang bersumber dari realitas pluralitas di Medan, juga di kota-kota lain yang memiliki keberagaman suku dan agama, bukanlah sebuah ilusi. Realitas pluralitas suku, agama dan kepercayaan, merupakan potensi konflik yang bersifat laten, yang suatu saat bisa menjelma  menjadi konflik terbuka. Khususnya jika ada pihak yang sengaja memantik dan memanfaatkan konteks sosial-politik yang mendukung bagi dikobarkannya konflik tersebut.

Dan salah satu pihak yang bisa memantik konflik adalah pers.

 

Komodifikasi Informasi dan Perspektif Jurnalis

Bagi pers, konflik memang memiliki nilai berita tinggi. Tak heran jika ada adagium, ‘semakin berdarah-darah, atau semakin banyak korban yang jatuh, maka semakin tinggi nilai beritanya’. Bad news is good news, begitu ungkapan yang sering terdengar di kalangan pers. Kecenderungan pemberitaan yang mengedepankan unsur konflik, berkelindan dengan keberadaan pers sebagai institusi bisnis. Tak heran jika fakta media kini lebih diperlakukan layaknya barang konsumsi. Institusi media akhirnya berlomba menyajikan berita dengan bungkus yang “keras”, “kontroversial”, “sensasional”, “bombabtis” dan “unik”, semata untuk mengejar kepentingan pasar.

Logika modal akhirnya dominan mempengaruhi politik pemberitaan pers. Walau pers sebenarnya juga diharapkan dapat menerjemahkan fungsi sosialnya: mengasah akal sehat masyarakat dengan memberi informasi yang kritis (right to know) sebagai bahan untuk menyampaikan pendapat (right to expression) khalayak. 

Di sisi lain, jurnalis juga bukan subyek yang bebas nilai. Jurnalis menganut nilai-nilai tertentu yang mempengaruhi strateginya dalam merepresentasikan fakta yang dikonstruksinya. Nilai itu bisa berasal dari ikatan primordialisme karena basis  kesukuan maupun agama. Dengan perspektifnya, jurnalis menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana dari fakta-fakta tersebut yang akan ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana isi berita tersebut.

Persoalannya, apakah paradigma bad news is good news cukup memadai digunakan jurnalis dalam meliput konflik-konflik politik yang diberi nuansa SARA oleh elit yang bertikai? Perspektif apa yang sebenarnya layak dikembangkan oleh pers ketika meliput konflik politik bernuansa SARA tersebut?

 

Politik Pencitraan

Dalam fenomena politik mutakhir, menurut Deddy N Hidayat, pers telah menjelma menjadi media driven politics. Dalam arti, setiap momentum politik mustahil menafikan kehadiran pers. Terpilihnya SBY-Kalla sebagai pasangan Presiden/Wakil Presiden dalam Pemilu 2004, diyakini tidak terlepas dari politik pencitraan pers, khususnya media elektronik televisi. Pers waktu itu mencitrakan SBY-Kalla sebagai tokoh yang pro perubahan, sementara lawan politik utama mereka, Megawati – Hasyim Musyadi dicitrakan sebagai pasangan yang anti perubahan..

Dalam fungsinya sebagai media driven politics, pers menjalankan fungsi penghubung antara elit politik dengan warga. Sebuah fungsi yang dulunya dominan dilakukan oleh partai atau pun kelompok-kelompok politik tertentu. Dalam banyak hal, fungsi  penghubung tersebut semakin banyak yang diambilalih pers. Proses memproduksi dan mereproduksi berbagai sumber daya politik, seperti menghimpun dan mempertahankan dukungan masyarakat dalam pemilu, memobilisasi dukungan publik terhadap suatu kebijakan, merekayasa citra kinerja sang kandidat, dan sebagainya, banyak dijembatani, atau bahkan dikemudikan oleh kepentingan dan kaidah-kaidah yang berlaku di pasar industri media (Deddy N Hidayat: 2004).

Upaya elit politik membangun posisitioning lewat pers memang sah-sah saja dilakukan. Pertama karena fenomena massa mengambang belum sepenuhnya diselesaikan oleh elit politik. Akibatnya banyak elit politik yang berpaling ke media, karena media bisa “mendekatkan” mereka, sekaligus membangun citra tertentu seperti yang diinginkan ke tengah masyarakat.  Kedua, dalam memperebutkan sumber daya politik, pers juga “dipakai”, dalam arti dijadikan saluran kepentingan untuk memobilisasi opini.   

Pertanyaannya, politik pencitraan seperti apa yang digunakan elit politik dalam memperebutkan sumberdaya politik lewat media massa, dana bagaimana media harus bersikap dalam hal ini?

