Tuah Primbon Tionghoa Kuno

Oleh: J Anto

Sebagai kekayaan budaya terapan, usianya sudah lebih dari 2000 tahun. Meski begitu, Tong Shu, primbon Tionghoa, hingga kini masih dipercaya memiliki tuah. Untuk mendapat hari baik dalam urusan nikah, bisnis, karir, rumah (kantor) baru, kesehatan sampai mengurangi nasib buruk, banyak orang Tionghoa minta nasehat dari ahli Buku Segalanya Tahu itu.

“Did Bad Feng Shui Kill Bruce Lee?”
Begitu judul berita utama koran terkemuka di Hong Kong, sepekan setelah bintang kung fu paling terkenal itu meninggal mendadak dalam usia 32 tahun. Pertanyaan seperti dalam judul berita itu mungkin tidak terlalu bermakna bagi kebanyakan orang. Namun pertanyaan itu langsung menyengat komunitas Tionghoa di berbagai penjuru dunia, dari Singapura hingga London.Sekadar diketahui, nama Tionghoa Bruce Lee adalah Lee Shiu Loong yang berarti naga kecil. Setelah berhasil mendapat peruntungan besar dari bisnis film laga, Bruce Lee memutuskan membeli vila di kawasan mewah Kowloon Tong di Kowloon. Keseluruhan kawasan itu, meski cukup populer di kalangan orang Tionghoa muda kaya, cenderung ditinggalkan oleh orang-orang Tionghoa tua tradisional karena faktor feng shui buruk.Tahu akan fakta ini, Bruce Lee lalu memanggil ahli nujum bumi yang kemudian memasang cermin Patkwa dibatang pohon di luar rumah untuk meningkatkan feng shui baik. Namun sesaat sebelum kematiannya, angin topan meniup pohon itu lalu memecahkan cerminnya.Kowloon itu sendiri berarti 9 naga. Kesembilan naga itu rupanya cemburu atas tantangan si naga kecil Lee Shiu Loong. Mereka menyerang saat Bruce Lee tak terlindungi. Tak pelak, Bruce Lee pun tewas secara tragis dalam usia sangat muda di puncak kesuksesan karir.

Kitab Segalanya Tahu

Nukilan kisah Bruce Lee, terdapat dalam buku The Book of Chinesse Beliefs karya Frena Bloomfield. Buku itu terbit tahun 1983, menggali jagad kehidupan orang-orang Tionghoa kebanyakan yang memraktekkan tradisi dan sistem keyakin religi yang telah berusia ribuan tahun. Buku itu tidak bercerita tentang para filsuf, kaisar atau sastrawan Tiongkok mashur seperti banyak ditulis sejarawan atau peneliti budaya.Salah satu kepercayaan tua itu adalah feng shui, yang hanya merupakan salah satu isi atau bagian dari buku Tong Shu. Dalam buku Manusia dan Kebudayaan Han karya Prof. Gondomono, Ph.D., Guru Besar emeritus UI, disebutkan kosmologi masyarakat Tiongkok kuno memercayai bahwa bumi mengandung kekuatan adikodrati yang “tanpribadi” (impersonal) yang disebut feng shui. Secara harfiah, feng artinya angin dan shui air.
Feng shui menurut Gondomono berdenyut atau mengalir melalui konfigurasi tanah dan perairan yang membentuk permukaan bumi. Feng shui diyakini merupakan sumber utama keberuntungan dan kesialan manusia. Keberhasilan selalu dikaitkan dengan pengendalian feng shui yang baik dan benar, sedangkan kesialan dikaitkan dengan ketidak mampuan mengendalikan feng shui.Secara harfiah Tong Shu itu sendiri berarti buku segalanya tahu. Memang selain memuat feng shui, Tong Shu juga memuat jimat atau mantra penolak bala, informasi tentang perawatan bayi, daftar ramuan untuk penyakit tertentu, bagaimana pasangan suami isteri memilih jenis kelamin laki-laki bagi calon anak mereka, tafsir tentang mimpi, membaca garis wajah untuk menentukan karakter dan nasib orang (physiognomy), membaca garis tangan untuk meramal nasib seseorang (palmistry), kutipan kata-kata bijak (etika dan moral), firasat atau pertanda, pengetahuan numerologi (angka baik dan buruk dan masih banyak materi yang lain.Dalam praktek sehari-hari, orang lebih banyak menggunakan Tong Shu untuk mendapat petunjuk hari baik. Terutama mereka yang hendak membuka usaha baru, menaikkan omzet dagang atau bisnis, memasuki rumah baru, memperbaiki rumah, melakukan perjalanan jauh, menikah dsb.Pengaruh Tong Shu sangat besar bagi orang Tionghoa. Jejaknya hingga kini dapat dilihatdari fakta bahwa setiap tahun, buku setebal kurang lebih 5 centimeter itu, terus-menerus dicetak. Tak terkecuali di negara kita. Walau tidak ada data resmi, namun diperkirakan hampir satu juta eksemplar seiap tahun, Tong shu laris manis terjual. Perkiraan ini dikaitkan dengan sebaran orang-orang Tionghoa perantauan yang ada di Asia Tenggara, Eropa, Amerika Utara, dan Australia.
“Orangtua saya juga mengoleksinya,” ujar Herlina Fu salah seorang pengurus Perhimpunan Perempuan Tionghoa Indonesia (PINTI) Sumut.

Bersumber Ajaran Tao

Menurut Suhu Berry CWT dari Vihara Setia Buddha, Medan Tembung, Tong Shu bersumber dari ajaran Taoisme yang dikembangkan oleh Lao Tzi. Kitab Tong Shu itu sendiri telah mengalami beberapa kali penyempurnaan. Salah satu yang ikut menyempurnakan buku Tong Shu menurut Suhu Berry CWT adalah Zang Tian Shi, dengan menambah jimat atau mantra.Zhang Tian Shi dikenal sebagai dewa pengobatan. Ia memiliki keahlian membuat obat-obatan panjang umur yang diperoleh dari buku-buku kuno, dan menciptakan berbagai jimat (hu) untuk menolak berbagai macam penyakit dan bala. Hingga saat ini jimat-jimat tersebut tetap dipercaya umat Tao. Salah satunya adalah jimat penolak bala atau bencana (baijie hu).Namun istilah jimat sebagai terjemahan hu, menurut Berry CWT tidak terlalu tepat atau terlalu sempit. Hu lebih dari sekadar jimat, karena hu juga bermakna resep seperti yang dibuat dokter.”Hu yang berisi kata-kata itu dibakar dan abunya dimasukkan kedalam air sebagai obat bagi mereka yang sakit karena hal-hal gaib,” ujar Suhu Berry CWT. Ia dijumpai di Vihara Setia Buddha, Jl. Tirtosari, Medan Tembung, disela kesibukan melayani umat yang datang untuk bersembahyang dan berobat, Sabtu sore (6/7). Jimat dalam Taoisme juga dibuat untuk hal-hal baik. Taoisme sangat tegas dalam hal ini. Kekuatan gaib harus digunakan untuk kebaikan, bukan kejahatan.Jimat atau mantra juga tidak bersifat rahasia seperti jimat dari bangsa lain. Di dunia maya setiap orang dengan mudah bisa mengakses dan melihat jimat-jimat tersebut. Tentu semua jimat itu ditulis dalam aksara Mandarin kuno. Aksara Mandarin yang belum dibakukan oleh Pemerintah Tiongkok.
Soal apakah sebuah jampi-ampi ampuh atau tidak bagi si pengguna, bergantung pada kekuatan spiritual si penulis jimat dan derajat keyakinan si pengguna jimat.

Moralitas Mengubah Nasib Buruk

Menurut Tio ie Aoa (82), sekalipun Tong Shu bersumber dari ajaran Tao, namun siapa saja bisa memanfaatkan Tong Shu. Syaratnya hanya harus percaya. Ie Giok, nama panggilan Tio Ie Aoa, sudah sejak umur 20 sudah memelajari Tong Shu secara otodidak. Meski sudah puluhan tahun memelajari Tong Shu, secara jujur ia mengaku belum sepenuhnya menguasai seluruh pengetahuan yang ada.Ie Giok mengaku lebih mendalami teknik meramal peruntungan orang lewat teknik bazi (baca patze) atau 4 pilar delapan huruf. Empat pilar itu tahun, bulan, hari dan jam kelahiran seseorang. Empat pilar itu menurut Ie Giok yang menentukan nasib seseorang dalam kehidupannya.Menurut Prof. Gondomono, kosmologi masyarakat Tionghoa kuno memercayai bahwa nasib seseorang sudah ditentukan oleh hubungan sebab akibat dari kekuatan-kekuatan astrologis yang ada sejak seseorang dilahirkan. Namun sejak dulu juga, orang Tionghoa kuno berusaha mengubah nasib mereka dengan memanipulasi kekuatan adi kodrati untuk mendapat bantuan dari perlindungan.Menurut Ie Giok, nasib buruk seseorang hanya bisa dikurangi agar tak terlalu buruk, bukan diubah jadi lebih baik. Caranya dengan membuat banyak karma baik selama hidup.”Kunci mengubah nasib buruk tergantung moralitas orang itu sendiri,” ujarnya.

Wajah Menjelaskan Segalanya

Membaca peruntungan seseorang juga bisa lewat karakter wajah. Orang Tionghoa kuno percaya wajah bisa menjelaskan segalanya. Buku Tong Shu menurut Ie Giok memiliki puluhan pengetahuan tentang jenis bentuk wajah orang, yang menggambarkan kecenderungan karakter dan peruntungan mereka.Orang yang memiliki hidung besar dan dahi lebar cenderung memiliki kekuasaan yang hebat. Jika ditempatkan di manapun, orang itu akan jadi peminpin. Orang yang memiliki daun telinga panjang, tebal, memiliki nasib baik menjadi orang kaya. Sementara orang yang memiliki daun telinga bawah lebih tinggi dari garis alis mata, orang tersebut memiliki garis nasib sebagai pemimpin.Pada zaman dulu, tak sembarang orang bisa membaca dan memiliki Tong Shu. Buku biasanya dimiliki kaisar, kalangan bangsawan dan rakyat terpelajar.tak heran jika sangat sedikit orang yang ahli Tong Shu. Namun kini orang dengan mudah bisa membeli dan mengoleksi Tong Shu. Di toko-toko buku, buku Tiong Shu dibandrol antara Rp 150.000 – Rp 200.000 per buah..

