Biaya Administrasi Rekening Air: “Pers Memang Harus Nyinyir!”

Ucapan selamat pantas dialamatkan ke sejumlah surat kabar Medan. Ini bukan basa-basi atau bermaksud hendak mengambil hati. Tapi semata karena fakta objektif yang bisa dilihat, dibaca dan dirasakan publik. Dalam seminggu ini, beberapa surat kabar di Medan telah berhasil memerankan diri sebagai “anjing penjaga” yang setia untuk “tuan” mereka: publik! Ya, siapa lagi “tuan jurnalisme” selain publik pembaca yang menjadi pelanggan media.

Kesetiaan sebagai “anjing penggogong” diperlihatkan media massa, khususnya media cetak, ketika mereka intens mengangkat polemik soal penetapan biaya administrasi rekening PDAM Tirtanadi Sumut sebesar Rp 3.000. Menurut pemberitaan media, penetapan biaya administrasi tersebut belum dikonsultasikan dengan pihak DPRD Sumut sebagai representasi wakil rakyat. Direksi PDAM Tirtanadi Sumut, hanya berbekal surat persetujuan Gubsu H. Syamsul Atifin dan peraturan Mendagri.

Tanpa diberitakan media massa, terus terang publik, dalam hal ini pelanggan PDAM Tirtanadi Sumut, banyak yang tak mengetahui kebijakan tersebut. Memang belum lama ini ada beberapa pelanggan PDAM Tirtanadi yang menerima secarik kertas berwarna hijau seukuran setengah kuarto. Selebaran itu berisi pemberitahuan tentang pemberlakuan Biaya Administrasi sebesar Rp 3.000 untuk pelanggan PAM di Medan dan sekitarnya, serta pelanggan di cabang kerjasama operasi (KSO) Deli Serdang, Prapat, Toba Samosir, Samosir, Tapanuli Tengah, Padang Sidempuan, Madina dan Nias Selatan.

Dasar pemberlakuan tarif administrasi, yang diberlakulan mulai 1 Mei 2009, merujuk pada surat Gubernur Sumut No. 690/2131/2009 tertanggal 30 Maret Perihal Persetujuan Pemberlakuan Administrasi Rekening Air. Juga Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 23 Tahun 2006 dan Surat Keputusan Direksi PDAM Tirtanadi No. 39/KPTS/2009 tanggal 31 Maret 2009 tentang Pemberlakuan Biaya Administrasi. Ada keterangan tambahan bahwa sejak 2007 sampai 2009, PDAM Tirtanadi Sumut tidak ada menaikkan tarif air minum.

Apakah keterangan tersebut merupakan alasan penetapan biaya administrasi, publik memang masih meraba-raba. Bahkan boleh dikatakan masih “gelap”. Masalahnya, penetapan biaya administrasi tersebut tak pernah dikomunikasikan secara terbuka kepada publik. Minimal lewat wakil rakyat di DPRD Sumut. Hal ini milai diungkapkan Ikrimah Hamidy, salah seorang anggota dewan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Yang disayangkan juga, tak semua pelanggan PDAM Tritanadi memperoleh surat pemberitahuan. Terlebih dari itu, pelanggan juga tak mengetahui secara persis kenapa ada pembebanan biaya administrasi. Dengan kata lain, proses lahirnya kebijakan penbetapan biaya administrasi serta sosialisasinya, masih menganut asas ketertutupan atau kerahasiaan. Padahal praktek-praktek rezim kerahasiaan inilah yang selama puluhan tahun telah menjadi sumber korupsi dan kekeroposan institusi birokrasi semasa resim Orde Baru berkuasa.

Karena itu inisiatif media massa untuk mempolemikkan kebijakan penetapan biaya administrasi pada rekening air pelanggan PAM Tirtanadi Sumut, patut untuk diapresiasi. Peran media massa dapat diibaratkan seperti pijar cahaya yang sangat dibutuhkan warga ketika mereka tengah terperangkap dalam sebuah lorong gelap tanpa penerangan.

Kultur Kerahasiaan

Persoalan kerahasiaan dalam urusan-urusan publik, memang sudah lama menjadi sumber keprihatinan bersama. Argumentasi yang menentang kerahasisaan bersatu dengan argumentasi yang menentang sensor dan mendukung kebebasan berbicara.