 

Hiperrealitas Media

Di Medan, Sumatera Utara, konflik politik antara sejumlah anggota dewan dengan pucuk pimpinan eksekutif Sumatera Utara, telah menjadi bahan pemberitaan yang cukup hangat. Belum lama berselang, seorang seorang anggota dewan secara konfrontatif mengajak massa partainya untuk melakukan “perang terbuka” terhadap pucuk pimpinan eksekutif tersebut. Alasannya pucuk pimpinan eksekutif di Sumut telah melakukan politik diskriminasi berdasarkan “koncoisme” kesukuan dan kesamaan agama dalam mengangkat sejumlah pejabat eselon II dan III. Akibatnya pejabat yang tidak seagama dan sesuku dengan pucuk pimpinan eksekutif, jarang mendapatkan promosi. Dengan menggunakan sentimen agama, anggota dewan tersebut bahkan mengerahkan massanya untuk berdemonstrasi ke kantor eksekutif. Sebuah surat kabar Medan, secara mencolok memasang foto demonstran yang tengah mengusung poster bertuliskan: “Jangan Pancing Amarah Kami!”

Kasus lain adalah pemberitaan paket bantuan peralatan sekolah dimana di dalamnya terselip gambar penyaliban Yesus. Diberitakan di koran tersebut, puluhan eleman masyarakat Islam dan sejumlah elit politik marah dan menuduh ada upaya kristenisasi dan pemurtadan dari keluarga si pucuk pimpinan eksekutif. Ketika Asrama Haji Medan diijinkan untuk penginapan sebagian peserta Pesparawi, sejumlah elit politik menggalang  protes dan menuduh pihak eksekutif telah telah melakukan kolaborasi dan konspirasi dengan Kepala Dinas Depagsu melecehkan umat Islam!

Kontestasi politik untuk memperebutkan sumber daya politik akhirnya digeser kepada konflik bernuansa SARA. Dan pers tampaknya “ikut menari” dalam tarian pencitraan sejumlah elit politik yang mengkonstruksi seolah telah terjadi konflik antara umat Islam dan Kristen di Sumatera Utara. Simak misalnya diksi yang diloloskan pers seperti “pemurtadan berkedok bantuan sosial”, atau “tindakan Yahudi dan kristenisasi”, yang membangun kesan di mata khalayak seolah-olah memang telah terjadi upaya sistematis dan sengaja untuk mengubah keyakinan agama para siswa yang menerima bantuan peralatan sekolah. Sudah tentu fakta sebenarnya, upaya kristenisasi atau pun islamisasi, ataupun budhanisasi, atau pun hindunisasi, tidaklah cukup dengan tindakan memberikan selebaran yang berisi gambar tertentu, atau memberikan paket buku dan alat tulis sekolah.

Pers dalam hal ini telah melebih-lebihkan realitas atau membuat distorsi fakta (hiperrealitas) dalam arti bias. Menurut Amir Yasraf Pilling, kekerasan simbolik menemukan tempatnya yang paling dominan di dalam media, sebab media memungkinkan terjadinya berbagai bentuk kekerasan tak tampak (seperti distorsi, pelencengan, pemalsuan, plesetan). Media massa dianggap tidak menyajikan gambaran realitas yang sebenarnya, melainkan “realitas semu”. Hal ini tidak terpisah dari praktek jurnalisme omongan yang mendominasi pemberitaan yang ada.

Untuk mendekati fakta yang dikonstruksinya, dengan maksud agar wacana fakta media semakin mendekati fakta sosiologis, pers lebih baik menulis bahwa dalam pemberian paket bantuan, didapati ada selebaran bergambar berisi kisah penyaliban Yesus. Apakah gambar tersebut diniatkan untuk misi mengganti agama seseorang, pers bisa menanyakan langsung kepada pihak yang memberikan bantuan. Pers juga dapat mencari komentar narasumber lain yang bisa lebih bersikap objektif dalam memberikan penilaian. Sekaligus menggali pendapat-pendapat yang mendorong ke arah resolusi konflik.

Pers juga menggunakan istilah “konspirasi” dan “kolaborasi” ketika memberitakan penggunaan Asrama Haji Medan untuk penginapan peserta Pesparawi. Dalam KUBI konspirasi disamakan artinya dengan komplotan, yang berarti persekutuan yang bermaksud melakukan tindak kejahatan.. Sedangkan kolaborasi adalah perbuatan kerjasama dengan musuh. Apakah penggunaan Asrama Haji untuk peserta Pesparawi merupakan bentuk persengkongkolan jahat para pejabat? Pers seharusnya mendalami lebih lanjut masalah tersebut, dan membuat tali-temali antara fakta yang satu dengan fakta yang lain sehingga berita yang muncul tidak kehilangan konteks.

Kecenderungan pers untuk memilih diksi yang berupaya untuk melebih-lebihkan realitas, dapat ditemukan dari penggunaan kata  seperti “penyusupan ke sekolah Islam”, “menyakiti umat Islam” , “memojokkan Islam”, “menghina Islam”, “menodai umat Islam”. Walau diksi tersebut sebagian berasal atau diucapkan narasumber, namun pers, sesuai dengan kodratnya, seharusnya bersikap kritis terhadap setiap ucapan narasumber. Sikap kritis ditunjukan dengan melakukan verifikasi fakta, apakah memang ada fakta “penyusupan”, “pemurtadan”, “penghinaan”, “pelecehan” dan “pemurtadan umat Islam?”