Memperbanyak Kebajikan

Soal percaya atau tidak terhadap isi Tong Shu. Herlina Fu, punya sebuah pengalaman. Sekitar sepuluh tahun lalu, saat melakukan perjalanan ke luar kota untuk urusan bisnis, ia mengalami kecelakaan.”Saat melakukan perjalanan bertepatan dengan shio yang ciong,” tutur Herlina. Shio yang ciong adalah shio seseorang yang pada hari dan jam tersebut dilarang melakukan kegiatan penting karena peruntungannya kurang bagus. Karena feng shui itu dilanggar, lalu terjadilah kecelakaan.Meski memercayai Tong Shu, namun Herlina juga percaya bahwa nasib baik seseorang juga tergantung dari perbuatan, ucapan dan pikiran baik serta mata pencaharian yang benar.”Kalau sejak kecil kita baik, dan yang buruk datang, mungkin itu karma buruk masa lalu,” katanya. Kuncinya untuk mengubah karma buruk orang harus memperbanyak karma baik.”Berbuat baik tak perlu selalu pakai uang. Senyum dan kata-kata bagus juga sudah berbuat kebajikan,” katanya.Tulisan ini dimuat di rubrik Cakrawala Analisa hari Minggu 14 Juli 2019, lihat: http://harian.analisadaily.com/mobile/cakrawala/news/tuah-primbon-tionghoa-kuno/764983/2019/07/14

Dari Pelukis, Pengukir Sampai Sinshe

Oleh: J Anto

Karir Xu Qingzai sebagai pelukis, tak selamanya berjalan mulus. Sama seperti orang lain yang memilih jalan hidup sebagai seniman. Ada satu periode dimana ia harus melakukan kompromi untuk mendahulukan kepentingan keluarga. Dan itu tak ada hubungannya dengan seni lukis.Antara 1950 – 1960 saat masih tinggal di Bagan Siapi-api, ia memang total menekuni dunia seni lukis. Sebuah dunia yang bisa dibilang merupakan panggilan jiwanya. Selain jadi guru seni lukis di sebuah SMP Tionghoa, ia juga melukis untuk grup seni pertunjukan tradisional Tiongkok, Opera Tio Ciu Pan.Pentas opera tradisional Tiongkok itu biasanya menggunakan layar sebagai latar belakang pementasan. Di sanalah Xu Qingzai berperan melukis layar untuk memggambarkan seting cerita yang dibawakan. Tahun 1960, grup Opera Tio Ciu Pan hendak melakukan pertunjukkan di Medan. Xu Qingzai ikut dalam rombongan itu.Namun sesampai di Medan, pentas opera dibatalkan. Fragmentasi politik di kalangan masyarakat Tionghoa, memaksa pimpinan rombongan membatalkan pertunjukkan.
Ia lalu memilih tinggal di Medan. Sempat mengembangkan karirnya sebagai pelukis, tapi tahun 1970-an setelah berkeluarga, ia justru lebih menekuni kemampuannya yang lain: sebagai ahli pengobatan tradisional Tiongkok. Di Bagan Siapi-api, Xu Chang Yi, ayahnya, ternyata juga berpraktek sebagai seorang sinshe.

Belajar Pengobatan Tradisional ke Xiamen

Untuk memperdalam ilmunya, tahun 1986, ia belajar ilmu pengobatan ke Xianmen, Tiongkok selama kurang lebih 2 tahun. Xiamen merupakan kota kelahiran kakek dan leluhurnya. Di sana ia memelajari lima jenis pengobatan tradisional Tiongkok sekaligus. Antara lain tentang tulang, ortopedi dan akupuntur. Berbagau literatur ilmu pengobatan tradisional Tiongkok menurut Xu Qingzai banyak ditulis dalam aksara Mandarin.”Seorang sinshe sebaiknya bisa membaca aksara Mandarin, untuk menambah ilmunya,” katanya.Di Medan ia juga membuka praktek sinshe. Tempatnya di Jalan Asia yang sekaligus jadi tempat tinggalnya. Tahun 1970 sampai 1990-an pengobatan tradisional Tiongkok di Medan masih berjaya. Ia juga membuka liang teh. Ini teh ramuan dari berbagai tumbuhan Tiongkok yang berkhasiat untuk mengobati demam.Pengobatan Gratis untuk Warga Miskin
Sebagai sinshe, ia dikenal bertangan dingin. Ia juga aktif terlibat dalam kegiatan kemanusiaan pengobatan bersama Vihara Maitreya Jalan Gandhi. Selain mengajar dasar-dasar Bahasa Mandarin. Bersama pengurus vihara ia kerap melakukan pengobatan gratis untuk warga miskin di luar Kota Medan. Misalnya Tanjung Balai Karimun, Panipahan, Ledong, Sei Berombang, Dumai, Dupat, Duri dsb.

Pernah Melukis Tek Poh dan Sin Cu Pai

Meski berprofesi sebagai sinshe, ia juga sebenarnya tak meninggalkan seni lukis sama sekali. Di kalangan masyarakat Tionghoa Medan, Xu Qingzai juga dikenal sebagai pelukis Tek Poh dan Sin Cu Pai. Tek Poh (kain duka) adalah kain berisi kaligrafi ungkapan duka cita yang biasa diletakkan di depan papan jenazah. Ukurannya sekitar 1 x 1,5 meter. Ada juga yang digantung di rumah dekat tempat perabuan leluhur.Sedang Sin Cu Pai (papan peringatan) adalah kaligrafi yang diukir pada papan kayu, biasanya dari kayu mahoni yang digantung di tempat perabuan di rumah. Namun ada juga Sin Cu Pau yang menggunakan kertas merah.Xu Qingzai juga menerima les melukis dan kaligrafi secara privat. Sudah banyak muridnya. Beberapa bahkan sudah jadi beberapa pelukis terkenal. Pada pameran di Perguruan Boddhicitta, mereka ikut berpartisipasi.Tahun 1998 selama setahun ia diundang untuk tinggal di Vihara Maitreya Batam. Ia dikontrak untuk melukis seluruh dinding vihara. Lukisan itu berisi kisah klasik tentang 18 anak berbakti. Lukisan itu diukir oleh pengukir lain. Namun ia yang mengecatnya. Di Batam ia juga membuka praktek pengobatan.Xu Qingzai bersama isterinya sebenar berencana untuk mukim di Batam. Pengurus vihara telah memberi satu rumah untuk tempat tinggal keluarganya. Namun anak-anaknya tak ada yang mau ikut pindah, maka rencana itu pun batal.

Momen Kemenangan Tahun 1997

Xu Qingzai mulai serius melukis pada tahun 1997. Ada sebuah momen bersejarah yang jadi pemicunya. Tahun 1997, Pemerintah Inggris menyerahkan kembali wilayah yang pernah dikontraknya, Hong Kong, kepada Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok. Menandai momen bersejarah itu, diadakan lomba melukis. Pesertanya terbuka untuk umum. Lintas warga negara, lintas negara.Xu Qingzai mengirim lukisannya tentang sembilan ekor ikan di air dengan bulan di atasnya. Satu ekor ikan berhasil terbang menggapai bulan. Simbol bahwa satu keburuntungan telah dicapai. Lukisan itu berhasil keluar sebagai Juara ke-2
Selama puluhan tahun melukis, Xu Qingzai sudah banyak punya murid. Namun umumnya merekankini juga sudah sepuh-sepuh seperti dirinya. Bahkan ada yang sudah mendahuluinya. Di Medan ada beberapa muridnya yang tetap berkarya, misalnya Liong Suk Cen, Basri atau Aseng, dan Tao Yong. Ada juga muridnya yang sukses dan memiliki ratusan murid, yakni Su Tjen.Nah, kisah tentang Su Tjen ini agak unik. Tak seperti murid lainnya, untuk diterima sebagai muridnya, Su Tjen harus menunggu sampai satu tahun. Saat guru dan murid itu bertemu pada pameran di Perguruan Boddhicitta, Su Tjen pun bertanya kepada gurunya ihwal lamanya ia diterima sebagai murid.Xu Qingzai akhirnya membuka rahasianya.”Itu gara-gara kamu terlalu cantik, saya tak mau saya punya keluarga hancur karena isteri nanti cemburu,” ujar Xu Qingzai sembari tertawa lepas. Pada akhirnya memang isteri Xu Qingzai yang merasa kasihan dan akhirnya membujuk suaminya untuk menerima Su Tjen sebagai muridnya. Soalnya Su Tjen tak hanya gigih, tapi berkali ia juga membawa buah tangan ke isterinya.”Udahlah kami terima, kasihan si Su Tjen…” bujuk sang isteri.
Akhh seniman.

Saat Xu Qingzai Melukis Indonesia

Oleh: J Anto

Sekalipun usianya sudah menginjak 75 tahun, namun Xu Qingzai masih produktif berkarya. Sebagai seniman yang menggeluti aliran seni lukis Tiongkok, juga seni kaligrafi, ia dikenal kerap melukis objek keindahan alam dan kekayaan tradisi yang ada Indonesia. Sebuah usaha menjembatani “pertemuan” antara dua kebudayaan yang berbeda.

Suatu hari, beberapa ekor bebek begerombol di samping rumah milik keluarga Xu Chang Yi di Bagan Siapi-api. Diam-diam, tak jauh dari situ, seorang bocah laki-laki menyaksikan kelakuan bebek-bebek itu. Saat bebek-bebek itu mematuk-matuk dinding rumah yang terbuat dari papan kayu itu, bocah itu tertawa terbahak.

Bocah laki-laki itu tak lain Xu Qingzai, kini dikenal sebagai salah seorang seniman kaligrafi dan seni lukis Tiongkok tradisional terkemuka di Medan. Saat itu usianya masih berkisar 10 tahun. Xu Chang Yi sendiri tak lain adalah ayahnya.

“Bebek-bebek itu tertipu, dikiranya gambar ikan-ikan yang tengah berenang di air pada papan itu ikan betulan, padahal itu lukisan mertua saya,” tutur Huang Qing atau Charoline sembari tertawa renyah.

Huang Qing adalah menantu perempuan Xu Qingzai. Tahun 1982 ia pernah jadi murid mertuanya. Belajar menulis dan membaca aksara Mandarin di Vihara Maitreya Jalan Gandhi Medan. Tentu saja itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Maklum saat itu, pemerintah melarang penggunaan Bahasa Mandarin, apalag mengajarkan menulis aksara Mandarin.

Kisah bebek yang ‘tertipu’ itu dituturkan Huang Qing Sabtu (6/4), di tengah berlangsungnya Pameran Seni Lukis dan Kaligrafi yang memajang 102 buah lukisan dannkalugrafi Xu Qingzai di Aula Perguruan Buddhis Boddhicitta, Medan.

Saat Emosi Meluap

Xu Qingzai sendiri ikut tersenyum saat mendengar penuturan menantu perempuannya itu. Masih berhubungan dengan lukisan, ada satu kisah lagi yang dituturkan Huang Qing. Suatu hari, saat masih duduk di bangku SD, Xu Qingzai meluap emosinya. Waktu itu guru senin lukis di sekolahnya, menampar pipinya. Hal itu berawal saat ia menyerahkan hasil lukisan yang dikerjakan di rumah kepada gurunya. Bukan pujian yang ia tuai, justru kecurigaan dan tempelengan.

“Ini bukan kamu yang menggambar kan? Ini lukisan orang lain kan?”
Karena saat itu ia masih kanak-kanak, ia tak berani melakukan protes. Tak sekali perlakuan seperti diterimanya. Saat merasa tak tahan lagi, ia langsung mengambil kapur dan secara demonstratif menggambar sesuatu di papan tulis. Guru dan murid lain melihat hasil lukisannya. Sejak itu guru seni lukisnya sadar akan bakat melukis yang dimiliki muridnya.

“Keluarga saya dari garis ayah memang keluarga pelukis,” ujar Xu Qingzai. Kakeknya, ayahnya dan pamannya bahkan bukan hanya pelukis. Mereka juga pemahat, bahkan dikenal memiliki keahlian pengobatan tradisional Tiongkok atau sinshe. Bakat seni dari kakek dan ayahnya itu menurun pada diri Xu Qingzai, anak keempat dari 5 bersaudara. Saat beranjak remaja, persisnya saat kelas 1 SMP, Xu Qingzai bahkan diminta pihak sekolah sebagai guru seni lukis di sekolahnya.

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Sekalipun punya bakat bawaan, namun Xu Qingzai menerapkan filosofi di atas langit masih ada langit. Ia merasa mengandalkan bekal melukis dari keluarganya saja belumlah cukup. Ia lalu belajar melukis dari Li Yi Qin, seorang pelukis di Bagan Siapi-api yang pernah belajar melukis di Singapore.

“Belajar seni itu tak ada habisnya. Sama seperti kepintaran yang diperoleh siswa di sekolah, takkan pernah cukup, harus senantiasa ditambah,” katanya.