James Madison, arsitek Amandemen pertama Undang-Undang Dasar Amerika Serikat yang menjamin hak kebebasan berbicara, menangkap inti argumentasi ini ketika ia mengatakan bahwa: “Rakyat yang berniat menjadi pengatur dirinya sendiri harus mempersenjatai diri dengan kekuasaan (power) yang diberikan oleh ilmu pengetahuan (knowledge). Pemerintah yang populer tanpa informasi yang populer atau tanpa sarana untuk memperolehnya hanyalah prolog menuju sandiwara komedi atau tragedi atau mungkin kedua-duanya (Seri World Bank Development Studies, (20002) : 2006].

Jeremy Bentham, menganggap bahwa publisitas merupakan kontrol utama terhadap salah urus kebijakan pemerintah. Dalam esainya yang tersohor On Liberty, John Strart Mill (1859) mengatakan bahwa bahwa ditempatkannya berbagai argumentasi di bawah sorotan publik jelas besar manfaatnya dan merupakan jalan yang paling pasti untuk memilah-milah yang baik dan yang buruk di antara argumentasi-argumentasi itu.( (Seri World Bank Development Studies, (20002) : 2006].

Intinya, memang diperlukan partisipasi warga dimana publik perlu mendapatkan cukup informasi agar partispasi mereka bermakna dalam pengambilan kebijakan publik. Sayangnya, kultur kerahasiaan masih berlaku di sebagian institusi publik dan diidap sejumlah birokrat kita. Kultur kerahasiaan hanya memberikan peluang bagi pemerintah untuk menghindari kebijakan-kebijakan mereka dievaluasi secara terbuka oleh publik, atau oleh para wakil rakyat. Karena itu bagi pejabat pemerintah, kultur kerahasiaan dipandang telah memberikan mereka sejumlah previlese.

Pemenang Nobel Ekonomi 2002, Joseph E. Stiglitz, sekaligus pengajar di Columbia University, mengemukakan bahwa kultur kerahasiaan telah melecehkan demokrasi. Menurutnya, suatu pemerintahan baru bisa dibilang demokratis dan bisa dipercaya jika pemerintahan ini mau terbuka tentang apa saja yang dilakukannya pemerintahnya kepada masyarakat luas.

Konsultasi Publik

Transparansi memang musuh dari ketertutupan. Perlawanan terhadap rezim ketertutupan Inilah yang kemudian mendasari lahirnya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Bagi media massa, UU KIP merupakan salah satu sarana pendukung kerja jurnalis. Soalnya, UU KIP memberikan jaminan bahwa jurnalis memiliki akses ke seluruh informasi yang dikelola oleh lembaga-lembaga yang masuk kategori badan publik.

Selama ini ketika melakukan kerja-kerja pengumpulan informasi, jurnalis tidak memiliki kekuasaan seperti penegak hukum yang mendapat hak untuk meminta berbagai informasi yang dibutuhkan. Tapi kehadiran UU KIP, bisa efekif membantu, memaksa pejabat dan badan publik mendokumentasikan dan mengklasifikasikan informasi yang dikelolanya. UU KIP mewajibkan pejabat atau badan publik untuk memberikan setiap permintaan informasi sesuai mekanisme dan prosedur yang ditetapkan.

Memang UU KIP baru berlaku efektif April 2010. Namun tidak ada salahnya jika sejak dini pejabat publik mulai mengubah kultur kerahasiaan dengan kultur keterbukaan. Karena itu dalam kasus penetapan biaya administrasi rekening PDAM Tirtanadi Sumut, ada baiknya pihak direksi melakukan konsultasi publik terlebih dahulu. Istilah umumnya, direksi PDAM Tirtanadi mau buka-bukaan sehingga semuanya menjadi transparan. Konsultasi publik dapat dilakukan lewat beragam cara.

Salah satunya dengan membuka informasi seluas-luasnya lewat media massa tentang alasan mendasar kenapa BUMD tersebut menetapkan biaya administrasi sebesar Rp 3.000 per bulan. Apa alasan memunculkan besaran angka Rp 3.000 per bulan. Kenapa tidak Rp 1.000, Rp 2.000 atau Rp 5.000? Kemana alokasi penggunaan dana tersebut? Digunakan untuk apa? Bagaimana mekanisme kontrol dan pertanggungjawabannya agar ada jaminan tidak terjadi penyimpangan?

