Pendidikan Multikultural Untuk Kohesi Sosial

ImageApa sebenarnya urgensi pendidikan multikultural? Apa itu pendidikan multikultural aliran kritis, seperti apa praksisnya? Dua pertanyaan penting itu menjadi benang merah seminar “Mencari Model Pendidikan Multikultural: Praksis Penyelenggaraan Pendidikan Multikultural di Perguruan Sultan Iskandar Muda” pada akhir November lalu.

 Pendidikan Multikultural Mutlak

Dr. Chang Yau Hoon, Asistent Proffesor Asian Studies School of Sciences Singapore Management University punya temuan menarik terkait penelitiannya pada beberapa sekolah Kristen di Jakarta. Kesimpulan hasil penelitiannya kurang lebih mengatakan bahwa di sekolah Kristen Jakarta yang mempersiapkan siswanya untuk berkuliah di luar negri itu telah menjadi situs yang memelihara identitas etnis dan agama subjek didik yang mayoritas adalah siswa Tionghoa. Tidak heran jika mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan, bahkan isu kewarnegaraan menjadi dianggap kurang relevan di mata siswa di sekolah Kristen yang ditelitinya.

Menurut Yau Hoon, yang disertasi doktornya mengupas politik identitas masyarakat Tionghoa Indonesia paskareformasi, fungsi lembaga pendidikan sekolah memang  ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi sekolah itu bisa memberdayakan hak-hak kaum minoritas sebagai warga negara, serta mereduksi perbedaan etnis dan agama, namun di sisi lain sekolah juga bisa menjadi situs yang memelihara identitas etnis dan agama subjek didik.

Kesimpulan Yau Hoon pada ekstrim yang berseberangan mengafirmasi tentang berkecambahnya nilai-nilai intoleransi yang merambah ke sejumlah institusi pendidikan di Jawa. Ambil contoh survey yang dilakukan Rahima Institut  pada tahun 2011 terhadap  SMA – SMA Negeri Negeri di Jember, Padang, Jakarta, Pandeglang, Cianjur, Cilacap dan Yogyakarta, menemukan bahwa sebanyak 13% siswa mendukung gerakan-gerakan radikal keagamaan.

Sebanyak 14% setuju dengan cara Imam Samodra dalam melakukan gerakan terorisme. Seperti dilaporkan Majalah Tempo (6-12/06/2011), mayoritas siswa bersedia memberikan dukungan dan kesediaan terlibat untuk merusak tempat hiburan, merusak anggota aliran yang menyimpang, merusak tempat ibadah agama lain dan  membantu umat Islam di daerah konflik.

Secara gamblang, Dr. Arifinsyah, pengajar pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara juga mengakui adanya mindset pengajaran doktrin agama yang eksklusif pada beberapa lembaga pendidikan Islam, yang mengajarkan subjek didik untuk tidak berkawan dengan mereka yang digolongkan sebagai “kafir”.

Pada konteks yang berbeda, Arifinsyah juga menyebutkan bahwa di Indonesia dewasa ini terdapat tidak kurang 1180 suku bangsa, 100 lebih suku, dan 726 ragam bahasa suku. Sedangkan di Kota Medan terdapat delapan suku asli, dan beberapa suku pendatang seperti China dan India. Ia juga menyebut tentang pola imigrasi warga yang berlangsung sangat dinamis di Medan. Dampaknya telah membuat ruang-ruang di kota Medan hampir mustahil ada yang homogen!

Belum lagi ditambah dengan arus dinamika globalisasi, yang membuat Medan semakin plural. Semua itu  menuntut warga Medan harus terbiasa untuk hidup dengan keberagaman nilai budaya warganya. Arifinsyah mencermati bahwa dalam masyarakat multikultur, sangat rawan dengan konflik, baik yang bersifat laten, maupun manifes.

 

Pendikan Multikultural Kritis

Apa yang dikemukakan Chan Yau Hoon maupun Arifinsyah, pada hakikatnya menyadarkan kita tentang pentingnya implementasi pendidikan multikultural pada lembaga-lembaga pendidikan kita.  Pendidikan multikultural adalah jawaban untuk mempersiapkan subjek didik agar bisa hidup berdampingan dan bekerjasama dengan “liyan” (other).

Masalahnya, saat membincangkan pendidikan multikultural, praktisi pendidikan lebih condong menitikberatkan sebagai pendidikan untuk mengenalkan dan memahami keragaman kebudayaan dan adat istiadat  masyarakat. Akibatnya proses pendidikan yang ada kerap berhenti pada upaya untuk mengenalkan kebudayaan dari aspek materi yang tangible. Misalnya mengenalkan berbagai jenis tarian dari berbagai suku, jenis-jenis makanan tradisional, atau baju adat masing-masing suku.