Setelah pindah ke Medan, sekitar tahun 1960, ia juga belajar menulis syair Tiongkok pada Jiang Chen Shi, seorang guru Sastra Tiongkok yang dikenal sebagai ahli syair klasik Tiongkok. Jiang Chen Shi pernah mengajar di Sekolah Sutung (Sutomo). Tahun 1967, sebagai dampak ikutan peristiwa kekerasan politik tahun 1965, pemerintah Orde Baru melarang Bahasa dan Aksara Mandarin diajarkan di sekolah-sekolah. Jiang Chen Si, akhirnya hanya bisa memberi les privat secara terbatas.

Xu Qingzai punya alasan kenapa harus belajar menulis aksara Mandarin dan syair.

“Kalau sudah bisa melukis, saya juga harus bisa menulis aksara Mandarin dan membuat syair,” ujarnya. Xu Qingzai tak salah. Lukisan Tiongkok klasik, selalu mengandung tiga elemen: objek lukisan, syair yang ditulis dalam bentuk kaligrafi mengandung kisah tentamgbobjek lukisan dan nama pelukis beserta meterai.

Terentang dari Medan Sampai Taiwan

Begitulah, setelah serius menekuni dunia seni lukis, termasuk seni kaligrafi sejak usia 20 tahun, Xu Qingzai akhirnya dikenal sebagai salah satu seniman kaligrafi dan seni lukis Tiongkok klasik ternama di Medan. Ia telah banyak melakukan pameran, tunggal maupun bersama di sejumlah kota besar di Indonesia. Juga dinluar negri.

Tahun 2005 ia pernah diminta sebuah rumah sakit di Kwangju, Tiongkok untuk melukis kaligrafi di sana. Puluhan kaligrafi karyanya lalu dipajqng di dinding-dinding rumah sakit. Tahun 2006 ia pernahmenggelar pameran tunggal di Chin Men, Taiwan.

Para kolektor lukisannya tak hanya berasal dari Medan, Pekanbaru, Jakarta, Bandung, tapi juga dari Jerman, Singapura dan Taiwan. Harga lukisannya variatif. Mulai dari yang jutaan sampai seratus juta lebih. Ia dikenal memiliki kelebihan dalam melukis objek ikan. Lukisan ikan karyanyq dinilai banyak orang sangat hidup, hingga bebek pun pernah ‘tertipu’.

Hampir tiap ia melakukan pameran, lukisan ikan karyanya terjual habis. Tak sedikit juga yang memesan secara khusus. Bagi masyarakat Tionghoa, ikan memang dipercaya sebagai simbol kemakmuran.

Melukis Indonesia

Namun sebagai pelukis yang menganut gaya lukisan Tiongkok klasik, objek lukisannya bukan hanya ikan atau hewan lain seperti harimau atau elang. Bukan juga kekayaan dan keindahan alam Tiongkok. Ia juga melukis keindahan alam Indonesia, bangunan bersejarah, tradisi dan budaya masyarakat Indonesia.

Pada pameran yang diadakan di Perguruan Boddhicita Medan, 6 – 7 April lalu, ia misalnya memajang lukisan karyanya tentang Mesjid Agung Medan, Istana Maimon, Air Terjun Sipiso-piso, Menara Air PDAM Tirtanadi, Loncat Batu Nias, Karapan Sapi, Pelabuhan Belawan, Tanah Lot Bali, dan perempuan Karo di pedesaan.

Semua objek tersebut dilukis dengan menggunakan teknik lukisan Tiongkok klasik. Kkesan sebagai lukisan klasik Tiongkok pun kental terasa. Lihat misalnya lukisan Istana Maimon. Oleh Xu Qingzai ditambah ornamen taman yang penuh ikan tengah berenang, bunga dan pohon kelapa.

Lewat lukisan itu, Xu Qingzai seolah ingin mengatakan betapa serasi dan menyatunya bangunan Istana Maimon dengan alam sekitar. Lalu lukisan pada lukisan karapan sapi, ia tak membuat latar sawah, tapi di jalan berlatar belakang mesjid dan pohon kelapa. Ornamen yang dikenakan di kepala pemain loncat batu Nias mirip ornamen yang dipakai tentara kerajaan Tiongkok kuno.

Sapuan warna yang lembut dan mengandung unsur warna merah dalam gradasi tertentu, membuat lukisan jadi terasa sejuk di mata dan mengundang rasa keindahan yang dalam.

“Saya memang ingin memperkenalkan kekayaan alam dan budaya Indonesia lewat lukisan,” ujar Xu Qingzai.

Menghayati Keindonesiaan Lewat

LukisanSebenarnya Xu Qingzai tak hanya tengah melukis Indonesia. Ia juga tengah mengenalkan Indonesia ke kalangan penikmat seni lukis Tiongkok klasik yang tidak saja ada di Tiongkok, tapi juga di berbagai belahan negara lain. Xu Qingzai tengah mempertemukan dua unsur kebudayaan yang memengaruhinproses lreatifnya sebagai

seniman.

Di satu sisi ia mewarisi gaya melukis Tiongkok yang dipelajari dari ayah dan kakeknya yang berasal dari Xiamen, Tiongkok. Di sisi lain, ia lahir dan besar di Bagan Siapi-api dan Medan. Ia berinteraksi dan diperkaya dengan kultur masyarakat dimana ia menetap.
Hasil interaksi itulah yang dihayati dan direpresentasikan Xu Qingzai dalam sejumlah lukisan karyanya.

Sudah 500 lebih lukisan yang dihasilkannya. Sebagian besar kini disimpan para kolektor, sebagian disimpan di rumahnya. Ada juga yang memesan secara khusus dengan datang ke studionya di Medan. Pemesan seperti ini biasanya memesan lukisan diri atau keluarga. Zu Qingzai akan menambah ornamen agar lukisan memiliki roh sebagai Chinesse Painting Style.

Satu lukisan bisa selesai dikerjakan dalam satu atau dua setengah bulan. Tergantung besaran ukuran lukisan, juga kompleksitas ornamen tambahan yang diminta pemesan. Namun melukis bagi Xu Qingzai bukan sekadar menghadirkan sebuah objek lukisan agar bisa dinikmati orang. Baginya, melukis juga bukan sekadar hobi atau bertujuan melestarikan ‘darah seni’ yang diturunkan leluhurnya.

“Gambar dan lukisan kaligrafi Tionghoa itu penuh makna filosofi,” katanya. Sebagai pelukis, Ia juga mengaku ta khawatir akan kehabisan objek untuk dilukis.
“Setiap benda yang ada di sekitar kita itu bisa jadi karya seni,” katanya. Selama pameran, ia juga melayani permintaan pengunjung melukis kaligrafi nama-nama pengunjung pameran hingga membentuk sebuah syair.

Wangi Tobarium Parfum untuk Dunia

Oleh: J Anto

Pasangan peneliti Cut Rizlani Kholibrina dan Aswandi Anas dari Balai Penelitian Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli, berhasil menciptakan Tobarium Parfum dengan memanfaatkan minyak kemenyan Toba diramu atsiri flora hutan. Sebuah inovasi agar harum kemenyan Toba sebagai komoditi ekonomi bertahan melintasi perjalanan waktu panjang.

Tahun 2015 saat tengah mengisi liburan di Singapura, Cut Rizlani Kholibrina tak melupakan kegemarannya: ‘berburu’ parfum. Ia memang penyuka dan kolektor parfum. Saat di gerai sebuah mall ada ‘pesta diskon’ parfum, ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu.

Alumni program Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB Bogor tahun 2005 ini lalu membeli sebotol parfum. Harganya lumayan menguras isi dompet. Tak soal baginya. Kata Cut Rizlani, begitu mencium aroma parfum itu, ia langsung ‘jatuh cinta’. Namun ada yang membuatnya kaget saat mengamati botol parfum itu. Bukan ukuran botol yang kecil, tapi saat matanya tertumbuk pada tulisan styrax pada komposisi parfum.

“Wah, parfum ini mengunakan kemenyan,” tuturnya. Ia pun lalu memerlihatkan parfum itu kepada Aswandi Anas, suaminya.Sebuah inspirasi lalu lahir seketika itu juga. Kenapa tidak membuat parfum dari kemenyan Toba?

Komoditi ekspor ke Eropa dan Arab

Sejak tahun 2011 Cut Rizlani dan Aswandi Anas memang akrab dengan dunia kemenyan. Di kalangan petani yang ada di sekitar dataran tinggi Danau Toba, kemenyan populer disebut haminjon. Keduanya merupakan peneliti di Balai Penelitian Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2HK) Aek Nauli, Simalungun. Keduanya ahli silvikultur teknologi budidaya hutan.

Kemenyan Toba atau Styrax Sumatrana tumbuh di Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, Tapanuli Utara dan Samosir. Ada tujuh jenis pohon kemenyan, namun yang banyak dibudidayakan petani adalah kemenyan toba dan kemenyan durame (sytrax benzoin). Kedua jenis pohon kemenyan itu memiliki kualitas getah yang lebih padat dan jernih sehingtga harga jualnya relatif lebih mahal.

Selama ratusan tahun kemenyan dari Sumatera Utara ini telah jadi sumber penghidupan utama petani. Kemenyan bahkan telah jadi salah satu jenis barang rempah-rempah yang paling dicari para pedagang dari berbagai negara ribuan tahun silam. Kemenyan dicari untuk bahan obat-obatan, juga untuk ritual religi.

Mengutip Daniel Perret dalam bukunya Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut (2010), para pedagang dari Tiongkok misalnya disebut telah mengenal kemenyan di bagian utara Sumatera awal abad ke-6 M. Di Tiongkok kemenyan digunakan para tabib untuk pratek pengobatan. William Marsden yang menulis History of Sumatra, tahun 1783 menyebut kapur barus dan kemenyan sebagai komoditas berharga di Pulau Sumatera.

Marsden menjelaskan bahwa kemenyan yang telah diolah dikirim ke Eropa dan Arab sebagai bahan pelengkap acara ritual, ekspektoran (mengeluarkan dahak) dan pembuatan balsem yang terkenal dengan nama Turlington dan untuk obat (Marsden, 1999:105).

Namun seiring waktu, kejayaan kemenyan makin memudar. Produksi getah kemenyan petani makin menurun dari waktu ke waktu. Menurut Cut Rizlani penurunan itu cukup signifikan hingga 1.440 ton/hektar dalam empat tahun terakhir. Luas hutan kemenyan juga setali tiga uang. Jika tahun 1990 masih 21.119 hektar, tahun 2008 tinggal 16.359 hektar.

Produktivitas setiap pohon menghasilkan getah kemenyan per tahun kini rata-rata tinggal 0,5 kg sampai 0,75 kg. Padahal hasil penelitian menyebutkan pohon kemenyan unggul bisa memproduksi getah kemenyan 2 kg per tahun.Rendahnya tingkat produktivitas itu terkait usia pohon yang rata-rata sudah tua, sementara regenerasi terbilang lambat karena mengandalkan secara alami.

“Sama seperti usia manusia, produktivitas kerja saat usia 20 tahun tentu beda saat berusia 60 tahun,” ujarnya membuat analogi. Cut Rizlani dan Aswandi Anas ditemui Selasa (14/5) di Galeri Lebah di Kawasan BP2LHK Aek Nauli, Simalungun.

Menurut Aswandi Anas, konflik petani kemenyan dengan perusahaan pemilik HTI makin menambah runyam. Belum lagi harga kemenyan yang fluktuatif. Kadang 1 kilogram dihargai Rp 200.000, kadang Rp 300.000. Padahal di pasar internasional, harga kemenyan relatif stabil.Bertubi menghadapi masalah, banyak petani lalu memilih menebang pohon kemenyan mereka dan mengganti dengan tanaman kopi atau sawit.

