Musim Semi di Taman Keberagaman

Sebuah kabar menggembirakan diungkapkan Komisaris Daerah Majelis Tinggi Agama Khonghucu (Matakin) Sumut, Ws Ir Djohan Adjuan lewat koran ini. Kementrian Agama RI menurutnya telah menerbitkan buku pelajaran Agama Konghucu  untuk  siswa SD kelas I hingga kelas VI (Analisa, 15/9)

Pada berita yang sama Kepala Kantor Departemen Agama Medan, A Abdul Rahim mengatakan, penerbitan buku tersebut  sesuai Undang-Undang Nomor 20 tentang pendidikan nasional yang menyatakan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia harus dilakukan secara demokratis tanpa ada diskriminasi. Ia berharap buku tersebut bisa segera disalurkan dan disampaikan ke siswa yang beragama Khonghucu agar dipelajari, dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Selama tiga dekade lebih penganut Agama Konghucu di negara kita memang mengalami perlakuan didiskriminasi yang sistematis. Paska huru-hara politik 1965, rezim Orde Baru Soeharto menerbitkan Inpres 14/1967. Inpres itu isinya  membatasi pelaksanaan peribadatan dan kebudayaan Tionghoa dalam lingkungan tertutup. Sebagaimana kita tahu, penganut Konghucu di negara kita umumnya adalah warga Tionghoa Indonesia.

 Diskriminasi Sistematis

Instruksi Presiden itu punya logika demikian. Jika orang Tionghoa dibiarkan menjalankan ibadat dan kebudayaannya secara terbuka dan luas seperti pemeluk agama lain, maka hal itu akan merugikan usaha asimilasi karena agama dan istiadat yang berpangkal pada negeri leluhur bisa memanifestasikan pengaruh psikologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia Tionghoa.

Diskriminasi berlanjut terhadap penganut Konghucu ketika pada 1983, muncul Surat Edaran Menkokesra No. 764/1983  yang mengharuskan pemeluk Konghucu masuk dalam  salah satu aliran Agama Buddha. Maka sejak itu tidak sedikit terjadi “migrasi” agama.

Namun pasca reformasi 1998, tembok diskriminasi runtuh, terutama ketika bapak pluralisme Gus Dur  menjadi Presiden.  Padaa 2000,  Presiden RI ke-4 ini mengeluarkan Keppres 6/2000, mencabut Inpres 14/67. Inilah tonggak sekaligus simbol ketika Taman Keberagaman Indonesia mulai bersemi.

Harum wangi taman keberagaman bertambah kuat ketika pada 2005, Presiden SBY melalui SK Tiga Menteri, mengizinkan agama Konghucu untuk diajarkan di sekolah-sekolah. Kolom Agama dalam KTP pun sejak 2006 telah diakomodir bagi pemeluk Konghucu. Ini tak lain karena pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 470/336/SJ/Tahun 2006 tentang Pelayanan Administrasi Kependudukan Penganut Agama Khonghucu.

Kini untuk mewujudkan komitmennya agar tidak dinilait diskriminatif dalam memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan formal, Kemenag telah memproduksi buku pelajaran Agama Konghucu untuk murid Sekolah Dasar. Tentu babak selanjutnya akan diterbitkan buku pelajaran agama sejenis untuk tingkat subjek didik penganut Konghucu yang ada di  SMP, SMA dan perguruan tinggi.

 Musim Semi

Walau terkesan “dicicil”, namun musim semi tampaknya mulai mekar  pada taman keberagaman di negara kita, khususnya bagi pemeluk Konghucu.  Memang tak semua tunas atau bagian dari “tumbuhan” itu berkembang subur, ada yang lambat dan tetap kerdil.

 Semisal walau sudah punya landasan peraturan, bahkan setingkat menteri, pengisian kolom agama di KTP untuk umat Konghucu belum sepenuhnya bisa diwujudkan. Masih banyak petugas administrasi di Kantor Kelurahan dan  Kecamatan yang enggan membuhkan kata Konghucu pada kolom isian Agama. Kasus itu dialami sejumlah umat Konghucu di Sumut.

Mengutip Djohan Adjuan, selain Sumut, dua wilayah lain yang masih menyisakan masalah KTP untuk pemeluk Konghucu adalah Bandung Selatan, dan Tangerang Selatan. Khusus untuk Sumut, Matakin tempat Djohan Adjuan memperjuangkan  kesetaraan bagi umat Konghucu, berharap persoalan tersebut selesai pada 2011.

Harapan tersebut tak berlebihan. Apalagi sejumlah pihak telah menyatakan bahwa model kerukunanan dalam keberagaman antar umat beragama di Sumut hendak dijadikan model. Bahkan sejumlah pejabat tinggi di Pemprovsu dan Pemko Medan dan sejumlah pemuka agama kerap mengklaimnya di sejumlah media massa.

 Dua orang dosen dari Florida University, AS,  Jefery  Ayala Miliggan PhD., dan Prof Jhon K. Mayo, kepada Rektor IAIN Sumut, Prof Dr. Nur Fadhil Lubis termasuk yang tertarik untuk mempelajarinya (Analisa, 16/9).

Tentu tidak lucu, bahkan jadi karikatural jika soal hak politik warga menyangkut identitas agama yang diyakininya tak boleh dicantumkan di KTP. Pinjam istilah “Jenderal Naga Bonar”: nanti apa kata dunia ?? 

Menjaga taman keberagaman memang sudah menjadi tugas negara. Payungnya juga sudah jelas: Pancasila dan UUD 45. Jika negara konsisten memayungi seluruh warganya, maka seluruh penghuni taman keberagaman akan memperoleh ruang dan kesempatan yang sama untuk  tumbuh dan berkembang subur.

 Giliran Penghuni Lain

 Namun jika negara bertindak diskriminatif, tak adil dalam melakukan “pemupukan”, atau “penyiraman”, maka akan ada “tanaman” yang terus menerus kerdil bahkan mati kekeringan. Terlebih jika negara sampai menganggap “serumpun penghuni” taman keberagaman  sebagai “tanaman liar”, dan karenanya dibiarkan “layu dan kering ”  hingga suatu waktu  dicabutdan dilempar  ke tong sampah.

Jika ini yang terjadi,  maka keindahan taman keberagaman terganggu. Negara bisa dinilai telah melanggar hak asazi para penghuni taman keberagaman. Negara bertindak diskriminatf, tak mengayomi secara setara hak kebebasan beragama dan beribadah terhadap seluruh warganya .

 Karena itu setelah hak-hak umat Konghucu dipulihkan, sekarang kita tengah menunggu dengan harap-harap cmas dipulihkannya hak-hak umat Ahmadiyah, Parmalim dan agama-agama lain di luar “enam agama resmi” yang diakui negara dewasa ini.  

*Tulisan ini dimuat di harian Analisa Medan, 19 September 2011