Model pendidikan seperti itu menurut Tracey Yani Harjatanaya, BA, MS.c tidak akan mampu menghapus prejudice yang bermuatan SARA. Terlebih lagi mereduksi praktek diskriminasi. Termasuk pendekatan kuantitatif demografis yang mempercayai begitu saja bahwa struktur subjek didik yang beragam otomatis akan mampu membangun relasi yang harmonis dan setara.

Alumni Oxford University jurusan Perbandingan Pendidikan Internasional itu meyakini bahwa pendidikan mutikultural lebih dari sekadar pendidikan tentang kebudayaan yang beragam itu. Mengutip Stephen May, pendidikan multikultural yang kritis menggabungkan keprihatinan akan masalah struktural dan kultural – menghubungkan budaya dan kekuasaan, dan multikulturalisme dengan antirasisme – dalam usahanya untuk meningkatkan politik pengakuan dan representasi dalam ruang lingkup pendidikan dan masyarakat yang luas.

Dimensi struktural mengandung arti, semua peserta didik – terlepas dari jenis kelamin, status sosial, dan karakteristik etnik, rasial atau kultural – harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah.  Karena itu menurut Harjatanaya, orientasi dari praksis pendidikan multukultural adalah terwujudnya relasi antar subjek didik yang dikembangkan dengan berpijak pada nilai-nilai keadilan, kesetaraan dan keharmonisan dalam keberagaman dan kemajemukan.

Dengan kata lain, implementasi pendidikan multikultural harus  mampu memberi bekal pengetahuan, sikap (attitude)  dan pedoman berintraksi (psikomotorik) terhadap subjek didik   agar dapat menjadi manusia Indonesia yang menghargai kemajemukan, serta penghormatan terhadap sang lain (the others) yang berbeda-beda dan beraneka warna, yang membuka diri terhadap keyakinan-keyakinan berbeda tersebut, serta melibatkan diri secara aktif di dalam  sebuah proses dialog, debat, atau argumentasi  di dalamnya, dalam rangka mencari persamaan-persamaan (common belief), sambil tetap menghargai perbedaan-perbedaan yang ada (Yasraf A. Pilliang: 2003).

Menurut Hardjatanaya, untuk mengaplikasikan paham multikulturalisme yang kritis (critical multiculturalism) harus dilakukan dengan cara menghadirkan dialog yang terbuka dan serius antar kelompok agama dan etnis. Hal ini menyebabkan model pendidikan yang kritis ini diakui sulit untuk diimplementasikan. Soalnya jika pendidik kurang berpengalaman, dapat mengakibatkan interaksi antar kelompok etnis atau agama ini malah dapat berakibat kurang baik.

 Dekonstruksi Nilai

Namun walau tidak mudah diimplementasikan, mengingat tujuan akhir dari pendidikan multikultural aliran kritis adalah membangun kohesi sosial yang kuat akibat berbagai keragaman yang ada,  maka pendidikan multikultural kritis dewasa ini sudah menjadi kebutuhan yang mutlak.

Perguruan Sultan Iskandar Muda sendiri punya model pembelajaran multikultural kritis, misalnya untuk mengikis cara pandang yang rasis diantara subjek didik yang ada. Metodenya lewat kegiatan ice breaking, yang melibatkan sejumlah subjek didik, biasanya dalam jumlah kecil, sekitar sepuluh orang. Mereka dibagi menjadi dua kelompok berdasar garis kesukuan. Kelompok pertama,  lima orang , adalah siswa Tionghoa, dan kelompok kedua, lima orang non Tionghoa.

Fasilitator ice breaking selanjutnya memberi tugas kepada anggota kelompok 2 untuk mengungkapkan segala hal yang mereka pikirkan tentang orang-orang Tionghoa. Demikian juga kelompok 1 diberi tugas untuk mengungkapkan segala hal yang mereka pikirkan tentang  orang-orang non Tionghoa.

Pada awalnya, hampir seluruh peserta ice breaking tidak bersedia mengemukakan  secara terbuka pandangan mereka menyangkut orang-orang yang bukan berasal dari suku/etnis mereka. Ada perasaan segan, takut, juga was-was menyinggung perasaan siswa yang berbeda suku itu. Akhirnya fasilitator meminta mereka menuliskan lewat secarik kertas tanpa dibubuhi identitas. Dengan metode seperti ini, baru peserta ice breaking “cair” dan bersedia secara terbuka mengungkapkan pandangan yang selama ini dominan mengendap dalam relung kognisi mereka.