Situasi ini membuat mereka prihatin. Jika tidak ada keberpihakan serius dari para pemangku kepentingan, bukan mustahil harum kemenyan toba dan durame suatu saat tak lagi tercium. Itu sebabnya sebagai peneliti BP2LHK Aek Nauli, mereka tergerak untuk mencari bibit pohon kemenyan unggul.

Budidaya Bibit Unggul

“Saya awalnya memang hanya bermaksud mencari bibit unggul kemenyan untuk dibudidayakan di Aek Nauli lalu hasilnya dimanfaatkan petani untuk memertahankan usaha kemenyan mereka,” tutur Cut Rizlani. Selama 3 tahun, pasangan suami isteri ini keluar masuk hutan bertemu dan berdialog dengan petani.

Mereka juga meminta petani menunjukkan pohon yang paling banyak menghasilkan getah kemenyannya.Semua pohon ditandai, dicatat secara berkala hasil getahnya. Getah kemenyan umumnya dipanen 4 – 6 bulan sekali. Dari hasil observasi, mereka lalu memilih beberapa pohon sebagai pohon induk untuk dibudidayakan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Aek Nauli.

Budidaya itu dilakukan lewat teknik silvikultur. Kini pohon-pohon kemenyan itu telah berusia 3 tahun. Namun menurut Aswandi, besar pohon kemenyan tersebut sudah seperti pohon usia 5 tahun. Di tengah usaha pemuliaan bibit unggul pohon kemenyan itulah, Cut Rizlani menggagas pengembangan parfum kemenyan.

Hilirisasi getah kemenyan menjadi parfum itu diyakini kelak mampu memperbaiki ekonomi petani kemenyan.Meski perempuan kelahiran Tapaktuan itu bukan ahli pembuat parfum, namun tak lama sepulang dari liburan di Singapura, ia langsung melakukan reksperimen meramu parfum. Tentu sebelumnya ia telah melakukan konsultasi dengan beberapa ahli kimia. Ia juga melahap saejumlah referensi, termasuk booklet yang dibawadari Singapura.

Ia juga membeli kemenyan dari petani untuk didestilasi jadi minyak kemenyan, termasuk menyuling beberapa flora hutan untuk dijadikan minyak atsiri. Setelah itu mulailah Cut Rizlani meramunya menjadi parfum.

Andalkan Indera Penciuman Diri

“Untuk mendapatkan aroma parfum, saya hanya mengandalkan indera penciuman saya saja. Sangat subjektif saya akui,” tuturnya. Ia juga memanfaat aswandi sebagai tester. Saat parfum hasil racikannya diperkenalkan ke teman-temannya di kantor, komentar mereka beragam. ‘Wah aroma apa ini? Seperti minyak telon”, ‘Gak enak aromanya’, bahkan ada yang bilang ‘seperti bau minyak setan’.

Alumni IPB jurusan Manajemen Kehutanan tahun 2002 itu sempat 4 bulan frustrasi mendengar komentar-komentar itu. Tapi ia tak putus asa. Ia terus melakukan berbagai eksperimen untuk mendapat aroma parfum yang enak. Saking banyaknya eksperimen, ia harus berkali menghirup bubuk kopi untuk menetralkan indera penciumannya.Butuh waktu tak kurang 2 tahun baginya untuk mendapat formula aroma yang cocok.

Puncaknya terjadi saat malam hari. Dalam kegundahannya, berdoa, meminta pertolongan kepada Tuhan. Usai sholat, dalam keheningan malam, ia lalu melakukan eksperimen lagi. Setelah selesai, suaminya yang masih tertidur, ia bangunkan. Dalam keadaan belum sepenuhnya sadar, Aswandi mencium diminta mencium aroma parfum hasil racikan terbarunya.

“Wah, ini enak aromanya,” ujar suaminya, Cut Rizlani girang, karena baru kali ini suaminya memberi komentar seperti itu. Ia lalu mencata formula itu. Begitu seterusnya hinggga saat ini telah ditemukan 7 varian aroma parfum yaitu: Rizla (floral fresh), Riedh@ (floral fruit), Jeumpa (cempaka), Azwa (Woody), Aphis (green oceanic), Tiara (oriental) dan Sylvia (forest).Saat manajer sebuah BUMN dan rombongan berkunjung ke BP2LHK Aek Nauli, Cut memberikan sampel parfumnya ke isteri sang manajer.

“Wah ini enak aromanya. Ini pasti mengandung unsur kayu.”

Komentar isteri manajer BUMN itu membuat Cut Rizlani senang. Hanya seorang penyuka parfum yang mengenali aroma minyak atsiri flora hutan.Kali lain saat ia ke hutan dan berjumpa seorang petani kemenyan yang baru pulang dari ladangnya, ia lalu meneteskan parfum racikannya ke tangan si petani.

“Ohh ini wangi kemenyan,” ujar si petani.

Kini Cut Rizlani telah mampu memproduksi 1.000 botol parfum dalam ukuran 6 ml, 15 ml dan 25 ml. Nama Tobarium parfum diberikan oleh Kepala BP2LHK Aek Nauli, Pratiara. Untuyk pemasaran, saat ini Tobarium parfum saat ini selain dikelola Koperasi BP2LHK Aek Nauli, juga dijual secara online lewat sosial media. Satu botol ukuran 6 ml dibandrol Rp 40.000, sementara untuk ukuran 15 ml Rp 125.000.

Aroma Lebih Kuat dan Tahan Lama

Tobarium parfum diklaim memiliki sejumlah kelebihan. Pertama tidak mengandung unsur alkohol sebagaimana biasa digunakan parfum umumnya. Sifat alkohol menurutnya mudah menguap sehingga aroma parfum cepat hilang. Sebaliknya minyak kemenyan pada Tobarium parfum membuat aroma parfum lebih tahan lama bertahan.

“Kosentrasi parfum alkohol biasanya hanya 30-35%, sehingga umumnya hanya tahan selama 7 jam. Sedangkan parfum kemenyan memiliki konsentrasi sebesar 60-70%, sehingga parfum ini akan tahan 2-3 hari jika dioleskan di baju dan bertahan selama 1 hari jika disemprotkan pada tubuh,” ujar Cut Rizlani.

Minyak kemenyan juga mampu mengikat 3 sampai 4 kali lebih kuat aroma parfum. Jika minyak kemenyan dicampur dengan aroma bunga, maka aroma bunga itu akan naik 5 kali. Satu botol parfum itu sendiri bisa memiliki 7 aroma berbeda. Tiap aroma yang berasal dari minyak atsiri diikat dan dikuatkan oleh minyak kemenyan sehingga tidak bercampur.

“Karena itu dalam 2-3 jam setelah disemprot ke tubuh, bisa muncul aroma parfum yang berbeda-beda,” tambah Aswandi. Kelebihan lainnya adalah aroma parfum kemenyan mampu memberi relaksasi pada syaraf otak.

Tobarium parfum kini telah jadi satu dari 20 Produk Unggulan Iptek (PUI) 2019 dari Kementrian Riset dan Teknologi untuk Pengelolaan Hutan Tropis Dataran Tinggi. Pada Juni 2019, parfum kemenyan dari BP2LHK Aek Nauli ini akan dipamerkan pada ajang Indonesia Inovasion Day di Jerman.”Jika ada investor asing yang tertarik untuk melakukan investasi memproduksi Tobarium Parfum, kita memberi syarat pabriknya harus dibangun di wilayah Toba untuk menjamin kesejahteraan petani kemenyan,” kata Cut Rizlani.

Sebuah syarat yang logis dan jelas bukan neko-neko. Tapi semua itu untuk menjamin agar kelak, harum kemenyan Toba tetap tercium di kalangan petani haminjon.

Kho An Kim Dalam Tahanan Jepang

Screenshot_2019-02-08-17-17-13-1.pngOleh : J Anto
Sejumlah wartawan dan penulis Tionghoa dipenjara selama masa pendudukan Jepang (1942-1945). Beberapa menulis dan menerbitkan memoar selama dipenjara. Di Medan, pengarang roman Medan dan aktivis Liga Anti Fasis Jepang, Kho An Kim menerbitkan memoar Pendjara Fasis, atau Dari Neraka ke Neraka. Arsip buku itu kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Pada soeatoe pagi, tanggal 13—5—’44 djam telah berboenji 9 kali; alamat hari telah poekoel sembilan pagi. Dalam seboeah waroeng kopi jang berada di pekan Poeloe Braijan, disanalah saja doedoek seorang diri minoem kopi sambil mengoenjah-ngoenjah koewe. Sedjoeroes kemoedian saja poen memasang api rokok saja, tiba-tiba dari djaoeh tertampaklah seorang sahabat saja datang mendapatkan saja jang sedang doedoek berangan-angan itoe.

“Apa kabar Toean Kho? Slamat Pagi!” oedjarnja dengan tiba-tiba.
“Kabar baik”, sahoetkoe kemoedian mempersilahkan dia doedoek sambil meminta setjangkir kopi oentoeknja.

Begitulah cara Kho An Kim mengawali memoarnya, Pendjara Fasis, atau Dari Neraka ke Neraka. Sebuah memoar yang berisi pengalaman penulis selama 15 bulan menjadi tahanan Jepang. Ia bersama tahanan lain dipenjara di Pematangsiantar.
Dalam catatan Kho An Kim, dari 536 tahanan, hanya tinggal 252 tahanan yang hidup. Sisanya sebanyak 284 tahanan meninggal karena makanan yang buruk dan berbagai penyakit karena tidak mendapat pertolongan medis memadai.
Buku Pendjara Fasis diterbitkan Januari 1947. Penerbitnya Toko Boekoe Djaman Medan, milik Kho An Kim sendiri. Sebelumnya, kurang lebih enam bulan, di Jakarta, wartawan Sin Po dan penulis buku-buku sastra dan kebudayan Tionghoa, Nio Joe Lan, menerbitkan memoar Dalam Tawanan Djepang. Penerbitnya Lotus Co.
Buku itu juga berisi kisah pengalaman Nio Joe Lan dipenjara tentara Jepang. Pada tahun 2008 buku itu diterbitkan ulang oleh Penerbit Komunitas Bambu.

Mirip Buku Roman
Membaca memoar Ko An Kim, ibarat membaca buku roman spionase. Kho An Kin memang dikenal sebagai salah seorang penulis sastra peranakan Tionghoa yang berkarya tahun 1930-an. Ia telah menulis beberapa roman seperti Tjinta Kemerdekaan, Iboe Boeta, Boenga Berhajat dan Terdjatoeh Ke Djoerang.

Ia juga anggota Liga Anti Fasis Jepang, organisasi rahasia yang dibentuk sejumlah tokoh politik Tionghoa perantauan, termasuk di Medan. Organisasi ini menggalang dana dan senjata untuk membantu Tiongkok saat berperang melawan Jepang.

Novelis terkemuka sekaligus pendiri organisasi ini adalah Whang Rhen Shu atau Barhen (Muhammad Radja, Kerja Berat Revolusi dalam Anthony Reid, Sumatera Tempo Doeloe: 2010).
Aktivitas politik inilah yang membuat Kho An Kim ditahan bersama sejumlah tokoh Tionghoa lain saat tentara Jepang menduduki Indonesia. Ia ditahan karena menyembunyikan Mah Poh Leng, salah satu mata-mata pemerintah Tiongkok di Medan. Kisah Kho An Kim bertemu dengan tokoh yang hendak disembunyikan dari incaran Kempei, polisi Jepang, dikisahkan mirip sebuah spionase.

