Disharmoni Gatot – Syamsul ala Media

Benarkah ada disharmoni antara Gatot Pujo Nugroho dan Syamsul Arifin?
Pada dataran realita media, jelas ada. Tapi apakah realita sosiologisnya demikian, atau sebangun dengan realita media? Hanya mereka berdua yang mengetahui.

Masalahnya, antara fakta media dengan fakta sosiologis, sering tak sebangun. Soalnya, fakta media adalah hasil konstruksi realitas, atau second reality jurnalis lengkap dengan subyektifitasnya.

Pilihan diksi, adalah kerja pertama yang dilakukan jurnalis ketika mulai mengkonstruksi realitas menjadi narasi (berita). Diksi atau pilihan kata, akan menentukan sejauhmana fakta media yang dihasilkan sebangun dengan realita empirik. Namun disadari bahwa pekerjaan jurnalisme, tidaklah berlangsung dalam ruang hampa yang bebas dari kepentingan. Jurnalis(me) tak pernah bebas dari kepentingan. Entah kepentingan narasumber, maupun kepentingan media massa itu sendiri. Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa sebagai individu, jurnalis tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari nilai-nilai yang dianut dan diyakini, yang akhirnya mempengaruhi sudut pemberitaan serta penulisan yang dilakukan.

Jurnalis akan selalu menyerta¬kan pengalaman hidup, pengalaman sosial dan kecenderungan psikologisnya ketika menafsirkan pesan yang datang kepadanya. Jurnalis bukan merupakan subyek yang pasif, sebaliknya ia aktif dan otonom. Itu artinya, jurnalis bukanlah sekadar juru warta atau penyampai peristiwa. Perspektif jurnalis merupakan faktor internal yang mempengaruhi cara pandang jurnalis terhadap fakta yang dilihatnya, dan bagaimana fakta itu dimaknainya.

Bingkai Media
Selain selalu menyertakan nilai-nilainya, jurnalis juga tak pernah imun dari kepentingan yang dibawanya, yang menelusup dalam fakta media yang dihasilkannya.

Dalam jurnalisme dikenal istilah framing atau pembingkaian. Framing adalah proses seleksi berbagai aspek realitas dan menjadikan realitas hasil seleksi itu menjadi lebih menonjol dalam pemberitaan jurnalis. Penonjolan aspek realitas atau issu ditujukan agar informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik atau lebih mudah diingat pembaca. Proses framing tidak terlepas dari perspektif atau cara pandang yang digunakan jurnalis ketika menseleksi issu atau peristiwa yang dilihatnya. Perspektif inilah yang menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana dari fakta-fakta itu yang ditonjolkan dan dihilangkan serta hendak dibawa kemana berita tersebut.

Disharmoni Ala Media
Kembali ke polemik disharmoni Gatot Pujo Nugroho – Syamsul Arifin. Sejauh teramati dalam pemberitaan media, disharmoni yang dimaksud media adalah pertama, Gatot Pujo Nugroho tidak mau membalas sms atau mengangat telpon dari Syamsu Arifin. Fakta ini dikonstruksi dari pernyataan Budiman Nadadap politisi dari Fraksi PDI Perjuangan yang mengaku telah menemui Syamsul Arifin di Penjara Cipinang.

Kedua, pernyataan bahwa Gatot Pujo Nugroho belum menyerahkan surat pemberhentian sementara Syamsul Arifin sebagai Gubsu yang dititipkan oleh Sekretaris Mendagri kepada Gatot. Lagi-lagi informasi tersebut adalah pernyataan dari tujuh anggota DPRD Sumut, mereka yaitu Budiman Nadapdap (FPDIP), Hardi Mulyono (FPG), Fadli Nurzal (FPPP), Muslim Simbolon (FPAN), Tunggul Siagian (FPD), Restu Sarumaha (FPPRN), Hamamisul Bahsan (Fraksi Hanura) yang mengaku telah berjumpa dengan Syamsul Arifin di Salemba, Jakarta.

Bingkai media yang dominan di sini menjadikan Gatot Pujo Nugroho sebagai penyebab disharmoni, sedangkan Syamsul Arifin diposisikan sebagai korban yang dizalimi Gatot Pujo Nugroho.