Lewat keterbukaan informasi di media massa, publik bisa ikut memberikan tanggapan dan masukan-masukan. Tentu saja ada pihak yang pro, ada yang kontra. Namun semua itu seyogyanya dilakukan dalam kerangka yang berpikir rasional, bukan irrasional alias debat kusir. Masing-masing pihak memiliki argumentasi dan basis dukungan data-data yang valid untuk mendukung sikap mereka.

Dengan demikian ruang publik yang dihadirkan media massa dapat berubah menjadi diskusi publik yang sehat dan produktif. Di sinilah media massa dapat menjalankan fungsi pendidikan dan informasinya kepada publik secara sehat. Konsultasi publik juga dapat dilakukan di gedung dewan, dimana publik pelanggan air PDAM Tirtanadi, baik yang terorganisir atau tidak, maupun yang diwakili lembaga konsumen, dapat diikutsertakan.

 Intinya, konsultasi publik sebaiknya ditempuh pihak direksi PDAM Tirtanadi Sumut untuk mengevaluasi kembali kebijakan penetapan biaya administrasi tersebut. Sikap menolak pemanggilan dewan, jelas bukan langkah yang terpuji. Termasuk sikap berdiam diri dan ”pelit informasi” terhadap media massa. Sikap tersebut malah dapat menimbulkan tafsir dan konstruksi pemahaman yang berbeda dari niat semula direksi PDAM Tirtanadi.

Sudah menjadi kewajiban media massa dan anggota dewan untuk bersuara ”nyinyir”. Mereka hakikatnya memang mandatori rakyat. Dalam konteks kebebasan pers, wartawan dan media massa adalah mandatori yang tengah menjalankan fungsi untuk memenuhi hak warga atas informasi (right to information). Dan hak atas informasi adalah salah satu hak asasi manusia yang dijamin UUD 45, dan DUHAM. Apalagi informasi tersebut berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak. Sedangkan anggota dewan memang diberi mandat politik rakyat lewat mekanisme pemilu agar memperjuangkan aspirasi rakyat.

Jadi, tak usahlah berprasangka negatif terhadap sikap nyinyir media massa dan anggota dewan jika memang siap mempertanggungjawabkan kebijakan yang telah diambilnya!

*** Tulisan ini dimuat di Harian Analisa, 7 Mei 2009

Agar Publik Tidak Semakin Pusing!

Sungguh penat membaca berita perhitungan perolehan suara parpol, caleg maupun calon DPD sebagaimana diberitakan sejumlah surat kabar. Setidaknya, ada tiga versi yang sering muncul di surat kabar. Pertama perolehan suara dari KPU(D), kedua, perolehan suara versi Tim Pemenangan caleg atau calon DPD, dan ketiga versi Tim Bapilu parpol.

Dua yang terakhir ini yang sering menyebabkan kepala berdenyut. Soalnya, perhitungan suara mereka dimuati kepentingan klaim kemenangan caleg atau calon DPD yang didukungnya. Tak heran, jika masing-masing tim pemenangan atau bapilu parpol, mengklaim tentang keunggulan perolehan suara dari calon dan parpol mereka atas calon atau parpol lain. Bahkan tak jarang, sebuah tim pemenang memberi pernyataan bahwa calonnya telah siap melenggang ke Senayan! Aduh mak, pusiiiiing.

Berhati-hati
Apa yang seharusnya dilakukan media pers dalam menghadapi kesimpang-siuran klaim perolehan suara tersebut?

Memang hak dari masing-masing tim pemenangan atau bapilu parpol untuk memberikan versi perolehan suara mereka kepada publik. Dalam konteks public media watch dog, apa yang dilakukan tim pemenangan dan bapilu parpol dengan merilis data perolehan suara ke media massa, adalah dalam rangka berjaga-jaga agar perolehan suara mereka tidak dizalimi oleh petugas penghitungan suara resmi. Sedia payung sebelum hujan, begitu niat mulianya.

Minimal jika terjadi sengketa perhitungan suara setelah data perolehan versi KPU diumumkan, mereka dapat memiliki data pembanding. Dari sisi ini, merilis perolehan suara versi tim pemenangan atau bapilu parpol, memang menjadi sangat strategis. Tapi persoalannya, sejauhmana tim pemenangan dan bapilu parpol menghitung suara perolehan mereka dengan jujur tanpa ada manipulasi.