Hasan Alawi, yang pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia, mengatakan bahasa komunikasi yang dipraktekkan para elit politik dewasa ini merupakan bentuk vulgarisasi bahasa Indonesia. Menurut Hasan Alawi kecenderungan tersebut merupakan perubahan yang ekstrem dari kramanisasi bahasa Indonesia karena adanya hegemoni semantik yang terjadi selama masa Orde Baru. 

Sementara A. Muis, pakar komunikasi dari komunikasi dari Universitas Hasanudin, memaknai penggunaan bahasa kekerasan itu dengan istilah anarki kata-kata atau anarki simbol-simbol yang dilakukan para elit politik baik dalam komunikasi sosial maupun komunikasi di media massa. Menurut A. Muis, anarki kata-kata merupakan penerjemahan dari model komunikasi politik jarum suntik (hypodermic needle model) yang dilakukan para elit politik kepada masyarakat “awam”. Tujuannya, agar opini publik cepat berubah sesuai dengan maksud para elit politik itu.

 

Fungsi sebagai “Alat Penyaring”

Pers harus menyadari tentang dampak yang mungkin ditimbulkan dari berita yang diproduksi. Apalagi jika bahan baku berita tersebut berasal dari informasi yang dibalut dengan membangkit-bangkitkan simbol agama dan kesukuan yang berpotensi menyuntik sentimen massa. Pers harus mampu menseleksi mana fakta yang layak untuk diungkap, dan mana yang tidak karena sejumlah pertimbangan etis. Seleksi fakta dilakukan untuk menyortir pernyataan-pernyataan yang berpotensi mengganggu kohesi sosial yang sudah terbangun.

Ibarat talang yang mencurahkan air dengan deras, pers harus mampu membuat alat penyaring agar “kotoran-kotoran yang ada” mampu disaring. Pers juga harus menyadari bahwa kebebasan pers selalu mengandung dua dimensi, yaitu bebas dari, dan bebas untuk. Persoalannya setelah pers bebas dari berbagai retriksi, seperti peraturan SIUPP dan sensor, apakah kebebasan tidak sebaiknya digunakan untuk memproduksi informasi yang berguna untuk membangun kohesi sosial?  

Jika pers tidak melakukan fungsi penyaringan, maka seperti diingatkan oleh Parni Hadi, pers hanya dijadikan tempat untuk menampung kepentingan para pihak yang tengah mengagendakan suatu kepentingan. Dengan bahasa lain, pers tengah dijadikan agenda setting oleh pihak lain.

 

Cover Both Sides Saja Tidak Cukup

Dari pemberitaan yang teramati, pers juga cenderung hanya memberikan ruang terhadap narasumber yang terlibat dalam konflik. Kalaupun ada narasumber lain, yang ditampilkan ada narasumber yang memiliki jejaring kepentingan sama. Akibatnya ruang pemberitaan pers seolah mengalami segegrasi antara kubu yang mendukung dan yang tidak mendukung elit politik yang berseteru. Politik pemberitaan seperti ini memang khas dianut oleh pers yang mempraktekkan paradigma jurnalisme perang. Pers seolah melihat hanya ada dua pihak yang bertikai. Akibatnya terjadi penyederhanaan terhadap pihak-pihak yang terlibat konflik, yang berujungnya pada penyederhanaan masalah konflik. Seolah peserteruan politik anatara pucuk pimpinan eksekutif di Sumut dengan lawan-lawan politiknya, adalah konflik antara kepentingan umat Kristen melawan kepentingan umat Islam.

Menghindari penyederhanaan seperti itu, diharapkan pers mampu mencari narasumber alternatif. Sebaiknya narasumber tersebut adalah mereka yang tidak terlibat konflik secara langsung. Dengan menghadirkan narasumber yang lebih independen, diharapkan pemberitaan pers hadir dengan perspektif yang lebih arif dalam menilai konflik tersebut. Wacana fakta media juga bisa menjadi lebih beragam, tidak hitam putih atau terbelah antara ketersinggungan umat Islam versus penumpukan kepentingan umat Kristen atau suku tertentu. Salah satu perspektif pemberitaan yang perlu dikembangkan pers adalah perspektif pluralisme, yang menjamin tidak adanya pemaksaan kebenaran oleh satu kelompok terhadap kelompok lain.

Dengan mengembangkan perspektif pluralisme fakta media justru dapat membantu menghapus adanya kesalahpahaman dalam beragam bentuknya (miskonsepsi, stigma, purbasangka, stereotyping, dan sebagainya), yang pada gilirannya dapat memberikan pencerahan bagi khalayak.

Pers memang tidak dituntut sebagai juru damai, namun lewat posisinya yang strategis dalam menjembatani komunikasi para pihak yang  bertikai, pers dapat berperan seperti obor yang mampu memberikan penerangan dan pencerahan para pihak yang berkonflik, termasuk khalayak pers sendiri. Dengan kata lain, fakta media yang disuguhkan pers diharapkan dapat berperan untuk menjaga dan merawat pluralisme di Sumatera Utara.