Hasil inventarisasi kelompok kemudian ditempelkan pada sebuah kertas plano. Fasilitator selanjutnya meminta kepada masing-masing peserta untuk memberikan menjelaskan seperlunya tentang apa yang yang mereka tuliskan. Berikut adalah ungkapan dari kelompok Tionghoa saat  memandang orang  non Tionghoa: “suka mengompas”, “suka menggunakan kekerasan”, “kasar”, “pemalas” dsb. Sebaliknya kelompok siswa non Tionghoa berpandangan bahwa orang-orang Tionghoa: “kurang supel suka bergaul”, “sombong”, “pelit”, “kurang suka membantu” dsb.

Setelah semua peserta memperoleh giliran bicara, fasilitator kemudian melakukan  dekonstruksi nilai yang stereotipik dengan memberikan pencerahan bahwa semua hal yang  jelek, misalnya “pelit” dan “suka mengompas”  tidak ada hubungannya sama sekali dengan suku seseorang. Jika ada seorang Tionghoa pelit, tidak berarti etnis Tionghoa pelit.Ada juga, bahkan banyak orang Tionghoa yang dermawan. Sama juga jika ada seorang Batak “mengompas”, tentu  tidak berarti  etnis Batak adalah “pengompas”. Banyak juga orang Batak yang baik hati, suka menolong.

Tentu, masih ada berragam metode pembelajaran lain untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural aliran kritis. Kehadiran buku “Merawat Keberagaman: Praksis Pendidikan Multikultural di Perguruan Sultan Iskandar Muda”, adalah sebuah langkah eksplorasi awal. Mudah-mudahan buku tersebut dapat memberi setitik kontribusi untuk ikut merawat situasi kebangsaa yang akhir-akhir ini tengah dikepung  serbuan virus intoleransi!

*Tuiisan ini dimuat d rubrik Opini Analisa, edisi 19 Desember 2012

Rindu Wajah Damai Agama di Media

Produk jurnalisme tak bisa dipisahkan dari jurnalis dan kebijakan redaksi yang di anut masing-masing institusi media. Seperti apa wajah agama di media massa kita? Bisakah wajah agama di media yang keras dan intoleran diubah menjadi wajah yang damai dan penuh toleran?

Di Amerika, menurut Ralph Reed, direktur ekskutif Christian Coalition, berita media masih berpusat pada skandal seperti penyimpangan oleh pastor Katolik, tindakan vandalisme terhadap klinik aborsi, pemboman World Trade Center oleh teroris Islam, dan penembakan atas pelaku aborsi. Muncul kecenderungan kuat nuansa pemberitaan yang bias ke arah “patologi” dan “kekekerasan” bernuansa keagamaan (Idy Subandy Ibrahim, dalam Prolog, Wajah Agama di Media, Penerbit LSPP, Jakarta, 2010).

Di Indonesia, liputan agama umumnya mewakili kecenderungan seperti berikut: Pertama, liputan agama umumnya masih fokus pada khususnya kegiatan ritual dan perayaan keagamaan, institusi keagamaan dan terlebih-lebih peristiwa konflik dengan kekerasan. Kedua, karena cnderung fokus pada peristiwa konflik liputan agama biasanya sangat sensasional dan penuh dramatisasi. Ketiga, media masih sering melakukan labelisasi terhadap kelompok agama atau aliran tertentu. Keempat, media juga kurang sering memberi tempat pada kelompok-kelompok minoritas. Kalaupun ada, adalah kelompok minoritas eksklusif yang cenderung menyebarkan kebencian dan kekerasan dan tindakan lainnya yang menarik perhatian media karena sering dianggap punya nilai berita (Hanif Suranto dan Bambang P Wisudo: 2010).

Wartawan memang bukan, dan tidak akan pernah menjadi orang yang bebas nilai. Dalam hubungannya dengan liputan isu agama, menarik temuan Survei dari The International Journal of Press dan Yayasan Pantau. Menurut mereka, kebanyakan wartawan Indonesia tidak mendukung toleransi beragama. Sebanyak 64,3 persen wartawan mendukung pelarangan Ahmadiyah. Wartawan Indonesia juga relatif mendukung fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkan pluralisme, liberalisme, dan sekularisme.

Survei dilakukan terhadap 600 wartawan media cetak/online, televisi, dan radio yang tersebar di 16 provinsi, diantaranya, Aceh, Sumut, DKI Jakarta, Jawa Barat, Bali, dan Sulawesi Utara. Survei menemukan 40,3 persen wartawan menjawab “Indonesia” ketika ditanya identitas diri di atas segala-galanya. Jawaban “muslim” sebanyak 39,7 persen, “wartawan” sebanyak 11,7 persen, dan etnis sebanyak 2,3 persen.