Selama dua hari, ia tak tahu bahwa ‘kenalan baru’ yang dikenalkan, Yoe Gek, temannya, di sebuah toko pembuat sabun, adalah mata-mata yang hendak dicarikan rumah persembunyian itu. Kisahnya suatu hari, ia diajak Yoe Gek, pergi ke Sunggal. Si ”kenalan baru’ diajak juga. Dari Berayan, bertiga naik sepeda mereka menuju ke Sunggal untuk ditemukan dengan Ma Poh Leng.

Tidak lama kemoedian kami bertiga poen membelok ke kiri mengambil djalan arah ke Soenggal, kira2 tiga tiang talipon djaoehnja tamoe baroe itoepoen berkata sambil mengeloearkan pas badannja la’oe dioendjoekkan kepada saja, katanja:
“Toean Kho! sekarang saja mempernalkan diri saja. Saja adalah “Ma Poh Leng” jang toean Kho ingin berdjoempa, inilah pas badan saja diatas nama “Ma Wah”.
“Oh!” seroekoe sambil toeroen dari sepedakoe.

Kaya Detil dan data
Sebagai penulis roman, ada juga beberapa kelebihan dari buku karya Kho An Kim. Pertama, gaya penulisan buku itu menggunakan teknik perkisahan orang pertama. Strategi seperti ini membuat buku ini mampu menghadirkan deskripsi yang cukup hidup. Misalnya saat penulis membuat gambaran orang lain yang muncul dalam buku, keadaan ruangan tempat ia pertama kali ditahan, keadaan ruang penjara di Pematangsiantar, proses penyiksaan yang ia alami atau bahkan deskripsi Kota Medan saat dikeluarkan dari penjara.

Dialog-dialog dari para juru periksa atau orang-orang lain yang berhubungan dengan penulis juga ditampilkan. Itu membuat memoar Pendjara Fasis bak tulisan sebuah novel.
Kedua, buku memoar ini juga kaya detil, terutama terkait nama-nama tahanan Tionghoa yang dipenjara dan meninggal dalam tahanan. Menurut penulis, di Penjara Siantar ada 536 orang yang dipenjara. Jumlah tahanan orang Tionghoa berjunlah 95 orang, yang meninggal dalam tahanan 7 orang, sedangkan 5 orang dibebaskan sebelum peperangan berhenti. Apa penyebabnya, penulis mengaku tak tahu.

Tujuh tahanan Tionghoa yang meninggal dalam tahanan adalah: 1. Tjia Hoey Ying, Lie Kim Ong, Ng Han Heng, Tjong Tih Nam, Tjan Koei, Tjoe Seng Kie dan Ho Wei Ching.
Dalam bukunya penulis juga menyebut ada 11 siswa sekolah Sutung yang dianggap tokoh organisasi anti Jepang. Kesebelas orang itu ditahan di Bukti Tinggi dan dihukum mati di sana.

Pantun Penderitaan Sebagai Tahanan Politik
Kho An Kim dipenjara selama 15 bulan sejak. Ia ditahan karena menyembunyikan spionase Tiongkok, Ma Poh Leng. Namun dalam bukunya, Kho An Kim menyebut organisasinya Partai Peranakan Tionghoa (Papeti), bukan Liga Anti Fasis Jepang. Tugasnya di Pepeti sebagai “Oetoesan” yang setiap 3 hulan sekali keluar kota menarik iuran amggota.
Tentang bagaimana kekejaman tentara Jepang selama menduduki Medan, ia antara lain menulis:

Pada tanggal 14 Boelan Doea, doea hari sesoedah mereka mendarat di poelau ini, oleh seorang opsir Djepang dengan sengadja atau tidak dengan sengadja telah memantjoeng 5 orang Tionghoa di Djalan Hakka Medan. Kelima kepalanja teiah diletakkan diatas batoe bakaran dan dipertontonkan pada oemoem empat hari lamanja. Keterangan jang kami dapat, bahwa tiga orang diantaranja itoe tidak berdosa telah mendjadi korban keganasan Djepang terseboet. (hal 12).

Kho An Kim sendiri ditahan tanggal 19 Juni 1944 saat berkunjung ke rumah persembunyian Ma Poh Leng di daerah Tanjung Mulia. Ada 4 Kempei, atau polisi Jepang yang menangkapnya. Dengan tangan diikat is lalu dibawa ke Kantor Kempei yang berada di Jalan Paleis Medan. Ma Poh Leng sendiri sebelumnya sudah ditangkap.

Di Kantor Kempei ia mengalami berbagai siksaan. Mulai dipukul dengan sepatu, ditendang, sampai terberat, disuruh buka mulut lalu air dari kran leding dikucurkn hingga membuat susah bernapas. Sebagai pengarang roman yang gemar menyelipkan pantun dalam karya-karyanya, dalam memoar Pendjara Fasis, ia juga menyelipkan pantun, baik saat dinterogasi di kantor Kempei Medan maupun saat ia dipenjara di Siantar.

Teringat Maka Terkenang adalah pantun yang ditulis untuk menggambarkan perasaannya saat di tahan di Kantor Kempei, berikut kutipan 4 dari 12 larik pantun tersebut: /Djika diingat dikenang-kenang/Beban hoekoeman tanggoengan seorang/Hati; didalam rasa tergoentjang/Rasa gembira lenjap terbang//Doeloe beta beloem terdjerat/Kesana sini tidak terikat/Pikiran waras tidak tersoembat/Pergaoelan loeas dengan sahabat/Kini beta soedah terkoeroeng/
/Disiksa dengan air tjekoekan/Diikat sebagai ajam boeroeng/Dipaksa mengakoe dengan antjaman/Adoeh sedih datang menerdjang/Teringat kopi terbajang-bajang//Doeka lesoeh ganggoe menjerang/Asap rokok tak lagi terbang/Kesal, doeka, silih berganti/Sjeitan iblis pengaroehi hati/

Bubur Gaplek dan Sayur Kangkung
Dari kantor Kempei, Kho An Kim lalu dipindah ke Rumah Tahanan Dua di Sukamulia. Di sana setelah berkali diperiksa, ia alhirnya mengakui kesalahannya karena membantu menyembunyikan mata-mata Tiongkok. Kho An Kim dihukum 10 tahun penjara. Pada tanggal 11 Boelan Oktober Kho An Kim bersama tahanan lain dari Medan dipindahkan ke Penjara Siantar.

Di sini para tahanan politik dicukur plontos kepalanya. Sarapan pagi mereka diberikan pukul 06.00 di tanah lapang yang ada tengah penjara. Menunya bubur gaplek dan satu cangkir batok air panas. Makan siang tetap sama makanannya bubur gaplek, cuma ditambah sayur kangkung.
Di penjara Siantar tiap grup tahanan punya seorang kepala atau mandor. Tugas tahanan adalah menyulam jaring topi untuk pakaian tentara Nippon dalam peperangan. Hidup sebagai tahan politik saat perang tentu tak enak
Kho An Kin menggambarkan keadaan di penjara Siantar seperti ini:

Seminggoe kemoedian, berangsoer-angsoer makanan kami dikoerangi, dan makanan tengah hari laloe diganti dengan djagoeng meloeloe, ditambah dengan doea bidji tjabe boeroeng dan sajoer kangkong; makanan sore diganti dengan nasi poetih disertai djoega sajoer kangkong dan ikan teri doea ekor sebesar batang sigaret itoe.
Hatta pada soeatoe kali saja tjoba menghitoeng banjaknja bidji djagoeng itoe, terdapatlah 273 boetir; nasi sore jang kami dapat adalah sebanjak makanan koetjing (kira2 doea genggam nasi). Dari sehari kesehari kami ditimpa oleh kelaparan, hebatnja penjakit kelaparan itoe telah memboeat sekalian orang hoekoeman terganggoe akan otaknja, nafsoe amarahnja sering timboel, tetapi tidak berdaja karena sanngat lemah ….

Meski menderita, namun Kho An Kim mengakui bahwa kondisi tahanan orang Eropa jauh lebih menderita lagi.

Orang Eropa (koelit poetih) jang dikoeroeng dalam pendjara Siantar ada berdjoemlah 34 orang. Mereka itoe sangat dipandang rendah oleh directeur dan pegawei2 itoe. Mereka ditempati dalam kamar sel seperti orang Asia jang kena hoekoem berat. Pertama kali sewaktoe pesakitan Asia boleh terima kiriman boeboer katjang, tapi mereka tidak. Kemoedian, sesoedah lama diidjinkan poela. Sewaktoe kiriman nasi boleh masoek kedalam pendjara, mereka poen diidjinkan, tetapî kemoedian dalam seboelan lamanja mereka tidak dibolehkan poela; entah apa sebabnja ?

Setelah Jepang kalah dalam perang Asia Pasifik, pada tanggal 1 September 1945, seluruh tahanan politik dibebaskan dari Penjara Siantar. Kho An Kim dibawa kembali ke Medan. Sehari setelah berkumpul kembali dengan keluarganya, ia bersama sesama tahanan lain, diundang hadir ke sebuah acara. Tempat acara i sebuah gedung yang dinamakan ‘Perkoempoelan Saudagar Beras dan Goela” di Jalan Bali .
Pada waktoe jang soedah ditentoekan sajapoen hadir djoega. Disana soedah berkoempoel teman2 kos jang poelang dari Siantar kemaren, dan orang2 Tionghoa jang ternama.

Gedoeng itoe soedah penoeh padat oleh manuesia. Receptie itoe dipimpin oleh Toean Chao Hong Ping (seorang jang anti Nippon dan dapat melarikan dirinja dari intipan Kempei), kini, karena Nippon soedah djatoeh, beliau poen kembali dalam masjarakat Tionghoa). Dalam pidato, beliau telah berkata, menjatakan toeroet berdoeka tjita atas pengalaman kami dalam tawanan Djepang itoe, sebaliknja beliau djoega berbesar hati bahwa pemoeda2 Tionghoa soedah berani berkorban oentoek kepentingan bangsa dan noesa sendiri!

Sebuah memoar, memang berangkat dari sudut pandang pribadi pelaku. Ia dipengaruhi sikap, keyakinan dan pandangan politik penulisnya. Sekalipun demikian, memoar tetap bisa diperlakukan sebagai sebuah untuk memerkaya narasi sejarah. Barangkalin itulah nilai pustaka peninggalan salah satu penulis sastra peranakan Tionghoa Medan.
Sayang pustaka itu tak lagi ditemukan di Medan, tempat ia berkarya. Karya itu justru kini menghuni rak-rak buku perpustakaan di luar negri.

Memecah Kebisuan Lewat Teater

Oleh: J Anto

Mereka perempuan. Mereka juga buruh kebon, korban perdagangan manusia, nelayan marginal, petani gurem dan korban kekerasan dalam rumah tangga. Diskriminasi dan kekerasan, atas nama gender, baik di ranah privat maupun publik, akut dialami. Tapi mereka diam, menyimpan semua derita dalam sunyi. Teater lalu jadi media mereka untuk bersuara, memecah kebisuan.

_MG_0147

Pementasan tahun 2009 di Medan dalam kegiatan Gebyara sosialisasi Pilpres 2009 (Foto Edward)

Dua kali kejadian lucu, sekaligus menegangkan, terjadi saat Teater Suara dan Suara membawakan lakon “Suara-suara” di Teater Utan Kayu (TUK) Jakarta. Kejadiannya sudah berlalu 15 tahun lampau, namun masih segar menghuni ingatan Riani. Suasana ruang pentas TUK saat itu (2002) masih temaram.

Lampu sorot pentas belum dihidupkan. Suasana panggung dan ruang duduk penonton terlihat remang-remang. Seperti pentas teater atau seni pertunjukkan lain di TUK, lampu sorot panggung baru menyala saat pertunjukkan dimulai.
Para pemain telah bersiap-siap.