Di sini persoalan mulai muncul. Apalagi media pers tampaknya menerima begitu saja tanpa mampu untuk melakukan verifikasi. Wong DPT saja bisa dimanipulasi, apalagi data perolehan suara tidak resmi.
Dalam konteks jurnalisme, seyogyanya media pers bersikap hati-hati. Soalnya informasi yang mereka beritakan, bukan sekedar pendapat seseorang tentang suatu isu atau peristiwa. Informasi yang dimuat berupa angka-angka perolehan suara pemilu. Hal ini cukup peka bagi pembaca, terlebih bagi mereka yang menjadi pendukung fanatik caleg atau parpol tertentu.

Di tengah psikologi politik yang kerap dimuati anomali politik, hal-hal yang tampaknya sepele, dapat menjadi pemicu bagi munculnya konflik lanjutan. Ada sebagian kelompok masyarakat, yang kerap mengaggap apa yang diberitakan media pers adalah kebenaran. Fakta media dianggap paralel dengan fakta sosiologis. Bukannya hendak menghina akal sehat atau rasionalitas sekelompok masyarakat, tapi kenyataannya masih ada sebagian dari rakyat kita yang pendek akal sehatnya.

Karena itu ketika ada klaim berita bahwa caleg atau calon DPD yang mereka dukung unggul di beberapa TPS, langsung diklaim bahwa calon mereka pasti akan terpilih sebagai anggota dewan atau DPD.

Apalagi muncul kesadaran bahwa tidak sedikit rupiah yang telah digelontor caleg dan calon DPD untuk meraih suara rakyat. Angka-angka perolehan suara, karena itu dapat dipolitisir untuk kepentingan-kepentingan politik demi meraih agenda-agenda politik tertentu.

Versi Resmi KPU
Memang menjengkelkan mengup-date data-data perolehan suara dari KPU(D). Lambannya minta ampun. Akibatnya para caleg dan calon DPD dihinggapi stress berkepanjangan. Soalnya kepastian apakah mereka dapat duduk sebagai anggota dewan atau tidak, masih harus menunggu sampai perhitungan rekapitulasi suara selesai. Celakanya, rekapitulasi di tingkat PPK, terus-menerus bermasalah, bahkan tak sedikit molor dari jadwal yang ditentukan.

Tapi begitulah kenyataan yang kita saksikan sekarang ini. Apa mau dikata, nasi telah menjadi bubur. Teknologi penghitungan suara yang diagung-agungkan akan mempercepat proses perhitungan, ternyata tak seperti yang diharapkan. Teknologi bernilai ratusan miliar rupiah itu ternyata tak sepadan dengan nilai ekonomi untuk pengadaannya. High tech, no profit! Wajar jika banyak protes ketidakpuasan bermunculan dari berbagai pihak.

Namun apapun kenyataan yang menghadang di depan mata kita, seyogyanya media pers merilis perhitungan perolehan suara versi KPU(D). Biar lamban tapi memiliki kepastian hukum. Yang perlu dilakukan media pers dengan tim pemenangan atau tim bapilu parpol, adalah memonitor proses rekapitulasi di tingkat PPK dan KPUD agar tidak terjadi politik jual-beli suara. Kegiatan seperti itu jauh lebih bermakna daripada merilis klaim-klaim kemenangan perolehan suara.

Kenapa dikatakan bermakna?
Salah satu indikator pemilu yang demokratis adalah ketika hasil pemilu mampu mendudukkan caleg dan calon DPD yang memang benar-benar diberi suara oleh rakyat. Bukan mendudukan caleg yang tidak didukung rakyat, tapi diberi suara dari hasil korupsi suara calon lain! Jika praktek ini yang terjadi, maka penzaliman tak hanya terjadi pada caleg atau calon DPD saja, tapi juga terhadap rakyat sebagai pemilik suara.

Karena itu media pers seyogyanya berusaha sekuat tenaga agar ikut mengawasi proses rekapitulasi suara di tingkat PPK dan KPU(D). Sebagai wakil publik dalam menjalankan fungsi untuk memenuhi hak akan informasi pemilu, media pers harus selalu waspada untuk mengendus praktek-praktek korupsi suara rakyat.

** Artikel ini dimuat di Harian Analisa, 30 April 2009