Perspektif Pluralisme

Penggunaan identitas agama yang persentasenya hampir berimbang dengan identitas ke-Indonesiaan, mengafirmasi pentingnya penguatan perspektif pluralisme untuk wartawan. Perspektif pluralisme di sini yang dimaksud adalah pandangan atau nilai yang menghargai kemajemukan, serta penghormatan terhadap sang lain (the others) yang berbeda-beda dan beraneka warna, yang membuka diri terhadap keyakinan-keyakinan berbeda tersebut, serta melibatkan diri secara aktif di dalam sebuah proses dialog, debat, atau argumentasi di dalamnya, dalam rangka mencari persamaan-persamaan (common belief), sambil tetap menghargai perbedaan-perbedaan yang ada.

Dengan menguasai dan mengamalkan perspektif pluralisme dalam kerja jurnalisme, wartawan terhindar dari sikap rasisme dan diskriminasi, baik dalam bentuk tersamar, penuh prasangka, tidak langsung dan implisit. Dengan demikian, ketika meliput keberadaan kelompok atau umat lain di luar kelompok atau umatnya sendiri, maka konstruksi yang lahir tidak lagi menjadikan mereka sebagai “ancaman”, “melanggar kepercayaan” atau “agama yang dianutnya” atau sebagai “gangguan” yang harus ditiadakan.

Penggambaran terhadap kelompok atau umat lain secara sensasional dan penuh dramatisasi bisa dihindarkan. Pun label-label seperti “aliran sesat”, “kelompok sempalan”, “murtad” tidak lagi menghiasai atau memenuhi ruang-ruang pemberitaan media.

Kode Perilaku Peliputan

Wartawan dan media memang bukan penyebab konflik. Tapi jangan lupa, lewat kekuatan kata-kata atau propaganda intensif, media bisa memfasilitasi konflik laten berdimensi keagamaan, yang di negara kita dapat digambarkan seperti “api dalam sekam”. Tak heran jika sewaktu-waktu, media bisa menjadi senjata intoleransi.

Kecenderungan bahwa realita kebhinekaan Indonesia kini terancam bahaya disintegrasi, radikalisme dan ekstrimisme bukan sebuah ilusi. Dewasa ini kita tengah menghadapi kecenderungan repolitisasi agama yang dilakukan sejumlah ormas agama, yang oleh Ulil Abshar Abdalla, disebut secara longggar sebagai identity based civil society, yaitu civil society yang basisnya identitas, penekanan pada suatu identitas yang sifatnya partikular. Berhadapan dengan kelompok ini adalah apa yang disebutnya sebagai interest based civil society, atau masyarakat yang basis sosialnya adalah kepentingan. (Ulil Abshar Abdalla: 2003).

Namun Ulil tidak anti terhadap kelompok sipil berbasis identitas, sejauh identitas itu dipertahankan sebagai identitas yang ditafsirkan dalam satu frame work atau kerangka nilai tertentu. Kata kuncinya adalah menggunakan identitas itu dalam kerangka merebut tafsir yang berkembang di masyarakat.

Masalahnya, kelompok sipil berbasis identitas agama tak selamanya mengembangkan tafsir yang inklusif, akibatnya mereka intoleran dalam kehidupan antar pemeluk agama. Mereka menggunakan kekuatan mereka untuk mendiskriminasi yang minoritas.

Padahal, sejak dulu Indonesia sudah pluralis. Untuk itu maka media juga harus terpanggil untuk menjadi agen sosialisasi pluralisme. Fungsi media bukan hanya harus mencerahkan, tetapi juga menyebarluaskan pengetahuan dan  pemahaman yang benar kepada khalayak luas tentang apa itu pluralitas, pluralistik dan pluralisme. Berpijak pada itu media juga bertugas untuk menanamkan kesadaran tentang pentingnya toleransi dihayati dan diejewantahkan di tengah kehidupan bersama.

Dengan kata lain, media idealnya secara terencana dan sistematis melaksanakan program-program penyadaran akan pluralisme tersebut di dalam rubrikasinya atau kontennya atau program-program lainnya. Keniscayaan pluralisme dipahami dan dihayati di ruang-ruang news room, hemat penulis sudah tak dapat ditawar-tawar lagi.

Sudah saatnya komunitas media, pemerhati media, organisasi wartawan, dan Dewan Pers duduk bersama merumuskan kode perilaku tentang peliputan isu-isu agama dengan perspektif pluralisme. Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa kasus-kasus kekerasan yang bersumber dari sikap intoleransi beragama masih terus susul-menyusul terjadi di tanah air.

Padahal realita bahwa, umat beragama di negara kita sangat plural tak bisa diingkari. Dan media massa, sadar atau tidak kerap dijadikan eteater kekerasanf oleh para aktor penebar kekerasan untuk mempropagandakan misi mereka yang sebenarnya anti kemanusiaan itu. Saatnya kita menunggu media menampilkan wajah pemberitaan isu agama yang damai dan penuh toleransi.***

Tulisan ini dimuat di harian Analisa, 7 Oktober 2011