Mereka adalah perempuan buruh kebon, mantan TKW, nelayan, petani dan korban KDRT. Mereka berhimpun sebagai anggota Teater Suara dan Suara sejak 1999. Begitu lampu sorot menyala, suasana sontak sosok tubuh pemain terlihat jelas.

Suliyati, salah seorang pemain, mestinya melakukan monolog begitu lampu menyorot ke arahnya. Namun yang terjadi, saat itu mulut buruh kebon itu seolah terkunci rapat. Riani, sutradara sekaligus pemain pendukung yang duduk di barisan belakang sempat dag dig dug menyaksikan kejadian itu.
Namun hanya sekian detik, dialog langsung mengalir saat pemain lain mengumpan dialog “menyelamatkan” situasi.

“Kenapa kamu, kok diam saja?”tanyanya.
“Iya, aku gugup kena sorotan lampu. Waktu main di desa, mana pernah awak pakai lampu sorot. ”

Tawa penonton pecah mendengar jawaban “polos” Suliyati. Dialog ini sejatinya tak ada dalam sekanario saat mereka berlatih. Kisah lucu serupa terjadi pada pemain lain, namanya Sutarmi. Sutarmi juga jadi grogi karena sorot lampu.Sama sepwrti Suliyati, ia jadi lupa dengan isi undang-undang perburuhan.

“Kenapa diam?”
“Aku masih mabuk laut, karena ke kita ke sini kan naik kapal laut,” ujar Sutarmi.

Penonton kembali tertawa.

IMG_0764

Pementasa dalam rangka mengadvokasi perempuan korban kekerasan (dok Teater Suara dan Suara)

Pada pertunjukkan lain dan di tempat berbeda, Jumsiah, ibu rumah tangga korban KDRT, memerankan sebagai seorang ibu yang anaknya mengalami kekerasan. Saat adegan pertemuan dengan anaknya, Jumsiah tiba-tiba menangis melihat keadaanbanaknya. Tak ada kata-kata yang terlontar dari Jumsiah. Ini juga di luar skenario. Namun penonton terkesima menyaksikan “akting” Jumsiah. Mereka bertepuk tangan.

Usai pementasan, Riani dan Sri Rahyu, langsung memberi selamat kepada Jumsiah, memuji aktingnya yang hidup. Tapi apa jawaban Jumsiah?
“Aku tadi nangis karena lupa dialognya, aku grogi, berkeringat dingin, aķhirnya hanya bisa nangis.”

Rabu (13/9) sore, di Pendopo Kantor HAPSARI, Jalan Thamrin, Lubuk Pakam, Deli Serdang, gelak tawa berkali pecah saat Riani (48), Koordinator Teater Suara dan Suara, mengisahkan sepenggal pengalaman para perempuan desa berteater.
Riani tak sendirian, ia ditemani pengurus beberapa perempuan lain yang pernah aktif bermain di Teater Suara dan Suara. Mereka Farida A Lubis (57), Sri Rahayu (31), Sawini (43) dan Sumirah (47), Suindrawati (35), Siti Khadijah (39) dan Zulfah Melati Ardilah (26).

“Sejak awal kami sepakat bahwa teater itu jadi media bagi perempuan desa untuk bersuara,” ujar Riani, Koordinator Teater Suara dan Suara Deli Serdang. Teater ini dinisiasi oleh Lely Zailani, pendiri HAPSARI, sebuah organisasi non pemerintah berbentuk perhimpunan.

Anggota HAPSARI adalah serikat perempuan, jumlahnya saat ini 10 serikat yang tersebar di Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Tengah. Anggota serikat adalah kaum perempuan pedesaan seperti buruh kebon, korban perdagangan manusia, korban KDRT, petani, dan nelayan.
HAPSARI mengemban mandat menjadi wadah perjuangan gerakan perempuan untuk mewujudkan perubahan kehidupan yang lebih berkeadilan dan meninggikan derajat kemanusiaan perempuan.

Berawal dari Role Play
Perempuan desa umumnya menghadapi diskriminasi dan kekerasan akibat kuatnya pengaruh budaya patriarki. Di ranah privat mereka sering menjadi korban kekerasan (KDRT). Di ranah publik mereka kerap mendapat kekerasan dalam bentuk diskriminasi pengupahan dan pelecehan (seksual).

“Mandor kebon misalnya kerap mencolek pantat buruh perempuan karena status mereka sebagai buruh harian lepas yang sangat tergantung mandor kebon,” ujar Sri Rahayu. Farida A Lubis, perempuan yang pernah jadi mandor di sebuah usaha perkebunan di Serdang Bedagai mengamini cerita Sri Rahayu.
Namun berbagai kasus kekerasan dan diskriminasi yang mereka alami, mereka kunci rapat-rapat. Tak ada keberanian untuk bersuara, apalagi berjuang melawan penindasan yang mereka alami. Sekalipun pelaku kekerasan adalah orang terdekat. Sekian lama perempuan desa diam dalam kebisuan.

Masalahnya bagaimana cara memecahkan kebisuan itu?

“Saat mereka ditanya kenapa mau mengikuti pelatihan yang diadakan HAPSARI, tak ada satu pun yang berani ngomong. Semuanya diam,” tutur Riani yang juga Ketua Pelaksana HAPSARI. Bicara tak berani, mengungkapkan kisah penindasan atau pendapat secara tertulis apalagi. Selain tak akrab dengan budaya tulisan, tak jarang juga masih dijumpai peserta yang buta huruf.

Namun situasi berubah saat sesi role play atau bermain peran. Pada sesi itu, peserta disuruh melakukan reka ulang adegan yangvterjadi di rumah saat minta izin dari suami untuk mengikuti pelatihan. Mereka juga disuruh reka ulang kata-kata yang mereka ucapkan kepada suami dan jawaban suami.
Ternyata hampir semua peserta mampu melakukan reka ulang adegan. Termasuk dialog yang terjadi dengan suami.

“Itu karena mereka ingat apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka katakan,” ujar Riani. Sejak itu muncul kesadaran untuk menggunakan teater sebagai media untuk menumbuhkan keberanian perempuan untuk bicara dan mengungkapkan masalah-masalah yang mereka hadapi di depan umum.

Semua bisa jadi Pemain Teater
HAPSARI punya kredo, setiap perempuan desa bisa bermain teater karena sejatinya setiap hari mereka telah berteater dengan masalah sehari-hari dalam kehidupan rumah tangga mereka. Juga dalam kehidupan publik sebagai buruh kebon, nelayan atau petani.

Dari kiri atas (searah jarum jam) Melati, Siti Kathijah, Farida Lubis, Sri Ayu dan Riani, Koordinator Teater Suara dan Suarapage

Dari kiri atas (searah jarum jam) Melati, Siti Kathijah, Farida Lubis, Sri Ayu dan Riani, Koordinator Teater Suara dan Suarapage

Gagasan menjadikani teater sebagai media memperkuat kaum perempuan semakin diteguhkan saat tahun 2000, HAPSARI mengadakan Lokakarya “Teater Sebagai Media Pendidikan.” Narasumber yang adalah Lena Simanjuntak, Lely Zailani dan Sudarno.

Dari lokakarya itu Riani mengaku banyak mendapat pembelajaran. Ia misalnya jadi tahu bahwa saat di ruang pertunjukkan, posisi pemain tak boleh membelakangi penonton. Olah vokal penting, terutama jika pentas dilakukan di ruang terbuka dan pemain tidak menggunakan alat pengeras suara. Properti pentas juga penting untuk mendukung agar cerita lebih mudah dipahami penonton.

Skenario juga diajarkan, namun menurut Riani ia tak terlalu dimengerti.
“Konsep berteater kami, selama ini skenario disusun bersama pemain, pemain karena itu sekaligus juga penulis naskah dan sutradara, saya sendiri hanya memberi arahan garis besar dialog, dan akting pemain pads tiap adegan,”tutur Riani. Mengingat lakon yang dipentaskan adalah cerita sehari-hari yang dialami pemain, maka akting dan dialog pemain tidak terlalu susah. Senario biasanya tersusun, walau lisan, setelah pemain melakukan latihan pertama kali.

“Dari latihan itu saya lalu membuat garis besar cerita dan membagi per adegan,” ujar ibu dari 2 anak yang pernah jadi buruh kebon sawit itu.
Pernah, seorang seniman kondang diundang memberi latihan. Naskah cerita disusun tertulis. Pemain disuruh memegang naskah sembari melakukan gerakan-gerakan teatrikal yang tak mereka temukan dalam cerita keseharian mereka.

“Naskah dialog memasukkan kalimat-kalimat versi si seniman, gerakan bisa diingat, namun dialog banyak yang lupa karena menggunakan bahasa yang tak biasa dipraktekkan pemain sehari-hari?” tutur Sri Rahayu. Akhirnya skenario tertulis diabaikan.

Sudah puluhan kali Teater Suara dan Suara melakukan pentas di berbagai kota. Mereka misalnya pernah tampil di TUK Jakarta, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Jaringan Kerja Budaya (JKB). Di JKB mereka pentas di Sanggar pematung Dolorasa Sinaga.

Lakon cerita umumnya berkisah tentang ketidakadilan yang dialami buruh perempuan di perkebunan. Soal diskriminasi dalam pengupahan, fasilitas kesehatan yang minim dan pelecehan seksual yang kerap dialami. Juga kasus perdagangan perempuan, perkosaan terhadap anak, kekerasan yang dialami perempuan dalam rumah tangga, nasib nelayan yang terjerat tengkulak dan masalah lain yang terus menimpa kaum perempuan di pedesaan.

Akan Terus Berteater
“Kami akan terus berteater sepanjang belum terjadi kesetaraan relasi antara kauum perempuan dan laki-laki,”ujar Riani. Bagi Riani teater bukan hanya wadah untuk perempuan belajar bicara, tapi juga belajar mengekspresikan perjuangan mereka meretas kesetaraan. Dan sekalipun waktu terus berlalu, perempuan korban kekerasan juga tak surut jumlahnya. Termasuk masalah yang dihadapi. Itu sebabnya, kebutuhan untuk berteater sebagai media penguatan korban juga akan senantiasa aktual.

“Berteater itu cara memerdekakan diri bagi perempuan korban kekerasan,” tambah Ayu.
Mengakhiri perbincangan jelang malam, Riani, Ayu, Farida, Melati dan Sawini lalu menyenandungkan sebuah lagu “Suara-Suara” karya Lely Zailani. Sebuah lagu yang selalu menjadi pembuka pada setiap pementasan:
Di sini kami bicara/di sini kami bersuara/di sini bukalah mata/di sini buka telinga/suara yang dulu bisu/tak ingin dibungkam lagi/segala jeritan luka/sekarang terungkap sudah/semua bersandiwara/di segala pentas cerita/semua jadi aktornya/kamilah yang menontonnya/kamilah yang jadi korbannya/kami yang bayar janjinya/di sini kami bicara/di sini kami bersuara/di sini bukalah mata/di sini bukalah hati

 

*Tulisan ini dimuat di harian analisa edisi Minggu,  17 September 2017 http://harian.analisadaily.com/cakrawala/news/memecah-kebisuan-lewat-teater/416574/2017/09/17

Media Massa dan Prasangka

Oleh: J Anto
Bekerja di Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatra KIPPAS)

Dspiritriau_Media-Massa-dan-Prasangkaiposisikan sebagai “kambing hitam”, termasuk oleh sebagian media massa, seolah “takdir” masyarakat Tionghoa Indonesia. Sebagai hasil konstruksi atas realita, wartawan dan media massa memang tak pernah bebas dari stereotip atau bias etnis. Wartawan tak pernah bisa netral, sekalipun jurnalisme telah menyediakan metode kerja untuk mengurangi kadar subyektifitas.