Namun jika dikaji secara kritis, media sebenarnya gagal mengungkap fakta empirik tentang disharmoni tersebut. Fakta media yang muncul hanya keterangan sepihak narasumber atau politisi yang celakanya tidak pernah berhasil diverifikasi langsung dengan Gatot Pujo Nugroho dan Syamsul Arifin oleh media.

Namun fakta yang belum terverifikasi inilah yang kemudian dianggap sebagai fakta disharmoni atau fakta konflik antara Gatot Pujo Nugroho – Syamsul Arifin. Karena aktor yang terlibat konflik tergolong “kakap” dan “seksi”, apalagi Gatot Pujo Nugroho adalah Wagub yang belakangan kemudian menjadi Plt Gubsu paska ditetapkannya Syamsul Arifin sebagai terdakwa kasus korupsi penyalahgunaan uang APBD Langkat, maka berlakulah pameo “bad news is good news”

Lalu fakta disharmoni ala media itu kemudian dijadikan liputan berseri. Media mengembangkan follow up news dengan meminta komentar sejumlah pengamat dari kampus dan politisi. Bisa diduga, pemberitaan disharmoni akhirnya melebar kemana-mana. Tidak fokus, tidak indepth, dan akhirnya dijadikan perang urat syaraf yang tidak mencerdaskan akal sehat publik.

Media selain gagal menyingkap realita diharmonis itu sendiri, akhirnya terkesan menjadi saluran agenda politik sejumlah politisi untuk menaikkan posisi tawar mereka. Bisa ditebak muara pamungkasnya adalah transaksi politik.

Media dan Konflik
Media massa karenanya alih-alih menjadi media pencerahan publik, namun justru ikut menari karena gendang yang ditabuh pihak-pihak yang hendak melakukan tawar-menawar politik. Entah itu lawan-lawan politik Gatot Pujo Nugroho sendiri, pihak-pihak yang pro terhadap Syamsul Arifin, atau bahkan mungkin Syamsul Arifin sendiri!

Seandainya pun benar ada disharmoni antara Gatot Pujo Nugroho dan Syamsul Arifin, agenda media mestinya bukan mempertajam konflik, namun membrikan andil bagi terjadinya untuk resolusi konflik.

Meliput peristiwa konflik hakikatnya merupakan hal biasa bagi jurnalis. Benar bahwa salah satu kriteria untuk mengukur apakah suatu peristiwa layak diberitakan atau tidak adalah kandungan unsur konflik itu sendiri. Semakin keras konflik yang terkandung dalam suatu peristiwa, semakin tinggi nilai beritanya. Sulit dipungkiri bahwa media massa secara sadar telah melakukan proses komodifikasi berita konflik.

Media massa dengan sengaja mengemas sedemikian rupa berita tentang konflik dengan tujuan agar layak jual. Logika pasar dominan dipakai. Jika perlu ditambah bumbu penyedap agar sajian menjadi lezat. Efek sensasi ditekankan. Hal ini karena panasnya konflik, berbanding lurus dengan oplah atau tiras media. Dengan sendirinya media massa mempunyai kepentingan langsung dalam eskalasi dan kelanggengan konflik.

Pertanyaaananya pakah jurnalis atau media hanya melihat aspek ‘keseksian’ berita serta permintaan pasar?

Seyogyanya, sekali lagi, kalaupun benar ada disharmoni antara Gatot Pujo Nugroho dan Syamsul Arifin, jurnalis dan media syogyanya memberi perhatian yang sama besar juga pada proses penyelesaian atau resolusi konflik. Kendati pun memang proses ini sering makan waktu, terseok-seok dan menjemukan, tapi dengan mewartakan secara serius resolusi konflik jurnalis dan media telah berkontribusi untuk skondusifitas politik di Sumut.

Ada kesadaran bahwa jurnalis memang tidak dituntut sebagai juru damai, namun lewat posisinya yang strategis dalam menjembatani komunikasi para pihak yang bertikai, jurnalis lewat fakta media yang dihadirkan dapat berperan seperti obor yang mampu memberikan penerangan dan pencerahan para pihak yang berkonflik, termasuk khalayak pembacanya. Dengan kata lain, fakta media yang disuguhkan media diharapkan dapat berperan untuk menjaga dan merawat kondusifitas politik di Sumatera Utara!

*** Tulisan ini dimuat di harian Analisa, Jumat, 8 April 2011