Belum lama ini di sebuah media jejaring sosial, seseorang mengunggah link berita sebuah situs berita online. Isi beritanya berupa pernyataan Kapolri yang meminta agar kasus penamparan terhadap seorang polisi yang dilakukan seorang warga harus diselesaikan secara hukum.

Sekilas tak ada yang istimewa dari berita tersebut. Orang melakukan penganiayaan, ringan atau berat tentu harus diproses secara hukun. Tak peduli status sosial atau latar belakang orang itu. Tak peduli juga siapa yang jadi korban aniaya tersebut. Berita itu jadi istimewa, dalam arti mengundang banyak komentar para pemilik akun jejaring media sosial lain, tak lain karena teknik pemberitaan yang dilakukan sejumlah media.

Pada judul berita misalnya, wartawan menyertakan atribusi kesukuan warga yang melakukan penamparan. Umumnya sangat jarang, bahkan boleh dibilang tidak lazim, atribusi suku menyertai pelaku kriminalitas atau kejahatan.

Lihat misalnya judul berita berikut: “Ali Merampok dan Bunuh Asep Karena Terlilit Hutang dan Digugat Cerai Istri “(Sinar indonesia Baru, 29/9/2015), atau judul berita ini; “Rahudman Ditahan di Rutan Cipinang, Bakal Diadili di Jakarta (Sumut Pos, 23/9/205).
Dalam berita tersebut, media tak menulis atribusi suku pelaku perampokan, atau si Ali itu. Setali tiga uang, media juga tak merasa perlu menginformasikan identitas kesukuan Rahudman.

Pun saat Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho ditahan oleh KPK karena terjerat kasus dugaan penyuapan ke hakim dan panitera PTUN Medan.

Sepanjang teramati, tidak ada media massa cetak, elektronik maupun media daring yang menulis atau menyebut atribusi suku dibelakang penulisan atau penyebutan nama Gatot Pujo Nugroho.
Tentu saja media massa tak perlu mencantumkan atribusi kesukuan karena tidak ada korelasi antara suku dengan kejahatan yang dilakukan. Orang dari suku apa saja memiliki kemungkinan melakukan kejahatan atau mungkin juga kebaikan.

Pertanyaanya, kenapa saat seorang warga Tionghoa Indonesia melakukan tindak kriminal, tak sedikit media massa yang mempertegas atribusi kesukuan pelaku kriminalitas?

Tahun 2001 sebuah surat kabar menulis: “Suwondo alias AN Peng Sui (43) pembobol dana Yayasan Bina Sejahtera Warga (Yanatera) Bulog senilai Rp 35 miliar. Pria keturunan Tionghoa itu….”
Bahkan dalam kasus penamparan terhadap seorang polisi tersebut, sejumlah media massa tak cukup memuat identitas kesukuan pelaku, tapi juga melakukan pemendekkan nama pelaku penamparan. Nama pelaku semestinya William, namun beberapa media memendekkan menjadi “Liam”?

Mudah ditebak, teknik pemunculan nama yang terkesan “dipaksakan” tersebut tentu dimaksudkan untuk mengikat perhatian publik bahwa pelaku penamparan adalah benar “pria Tionghoa” karena memiliki nama “oriental Liam”.

Selain itu pada tubuh berita juga bertabur setereotip. Misalnya ada media yang menulis bahwa kasus tersebut merupakan bukti “kegagalan warga pendatang” untuk “berbaur”. Bahkan diusulkan perlu adanya razia ke kampung-kampung Tionghoa untuk menguji “ideologi”warga Tionghoa. Juga untuk menguji apakah mereka bisa menyanyi lagu Indonesia Raya atau tidak.

Perkuat Talisilaturahmi
Media massa punya peran strategis dalamikut membangun dan memperkuat harmoni sosial. Media massa juga peran strategis untuk meminimalisir prasangka, mengurangi stereotip atau menumbuhkan rasa saling pengertian. Terlebih pada masyarakat multikultur seperti Indonesia yang senantiasa diwarnai prasangka atau stereotip dari satu suku atau etnis ke suku atau etnis lain. Prasangka atau stereotype biasanya menjadi sumber terjadinya tindakan diskriminasi.

Memang menurut Thung Ju Lan (2004) sejauh stereotype atau prasangka hanya berada dalam pikiran dan sikap seseorang, bukan pada tindakan nyata, maka hal tersebut masih belum bisa dikatagorikan sebagai persoalan diskriminasi. Suatu tindakan dikatakan sebagai tindakan yang diskriminatif ketika katagori-katagori pembeda yang dibuat atas dasar sterotyping dan prasangka dipergunakan untuk menghalangi para anggota kelompok yang digolongkan ke dalam katagori-katagori berbeda itu untuk mendapatkan hak yang sama dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup.

Karena itu pemberian atribusi etnis pada berita kasus penamparan seorang warga yang kebetulan etnis Tionghoa, dapat membangun kesan atau pemahaman yang keliru pada publik. Seolah perilaku orang Tionghoa Indonesia itu semuanya arogan, semena-mena, bahkan terhadap seorang aparat keamanan sekalipun. Semua orang Tionghoa itu “punya beking” orang kuat sehingga bisa “menindas” mereka yang tidak punya beking.

Tentu saja realitasnya jauh api dari panggang. Bahwa ada orang Tionghoa Indonesia yang memiliki beking untuk mengamankan usahanya, tentu itu sebuah keniscayaan. Sebaliknya ada, bahkan tak sedikit, pebisnis Tionghoa Indonesia yang tak memiliki beking, juga suatu keniscayaan. Juga sama niscaya dengan pengusaha non Tionghoa yang punya dan tidak punya beking.

Realita sosial itu ibarat pelangi, kaya warna. Karena itu saat merekonstruksi realita, wartawan dan media massa sebaiknya tidak seperti orang yang menggunakan kacamata kuda. Terlebih dengan penunggang yang mengibarkan bendera prasangka.

Informasi media itu mampu menyuntik dan membesarkan bola api prasangka dan stereotip. Tentu saja dalam kehidupan masyarakat majemuk, hal itu tidak kondusif untuk membangun upaya-upaya untuk memperkuat talisilaturahmi antar warga yang berbeda itu.
Karena itu berhentilah memproduksi dan mereproduksi prasangka dan stereotype.

Bersikap kritis itu harus dan wajib karena itu fitrah wartawan dan media massa. Namun sekali lagi tanpa tergelincir dalam prasangka kesukuan.

*Tulisan ini dimuat Rubrik Opini harian Analisa, Sabtu, tanggal 10 Oktober 2015

Buruk Muka Pers, Masyarakat Dibelah

Dukungan media pers agar Presiden Joko Widodo membatalkan pelantikan calon Kapolri Komjen (Pol) Budi Gunawan yang berstatus tersangka, hampir bulat diberikan media. Namun pada kasus pelantikan Hasban Ritonga, terdakwa kasus dugaan sengketa lahan aset Pemprov Sumut dengan Sirkuit Motor Indonesia (IMI) Medan, sebagai Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, sikap mnedia pers di Medan tak bulat, justru terbelah.
Ada yang pro terang-terangan, ada yang kontra. Buruk muka pers, masyarakat dibelah.
Sebagaimana diberitakan surat kabar ini, Hasban Ritonga bersama calon lain Randiman Tarigan, Sekretaris DPRD Sumut dan Aarsyad Lubis, Kepala Bappeda Sumut pada Agustus 2014 diusulkan oleh Gubernur Sumut sebagai calon Sekda.
Keputusan Presiden Jokowi yang menunjuk Hasban sebagai sekda ditandatangani pada 28 desember 2014. Berdasarkan keppres itu, Gubernur Gatot Pujo Nugroho melantik Hasban sebagai Sekda sumut pada 14 Januari 2015.
Saat diusulkan sebagai calon Serkda sumut, Hasban sudah berstatus sebagai tersangka. Pemerintah Sumut tetap mengusulkan Hasban karena tidak aturan yang melarang tersangka atau terdakwa dilarang diusulkan jadi pejabat, kecuali terlibat kasus korupsi (Kompas, 22/1).
Masalahnya dalam berkas usulan, Gubernur sumut tak menyertakan informasi tentang status tersangka Hasban, yang pada Januari 2015 statusnya meningkat menjadi terdakwa.

Ekonomi Rente
Dorongan media pers agar Presiden Jokowi membatalkan pelantikan Komjen Budi Gunawan yang berstatus sebagai tersangka kasus rekening gendut, adalah bentuk insentif pers untuk menjaga kredibilitas Presiden Jokowi. Pers tak ingin Presiden Jokowi kehilangan elan seorang kenegarawana gara-gara harus memberi rente politik yang ditagih para patron politik Jokowi semasa pilpres.
Berbeda dengan kasus Budi Gunawan, dalam kasus pelantikan Hasban sebagai Sekda Provinsi Sumut, pers justru terbelah sikapnya. Ada surat kabar yang secara menyolok mendukung Hasban sekalipun sudah berstatus terdakwa, dan tengah menjalani persidangan di PN Medan, sebaliknya tak sedikit surat kabar yang mengkritisi pelantikannya.
Pers di Medan memang unik. Atmakusumah Astraaatmadja dalam sebuah diskusi di Dewan Pers pernah bilang bahwa pers di Medan masih banyak menggunakan pola pemberitaan gaya lama: membela secara terang-terangan satu kelompok dan menohok kelompok lain. Model seperti ini, diwarisi dari gaya pemberitaan pers Medan semasa revolusi. Saat itu, surat kabar di Medan digunakan sebagai media untuk melawan pemerintah kolonial Belanda yang hendak menjajah kembali Indonesia.
Tapi masalahnya Indonesia sudah merdeka 69 tahun lebih. Surat kabar di Medan kini justru banyak yang tergerus oleh arus pragmatisme politik bermuatan kepentingan ekonomi sesaat. Kini tak sedikit hidup mati surat kabar bukan lagi ditentukan oleh kredibilitas pemberitaan mereka yang berdampak pada oplah dan masuknya pengiklan, tapi ditentukan oleh kejelian dalam mendapatkan ekonomi rente dari sumber-sumber kekuasaan politik atau momentum polituik yang muncul.
Iklan yang tipis menjadi, dan pendapatan yang tak seberapa dari penjualan oplah, juga telah memperangkap sejumlah pelaku jurnalisme dan pemilik media terlibat dalam penyimpangan profesi.
Yang pertama dan utama semisal keberadaan jurnalis yang diperbolehkan merangkap sebagai pencari iklan. Dari sini jurnalis mendapat prosentase tertentu dari nilai harga iklan. Penyimpangan seperti ini dilegalkan oleh news room. Ihwal kenapa jurnalis dibolehkan nyambi sebagai acount executive tak terpisah dari masalah kesejahteraan yang cekak.
Di sisi lain, pengiklan juga lebih suka memasang iklan politik di koran lewat jurnalis. Insentifnya selain menjadikan relasi semakin baik, juga hal ini bagian dari investasi jangka panjang agar jurnalis tak terlalu nyinyir dalam mengontrol kinerja politik mereka.
Penyimpangan lain adalah tak sedikit jurnalis yang juga merangkap sebagai agen penjualan koran, terutama bagi mereka yang berstatus sebagai koresponden di sejumlah kota besar selain di Medan yang ada di Sumut.
Pemilik media juga tak sedikit yang memanfaatkan kuasanya untuk mencari rente ekonomi. Kontestasi politik seperti pemilu dan pilkada menjadi salah satu tambang emas. Kasus Hasban adalah cermin dari perebutan rente ekonomi ala media pers di Medan.

Segmentasi Pembaca
Namun ekonomi rente tak cukup sebagai parameter untuk menafsirkan dan menilai orientasi politik pemberitaan media pers di Medan.
Parameter lain yang perlu dipertimbangkan yakni, memahami segmen pembaca setia media pers di Medan. Segmentasi pembaca surat kabar berdasarkan garis suku dan agama, masih berlaku untuk beberapa surat kabar besar. Tahun 2008 saat muncul polemik pembentukkan Provinsi Tapanuli, dua surat kanar terbesar di Medan terbelah secara tajam orientasipemberitaan mereka, antara yang mendukung dan anti terhadap pembentukan Provinsi Tapanuli.
Kini media pers di Medan kembali terbelah oleh kasus pelantikkan Hasban Ritonga, terdakwa kasus dugaan sengketa lahan aset Pemprov Sumut dengan Sirkuit Motor Indonesia (IMI) Medan, sebagai Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Media pers memang bukan segalanya. Namun dalam konteks terbangunnya pemerintahan yang mengusung prinsip good and clean governance, seyogyanya media pers harus berada di barisan terdepan.
Peran media pers untuk mendorong good governance biasanya dilakukan lewat empat hal. Pertama, pers terus-menerus mempromosikan nilai-nilai good governance itu sendiri.
Kedua, pers aktif memonitor atau mengawasi proses-proses pengambilan kebijakan dan dimana kebijakan itu dilaksanakan atau (mungkin) tidak dilaksanakan.
Ketiga, pers menyuarakan suara kaum tak bersuara, terutama warga yang bersentuhan langsung dengan layanan publik.
Keempat pers memberi insentif dan disinsentif terhadap kualitas kinerja pejabat publik.
Sejatinya dalam memberitakan kasus Komjen (Pol) Budi Gunawan dan Hasban Ritonga media pers harus lebih memberikan politik pemberitaan yang memberi insentif dan disinsentif demi terbangunnya tata kelola pemerintahan yang transparan, bersih dan, bertanggungjawab.
Sudah menjadi sikap dasar pejabat publik untuk tidak mengungkapkan, apalagi menyebarluaskan informasi yang merugikan kepentingan mereka. Mereka merasa lebih nyaman berada dalam zona kerahasiaan.
Menurut Joseph Stigligtz (2006), kerahasiaan merupakan ciri khas negara totaliter yang menodai abad ke-20. Kini, walaupun publik mungkin berkepentingan dengan keterbukaan, pejabat pubik justru terdorong mengejar kerahasiaan bahkan di negara demokratis pun.
Kerahasiaan itu korosif, merusak: antitesis dengan nilai demokrasi dan merusak proses demokrasi. Kerahasiaan memperkuat pejabat yang berkuasa dan mengecutkan partisipasi publik dalam proses demokrasi.
Media pers yang memberi insentif terhadap pejabat publik yang tak mau jujur dengan masalah hukum yang tengah dihadapi, tentu justru berperan menywembunyikan rahasia bopeng si pejabat. Buruk muka pers, masyarakat dibelah!

* Tulisan ini dimuat di harian Analisa tgl 2 Februari 2015

Jurnalisme Pemandu Sorak?

free-6Isi suratkabar Medan, dalam beberapa bulan terakhir sejak ditetapkannya lima pasangan ca(wa)gubsu oleh KPU Sumut, penuh dengan berita-berita yang berisi pujian atas kelebihan, atau dukungan sekelompok warga terhadap masing-masing pasangan calon. Praktek jurnalisme pemandu sorak, cenderung diperlihatkan sejumlah surat kabar di Medan. Apa untung ruginya bagi pendidikan politik warga?

Tak dapat dipungkiri, kontestasi politik modern dewasa ini hampir mustahil dipisahkan dari kehadiran dan peran media massa. Media massa telah menjadi alat sosialisasi, pencitraan, sekaligus mobilisasi sumberdaya politik serta alat untuk meraih dukungan politik warga. Fenomena seperti ini sebenarnya tidak mengejutkan saat pendidikan politik  warga, belum sepenuhnya berhasil dilakukan partai politik.

Saat keberadaan massa mengambang (floating mass) belum mampu sepenuhnya dientaskan partai politik. Padahal paskareformasi, parpol telah memiliki pengurus menjulur  sampai ke tingkat ranting di kelurahan/desa.

Persoalannya saat tangan Parpol belum berhasil melakukan pendidikan politik dan membangun konstituen yang militan, apakah media massa tak tergelitik untuk menjalankan fungsi tersebut?

Kenapa sejumlah surat kabar justru berfungsi sebgai pemandu sorak pasangan calon yang diusung parpol atau gabungan parpol dalam Pilgubsu 2013, dan mengabaikan fugsi pendidikan politik?

 

Pemandu Sorak

Isatilah jurnalisme pemandu sorak mula pertama diberikan kepada media massa di AS paskapenyerangan gedung WTC dan Pentagon pada 11 September 2001 yang menewaskan ribuan orang. Pada masa itu, media massa di AS secara sadar melakukan swa-sensor, dan mendukung kebijakan pemerintah AS dalam apa yang disebut “Perang Melawan Terorisme”. Seorang jurnalis mengatakan bahwa “lebih baik disebut serdadu Bush, daripada juru bicara Al Qaedah”.

Namun media di AS tak mau disalahkan atas fenomena “mencucukkan hidungnya sendiri itu.” Wakil Presiden eksekutif CNN dan general manajer Rena Golden, justru menyalahkan masyarakat Amerika  sebagai penyebab kenapa wartawan tidak mau melaksanakan tugasnya. Menurut Golden, di tengah maraknya rasa patritiotik warga AS waktu itu, CNN menduga khalayak pemirsa memang tidak menginginkan peliputan yang kritis. Mereka menginginkan pemandu sorak (Kristinajesson: 2006).

Salah hasil dari jurnalisme sorak adalah liputan media massa AS tentang “penemuan senjata pemusnah massal” di sebuah bunker di Irak. Liputan ‘penemuan” itulah yang melegitimasi pemerintah AS untuk menginvasi Irak pada 2001. Pada akhirnya masyarakat internasional mengetahaui bahwa Irak sebenarnya tak pernah mempunyai senjata pemusnah massal.

Begitulah, fungsi  jurnalisme pemandu sorak memang benar-benar seperti fungsi cheer leaders yang memberi tempik sorak untuk  membangun spirit, gairah, dan menciptakan suasana agar tim yang dibela terpompa semangatnya.

Jika analogi pemandu sorak diterapkan dalam peliputan Pilgubsu 2013, benarkah yang dibutuhkan publik adalah berita-berita yang berisi puja-puji terhadap kelima pasangan ca(wa)gubsu?

 

Kecenderungan Sebagai Pemandu sorak

Mengutip Robert Mc Chesney Presiden dan pendiri Free Press, sebuah organisasi non profit yang bekerja untuk pembuatan kebjakan media, dalam teori demokrasi terdapat dua fungsi yang tak terelakkan yang harus dijalankan jurnalisme.

Pertama, media harus menyediakan ulasan yang yang cermat tentang orang-orang yang berkuasa dan yang ingin berkuasa. Kedua, media harus menyediakan informasi yang dapat dipercaya, dan opini terpercaya mengenai isu sosial dan poilitik yang penting setiap hari.

Fungsi sebagai pemandu sorak, dengan demikian tidak dibutuhkan publik. Apalagi saat publik hendak memberikan mandat politik mereka terhadap orang-orang yang menginginkan kekuasaan.  Apa yang dikemukakan Chesney menjelaskan bahwa publik tak membutuhkan berta-berita tentang profil, kiprah atau perilaku kelima ca(wa)gubsu yang hanya berisi pujian atau membesar-besarkan sosok dan kiprah kelimanya.

Sebaliknya, publik justru butuh berita dan opini yang jujur dan kritis tentang kelima pasangan calon sebagai bahan evaluasi sebelum mereka datang ke tempat pencoblosan kelak!

Namun antara yang normatif dan empirik seringkali berbalik punggung. Dari hasil pengamatan, ada beberapa kecenderungan munculnya praktek jurnalisme pmando sorak dalam beberapa tahapan Pilgubsu 2013.

Pertama, berita-berita kelima pasangan ca(wa)gubsu yang dimuat media umumnya dilahap begitu saja tanpa sikap kritis media. Sangat sedikit, bahkan sangat langka, media mengakomodir ulasan kritis terhadap kampanye tidak resmi maupun kampanye resmi dari kelima pasangan ca(wa)gubsu.

Fungsi surveillance media, cenderung diabaikan. Padahal momentum politik seperti pilgubsu, semestinya dimanfaatkan pers untuk melakukan pendidikan politik ke publik. Pers seyogyanya menjadi ruang publik yang mengakomodir wacana-wacana tandingan agar “kecap” yang dijual kelima pasangan calon, tim sukses, ataupara  jurkam, dapat dikenali “rasa” yang sebenarnya.

Pemberitaan yang kritis terhadap program-program yang ditawarkan pasangan calon, akan mendorong terbangunnya pemilih yang rasional. Pemilih yang melakukan transaksi politik dengan menggunakan parameter kelayakan program. Bukan karena iming-iming uang, atau  kesamaan identitas suku,  agama, atau daerah.

Kedua, media juga sangat jarang, menguliti rekam jajak kelima pasangan calon secara kritis dan objektif. Padahal pasangan calon adalah figur publik, yang dengan mudah dikenali kelebihan dan kekurangannya oleh media. Mengupas track record kandidat adalah bagian dari pendidikan politik agar publik menjadi lebih kenal figur calon pemimpin mereka!

Dalam kontestasi politik seperti pilgubsu 2013 ini, sejumlah pakar komunikasi percaya media massa mampu membentuk opini dan memperkuat keyakinan seseorang atau calon pemilih. Artinya, berita-berita media pers dapat menjadi faktor penguat (reinforce) atas keyakinan-keyakinan  seseorang yang mempengaruhi pilihan politiknya. Hasil studi yang dilakukan McCombs dan Shaw menemukan adanya korelasi sangat kuat antara pemeringkatan isu yang dibuat media dengan pemeringkatan isu oleh para pemilih, atau adanya sensitivitas media terhadap perhatian para pemilih (Jurnal Komunikasi: 1999).

 

Menghindari Conflict of Interest

Mengingat fungsi strategis media massa tersebut, agar tidak “terjebak” memerankan diri sebagai pemandu sorak, pernyataan Dewan Pers tahun 2005 tentang media dan pemilukada, tampaknya ih relevan untuk dicermati kembali oleh para pengelola media.

Pada intinya, Dewan Pers menhimbau agar media massa memainkan peran sebagai sarana pendidikan politik yang baik, dengan tetap menjaga independensi dan sikap kritis, tidak terjebak menjadi alat kampanye pihak-pihak yang berkompetisi, apalagi menjadi sarana kampanye negatif.

Media massa juga diharapkan memilah informasi dan materi kampanye dengan orientasi membangun proses Pemilukada  yang aman dan tertib, dengan mengedepankan prinsip jurnalisme damai.

Untuk menghindari perbenturan kepentingan (conflict of interest) dan pelanggaran prinsip etika jurnalisme, wartawan harus selalu bersikap adil, seimbang dan independen. Bagi wartawan yang secara individu maupun kelompok, menjadi “Tim Sukses” pasangan calon kepala daerah, mereka diharapkan menegaskan posisinya kepada publik dan menyatakan diri non-aktif.

Jika dapat diterapkan, himbauan Dewan Pers ini akan menghindarkan media massa sebagai pemandu sorak kelima pasangan ca(wa)gubsu!

**Tulisan ini dimuat di harian Analisa, 26 Februari 2013